Matahari pagi mulai menyinari Kota Densville, burung-burung pun masih berkicau di sekitaran Kota Densville, juga suara-suara kebisingan yang perlahan-perlahan mulai menguak di pagi hari, di saat orang-orang mulai akan beraktivitas. Namun, tidak dengan Nyonya Gya, yang termenung saat mendengar berita di televisi yang lagi-lagi mengabarkan tentang orang hilang, koruptor, dan ... kerusuhan. Sesuatu harus dilakukan, pikirnya. Segera.
Nyonya Gya mengambil ponsel, mengecek beberapa nomor yang tertera di sana, akan mencoba memencet tombolnya, namun diurungkan kembali. Nyoya Gya menarik napas, kemudian menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia sudah berjanji dengan suaminya yang entah sekarang berada di mana, bahwa ia tidak akan ikut mencampuri urusan bisnis rahasia suaminya.
Ia juga teringat bagaimana suaminya selalu memperingatkan dirinya untuk tidak terlibat dengan apa yang sedang dilakukannya, karena justru akan membahayakan dirinya. Nyonya Gya yang sebatang kara tinggal di negara ini, merasa semakin frustasi. Betapa ia ingin melakukan balas dendam atas apa yang menimpa suaminya. Ia sadar bahwa yang akan ia lakukan bukanlah hal sembarangan.
Langkah pertama ia harus menemukan dan mengumpulkan orang-orang yang sesuai dengan persyaratan suaminya yang pernah tak sengaja ia curi dengar saat mengadakan rapat penting dirumahnya. Sekarang, suaminya yang tergabung di organisasi rahasia, lenyap entah ke mana karena harus berurusan dengan hal-hal yang ‘seperti itu’.
Nyonya Gya melihat ke jendela, sedikit terganggu dengan bunyi jendelanya yang tertiup angin, ia menarik napas, dan mengunci jendelanya rapat-rapat, agar tidak ada yang menggangu pemikirannya di saat ia ingin sedang konsentrasi. Ya, ia lakukan ini, harus, untuk kedamaian negeri ini. Dan sekarang ia harus menjalankan rencana pertamanya.
Dalam hati, ia merasa sedikit bersalah dengan pesan suaminya, tetapi pantang menyerah dan duduk berdiam diri sambil menunggu apa yang akan terjadi, bukanlah ajaran keluarganya. Meski ia tahu, bahkan bertemu keluarganya saja masih dalam bayangannya. Ia pun memikirkan penawaran kembali dari Tuan Jose beberapa hari yang lalu saat bertemu dengan dirinya di supermarket.
Pertemuan yang tak sengaja tersebut menghantui Nyonya Gya akhir-akhir ini. Nyonya Gya semakin penasaran ingin menanyakan rencana Tuan Jose. Tak ragu lagi, ia pun menjalankan langkah pertamanya dan mencoba menghubungi nomor ponsel Tuan Jose yang sudah diberikan jikalau Nyonya Gya berubah pikiran. Nyonya Gya memencet tombol call dan bunyi nada sambung langsung terdengar di telinga Nyonya Gya.
Nyonya Gya agak tegang, kembali ragu apakah ia yakin harus menghubungi Tuan Jose. Baru saja dirinya akan membatalkan panggilannya ke Tuan Jose, suara Tuan Jose yang terdengar lelah –tetapi juga terdengar terkejut menyapa dari seberang sana.
“Selamat pagi, Nyonya Gya. Sungguh kebetulan ... sungguh tak terduga.” Suara Tuan Jose tersirat ada rasa senang yang tak bisa ia sembunyikan dalam suaranya.
“Selamat pagi, Tuan Jose. Mohon maaf, saya mengganggu Anda. Ini mengenai pembicaraan kita saat di supermarket.” Nyonya Gya agak kikuk melanjutkan. Tuan Jose di seberang sana tampak mengerti dengan kekikukkan Nyonya Gya.
“Ah ... ya ... ya ... saya mengerti ... mengerti. Anda tidak perlu mengungkapkan sekarang. Mungkin, kita bisa bertemu langsung untuk membicarakannya?” Tuan Jose terdengar berusaha mengerti perasaan Nyonya Gya. Nyonya Gya masih terdiam. Ia pun menambahkan, “Saya tahu, ini tidak mudah buat Anda, Nyonya Gya ... tidak mudah ... tetapi harus ada yang dilakukan, dan kita tahu ... sama-sama tahu ... apa yang harus dilakukan ....” Nyonya Gya menarik napas dalam-dalam. Ia sempat mendengar, di seberang sana, di belakang Tuan Jose, samar-samar suara teriakan marah dan membanting pintu.
“Apa ... apa saya menelepon di waktu yang kurang tepat, Tuan Jose?” Nyonya Gya merasakan tidak seharusnya ia mendengarkan teriakan tersebut. Sudah terlalu banyak teriakan yang ia dengar selama hidupnya.
“Ah ... tidak ... tentu tidak, Nyonya Gya. Itu hanyalah salah satu kemarahan anak muda. Anak muda, Nyonya Gya. Jadi, apakah Anda sudah mempertimbangkan apa yang saya tawarkan beberapa hari lalu?” Tuan Jose terdengar tak sabar ingin mendengarkan jawaban Nyonya Gya.
“Ya ... saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi saya setuju.” Suara Nyonya Gya tercekat. Firasatnya untuk harus melakukan sesuatu semakin kuat. Ia pun menggenggam telepon genggamnya kuat-kuat, hingga tangannya terasa sakit.
“Anda ... Anda setuju?” Tuan Jose ingin mendengar kembali jawaban Nyonya Gya.
“Ya, Tuan Jose ... saya setuju. Saya setuju untuk bergabung dengan Anda, mencari sosok yang kita cari selama ini, yang mungkin bisa membantu permasalahan kita saat ini ....”
Tuan Jose tersenyum setelah mendapatkan jawaban dari Nyonya Gya. Ia akan segera bertemu dengan Nyonya Gya. Ya, setidaknya anggota mereka bertambah. Ia pun tahu apa yang harus dilakukan dengan Nyonya Gya. Nyonya Gya yang kehilangan suaminya yang sekarang entah berada di mana di negeri ini, yang juga adalah sahabatnya, telah meninggalkan mereka karena terseret dengan kasus organisasi yang mencoba menghentikan mereka.
Kini, organisasi mereka yang mencoba menjalankan misi yang sudah disusun dengan baik, telah hancur berantakan. Tuan Jose yang sudah berumur 50 tahunan, yakin, bahwa kali ini mereka tidak akan gagal. Ia sedang berusaha mengumpukan beberapa kandidat murni yang memenuhi persyaratan. Mereka akan disebar ke beberapa organisasi kemasyarakatan. Namun, ada hal-hal yang mengganggunya. Ia harus menemukannya, yang murni dan jarang sekali ditemukan. Ia harus bertemu dengan anak itu. Ya ... anak itu, yang sempat bertemu dengannya di toko buku beberapa minggu lalu.
Energi yang terpancar dari wajahnya, tatapan matanya yang tajam, cara ia berbicara, Tuan Jose yakin seyakin-yakinnya, ia lah yang mereka cari selama ini. Tuan Jose beranjak dari tempat duduknya dan beranjak ke meja kerjanya. Ia melihat catatan-catatan rencananya. Ia masih membutuhkan anggota, sangat jelas seperti itu.
Mengumpulkan dan menjalankan strateginya untuk kembali mendamaikan negeri ini. Namun, pemerintahan yang sekarang tidak percaya padanya, dan mereka harus menjalankan ini semua masih secara diam-diam.
Tuan Jose masuk ke dalam ruang kecil dalam ruangannya. Ruangan tersebut tampak gelap, hanya ada cahaya temaram yang menerangi di sisi kiri kanan ruangan berukuran sempit tersebut. Tuan Jose melihat ke dinding-dindingnya yang temaram. Dengan saksama, ia kembali melihat rentetan nomor yang ada di dinding setengah tanah tersebut.
Tertera nomor angka 1-9. Setiap angka memperlihatkan gambar yang membentuk angka nomor tersebut, dengan gambar – gambar kuno yang terlihat sekilas seperti gambar-gambar hewan. Nomor-nomor tersebut dibentuk oleh energi-energi kepribadian. Singkatnya, ada ‘simbol dan gambar’ yang tercermin sesuai dengan nomor ‘kepribadian’. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh kakeknya. Hal inilah yang harus menjadi fokus utamanya mulai sekarang. Jangan sampai ada yang sia-sia, pikirnya.
Tuan Jose terdiam, matanya makin menyipit, seolah sedang menerjemahkan arti dari simbol-simbol itu. Meski ia sudah tahu sebagian, tetapi ia harus bisa menyelesaikan teka-teki ini lagi, siapa dalang kali ini yang akan kembali mengacaukan kota Densville. Selama ini, Tuan Jose mencoba membatin dengan sendirinya untuk membahas sejarah energi kepribadian yang begitu dahsyat dan tidak banyak yang mengetahui soal ini. Tentu saja, ini bukanlah suatu hal yang bisa dianggap enteng.
Tuan Jose teringat kakeknya yang mengajarkannya mengenai setiap orang yang memiliki energi, tetapi sedikit di antara mereka yang memiliki energi murni. Dari rentetan energi yang tersembunyi dalam diri tiap manusia, banyak faktor yang melatarbelakangi energi mereka yang terpengaruh akan energi lain.
Seyogyanya dan selayaknya, tiap energi yang murni seharusnya bisa mengasah energi positifnya. Namun, yang ia dapatkan, energi sekarang saling bercampur sehingga energi murni yang dimiliki orang tidaklah banyak lagi. Orang-orang berenergi murni inilah yang perlu ia cari. Namun, perpecahan sedang terjadi karena beberapa penguasa mengetahui rahasia di Kota Densville.
Banyak yang menganggap bahwa energi nomor ‘tersebut’ seharusnya disingkirkan, karena mereka yang hanya menginginkan kedamaian tidak pantas untuk ikut berjuang bersama mereka. Pemikiran yang salah. Ya, pemikiran yang salah, batin Tuan Jose. Ia kemudian berjalan lagi dan melihat foto hitam putih, dua orang anak kecil berumur sekitar 9 tahun, Tuan Jose dan sahabatnya puluhan tahun lalu, sedang tersenyum lebar, kedua tangan mereka saling merangkul satu sama lain.
Ia tau bahwa pencucian otak yang dilakukan kawan lamanya yang berada dalam pigura usang tersebut, yang akhirnya pecah kongsi dengannya, telah mengambil orang-orang terbaik dari organisasi mereka, hingga tidak satu pun yang tersisa. Di saat akan menjalankan misinya, banyak hal yang tidak diketahui oleh mereka. Haus akan kekuasaan, jelas bukan itu tujuan organisasi rahasia mereka. Tidak seharusnya seperti ini.
Ia pun menggelar buku-buku tua milik kakeknya. Sambil berpikir keras, tetapi penuh keyakinan, Tuan Jose tampak merasa jalannya semakin terang. Ditambah Nyonya Gya bersedia membantunya. Ini akan lebih mudah dibanding harus sendirian. Dan yang pertama ia lakukan adalah, menemukan orang-orang berenergi murni tersebut, sebelum organisasi lain merekrut mereka terlebih dahulu untuk tujuan yang salah.
Eliya mendengarkan dengan saksama saat ibunya menyanyikan lagu lullaby kesukaannya. Ia duduk di pinggiran tempat tidurnya. Di sebelah ia duduk, kakak kembarnya ikut mengamati ibunya yang cantik sembari menggoyangkan kaki mungilnya yang saling melipat, seperti kebiasaannya selalu saat berpikir. Ibunya tersenyum melihat James, menangkap kakinya dan menurunkannya sambil tetap bersenandung. Eliya tertawa dan menutup mata sambil tersenyum. Mereka sudah cukup besar untuk dinyanyikan lagu lullaby tapi ia menyukai ini. Bahkan James pun tidak pernah protes.
Besok ulang tahun mereka yang ke-9. Ayah mereka yang seorang ilmuwan berjanji akan mengantarkan mereka berkeliling kota, hal yang selama ini Eliya idam-idamkan. Ibunya menyiapkan selimut yang membuat Eliya dan James sontak segera berbaring di tempat tidur mereka masing-masing. Eliya melirik James yang berada di sebelahnya, tempat tidur mereka hanya dipisahkan sebuah meja kecil untuk lampu tidur mereka. James terlihat berusaha tidur meski masih terlihat bahwa ia masih sadar karena Eliya masih bisa melihat James tersenyum samar.
Sepertinya, pikirannya sama dengan James. Meski mereka tidak kembar identik, tapi ikatan kembar mereka cukup kuat. Ibunya selesai menyanyikan lagu lullaby, kemudian menarik selimut untuk menyelimuti mereka bersamaan dengan suara derum mesin mobil yang terdengar depan rumah. Ayah James dan Eliya sudah pulang.
Eliya menutup rapat matanya sambil berpikir dan yakin ayahnya pulang telat malam ini mungkin karena membelikan mereka hadiah. Tetapi, ia merasa suara mesin mobil terlalu berat untuk mobil mereka. Eliya samar-samar mulai tertidur. Baru saja Eliya akan terlelap, terdengar suara pintu yang dibanting dengan sangat keras. Ia dengan samar melihat ibunya keluar kamar dengan cepat. Tak lama dari itu, Eliya samar-samar mendengar teriakan-teriakan, tidak hanya dari rumahnya, namun dari tetangga-tetangga di sebelah rumahnya.
Eliya terbangun. Begitu pula James yang bergerak cepat di sampingnya. Mereka segera turun dari tempat tidur saat mendengar suara teriakan ibunya. Tidak hanya itu, suara ayahnya juga terdengar samar-samar yang sedang berteriak. Eliya dan James mengintip dari pintu kamar mereka. James dengan cepat menghalangi pandangan Eliya. Terdengar suara senapan, teriakan ayahnya dan senapan terdengar lagi. Senyap.
Eliya sempat terdiam beberapa detik sebelum menyadari bahwa ia tidak mendengar suara teriakan ayah dan ibunya lagi. Bersahut-sahutan, begitu banyak suara senapan yang ia dengar dari segala sisi di tetangga mereka. Eliya yang penasaran berusaha menarik baju James untuk melihat langsung apa yang terjadi. Ia terhenyak melihat ayah dan ibunya sudah terkapar di lantai di ruang keluarga depan kamar mereka, dengan darah di mana-mana dan berceceran di karpet biru muda. Ia melihat mata ibunya yang masih membelalak ngeri. Seolah paham ibunya meminta James dan Eliya untuk lari, tanpa sempat berteriak, James menarik lengan Eliya dan membawanya lari dari kamar mereka. James sudah pernah dilatih ayahnya jika dalam keadaan darurat atau sesuatu terjadi pada mereka, “Pergilah ke ruang bawah tanah yang ada di kamar kalian,” Ayah James berkata saat ia melatih James. James menuju ke balik pintu lemari mereka yang memang terdapat jalan menuju bawah tanah.
James menarik lengan Eliya dengan cepat. Eliya menangis tersedu-sedu dan dengan cepat mereka bersembunyi di dalam lemari. Dalam lemari masih penuh dengan baju-baju Eliya dan James, dalam ukuran sempit lemari yang gelap, James meraba-raba mencari-cari kunci untuk membuka pintu bawah tanah, James memimpin dengan mencoba membuka pintu bawah tanah tanpa kunci, tetapi tetap tidak bisa dibuka. James teringat sesuatu, dengan aba-aba tangannya meminta Eliya untuk bersabar dan menunggunya untuk mengambilkan kunci di kamar ayah dan ibunya. Namun, Eliya menunggu dan menunggu di dalam lemari hingga pagi tiba, James tidak pernah kembali membawa kunci mereka untuk berlari menuju ruang bawah tanah.
Eliya dengan samar akhirnya melihat James kecil. “James ... James ... kau dari mana?” Eliya memanggil James, namun yang ia dengar hanyalah bunyi alarm yang sangat keras. Eliya terbangun. Kejadian 8 tahun lalu masih menghantuinya hingga sekarang. Berkeringat dingin, Eliya berusaha membersihkan keringatnya yang bercucuran dengan tisu yang ada di sampingnya. Nona Fugan datang membawa sprei baru dan melihat Eliya dengan pandangan cemas.
“Kau mimpi buruk lagi?” tanya Nona Fugan sambil menyibakkan sprei baru di sebelah tempat tidur Eliya. Eliya tersenyum kecut, tidak menjawab hanya mengangguk dan memperhatikan Nona Fugan membereskan tempat tidur di sebelahnya.
“Apa ada anak baru lagi?” tanya Eliya sambil bangkit dari tempat tidurnya dan mulai membereskan tempat tidur yang berantakan.
“Ya, kali ini korban dari pemboman market, kau sudah melihatnya di koran, kan?” Nona Fugan tersenyum, Eliya balas tersenyum. Ia tahu Nona Fugan tidak ingin membicarakan lebih lanjut. Ia cukup tahu bahwa tiap ada anak korban dari pemboman, dari penyerangan orang-orang tak dikenal, selalu sekamar dengannya, di panti asuhan ini, yang diasuh oleh Nyonya Gerry. Dan setiap anak baru, selalu sekamar dengan Eliya, dengan harapan Eliya yang akan menguatkan hati mereka. Karena, Eliya terbukti masih tetap bisa bersekolah meskipun sudah mengalami masa kelam.
“Mandilah dan turun ke bawah untuk sarapan. Dan kau masih punya waktu untuk menyapa adik-adikmu dulu sebelum ke perpustakaan.” Nona Fugan menutup pintu kamar Eliya.
Eliya duduk di kursi belajarnya dan berpikir. Ia sangat yakin James masih hidup, tapi entah bagaimana caranya dia harus bertemu dengan James. Ia berusaha mencari James di kota Densville tetapi sejak kejadian itu tak ada satu pun yang mengetahui keberadaan James.
Ada yang mengatakan bahwa James ikut dibasmi oleh para penyerang bertopeng hitam tersebut, yang menyerang kawasan militer tempatnya tinggal bersama ayah dan ibunya. Di saat kelam itu, banyak juga yang kehilangan orang tuanya. Sejak saat itu pun, kota militer dan area pemerintahan diperbantukan dari pusat. Eliya yang ditemukan oleh tim penyelamat kemudian dibawa ke panti asuhan. Ia tak hentinya meronta dan menginginkan James kembali bersamanya. Namun, usahanya sia-sia.
Ia yakin tak ada yang bisa membantunya. Kota Densville terlihat sudah mulai kacau tetapi beberapa warga sekitar sepertinya tidak ambil pusing dengan itu semua. Bahkan sekolah-sekolah menengah seperti sekolah Eliya diliburkan oleh pemerintah sampai pertemuan di balai kota selesai. Hal tersebut membuat Eliya bertanya-tanya, mengapa warga di sini tidak berani untuk bersuara. Ia merasa ada yang tidak beres.
Eliya turun dan sarapan sebentar. Eliya melihat di ruang makan ada seorang gadis cantik dengan wajah murung sedang duduk di salah satu kursi di meja makan. Eliya menarik kursinya, melirik sedikit ke gadis tersebut. Nona Fugan mempersiapkan piring dan menaruhnya di meja makan. Ia memperkenalkan Eliya dengan Keyla, gadis yang akan sekamar dengannya. Eliya dengan sopan menyapa dan tersenyum. Sayangnya, Keyla hanya diam saja bahkan tidak memandang Eliya sama sekali. Eliya mengangkat alisnya, berusaha maklum dengan sikap Keyla yang seperti itu.
Anak-anak asuh Nyonya Gerry mulai berdatangan. Suara riuh perlahan memenuhi ruangan makan yang besarnya tak seberapa itu. Beberapa di antaranya ada yang berebutan roti. Mereka bertingkah sangat lucu hingga membuat Eliya menahan tawanya sambil memperhatikan mereka. Ia merasa tidak enak tertawa di saat Keyla di sebelahnya terlihat sedang terpukul. Ada sekitar 15 anak dari anak asuh Nyonya Gerry. Tanpa bantuan pemerintah, Nyonya Gerry membantu anak-anak ini agar mereka mendapat perlindungan yang layak. Menurut Eliya, Nyonya Gerry juga termasuk salah satu yang tidak mempercayai pemerintahan saat ini.
Keyla masih sama sekali tidak tersenyum. Tetapi Eliya bisa mengerti perasaannya. Ia melirik sedikit ke Keyla. Keyla gadis yang cantik dan terlihat seumuran dengan Eliya. Namun, kecantikannya tertutupi oleh rasa pedih yang saat ini disimpannya. Eliya berusaha mencairkan suasana hati Keyla. Ia mengambilkan roti untuknya.
“Ini ... makanlah … kau harus makan sebelum melakukan hal-hal hebat hari ini.” Eliya mengambilkan roti dan susu, menaruhnya di hadapan Keyla. Namun, Keyla bahkan tidak menatap roti maupun Eliya. Ia hanya menatap kosong seolah Eliya tak ada di sana. Keyla sepertinya memikirkan orang tuanya karena ia mulai terisak. Belum sempat Eliya berbicara sesuatu untuk menenangkan, Nona Fugan melihat Keyla dan memberi kode ke Eliya agar tidak berbicara dulu. Eliya mengerti. Eliya baru saja menggigit roti saat Nyonya Gerry datang. Nyonya Gya pun meminta agar anak-anak menghabiskan roti dan susunya. Tanpa bersikap menghakimi, Nyonya Gerry datang dengan diam dan mengambil roti dan susu untuk dirinya sendiri. Keyla yang terisak terdengar semakin keras sehingga anak-anak lain mulai memperhatikan Keyla. Eliya berusaha memberi kode kepada anak-anak seolah-olah tidak ada yang terjadi. Anak-anak asuh Nyonya Gerry, yang sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu khususnya anak-anak baru, mulai sibuk dengan makanan mereka masing-masing. Nyonya Gerry tiba-tiba berbicara pada Cherryl, gadis paling kecil yang melahap rotinya dengan nikmat.
“Apa kau menyukai rotimu hari ini, Cherryl?” tanya Nyonya Gerry sambil tersenyum ke Cherryl. Cherryl yang sedang memakan roti dengan selai cokelat kacang kesukaannya menatap Nyonya Gerry.
“Tentu saja Nyonya Gerry. Roti ini sangat enak sekali!” kata Cherryl kecil sambil menatap Nyonya Gerry. Ia kembali menambahkan selai cokelat kacang di atas rotinya.
“Coba katakan. Bisakah kau jelaskan kepada kami semua mengapa roti ini enak sekali bagimu?” Nyonya Gerry ikut mengambil selai cokelat kacang, “kau membuatku ingin mencobanya, bukankah ini yang sudah setiap hari kita makan bersama?” Nyonya Gerry mengedipkan matanya ke Cherryl.
Cherryl terdiam dan sejenak berpikir. Ia sangat menggemaskan. Ada noda cokelat kacang di pinggiran bibirnya dan membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Nyonya Gerry.
“Yang benar saja, Nyonya Gerry. Tentu saja ini cokelat kacang yang sama dengan kemarin. Aku banyak belajar, bahwa cokelat kacang ini akan terasa lebih senang jika kau memakannya dengan penuh rasa syukur dan melupakan masalah-masalahmu. Cokelat kacang yang ada di roti ini membuatku ketagihan dan memakannya bersama kalian adalah rasa bahagia yang luar biasa.” Eliya menatap Cherryl dengan gemas, tak menyangka jawaban polos Cherryl benar-benar bisa membangkitkan suasana hatinya.
Nyonya Gerry tampak puas dengan jawaban Cherryl. Eliya ikut tersenyum memandang Cherryl. Sungguh, anak ini luar biasa. Kedua orang tuanya pun hilang entah ke mana. Namun, ia masih bisa tersenyum dan menikmati selai roti cokelat kacang ini.
“Cepatlah, kalian akan terlambat ke sekolah. Ini sekolah terakhir kalian sebelum pertemuan balai kota. Eliya, kau akan ke perpustakaan pusat kan? Aku ingin kau meminjamkan buku yang kemarin kuminta padamu. Aku pikir aku butuh beberapa bahan yang bisa kubawakan di pidato di balai kota nanti.” Nyonya Gerry menatap Eliya, Eliya mengangguk. “Dengan senang hati, Nyonya Gerry,” jawabnya singkat. Nyonya Gerry melanjutkan sarapannya, sedangkan sebagian anak-anak juga sudah menyelesaikan sarapan mereka. Satu per satu mulai meninggalkan meja makan.
Eliya sempat terhenyak sebentar teringat dengan kejadian di toko buku waktu itu. Ia sempat bertemu dengan seorang pria tua yang menatapnya begitu lama. Namun, bukan karena tertarik kepada Eliya. Pria lebih dari setengah baya tersebut sepertinya menatap Eliya dengan ketertarikan akan hal lain. Eliya yakin kakek itu ingin membicarakan suatu hal.
Tetapi Eliya yang sudah sangat terburu-buru segera meninggalkan perpustakaan. Dan ada hal lain yang juga mengganggu Eliya. Pertemuan warga di balai kota itu, yang sudah beberapa minggu ini selalu dibicarakan warga. Tak ada pertemuan sejak 8 tahun lalu. Eliya menebak apa yang pemerintah inginkan untuk kota Densville kali ini. Namun, pembicaraan mengenai pertemuan di balai kota ini sudah menjadi bahan pembicaraan orang-orang di kota Densville. “Kau tidak terlambat, Eliya?” Suara Nona Fugan yang bertanya pada Eliya sambil membereskan meja membuyarkan lamunan.
“Ah ... kurasa.” Eliya tersenyum dan pamit. Sebelum pamit, ia merogoh saku celana jeans-nya dan memberikan sesuatu ke tangan Keyla. “Makanlah ini, ini permen cokelat kesukaanku dan terbaik dikota ini. Percayalah, kau pasti akan menyukainya juga.” Kali ini Keyla menatap wajah Eliya, Eliya tersenyum meski Keyla tak tersenyum. Eliya pamit dan berharap akan bertemu dengan kakek itu lagi saat ia melewati toko buku.
Di daerah sekitar pusat kota Densville, beberapa gedung-gedung yang tidak digunakan lagi telah dijadikan pemerintah sebagai tempat-tempat hiburan masyarakat. Salah satu gedung yang cukup besar dijadikan sebagai gedung opera yang menjadi hiburan warga kota di setiap akhir pekan. Di dalam gedung opera dengan warna dinding yang dicat warna warni, ada sebuah ruangan santai yang sempit. Dalam ruangan itu, perdebatan cukup sengit terjadi antara si artis dan sutradaranya dalam ruangan tersebut.
“Yang benar saja, Tuan Tom, kau ingin aku memerankan peran ini? Tidak, tidak, aku tak akan pernah memerankan peran ini!” Angela melempar kertas skenario yang harus diperankannya. “Tidak akan ... bagaimana bisa aku berperan sebagai pembunuh si gadis kecil? Mereka tidak bisa memintaku melakukannya.” Angela menghembuskan napasnya keras-keras. Ia memperhatikan Tom, sang sutradara opera yang malah sibuk memilih kaset-kaset film lama di rak nya. Ia tidak menjawab pernyataan Angela.
“Apa kau tak dengar? Aku menolak memerankan ini.” Angela menghentakkan kakinya, dengan gusar mengambil kertas yang ia lempar tadi dan melemparkannya ke meja di samping Tom berdiri.
Tom melihat kertas tersebut dan mengambilnya dengan santai. “Ini tak buruk, Angela sayang. Mereka menginginkan kau yang memerankan ini. Kau tahu, kan? Mereka telah memberimu sponsor banyak. Lakukan saja, jadilah profesional.” Tom mengambil salah satu film dokumenter lama yang sudah ia tonton berulang-ulang dan duduk di sebelah Angela.
“Biar bagaimanapun, kau harus memerankannya. Kau akan tahu akibatnya, kan, kalau kau menolak?” Tanya Tom, serius tapi santai. Angela memutar bola matanya dan kembali cemberut.
“Kau memintaku menjadi pembunuh gadis kecil. Kau tidak ingat dengan masa laluku?” Angela balik bertanya sambil menatap Tom dengan wajah marah. Tom tertawa meringis. Sambil mengangkat kaki ke meja ia berkata, “Yeah ... dan juga masa laluku.” Tom melirik Angela. Angela kesal dengan Tom dan mencoba berpikir jernih. Mereka memang memiliki masa lalu yang sama. Di saat penyerangan itu terjadi, Tom kehilangan orang tua sedangkan Angela kehilangan seorang adik. Angela sudah lama kehilangan orang tuanya dan ia hanya dibesarkan oleh seorang bibi yang sangat kasar padanya. Tomlah yang selalu menghiburnya saat ia sedih. Bahkan, di saat mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai.
“Kenapa kita tidak menolaknya saja, Tom. Ini sudah keterlaluan. Aku tidak akan melakukannya.” Angela bersikeras. Angela mengingat masa-masa sulitnya ketika ia ditinggalkan oleh adik yang sangat ia sayangi. Lily kecil yang malang. Sekelebat bayangan Lily yang sedang berlarian di taman, tertawa ceria dengan rambut cokelat gelap sebahu yang tergerai. Sayangnya, saat sedang tertawa itulah tiba-tiba sebuah pistol berada di hadapan Lily. Angela sontak menutup matanya. Ia tidak sanggup meneruskan ingatannya.
Tom menghela napas. “Bukankah ini menarik? Mari kita lihat. Pertunjukan seperti apa yang mereka inginkan di balai kota nanti. Semua orang di Kota Densville akan berkumpul dan mendengarkan program pemerintah terbaru. Lakukan saja tugasmu. Kau akan lihat apa yang terjadi.” Tom berujar serius. Angela melirik Tom, memperbaiki posisi duduknya.
“Apa yang kau rencanakan, Tom?” Ia melihat ada kertas yang sudah ada di tangan Tom. “Kau baca saja skenarionya. Berlatihlah seperti skenario yang tadi kau buang, namun, dipertunjukan … mmm … tunjukkan wajah mereka yang sebenarnya. Kau mengerti, kan?”
Angela merebut skenario di tangan Tom. Matanya berkaca-kaca membaca sekilas halaman belakang skenario yang ditulis oleh Tom. Ia menatap Tom dengan pandangan tak percaya. Ia pun yakin dengan apa yang akan ia lakukan.
“Setuju. Aku akan melakukannya, inilah yang kuinginkan,” ucap Angela, memutar bola matanya.
“Mereka akan lihat, bahwa ketidakadilan sudah terjadi di kota Densville. Dan pemerintah pusat akan menyelamatkan kota Densville dari cengkeraman orang-orang tak bertanggung jawab,” kata Tom. Tom yang sebatang kara, bahkan tetap berpikir positif dengan pemerintahan di kota Densville. Angela mendengus tak percaya dengan ucapan Tom.
Angela sadar bahwa tidak ada yang bisa dipercaya saat ini. Kehidupan Angela yang keras membuat Angela sangat sulit memercayai orang, terutama untuk keadaan kota Densville saat ini. Ketika teror yang berada di mana-mana. Entah kenapa pemerintah terasa lamban dalam menangani hal ini. Ruangan santai sempit itu tiba-tiba sunyi karena Angela dan Tom sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Hai, mutiaraku!” Sapa seorang pria botak, berbadan gempal dengan tinggi tidak sampai menjangkau dahi Angela. Pria botak itu menggunakan syal, topi kuno yang entah kenapa sangat cocok dengannya. Ia datang ke ruangan Angela dan Tom. Dengan gemulai ia mulai berjalan mengelilingi Angela yang tampak cuek, sedangkan Tom tidak bergeming. Meski sudah berumur 45 tahun, Tuan Anderson selalu terlihat menawan dengan pakaiannya yang nyentrik. Dia adalah bagian wardrobe rangkap juga menjadi manajer Angela.
Angela tersenyum namun matanya tetap menatap kosong dengan tajam. Sedangkan Tom hanya melambaikan tangannya, tidak melepas pandangannya ke video dokumenter yang sekarang sedang ia setel.
“Tampaknya sang burung kecil masih menatap kesepian dalam film kuno yang tidak tampak dan tidak jelas siapa pemeran utamanya. Kau sangat menginginkan wanita yang ada di dalam film itu, ya, Tommy? Atau kau menginginkan film ini dipentaskan kembali?” tanyanya.
“Ha-ha, jangan mimpi,” gumam Angela dengan nada ketus. Ia duduk di kursi dekat meja kecil dalam ruangan santai tersebut tepat di bawah cahaya lampu. Angela tampak seperti seorang putri yang sedang merajuk karena pangeran yang diinginkan tidak kunjung datang. Seperti itulah Tuan Anderson mengartikan arti ekspresi Angela yang jarang tersenyum, selalu ketus dan mengatakan segalanya dengan apa adanya. Atau lebih tepatnya,
seenaknya. Tuan Anderson memperhatikan make up Angela yang saat ini tampak berantakan. Ia meringis dengan tatapan menghina ke Angela. Tom masih terpaku dengan film dokumenter yang ia tonton. Film sekitar 8 tahun lalu, ketika peperangan dimulai dan kekacauan terjadi di kota Densville. Banyak anak hilang dan banyak juga yang tidak selamat.
“Kurasa aku mau memerankan tokoh pria ini,” Tom dengan cuek menyambut ledekkan dari Tuan Anderson sambil menunjuk seorang saksi yang sedang diwawancara. Pria saksi tersebut sedang mengatakan bahwa Kota Densville di bawah ancaman namun tidak bisa diambil alih oleh siapa pun.
Tuan Anderson berdehem. Ia duduk di sofa di sebelah Tom dan merangkul bahu Tom.
“Kurasa pertunjukan nanti akan sangat diminati. Jangan mengecewakanku, Tom. Kita sudah bekerja keras agar panggung opera ini diizinkan pemerintah untuk bisa mengadakan pertunjukan. Kau akan menyebabkan matinya reputasiku yang sudah kubangun belasan tahun.”
“Pria ini!” Teriak Tom yang kemudian memencet tombol pause di remote, tak menghiraukan kata Tuan Anderson. Monitor memperlihatkan seorang pria tua yang terlihat berada di belakang saksi, meski kamera tidak fokus padanya, namun terlihat bahwa ia sengaja menampakkan diri. “Pria ini yang kemarin kuceritakan padamu!” katanya pada Angela. Angela yang sedang memoleskan cat kukunya di meja melirik sedikit ke layar, tampak tidak tertarik. Tom menoleh ke Tuan Anderson yang posisi duduknya jadi tegang, tanpa diduga malah wajah Tuan Anderson yang tampak pucat pasi.
“Dia? Kau mengenalnya Tom? Kurasa ... kurasa aku mengenalnya.” Tuan Anderson menelan ludah. Ia tampak tertarik. Semakin mencoba mengingat pria tersebut, badannya semakin tegang. Angela kelihatan ikut tertarik mendengar suara Tuan Anderson yang kedengarannya tidak biasa. Yang Angela tahu, memang Tuan Anderson ‘terjebak’ di kota Densville. Karena, saat kejadian 8 tahun lalu, ia hanya singgah untuk mengadakan pertunjukan bersama rombongan sirkus sandiwaranya. Ia tidak mengenal siapa pun di kota ini. Dan yang Angela ingat, pria yang diperlihatkan Tom ini adalah pria yang selama ini menghantui pikiran Tom. Tom selalu kepikiran karena pria ini tampak misterius. Tom tidak henti-hentinya membicarakan pria ini dan Tom yakin dan sangat yakin pernah melihatnya di suatu tempat namun ingatan Tom kurang jernih. Tak heran Tom senang menemukannya di film ini, pikir Angela dalam hati.
Angela memperhatikan layar monitor. Ia penasaran dan bertanya ke Tuan Anderson. “Memangnya dia siapa? Bagaimana Anda mengenalnya?” tanya Angela terdengar ingin tahu.
“Dia ... dia pria yang menuliskan simbol ….” Tuan Anderson tercekat. Matanya yang suka menatap orang dengan tatapan hina berubah seperti mata yang tersirat sedikit ketakutan.
“Simbol?” Angela dan Tom bertanya bersamaan.
“Aku tak ingat ... aku tak ingat.” Tuan Anderson menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tampak seperti bocah 5 tahun yang dipaksa mengaku kesalahan yang ia tidak lakukan.
Tom berdiri dan menuju buku-buku koleksinya di sebelah kaset-kaset film nya. Ia mengambil sebuah buku bersampul biru tua yang agak usang. Dengan ragu-ragu tapi penuh ingin tahu ia membuka bukunya.
“Apakah ada yang seperti ini?” Tom memperlihatkan gambar-gambar dalam buku itu.
“Hmmm ... biar kulihat.” Tuan Anderson memicingkan matanya, ia tidak memegang buku Tom, hanya memandangnya dari jarak jauh. “Kurasa ... aku tak bisa ingat.”
Tom membuka halaman-halaman berikutnya sementara Tuan Anderson menyimak dan menggeleng setiap gambar yang diperlihatkan oleh Tom tidak bisa diingat lagi. Angela ikut menunggu semakin penasaran. Ia ingin tahu apa masalah Tom yang sebenarnya dengan pria yang ada di video dan juga gambar-gambar yang ada di buku usang Tom. Tiba-tiba Angela dikagetkan dengan suara Tuan Anderson. “Ini dia!” Pekiknya. “Ya! Ini dia! Aku mengingatnya! Karena ... karena Kamelia sempat memperlihatkan gambar ini sebelumnya.”
“Apa ini, Tom?” Angela makin tidak suka dengan rasa penasarannya yang masih membuncah sedangkan pembicaraan Tuan Anderson dan Tom makin absurd baginya. Gambar apa? Tanyanya dalam hati.
Angela melirik. Ia melihat gambar seperti naga api yang melingkar dan membentuk seperti ... seperti sebuah angka.
“Kamelia yang malang. Ia menceritakan padaku, bahwa seseorang akan membawanya ke tempat yang ia idamkan. Cocok untuknya. Ia akan dipuja tanpa harus bekerja keras. Tempat di mana ia akan menjadi dirinya sendiri. Kamelia ... sekarang aku ingat, karena seorang pria mendatanginya setiap malam. Tapi ... tapi ku tak pernah bertemu ....” Tuan Anderson bersandar ke sofa, gaya perlentenya hilang seiring ketegangan bertambah dalam tubuhnya.
“Kamelia, di malam penyerangan itu, ia malah menghilang.” Tuan Anderson melanjutkan ceritanya.
“Menghilang?” Tom memperhatikan gambar tersebut sambil bertanya.
“Menghilang. Tepatnya, tidak ditemukan,” kata Tuan Anderson.
“Hubungannya dengan pria di video ini?” Angela menatap Tuan Anderson, sekarang ia ikut berdiri di belakang sofa tempat Tom dan Tuan Anderson duduk.
“Ah, ya. Pria ini tak lama datang ke tenda kami, ia menanyakan apakah ada tanda-tanda atau apa pun yang pernah kami lihat, dan ia memperlihatkan gambar yang pernah Kamelia tunjukkan.”
Tom dan Angela bertatapan dan kembali melihat Tuan Anderson.
“Dan kurasa, pria tersebut berusaha mencari siapa saja yang pernah melihatnya. Sayangnya, hanya aku yang ditunjukkan oleh Kamelia, dan Kamelia menghilang. Pria ini pun menghilang.” Tuan Anderson menarik napas, “Kamelia yang malang. Kuharap bisa bertemu lagi dengannya.” Ia menoleh ke Tom, dan matanya kembali dengan mata normalnya yang penuh hinaan ke orang-orang. “Lantas, apa hubungan pria ini denganmu, Tom?” tanyanya.
Tom terhenyak. Ia tak sanggup mengatakan, bahwa pria ini juga sempat mengajaknya bicara, meski hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti menanyakan alamat. Sayangnya Tom tidak begitu mengacuhkan. Namun, beberapa kali ia melihat pria ini seolah sedang menyelidiknya, pria tua tersebut juga seolah terang-terangan ingin dikenali Tom, dan ingin diketahui Tom bahwa dirinya memang sengaja menemui Tom. “Ia bahkan membeli karcis pertunjukan,” Tom menjawab, menginformasikan ke dirinya sendiri, tidak nyambung dengan pertanyaan Tuan Anderson.
“Well ... apa pun itu, Tom, jangan coba-coba berbuat macam-macam.” Ia mengambil tongkat kecilnya dan memukulkannya sekali ke pinggang Tom. “Pertunjukan sebentar lagi. Jadi anak baik, tim yang baik, dan jaga sikapmu Angela, sudah waktunya kau harus dewasa.” Ia menoleh ke Angela yang langsung membuang muka tak peduli dan kembali ke kursi duduknya.
Tuan Anderson berjalan ke luar ruangan. “Baiklah anak-anak, apa pun yang kukatakan, jangan dipikirkan. Kalian tahu kan di pertemuan balai kota nanti aku akan terlambat jadi tak ada yang mengawasi pertunjukkan kalian kali ini. Sahabatku Lorenza ingin menemuiku di hari itu sebelum ke balai kota dan ini sangat mendadak, entahlah apa yang terjadi, sudah lama aku juga tak bertemu dengannya. Jadi aku bisa saja melewatkan pertunjukkan drama kalian. Dan kau, Tom, mungkin pria ini hanyalah pria kota Densville yang kebetulan mencari seseorang dan tertarik dengan pertunjukan kita, tak perlu mencari tahu atau penasaran. Fokus, fokus, dan ... fokus,” ia memelankan suaranya, yang entah mengapa malah terdengar mengerikan. Tuan Anderson keluar dari ruangan, meninggalkan Tom dan Angela yang menatapnya keluar ruangan.
Angela mendekati Tom. “Kau yakin, mau melakukannya?” tanya Angela, ia melipat lengannya, pertanda bahwa ia setengah marah, karena suaranya malah makin tenang.
“Yah, kurasa. Kurasa untuk memancing ini semua, dan menguak rahasia ini semua, aku yakin ini semua berkaitan.” Tom membuka buku usangnya, di sana ia menggambarkan simbol, kemudian menunjuk gambar pria di video, dan kemudian gambar pemerintahan yang ada di halaman bukunya.
“Bagaimana kita mencari tahu kalau ini semua berhubungan?” tanya Angela, ia tampak ketakutan namun berpura-pura tegar.
“Mari kita lihat reaksi pemerintah, atau oknum lainnya, ketika kita pentaskan apa yang sudah menjadi misi kita,” ujar Tom sambil mematikan monitor.
“Ini terlalu beresiko. Apa kau yakin?” Angela memegang lengan Tom, Tom menatapnya.
“Yakin. Jika kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu, dan padamu saat itu, hanya ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan.” Tom menutup pembicaraan dengan melengos pergi.
Angela yang kebingungan hanya bisa menatap Tom yang keluar dari ruangan santai mereka, sedikit hampir berubah pikiran karena tidak yakin dengan rencana Tom dan apakah ia yakin mau melakukannya di pertunjukan nanti sesuai arahan Tom.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!