"Permisi Bu, ini pakaian ibu," ujar Gea Morina seraya menyerahkan kantong hitam besar berisi pakaian yang sudah ia cuci dan setrika.
"Oh, nak Gea! Makasih ya nak! Tunggu sebentar ya!" Ujar ibu yang menjadi langganan Gea untuk minta cucikan bajunya. Lalu ibu itu masuk ke dalam rumahnya dan tak lama keluar lagi. "Nih nak, itu upah Minggu ini dan ini ambil. Ibu kemarin buat kue. Silahkan dicicip ya, nak!" ujar ibu itu seraya menyerahkan uang senilai 250 ribu dan sebuah box kecil berisi kue.
"Ya ampun, makasih banyak ya Bu! Tau aja Gea belum sempat sarapan. Hehehe ... " ujar Gea seraya terkekeh ceria.
"Tuh, bener dugaan ibu! Kamu itu terlalu bekerja keras, nak sampai mengabaikan kesehatan kamu sendiri," tukas ibu bernama Ayu itu yang memang sudah tahu bagaimana kehidupan Gea sejak kecil sebab ibu Ayu merupakan tetangga Gea. Ibu Ayu iba melihat gadis 23 tahun itu, dimana gadis-gadis seusianya sedang sibuk bersenang-senang dengan teman-temannya, Gea justru sibuk banting tulang untuk mengobati penyakit ibunya juga memenuhi segala kebutuhan hidup ia dan ibunya.
"Gea nggak papa kok, Bu. Gea sehat. Nih, lihat, berkat kerja keras, Gea jadi ada ototnya," gurau Gea seraya terkekeh geli. Ibu Ayu pun ikut terkekeh melihat tingkah Gea yang tetap ceria meskipun hidupnya jauh dari kata bahagia. "Gea pamit dulu ya, Bu! Udah waktunya buka minimarket," pamit Gea.
"Hati-hati di jalan ya nak! Jangan lupa makan kue dari ibu biar tambah strong!" ucap Bu Ayu sambil melambaikan tangan pada Gea yang sudah mulai mengayuh sepedanya yang dibalas Gea dengan lambaian tangan pula.
***
"Selamat datang di Happy Mart! Selamat berbelanja!" ucap Gea saat ada pelanggan yang masuk ke dalam minimarket tempat dia bekerja dengan tangan yang tetap sibuk menscreening belanjaan pelanggan.
"Mau tambah pulsa, kak?" tawar Gea pada pelanggan yang usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan dirinya.
"Oh, boleh! Saya mau yang 100 ya!"
"Nomornya?"
"08575xxxxxxx."
"Udah kak, silahkan dicek," ujar Gea setelah mengisikan pulsa pelanggan tersebut.
"Ya, udah masuk," sahutnya setelah mengecek ponselnya.
"Jadi totalnya 289.000 kak," ujar Gea. Lalu perempuan itu menyerahkan 3 lembar uang seratus ribuan pada Gea. Gea pun segera mengambilnya dan menyerahkan kembaliannya seraya mengucapkan terima kasih dengan ramah.
Sore hari, sepulang bekerja, Gea kembali mampir ke rumah Bu Ayu dan pelanggan lainnya untuk mengambil pakaian kotor. Ia akan mencucinya pagi-pagi sekali. Sedangkan menyetrikanya saat malam hari, sehingga keesokan harinya bisa segera ia antarkan ke pelanggan dalam keadaan yang sudah bersih, rapi, dan wangi.
"Bu, makan yuk!" ajak Gea pada sang ibu yang tengah bersandar di sandaran ranjang yang terbuat dari rangkaian besi yang merupakan ranjang model lama peninggalan mendiang orang tua sang ibu.
Ibu Gea, Martini pun tersenyum lalu mengusap surai panjang Gea yang masih basah karena belum lama selesai mandi.
"Maafkan ibu, ya nduk, sudah buat kamu kesusahan kayak gini," ucap Ibunya dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya ia tak tega membuat anaknya tersebut harus banting tulang setiap hari. Bahkan Gea sampai tak pernah menyempatkan bersenang-senang ataupun berkumpul dengan teman-temannya karena terlalu sibuk mencari pundi-pundi rupiah dari pagi hingga matahari terbenam.
"Bu, kok masih aja sih ngomong gitu! Entar Gea ngambek lho!" cebik Gea yang kesal karena ibunya selalu saja merasa bersalah saat melihatnya harus banting tulang setiap hari.
Martini tersenyum lirih, anaknya memang sangat tak suka melihat ibunya tampak melow karena melihatnya selalu bekerja keras tak kenal waktu.
"Iya, iya, maaf. Kamu masak apa, nduk?"
Gea pun tersenyum sumringah melihat senyum sang ibu.
"Gea masak tumis udang brokoli, Bu. Eh, ada kue juga. Tadi dikasih sama Bu Ayu. Kuenya enak lho, Bu," ujar Gea semangat.
Kuenya memang sangat enak. Karena terlalu enak, ia pun tak rela menghabiskannya seorang diri. Setelah mencicipi satu potong, Gea kembali menyimpan kue tersebut agar bisa ia santap bersama sang ibu.
"Oh ya! Ayu itu emang dari kecil baik banget sama ibu. Padahal ibu sama Ayu itu udah terpisah bertahun-tahun, tapi waktu kita ketemu lagi saat pindah ke sini, eh dia masih ingat dengan ibu dan masih baik aja sama kayak dulu. Anak-anaknya juga baik," cerita Martini saat mengingat masa lalunya dahulu dengan Bu Ayu.
"Iya, Bu. Keluarganya juga harmonis. Pak Toni juga sayang banget sama Bu Ayu. Udah baik, cantik, beruntung banget ya Bu jadi Bu Ayu." Mata Gea menerawang. Mengapa nasib mereka tak seindah keluarga Bu Ayu.
"Udah yuk, katanya mau makan! Ibu udah lapar nih!" ujar Martini lemah.
Lalu Gea pun segera mengambilkan nasi dan sayur untuk ibundanya. Gea pun menyuapi ibunya dengan telaten dan penuh kasih sayang. Setelah selesai menyuapi ibunya makan, Gea mengambil obat dan segelas air putih kemudian membantu ibunya minum obat. Setelah selesai, barulah ia makan sembari menunggui sang ibu terlelap.
"Ibu yang kuat ya! Gea akan berjuang agar ibu bisa sehat. Gea nggak mau kehilangan ibu. Gea nggak punya siapa-siapa lagi selain ibu. Gea nggak masalah kok banting tulang setiap hari asalkan ibu tetap sehat dan tersenyum, itu udah buat Gea bahagia," gumam Gea sembari menggenggam erat tangan ibunya kemudian mengecupinya.
Setelah selesai makan, ia segera membereskan piring kotor dan mencucinya. Sesudahnya, ia mulai menyetrika semua pakaian yang sudah kering agar besok pagi bisa segera ia antarkan kepada pemiliknya.
***
"Istri kamu mana?" tanya Nathalia pada sang putra setelah masuk ke dalam rumah super besar milik putranya itu.
Calvin hanya bisa menghela nafas panjang, selalu saja seperti itu. Setiap ibunya datang, pasti yang ia tanyakan keberadaan istrinya, bukan bertanya bagaimana kabar dirinya. Tapi ia maklum, itu karena setiap ibunya datang, istrinya tak pernah ada di rumah.
"Cia sedang berada di Prancis, ma. Dia ada peragaan busana di sana. Ia didapuk sebagai desainer berbakat dari Asia mewakili Indonesia," ujar Calvin seraya menghempaskan bokongnya di sofa yang berseberangan dengan sang ibu.
"Kontes, peragaan busana, parade busana, lomba, ini, itu, segalanya diikutin, kayak nggak ada puasnya. Mau sampai kapan kalian kayak gini? Kamu itu harusnya tegas Vin sama istri kamu itu? Mana tanggung jawab dan kewajiban dia sebagai seorang istri? Sampai sekarang, mama nggak pernah melihat sekalipun dia ngurusin kamu. Nikah itu bukan cuma itu menyenangkan hasrat duniawi, Vin. Istri itu bukan cuma partner di atas ranjang. Ada hak dan kewajiban yang mesti dilakukan. Kamu lihat mama, sebelum menikah mama juga wanita karir, setelah menikah pun masih tapi mama masih ingat tanggung jawab dan kewajiban mama sebagai seorang istri. Apalagi saat kamu lahir. Mama rela melepaskan karir mama demi fokus sama kamu. Setelah kamu cukup umur, baru mama terjun lagi ke dunia bisnis yang sempat mama tinggal tapi tetap mama nggak serta merta melepaskan tanggung jawab mama ke kamu dan papa. Seharusnya kalian ngerti itu. Jangan cuma mikirin karir dan popularitas aja. Kalian ini udah 3 tahun menikah, tapi masih kayak gitu-gitu aja. Apalagi mama juga udah kepingin gendong cucu, tapi istri kamu itu malah nggak mau. Takut bener karirnya hancur gara-gara hamil. Pemikiran istri kamu itu benar-benar kacau. Nyesel mama kasih restu ke kalian. Kalau tahunya begini, mending kamu nggak usah nikah sekalian. Udah nikah tapi masih kayak bujangan, nggak ada yang ngurusin. Apa kamu nggak pingin kayak papa kamu, ada yang urusin? Makan disiapin, tidur ditemenin, pulang kerja ada yang menyambut, pergi kerja ada yang antar sampai ke depan pintu, pakaian disiapin, dasi dipasangin, mau ke pesta ada yang temenin. Kamu nggak pingin kayak gitu?" omel Nathalia yang sudah sangat jengah melihat kelakuan sang menantu yang jauh dari harapannya.
Calvin terdiam membisu. Ia tak mampu berkata-kata. Dalam hati pun sebenarnya ia ingin seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, istrinya lebih mementingkan karirnya dan ia tidak ingin menjadi penghambat karir sang istri. Ya, mungkin ini merupakan definisi bucin. Sepertinya Calvin Alviano telah mejadi bucin seorang Anastasia Hill sehingga ia menerima saja apa yang ingin dilakukan sang istri. Mungkin sebagian orang akan menilainya bodoh, tapi mau bagaimana lagi bila cinta sudah membutakan akal sehat seseorang sehingga apapun yang dilakukan meskipun itu salah tetap saja ia benarkan.
Halo kak, mohon dukungannya ya! Mohon tap love, like, komen, dan vote, serta tonton iklannya ya! Novel ini othor ikutin lomba dengan tema konflik rumah tangga dan POV pelakor. Terima kasih. 🙏🙏🙏🥰🥰🥰
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Dddrrttt ...
Melihat nama pemanggil di layar ponselnya, Gea pun segera meminta bantuan temannya agar menggantikan dirinya sementara di meja kasir.
"Li, tolong gantiin aku sebentar ya! Ada telepon nih, kayaknya urgent!" ucap Gea dengan memasang wajah memelas.
Lita yang melihat raut wajah khawatir pada Gea pun menganggukkan kepalanya.
"Oke! Buruan gih!" ucap Lita seraya berganti posisi dengan Gea.
Gea pun segera mencari tempat yang cukup sepi untuk mengangkat panggilan itu.
"Halo," ucap Gea saat panggilan itu telah ia angkat.
"Ge, pulang sekarang nak! Ibu kamu, ibu kamu pingsan di depan kamar mandi. Kakinya membengkak," ujar bude Ita panik.
Mendengar penuturan bude Ita, sontak saja membuat Gea panik bukan kepalang. Ia pun bergegas mendekati meja kasir meminta tolong Lita agar menyampaikan izinnya pada pemilik minimarket saat datang nanti.
"Ta, tolong sampaikan sama Bu Ratih, aku izin pulang lebih awal ya! Ibuku pingsan. Aku takut kenapa-napa dengan ibuku," ujar Gea seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada dengan wajah memelas menahan tangis.
"Sorry Ge, bukannya aku nggak mau nolong. Tapi kamu udah keseringan kayak gini. Aku takut Bu Ratih marah lagi. Kamu ingat kan ancaman terakhirnya tempo hari, kalau kamu pulang sebelum waktunya lagi, kamu bakalan dipecat," tukas Lita mengingatkan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Tapi Ta, aku takut terjadi sesuatu pada ibuku. Aku harus segera memlbawa ibuku ke rumah sakit. Andai ada yang bisa aku andalkan, aku nggak mungkin sepanik ini," ucap Gea sambil menahan isakannya. Air matanya tumpah karena terlalu mengkhawatirkan keadaan sang ibu. Sebenarnya ini bukan salah Bu Ratih. Bu Ratih sudah sering mengizinkannya pulang lebih awal. Tapi beberapa bulan ini kesehatan ibunya memang makin menurun. Alhasil, ia jadi lebih sering meminta izin pulang lebih awal, lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Andai ia memiliki uang yang banyak tentu ia akan memilih merawat ibunya di rumah sakit saja agar bila terjadi apa-apa pada sang ibu ada tenaga medis yang siap menanganinya.
Lita menghela nafas panjang, ia pun iba melihat bagaimana khawatirnya Gea. Bila ia mengalami apa yang Gea alami sekarang, tentu ia akan berbuat hal yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, ia juga kasihan pada Gea bila sampai harus dipecat dari pekerjaannya. Sedangkan kebutuhan untuk hidup dan berobat ibunya saja pasti membutuhkan uang yang banyak. Sedikit banyak, ia tahu tentang Gea yang harus merawat ibunya yang sakit-sakitan seorang diri. Kalau ia dipecat, bagaimana ia bisa membiayai pengobatan ibunya yang tidak sedikit. Apalagi tidak mudah untuk mencari pekerjaan di zaman seperti ini.
"Ya udah, entar aku sampaikan dengan Bu Ratih. Tapi ... aku nggak bisa bantu kalau Bu Ratih marah lagi ya, Ge. Aku juga butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah adik-adik aku," ujar Kita yang diangguki Gea seraya tersenyum memaksa. Gea pun mengucapkan terima kasih dan segera mengambil tas selempannya. Kemudian ia segera ke tempat parkir mengambil sepeda dan mengayuhnya ke rumah.
...***...
"Bude, bagaimana keadaan ibu?" tanya Gea panik setibanya di rumah kontrakan mereka.
"Ibu kamu masih pingsan, Ge. Badannya juga mulai dingin. Tadi bude datang mau lihat ibu kamu sudah makan atau belum, pas bude masuk ke dalam rumah sambil panggil-panggil ibu kamu, tapi ibu kamu tidak menyahut sama sekali. Bude cari di kabar nggak ada. Pas ibu cari ke belakang, tahunya ibu kamu udah tergeletak di lantai dalam keadaan pingsan," jelas bude Ita menjelaskan.
Gea terisak pilu melihat keadaan ibunya.
"Bu, bangun! Jangan bikin Gea takut kayak gini!": ujar Gea sambil menggerak-gerakkan tubuh ibunya.
Lalu Gea segera meraih ponselnya dan memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. Sembari menunggu kedatangan taksi online yang akan mengantarkan mereka ke rumah sakit, Gea pun segera menyiapkan keperluan sang ibu. Setelah taksi online yang dipesan telah datang, Gea segera memapah ibunya ke dalam mobil dibantu bude Ita. Setelah berada di dalam taksi, Gea segera berpamitan dengan bude Ita, tetangganya. Kemudian mereka pun segera berangkat menuju ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, ibu Gea segera mendapatkan penanganan. Gea terduduk di depan ruang UGD sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tergugu dan terisak seorang diri. Tangisannya terdengar sangat memilukan. Bagaimana ia tak menangis saat melihat keadaan ibunya yang sangat mengkhawatirkan. Di dunia ini, hanya ibunya saja penguat dirinya. Tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Ia tidak memiliki keluarga lagi di dunia ini. Hanya ibu. Tak ada yang lain.
...***...
Karena terlalu larut dalam kesedihan dan kekhawatiran, Gea sampai tak mempedulikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah kesehatan dan kesembuhan sang ibu. Hingga tak lama kemudian, lewatkan sekumpulan orang berpakaian super rapi dengan seorang wanita paruh baya ban cantik berada paling depan sekali dan beberapa orang dokter di belakangnya yang turut mengikuti.
Mata wanita paruh baya itu sempat mengamati Gea yang tergugu. Gea menurunkan tangan yang menutupi wajahnya kemudian menyeka air mata yang membasahi pipi membuat wanita paruh baya itu bisa melihat wajah Gea yang cantik dan manis tanpa sentuhan produk kecantikan apapun. Asisten wanita paruh baya itu sampai turut mengikuti gerak mata sang atasan. Apakah gerangan yang mencuri perhatian atasannya itu? Batinnya bermonolog.
Setibanya di ruangannya, wanita paruh baya itu langsung duduk di kursi kebesarannya. Dia adalah Nathalia, pemilik rumah sakit dimana ibu Gea dirawat. Ia duduk sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Sang asisten pun hanya bisa berdiri sambil menerka-nerka hingga tiba-tiba ia melihat Nathalia tersenyum. Senyum itu tampak aneh dan misterius. Membuat asistennya makin bertanya-tanya.
"Mega," panggil Nathalia pada perempuan berambut cepak seperti laki-laki tersebut.
"Iya, Bu," sahut Mega sembari memasang sikap siaga. Ia yakin, atasannya itu akan memberikan tugas yang lain dari biasanya.
"Kamu masih ingat kan gadis yang sedang menangis di depan ruang UGD tadi?" tanya Nathalia memastikan.
"Iya, Bu. Saya masih ingat," sahut Mega tanpa ragu.
"Bagus. Coba kau cari tahu semua hal tentang gadis itu. Termasuk keperluannya di rumah sakit ini. Jangan sampai ada yang terlewatkan satu pun! Kau mengerti!"
"Saya mengerti, Bu. Kalau begitu, saya permisi. " ucap Mega seraya berpamitan untuk undur diri.
"Aku tunggu informasimu dalam 1x24 jam. Tidak boleh terlambat satu detik pun," tegas Nathalia membuat Mega membulatkan matanya.
'Apa? Yang benar aja? Nggak boleh telat 1 detik pun. Ya ampun!' batin Mega menggerutu kesal. Namun apalah daya, dirinya hanya bawahan yang harus mematuhi segala perintah atasannya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Tak butuh waktu lama, bahkan tak sampai 1x24 jam, akhirnya Mega berhasil mengumpulkan segala informasi mengenai Gea. Pertama-tama Mega menemui direktur rumah sakit itu untuk menggali informasi siapa gadis yang menangis di depan ruang UGD tadi. Karena Pak Sumitro kebetulan ikut mengawal kedatangan Nathalia, jadi ia bisa dengan cepat mencari informasi baik dari dokter maupun data pasien. Setelah itu, barulah Mega mencari tahu di sekitar tempat tinggal Gea sesuai alamat yang tertera di data pasien. Setelah mengumpulkan segala informasi tersebut, Mega pun segera melaporkan hasil pencarian informasi tersebut kepada atasannya.
"Ini, Bu! Semua informasi tentang nona Gea ada di dalam sana," tukas Mega seraya menyerahkan sebuah map berisi informasi mengenai Gea.
"Gea?" tanya Nathalia.
"Iya, Bu. Namanya Gea Morena. Ibunya bernama Martini sedangkan ayahnya Mardian Siswanto," ujar Mega membuat Nathalia membelalakkan matanya.
"Apa? Jadi dia?"
"Iya, Bu. Sesuai dugaan Anda," tukas Mega membuat Nathalia tersenyum tipis. Lalu ia segera membuka lembar demi lembar dokumen berisi data pribadi dan informasi mengenai Gea.
Nathalia menutup kembali dokumen tersebut dengan seringai di bibirnya. Ia tak menyangka, takdir begitu unik. Segala rencana telah tersusun rapi di otak cantiknya. Mega yang melihat raut wajah Nathalia, sampai bergidik ngeri sendiri. Entah apa yang direncanakan atasannya itu. Sepertinya, ia akan mendapatkan tugas lagi.
"Mega, tolong atur dan jadwalkan pertemuan saya dengan Gea! Saya minta sesegera mungkin. Tidak perlu sebutkan identitas saya. Cukup katakan kalau atasanmu ingin bertemu dengannya dan melakukan kesepakatan yang menguntungkan," tegas Nathalia.
"Baik, Bu," sahut Mega cepat.
Lalu Mega pun segera undur diri untuk melaksanakan tugasnya.
...***...
"Bagaimana keadaan ibu saya, dok?" tanya Gea dengan raut wajah khawatir. Wajahnya terlihat kuyu dengan mata dan hidung yang memerah. Penampilannya pun terlihat begitu berantakan.
Dokter itu berusaha memberikan senyum terbaiknya agar Gea sedikit tenang.
"Kondisi ibu Anda kurang baik. Ibu Anda membutuhkan donor ginjal sesegera mungkin. Kalau tidak, maka tubuhnya akan makin lemah. Hari ini baru kaki yang membengkak, besok-besok bisa bagian tubuh yang lain. Sementara hanya dengan cuci darah dengan frekuensi 3 kali seminggu yang bisa membuat pasien bertahan lebih lama, tapi entah sampai kapan. Sebab keadaan ginjal ibu Anda sudah sangat riskan," tutur dokter itu lembut.
Gea terduduk di kursi dengan wajah tertunduk lesu. Dadanya begitu sesak. Untuk cuci darah 2 kali dalam seminggu saja ia sudah ngos-ngosan. Harus mencuci pakaian dari satu pintu ke pintu lain, apalagi kalau 3 kali seminggu. Ia harus apa? Ia harus bagaimana? Kemana ia harus mencari uang yang banyak agar ibunya bisa berobat? Kalaupun donor ginjal berhasil ia dapatkan, bagaimana cara mengoperasinya? Uangnya dari mana? Ia yakin, biaya operasi itu tidaklah sedikit.
Kepala Gea mendadak berdentam sakit. Tubuhnya sudah begitu lelah banting tulang setiap hari dengan waktu istirahat yang minim. Kalau bukan demi ibunya, ia ingin rasanya beristirahat barang sehari saja untuk memulihkan tenaga dan staminanya yang terkuras tiada henti. Tapi ia bisa apa? Ia harus bagaimana? Ia tak memiliki pilihan lain. Keadaan ini sungguh menguras habis tenaganya. Jiwa dan. raganya begitu lelah.
Setelah mengatakan hal tersebut, dokter itupun permisi. Gea masuk ke dalam ruang perawatan sang ibu. Air matanya mengalir deras. Ditutupnya mulutnya rapat-rapat agar isakannya tak keluar dan didengar sang ibu.
Sungguh, dia benar-benar lelah. Tapi ia harus berusaha tampak kuat. Ia pun tak ingin melihat ibunya makin merasa bersalah saat melihatnya menangis seperti saat ini. Ia tak ingin ibunya makin sakit karena perasaan tertekan akibat melihat dirinya yang merasa kesulitan. Sungguh, ia sanggup melakukan apapun demi kesembuhan sang ibu. Ya, melakukan apapun. Sebab bagi Gea Morina, ibunya adalah segalanya. Prioritas utama dalam hidupnya.
...***...
Karena merasa tenggorokannya begitu kering, Gea pun keluar dari dalam kamar perawatan ibunya hendak menuju cafetaria rumah sakit. Ia tidak membawa air minum tadi, jadi ia bermaksud membeli air minum di cafetaria. Ia juga belum sempat makan siang. Menyantap mie instan di cafetaria sepertinya tak masalah pikirnya.
Baru saja Gea hendak masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya. Gea pun segera menoleh dan mendapati seorang perempuan yang sebenarnya cantik tapi super tomboi yang umurnya mungkin sekitar 30 tahunan. Mengapa Gea menilainya tomboi sebab selain dia memakai pakaian seperti kaum lelaki dengan celana bahan hitam dan kemeja hitam polos, rambutnya juga dicepak. Bibirnya merah alami dengan bulu mata lentik. Gea sampai terpaku merasa bingung apa dirinya tak salah dengar. Benarkah perempuan tomboi itu yang memanggil dirinya?
"Nona Gea," sapanya lalu tersenyum manis membuat Gea celingukan ke kanan dan ke kiri takut-takut salah kira. Jangan-jangan ada orang lain yang namanya sama seperti dirinya yang dipanggil perempuan tomboi itu.
"Anda memanggil saya?" tanya Gea memastikan sambil menunjuk dirinya sendiri.
Perempuan tomboi itu terkekeh kemudian mengangguk cepat.
"Iya, saya memanggil Anda, nona Gea Morina," ujarnya seraya menyebutkan nama panjang Gea.
"Eh, kok Anda tahu nama saya? Apa kita pernah berkenalan sebelumnya?" tanya Gea penasaran sebab ia merasa belum pernah bertemu perempuan itu sebelumnya. Tapi bagaimana perempuan itu tahu nama panjangnya kalau mereka memang belum pernah bertemu sama sekali?
Perempuan itu makin tersenyum lebar, "nona memang belum pernah bertemu apalagi berkenalan dengan saya tapi saya pernah melihat nona. Hari ini dan ini yang kedua kalinya."
"Hah!" seru Gea dengan wajah cengo yang membuat Mega terkekeh geli melihat tingkah polos Gea. "Kalau kita belum pernah bertemu sebelumnya apalagi berkenalan, lalu bagaimana anda bisa tahu nama panjang saya?" cecar Gea. Ia memasang sikap waspada. Bagaimana kalau perempuan yang memanggilnya ini merupakan sindikat penculikan perempuan untuk dijual pada mucikari atau dijual kepada pria hidung belang?
"Nggak usah takut. Saya tidak akan ngapa-ngapain nona yang cantik ini. Justru saya menemui nona ingin menyampaikan pesan atasan saya yang ingin menawarkan kerja sama yang menguntungkan," jelas Mega ramah. Biarpun gayanya tomboi seperti laki-laki, tapi sikapnya ramah.
"Kerja sama yang menguntungkan? Apa itu? Dan apa atasan kamu itu laki-laki?" Gea memundurkan langkahnya. Menjaga jarak aman istilahnya. Jadi, bila sewaktu-waktu perempuan yang bicara dengannya itu hendak berbuat macam-macam, ia bisa langsung menggunakan jurus langkah kaki seribu.
Mega tergelak melihat sikap waspada Gea pun ekspresi wajahnya yang bagi Mega sangat menggemaskan. Entah apa rencana atasannya itu sebenarnya? Dirinya sendiri tak tahu apa kerja sama yang hendak ditawarkan Nathalia pada Gea.
"Maaf, untuk soal kerja sama apa, saya tidak tahu. Tapi nona tenang aja, atasan saya baik kok dan bukan orang jahat. Dia perempuan. Saya yakin, nona tidak akan menyesal mengenal atasan saya. Bagaimana? Nona mau?"
Mendengar kalau yang hendak menemuinya itu adalah seorang perempuan, Gea lantas nampak menimbang.
'Kerja sama yang menguntungkan ya? Kira-kira apa ya? Apa aku coba saja? Siapa tahu gajinya gede jadi aku nggak perlu pusing lagi mikirin biaya pengobatan ibu. Apalagi aku sangsi kalau aku masih diterima kerja di Happy Mart setelah sering bolos kerja.'
"Baiklah, saya mau. Tapi ketemunya dimana? Boleh saya makan dulu soalnya saya sudah sangat lapar," ucap Gea polos yang diangguki Mega.
Lalu Mega meminta nomor ponsel Gea agar ia bisa segera menghubungi kapan dan dimana Gea bisa bertemu dengan atasannya. Setelah mendapatkan nomor ponselnya, Mega pun pamit undur diri seraya melambaikan tangan membuat Gea tersenyum lebar.
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!