Tanggal 5 Januari perdamaian yang di janjikan oleh dua wilayah menjadi goncang, lantaran salah satu pihak yang semula setuju untuk berdamai berubah pikiran dan enggan berbagi wilayah kekuasaan, "Netral katamu? hahhaa wilayah ini adalah milik kami, jadi kalian mundur saja" ucap salah satu pemimpin wilayah meremehkan.
Ada dua pembagian wilayah di sini yakni, Wall dan Bridge, dimana keduanya memiliki pemimpin yang sangat haus akan kekuasaan.
Sesuai namanya wilayah wall sepenuhnya di kelilingi oleh tembok tinggi yang memberikan batas pada wilayah lain kalau yang berada di dalam tembok adalah milik wall, termasuk warga dan juga kekayaan alamnya.
Sementara bridge memiliki jembatan yang mengelilingi wall sebagai penghubung antara satu sama lain, keduanya sama-sama memiliki peran penting jadi mereka mulai serakah dan saling menganggap kalau semuanya adalah milik mereka.
Kedua wilayah berada di antara sebuah tempat gersang di mana biasa di sebut Netral tanpa adanya pemimpin maupun hak klaim.
Itu terjadi sudah sangat lama, namun semenjak pemimpin wilayah bridge berganti, keseimbangan mulai goyah dan mereka terlebih dahulu mengibarkan bendera peperangan.
Wall yang sudah siap akan segalanya pun menerima peperangan tersebut yang mana membuat ratusan ribu nyawa melayang sia-sia di wilayah Netral.
Apakah peperangan di menangkan? Tidak, mereka sama sekali tidak menang , hasilnya masih sama seperti dulu yakni seri dan wilayah Netral kembali menjadi bebas namun dengan genangan dan juga mayat yang berserakan karena korban dua pihak.
Mereka yang selamat memilih untuk pindah ke wall atau bridge agar bisa di klaim dan mendapatkan perlindungan, namun mereka yang memilih bertahan di Netral akan merasa selimuti oleh teror yang sering terjadi di Netral akhir-akhir ini.
Sesekali selebaran tersebar ke setiap gang dimana tertulis,
..."Netral adalah milik kami, jadi siapapun yang menolak ikut akan langsung di lenyapkan tanpa ampun"...
Begitu selebaran tersebar, Netral yang semula mulai stabil kembali di goncang kekhawatiran akan penyerangan susulan yang mereka pikir akan mengakibatkan kematian.
Mereka yang takut langsung pindah ke wall karena mereka menganggap wilayah wall aman dari bridge, namun tak sedikit pula yang pindah ke wilayah bridge karena pemikiran yang sama seperti wall.
Yang semula Netral di huni oleh satu juta tiga ratus nyawa lebih pun, kini hanya tersisa seribu nyawa yang mana tersebar di beberapa titik yang mereka anggap aman.
Namun beberapa hari setelahnya atau lebih tepatnya tanggal 25 Januari sekelompok ormas yang tersisa dari Netral mulai angkat bicara dan berdemo di gerbang bridge lantaran mereka yang biasa bekerja dalam perdagangan di larang melewati jembatan di karenakan aturan pembatasan dan meminimalkan pelarian dari wall.
Mereka pun sangat marah lantaran tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau semua jalan di blok.
"Sejak kapan kalian menjadi begitu berarti di lingkungan seperti ini?" teriak pemuda yang mengalami cac*t di wajahnya akibat luka bakar, ia juga kehilangan keluarganya tanpa kejelasan hanya karena dua wilayah yang membantai tempat tinggalnya tanpa ampun dulu.
"Kenapa kalian melakukan ini hah!!!" ia berteriak meminta pertanggungjawaban namun semuanya bungkam.
Dua baris pria berpakaian serba hitam di lengkapi kaca mata yang menyelip di wajah mereka, menghadang gerombolan manusia yang menuntut keadilan atas apa yang menimpa mereka.
"Ba*****n kalian!!" Ada anak-anak, wanita, pria dan juga usia senja yang ikut menyuarakan suara mereka namun itu hanya terjadi sesaat, karena setelah mereka berkumpul tepat di gerbang bridge, seseorang yang tidak di ketahui keberadaannya memberikan sinyal untuk melenyapkan mereka semua yang terlihat.
"Habisi mereka" perintahnya.
"Baik".
BANG BANG BANG...
Di detik berikutnya hanya ada suara jeritan manusia yang penuh akan penderitaan mulai meregang nyawa akibat berondongan peluru yang di tambakan dari segala arah.
"AAAAAAAKKKHH"
"AAAAAA"
Tak ada satupun yang selamat, semuanya tewas tanpa sisa dengan genangan darah yang mengalir ke celah-celah retakan peluru yang meleset.
Sejak saat itu tanggal 25 Januari bridge pun di kenal sebagai jembatan kematian menuju neraka.
Setelah menambah satu anggota baru yakni Raffif, pada keesokan harinya mereka pun mengadakan sebuah pertemuan dadakan yang mana pimpin oleh rekan Nana kemarin, " kita akan langsung pada topik pembahasan" ujar rekan Nana yang rupanya memiliki nama panggilan yakni Leon.
Sekitar dua puluh orang hadir di pertemuan tersebut tak terkecuali dengan anggota baru yakni Raffif, "Ini sedikit canggung" gumam Rafif tatkala dirinya duduk bersebelahan dengan seorang anak remaja yang tengah memainkan sebuah pisau di tangannya.
Tidak hanya rekan di sampingnya bahkan semua orang yang hadir di pertemuan tersebut memiliki pisaunya masing-masing, saat ia di tawari akan menggunakan apa untuk membela diri ia memilih untuk tidak mengambil apapun dari mereka karena ia menganggap itu sangat berbahaya.
Melihat Rafif sedikit gelisah di dekatnya ia pun menghela nafas, "Jangan takut, kita ini rekan aku juga tidak akan melakukan hal semacam itu padamu" gumamnya tiba-tiba yang mana membuat Rafif sedikit kaget, "M-maaf" pekik Rafif menunduk.
Tak seperti yang di katakan orang-orang, semua rekan-rekan barunya itu terkesan begitu hangat, tak ada yang namanya kekerasan selama ia ada di sini.
Sebelum masuk ke dalam pokok pembahasan, seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan dengan sebuah kotak besi berukuran sekitar dua puluh kali lima belas centimeter di tangannya.
Seorang gadis kecil berpakaian serba coklat mulai meletakan bawaannya itu di atas meja, "Kita bisa mulai" katanya lalu duduk tak jauh dari Leon rekannya tersebut.
"Seseorang mengirimkan sebuah surat, nama pengirim serta alamatnya tidak di ketahui, tapi setelah aku membacanya, sekilas ada sesuatu yang terlintas" ujarnya mulai menunjukkan selembar kertas bertuliskan beberapa poin penting.
"Apa itu dari mata-mata kita?" tanya Nana memotong pembicaraan, "Mungkin begitu tapi-" Menggantungkan perkataannya.
"Di sini tertulis kalau jalan keluar di area tiga memiliki peluang, kita mungkin bisa saja mengambil alih serta menjadikannya milik kita, bukankah itu bagus?" memberikan usulan.
Sebuah rencana pemberontakan sekaligus upaya untuk menguasai jalan keluar rupanya menjadi salah satu poin penting kali ini, mayoritas semua rekan-rekan nya setuju akan pendapat tersebut, namun "Apa itu tidak terlalu terburu-buru?" tanya Nana.
Meski tidak secara langsung tapi ada saja yang tidak setuju dengan usulan Leon,
"Tentu saja tidak, dengan persiapan kita yang sudah matang selama ini di tambah lagi dengan stok senjata yang di persiapkan oleh mereka , tentu saja ini tidak akan terburu-buru malah terkesan sangat sempurna bukan?" mulai terbawa suasana.
Jika kalian mengira kelompok yang berada di satu tempat ini saling memahami maka kalian salah besar, meski ada sebuah cara yang instan demi bisa membebaskan kesengsaraan di wilayah ini namun ada saja yang kurang setuju atau bahkan sangat tidak setuju akan hal tersebut, dan orang tersebut adalah Nana, "Sepertinya tidak bisa" gumam Nana menghela nafas, "Kita baru saja terbentuk tidak kurang dari dua minggu, dan mengenai penguasaan jalur keluar Sepertinya itu terlalu beresiko, dan lagipula kita semua sudah tahu betul kan mengenai selisih kekuatan kita yang bahkan tidak sebanding dengan satu anak buah mereka?" Ujar Nana menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Suasana yang semula biasa saja kini menjadi agak suram, aura ketidak puasan serta kekecewaan sedikit terasa di sini, "Ini canggung" batin Rafif yang kaku saat rekan di sampingnya tadi mulai menggertakkan giginya pertanda tidak suka.
"Tapi kenapa-" tanya Leon yang kurang setuju dengan penjelasan Nana tadi, mau di katakan bagaimana pun di mata rekan-rekannya Nana alias gadis kecil itu hanyalah seorang gadis biasa yang kebetulan memiliki posisi tinggi di dalam kelompok ini, namun "Kalau kita melakukannya mungkin kalian akan mati" gumam Nana mengalihkan pandangannya ke arah lain dari Leon.
Lagi-lagi kata 'mati' menjadi sebuah kata terlarang yang seharusnya tidak di ucapkan, meski demikian harus di akui kalau Nana yang baru saja menginjak usia enam tahun , entah kenapa di saat seperti ini ia malah terkesan seperti menjadi sosok yang paling dewasa, "Hem" entah apa yang sudah ia lalui hingga ia bisa mengatakan hal semacam itu, tapi yang jelas itu sepertinya sulit.
"Kita punya sebuah janji untuk kita tepati bersama-sama yakni hidup untuk kebebasan tanpa adanya korban jiwa, tapi kalau kalian bertindak ceroboh maka janji itu tidak akan pernah terwujud, aku sangat membencinya jadi jangan pernah lagi mengatakan hal tersebut" sambung Nana mengintimidasi.
Beberapa rekannya hanya mengangguk pelan sembari menatap lantai, "Baiklah" gumam Leon dengan raut wajah kesal miliknya.
Terlepas dari pembahasan mengenai pengambil alihan jalur keluar dari tangan para penguasa, Leon yang tidak mendapatkan dukungan penuh atas apa yang di sampaikan nya tadi pun langsung undur diri dan di ambil alih oleh Nana, "Kita mulai" mengambil alih.
Aura kepemimpinan mulai terpancar dari nya, wajah yang serius di tambah dengan senyum menyeringai saat meletakan bawaannya tadi di atas meja ia pun mulai membuka suara, "Ku akui kalau ide tadi cukup menguntungkan bagi kita namun, ada satu hal yang ingin aku sampaikan sebelum kita memulainya" melirihkan suaranya sembari melirik ke arah Leon yang kini tengah menatapnya.
"Aku percaya kalau kita akan berhasil jika kita semua bekerja sama, namun kalian harus ingat satu hal, musuh kita adalah monster mereka sama sekali tidak pandang bulu , mau lawannya anak kecil orang dewasa, laki-laki, perempuan, semuanya tidak ada bedanya di mata mereka, jadi kalau kalian ingin berhadapan langsung dengan mereka kalian harus benar-benar bisa mengalahkan mereka, karena jika kalian hanya berbekal niat dan ambisi saja tidaklah cukup, saat kalian berhadapan dengan mereka dan kalian tidak bisa apa-apa maka sudah bisa di pastikan sebuah peluru akan bersarang di jantung kalian" ujar Nana menunjuk jantungnya sendiri sembari tersenyum menyeringai yang tanpa sadar membuat seisi ruangan menjadi pucat.
Semua raut wajah yang terpancar dari rekan-rekannya sudah bisa menggambarkan tentang sosok Nana yang saat ini tengah berdiri di depannya sana "Ah, aku tahu kenapa dia pantas menjadi pemimpin, ternyata kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yah, " tak bisa berkata-kata.
Di sini sosok seorang pemimpin tidak harus di isi oleh orang-orang yang kuat, melainkan orang-orang yang cerdas, dan mengenai usia itu bukanlah alasan untuk tidak bisa memimpin sesuatu.
"Aku yakin kalau suatu saat ia akan menjadi pemimpin yang hebat" gumam Rafif dalam hati mulai tersenyum tipis tatkala dirinya tanpa sengaja bertatapan dengan sosok pemimpin di depannya itu, "Mari kita mulai" ujar Nana semangat.
Sebuah kertas bertekstur kasar mulai di bentangkan hingga menutupi meja yang saat ini berada di hadapannya, beberapa rekannya mulai terperanjat kaget saat melihat Nana mulai menandai kertas tersebut dengan beberapa warna spidol, "Ini yang kalian butuhkan jika kalian ingin melanjutkan rencana kalian tadi" ujar Nana mengedarkan pandangannya ke arah rekan-rekannya saat ini.
Meski sejak awal Nana sudah tidak setuju akan usulan Leon bukan berarti ia akan menolak mentah-mentah usulan tersebut, ia sudah mengetahui niatan Leon serta rekan-rekannya yang lain sejak lama oleh karena itu ia pun menyiapkan kejutan.
Leon mulai penasaran, "Apa itu?" tanya Leon mulai bangkit menghampiri Nana, "Ini adalah sebuah kunci yang aku dapatkan dari seseorang" kata Nana sedikit bergumam.
"Baiklah" kata Leon mulai memasang bentangan kertas tersebut di dinding hingga memperlihatkan keseluruhan dari isi kertas tersebut, "Wah besarnya" gumam beberapa orang mulai terperangah.
Ada banyak tempat yang sudah di tandai di sana, mengenai letak, nama jalan, struktur batuan hingga tentang kemungkinan terbesar yang terjadi sudah tersaji di sana, "Apa kau yang membuat ini?" tanya Raffif memberanikan diri tatkala dirinya sudah tak bisa lagi membendung rasa penasarannya.
Sejenak Nana hanya diam, "Yah sebenarnya ini bukan buatanaku tapi aku hanya menambahkan beberapa saja di sini" menunjuk ke arah tulisan berwarna merah yang apa bila di baca mengatakan 'Rencana tanpa cacat' membacanya sekilas membuat Rafif kembali berpikir, "Aku tidak paham tapi sepertinya aku mulai paham akan apa yang coba dia sampaikan pada kami" kata Rafif dalam hati.
Seorang anak kecil yang memimpin sebuah kelompok pastinya memiliki sesuatu yang menjadi keunggulannya, oleh karena itu Rafif hanya mengangguk pertanda paham, "Kita akan mulai dari sini" ujar Leon kembali mengambil alih.
Pada akhirnya topik utama pembahasan baru akan di mulai, "Kita akan membagi semuannya yang dua puluh orang ini akan di bagi menjadi sembilan kelompok yang mana terdiri dari beberapa orang, namun seperti biasanya kita hanya akan melakukan pengawasan, tidak ada yang namanya penyerangan maupun penjarahan seperti dulu, di sini kita akan mengawasi saja" Ujar Leon mulai membagi tugas.
"Aku butuh tiga orang untuk bisa ikut denganku ke wilayah utama" ujar Nana menyerobot sembari menunjuk ke arah sebuah gudang yang terletak di tengah-tengah pusat kota, "Aku akan ikut" kata Leon mengajukan diri, "Tidak kau di sini saja, karena ini akan sedikit berbahaya jadi aku butuh dirimu untuk menangani beberapa hal lain" ujar Nana menolak Leon.
Akhirnya ada beberapa orang yang mengangkat tangan untuk mengajukan diri ikut dalam operasi yang akan Nana lakukan, "R1 dan R7 kalian ikut denganku karena kalian sudah terbiasa dengan hal semacam ini" ujar Nana tersenyum ke arah dua rekannya yang tadi mengajukan diri.
"Baik" sahut mereka berdua kompak.
Sebagai catatan sebenarnya semua rekan-rekannya memiliki nama serta julukannya masing-masing, semua itu bertujuan agar bisa mempermudah mereka dalam membagi tugas sekaligus penyamaran.
Setiap kelompok terdiri dari tiga orang dan empat orang, yang mana mempunyai tugasnya masing-masing, ada yang bertugas untuk menyamar serta berbaur dengan beberapa orang yang memiliki keterikatan dengan para penguasa hingga seorang eksekutor, sampai ada yang hanya berjalan-jalan saja demi bisa mengamati keadaan sekitar, meski terlihat sepele namun sangat berguna.
"Baiklah kita akan segera berangkat" kata Leon setelah selesai membagi tugas untuk para rekan-rekannya.
"Terimakasih atas kerjasamanya" sahut mereka semua kompak mulai bergegas menuju tempatnya masing-masing.
Dalam hitungan detik semuannya sudah berada di kelompok yang sudah di tempatkan, "Hati-hati" kata Nana mendahului rekan-rekannya yang lain.
Kali ini Leon bertugas untuk mengumpulkan semua informasi yang ia dapatkan dari para mata-mata yang sebelumnya mereka kirim, sementara Raffif dia yang juga sebagai anggota baru pun di tempatkan di kelompok 7 yang bertugas untuk mengawasi sebuah pasar tak jauh dari tempatnya berada di sini.
"Hati-hati" kata Leon mulai melihat kepergian rekan-rekannya, saat semuannya sudah pergi ia langsung kembali ke tempatnya tadi, namun tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggil namanya, "Leon" panggilnya sontak membuat Leon berbalik badan, "Siapa?" gumam Leon, namun betapa terkejutnya ia saat mengetahui siapa sosok yang saat ini tengah berdiri di depannya, "K-kau".
Sementara di tempat Rafif berada, sebuah bekas pasar yang dulu sangat ramai dengan teriakan para pedagang pun sudah dalam keadaan yang memprihatinkan "Kenapa aku merasa sedikit aneh yah, gimana keadaannya yah" gumam Rafif saat mulai mengingat sosok manis adiknya yang sudah seharian ini tidak ia temui sembari memasuki sebuah pasar.
Keadaannya sudah hancur berantakan sejauh mata memandang sudah tidak ada lagi yang namanya pedagang maupun tempat untuk berdagang.
"Sepertinya kita akan bertemu dengan sesuatu yang menarik" gumam salah satu rekannya mulai mengambil sesuatu dari saku celananya.
"Hey apa yang kau lakukan" pekik Rafif kaget saat rekannya tersebut mulai mengeluarkan pisau di sakunya, "Kau anak baru, lebih baik kau sembunyi karena ini tidak akan menguntungkan mu" katanya mulai mengambil sikap waspada.
Harus di akui kalau suasana di pasar saat ini begitu mencekam, bau tak sedap akibat busuknya sisa-sisa sayuran pun mulai membekap Indra penciumannya, "Ini sangat menyengat" gumam Rafif menutupi hidungnya.
Dan benar saja tak beberapa lama kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara beberapa tembakan yang datang entah dari mana, Alvin yang tak lain adalah R6 rekannya, langsung mendorong Rafif sampai terjatuh ke lantai, "LARI!!" bentaknya langsung berlari bersama yang lainnya, Rafif pun berlari terbirit-birit tatkala tangannya di tarik paksa oleh Alvin, "E-eh tunggu sebentar" kata Rafif hendak melepaskan tangannya namun beberapa saat kemudian saat ia berlari tanpa sengaja ia melihat ada seseorang yang amat familiar baginya tengah bersandar di tembok, "HENTIKAN!!!" langsung terlepas.
Sosok manis yang baru ia singgung tiba-tiba saja terlintas di pandangannya, "CHIKA!!" tanpa Rafif sadari ia malah terperangkap dalam perangkap yang tidak sengaja di pasang oleh mereka "Lepaskan dia!" bentak Rafif tatkala dirinya menjumpai satu-satunya adik perempuan yang ia miliki tengah di todong pistol oleh tiga orang pria tinggi.
Luka di tubuhnya pun tak bisa lagi di toleransi, wajahnya sedikit hancur akibat menerima pukulan dengan sebelah matanya yang terpejam "K-kakak" merintih kesakitan.
Melihat adik satu-satunya yang ia miliki tengah dalam keadaan yang kacau membuatnya kalap "HEH APA KAU BODOH!!" Bentak Alvin yang terus berlari meninggalkan Rafif sendirian.
"Kakak" Isak seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun yang tengah sesenggukan akibat menahan tangisnya, "Apa yang kalian lakukan" tanya Rafif menggertakan gigi.
Luka lebam di wajah serta pakaian yang sudah koyak benar-benar membuat Rafif geram, "AKU TANYA APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN HAHHH!!!" tanpa pikir panjang ia langsung saja berlari dan menyeruduk siapa saja yang ada di hadapannya.
Hingga semuanya terjadi begitu saja, rekan-rekannya pun sudah meninggalkannya, kini adik yang sangat ia sayangi bahkan tengah berada di tangan mereka entah bagaimana keadaan keluarganya yang lain, namun "Aku tidak akan pernah memaafkan mu"
"SATU-SATUNYA HAL YANG AKU SESALI HANYA SATU, YAKNI TIDAK BISA MELINDUNGI KELUARGAKU SENDIRI!!!" Bentak Rafif yang kemudian tak bisa lagi di ceritakan.
----
Satu jam kemudian.
"Hah, kerja bagus" sambut Leon membukakan pintu untuk Nana serta kedua rekannya yang baru saja sampai, "Oh kau, iya terimakasih" balas Nana tersenyum.
Ada banyak barang yang ia bawa dengan kedua rekannya tadi, "Ini tidak seperti kemarin" gumam Nana menyerahkan beberapa benda di tangannya, "Tidak apa" kata Leon tersenyum kaku, "Kenapa?" tanya Nana memiringkan kepala.
Leon hanya diam sejenak sembari meremas barang di tangannya, "Maaf" lirih Leon yang langsung menunjuk ke arah dua orang yang saat ini tengah meringkuk ketakutan.
Saat Nana masuk ia melihat ke dua rekannya tengah duduk dengan tubuh yang gemetar hebat, "Apa terjadi sesuatu?" tanya Nana iseng.
Biasanya mereka akan membalas sahutan Nana dengan riang namun kali ini berbeda,
"Anak baru itu sepertinya tertangkap" kata Leon lirih, mendengar hal tersebut Nana memicingkan matanya tak percaya, "Apa maksudnya?" tanya Nana lagi karena ia menganggap Leon tengah bercanda dengannya, " kau bisa tanya langsung pada mereka" kata Leon mengisyaratkan pada Nana untuk bertanya langsung kepada dua orang di hadapannya yang tengah gemetar itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Nana pada Alvin salah satu rekan yang di tugaskan untuk mengawasi bekas pasar dengan Rafif tadi, namun Alvin hanya diam dengan wajahnya yang pucat, "Hey apa yang terjadi?" tanya Nana lagi kini mulai mendekatkan wajahnya ke arah Alvin.
Pupil matanya mengecil, sementara rekan yang satunya lagi tak mampu menatap Nana seakan-akan sudah terjadi sesuatu yang gawat, "Jadi? apa Rafif sudah mati?" tanya Nana santai dengan harapan itu tidak terjadi namun jawaban mereka "Sepertinya" mendengar itu langsung membuat Nana diam sejenak.
"Dan kalian meninggalkannya?" mulai bergumam, "I-itu" tak bisa berkata-kata karena itu adalah kebenarannya, melihat reaksi kedua rekannya tersebut membuat Nana semakin yakin akan apa yang baru saja menimpa mereka "Hah baiklah, sekarang katakan yang sebenarnya baru aku bisa memaafkan kalian atau tidak" ujar Nana menghela nafas panjang.
Setelah mendengarkan cerita mereka berdua Nana yang kaget sekaligus tidak percaya pun langsung tertawa terbahak-bahak "HAHAHA KALIAN INI!" namun di sela-sela tawanya ia juga langsung mengarahkan belati miliknya ke arah dahi Alvin sembari menatapnya tajam, "Bukanlah sudah kukatakan kalau ada yang mati maka janji kita tidak akan terwujud, kenapa kalian berdua sangat ceroboh hah!!" sedikit menggores dahinya yang membuat Alvin semakin gemetar, "M-maaf" mulai berkaca-kaca.
Untuk sesaat sosok yang selama ini sangat di takuti oleh semuannya mulai kembali muncul "Baiklah aku akan ke sana untuk membawa jasadnya jika itu benar-benar terjadi" gumam Nana mulia melangkahkan kakinya menjauh dari Alvin dan semua rekannya menuju lokasi terakhir Rafif.
"Jangan Nana" teriak Leon hendak menghentikannya namun gagal, "Pada akhirnya dia benar-benar menepati janjinya" gumam Leon menggertakan gigi saat teringat akan apa yang menimpanya dulu.
---
Sesampainya di lokasi terakhir Rafif, ada banyak bekas tembakan yang tersisa di sepanjang dinding yang ia lewati, "Peluru?" gumam Nana memasang wajah serius.
Sejauh mata memandang hanya ada kehancuran yang tersaji di depannya, "Raf-" namun saat akan memanggil namanya ia terkejut tatkala dirinya menemukan sesosok yang cukup familiar baginya tengah duduk dengan bersandar di dinding sembari memeluk seorang gadis kecil di pelukannya, "Ah rupanya begitu" gumam Nana menghela nafas panjang saat melihat Rafif yang ia kenal sudah dalam keadaan tewas dengan keadaan yang begitu terhormat.
"Hey kalian berdua, kesini" memanggil kedua rekannya tadi.
Saat tangannya menyentuh wajah Rafif hanya ada rasa dingin yang ia rasakan, begitupun dengan seorang gadis yang ada di pelukannya.
Matanya terpejam erat seakan-akan tengah merasakan rasa sakit yang teramat luar biasa, tak jauh dari mereka berdua juga terdapat beberapa orang yang Nana yakini sebagai kaki tangan dari para penguasa itu yang juga sudah dalam keadaan tewas.
Pedih rasanya jika harus menyaksikan jasad rekannya sendiri, apalagi ia baru saja merekrutnya kemarin.
"Jadi dia keluargamu yah, maaf karena belum bisa menepati janjiku " lirih Nana mulai menghela nafas , luka tembak tepat di bagian dada Rafif sudah bisa mengatakan apa yang terjadi, "Kau sudah berusaha keras, jadi istirahatlah" tersenyum hangat.
Hingga pada akhirnya apa yang dia inginkan tentang keadilan dan juga keselamatan tidak bisa ia wujudkan, karena seberapapun ia berusaha pada akhirnya ia akan gagal sama seperti sebelumnya.
"Aku benar-benar payah" bergumam.
Hanya dengan melihat raut wajah Rafif yang tersenyum saat memeluk adiknya yang juga tersenyum benar-benar menyayat hati Nana, "Kalau saja aku datang lebih cepat, atau bahkan tidak membawa mu kemarin pasti ini tidak akan terjadi" matanya mulai berkaca-kaca tatkala dirinya harus menelan pil pahit akibat ulahnya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!