"Om, Kulkas! Caca gak mau pulang bareng, Om!"
"Bocil! Mak lu nyuruh gue jemput di sini."
"Om Kulkas bohong!"
"Naik!"
"Gak!"
"Naik atau aku gendong untuk naik ke bangku belakang?" tanyanya dengan senyum menggoda. Melihat hal itu, Chantika Azizah langsung segera naik ke jok belakang milik Riki Arya Pratama seorang pengusaha yang belum besar namun sudah memiliki beberapa cabang di Indonesia. Laki-laki yang memiliki rambut gondrong, tinggi 172cm berat badan 58kg dan hidung mancung serta kulit yang lumayan putih itu merasa menang karena telah membuat wanita yang masih duduk di bangku kelas 12 SMA itu akhirnya luluh.
"Gimana sekolahnya tadi?" tanya Riki mencoba membuka suara agar perjalanan yang macet dan panas ini tak terlalu terasa.
"Gimana apanya, Om?" tanya Caca yang sedikit mendongak melihat kepala Riki.
"Ada yang seru?"
"Gak, b aja tuh."
"Oh," ujar Riki mengangguk. Dirinya akan selalu bertanya tentang apa yang terjadi dan bagaimana dengan kegiatan Caca hari ini, namun terkadang wanita tersebut hanya menjawab, 'B aja'.
"Oh, iya, Om. Tadi ... ada anak pindahan dari luar kota ke kelas, Caca," ujar Caca setengah teriak. Karena, jika tak berteriak mana mungkin suaranya akan kedengeran.
"Ganteng?"
"Lah, kok malah nanya ke fisik?"
"Ganteng atau enggak?"
"Cowok, ya, pasti gantenglah Om Kulkas!"
Riki menepikan sepeda motor miliknya yang berwarna hitam bertuliskan, "R25" tersebut. Hal itu juga membuat, Caca malas untuk ikut dengannya. Pijakan yang terlalu tinggi membuat dirinya terlalu sulit untuk menaikinya.
"Kamu bilang apa tadi?" tanya Riki melihat ke wajah polos Caca yang tak tau apa salahnya.
"Apa, Om Kulkas?"
"Kamu bilang dia ganteng?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Coba ucapkan sekali lagi, biar besok dia hanya tinggal nama!" ujar Riki dengan suara seraknya, dia tersenyum dengan sabar menghadapi bocah yang disukainya itu. Sedangkan, Caca sudah menutup mulutnya untuk tak menyebut jika murid baru itu ganteng meskipun padahal memang seperti itu adanya.
"Om Kulkas! Jangan galak-galak sama, Caca. Ntar, Caca nangis," kata Caca sudah bersiap-siap memulai dramanya.
"Ya, sudah. Jangan ucapkan itu lagi, ya. Sayangnya aku." Riki mengusap kepala Caca yang tertutup hijab, dirinya mulai menghidupkan sepeda motor yang tadinya dirinya matikan.
'Si paling ingin dikatain ganteng, nyeyenye,' batin Caca memajukan bibir bawahnya mengucap kalimat 'nyenyenye.'
Jalanan yang lumayan lancar langsung dilewati Riki dengan kecepatan yang tinggi, sontak membuat Caca langsung memegang ujung jaket laki-laki tersebut. Beruntungnya, dirinya sudah terbiasa dibawa dengan keadaan begini. Meskipun sering kali Caca marah padanya dengan berbagai macam kalimat, namun tak satu pun digubris.
Cit ...!
Suara rem yang berhasil mencuri perhatian pengunjung cafe yang berada di kawasan parkir, Caca melepaskan genggamannya dari jaket Riki dan melihat mereka sampai di mana.
"Turun!"
"Om, Kulkas. Kok kita ke sini? Caca mau pulang aja."
"Makmu lagi pergi, di rumah tidak ada siapa-siapa, Cil! Otomatis, makanan juga gak ada. Jadi, kita makan aja dulu di sini."
"Wih, keren banget!"
"Apanya?" tanya Riki yang masih berada di tempat duduk sepeda motor dengan badan setengah menghadap ke Caca.
"Om, Kulkas bisa ngomong panjang ternyata. Tapi ... kok sama Caca atau orang-orang ngomongnya irit banget, ya?" tanya Caca mengetuk dagunya menggunakan jari.
Riki langsung turun daru bangku sepeda motor dan masuk duluan ke dalam cafe, dirinya membiarkan Caca yang masih berada di jok belakang dengan keadaan sepeda motor telah diturunkan cagaknya.
"Om, Kulkas! Huwa ... Caca takut turun! Motornya lebih tinggi dari, Caca!" teriak Caca sekencang mungkin agar Riki mau berbaik hati untuk menolong manusia yang menyebalkan seperti dirinya itu.
Mereka berdua telah masuk ke cafe dan duduk di dalah satu bangku yang tersedia, Riki sibuk dengan handphone begitupun dengan Caca namun dirinya sesekali melihat orang yang masuk dan keluar cafe ini. Wajar, cafe ini baru pertama kali dia masuki.
"Eh, Riki!" sapa seseorang yang datang tiba-tiba. Sontak mereka berdua langsung menatap ke arah suara tersebut, seorang wanita yang; cantik, tinggi, putih, dengan tubuh ideal dan senyum manisnya.
"Diva? Kamu sama siapa di sini?" tanya Riki yang langsung berdiri membalas senyuman Diva.
Sedangkan Caca, hanya diam dan tetap fokus ke gadget miliknya. Tak berniat tersenyum ke arah Diva, lagian pun Diva tak ada menyapa dirinya atau bertanya dia siapa. Jadi, buat apa untuk memperkenalkan diri atau sok manis di depan orang baru.
"Kamu apa kabar?"
"Aku baik, Div. Kamu sendiri?"
"Aku masih lanjutin kuliah S2 aku, nih di luar negri"
"Wah ... hebat banget!"
"Ya ... ini juga gara-gara kamu, aku harus sekolah di tempat jauh agar bisa lupa sama kamu. Eh, sekarang malah ketemu di sini. Ingat balik dong semuanya lagi," tawa Diva sambil memegang tangan Riki sedangkan Riki yang merasa di sindir melalui candaan menampilkan senyuman kikuk.
"Gak usah sekolah jauh seharusnya, benturkan aja tuh kepala atau tabrakkan ke mobil. Palingan akan terjadi dua pilihan pertama mati kedua hilang ingatan, tergantung sama Tuhan dan amal kebaikan aja," celetuk Caca tersenyum miring menatap Diva. Caca berdiri, "Saya ke toilet dulu, ya."
Riki menampilkan wajah datarnya namun sudah pasti hatinya menggebu-gebu ingin memarahi wanita tersebut, sedangkan Diva langsung memasang wajah marahnya dengan wanita yang bahkan belum sempat kenalan dengannya.
"Dia kenapa?" tanya Diva yang kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Hahaha, dia bercanda."
"Siapa kamu? Anak tetangga? Kalau pacar sih gak mungkin, mana mungkin kamu mau modelan kayak dia."
"Dia anak tetangga aku. Untuk ucapan kamu yang ngatain dia gak mungkin tadi, aku rasa harus kamu perbaiki lagi. Attitude kamu gak berubah, masih saja minus." Riki berlalu meninggalkan Diva di meja tersebut, sedangkan Riki menuju toilet juga.
"Oh ... pantasan aja belain tuh cewek segitunya, ternyata oh ternyata anak orang kaya. Apalah aku yang kayak gembel ini, outfit kayak gembel mau bersaing sama yang kayak sultan? Mimpi aja dah lu, Ca!" ujar Caca di toilet dengan melihat dirinya dari kaca. Setelah kekesalannya lumayan menghilang, dirinya memilih keluar dan berniat kembali ke meja mereka.
"Bocil!" Caca langsung melihat ke belakang, mencari siapa yang menyebut namanya itu, "Ada apa, Om?" tanyanya saat mendapati Rikilah yang memanggilnya.
"Kita pulang aja, yuk! Aku udah pesan dan bungkus makanannya tadi."
"Ok," ujarnya dan berjalan duluan meninggalkan Riki ke parkiran.
"Kamu tidak boleh seperti itu padanya," nasehat Riki yang berjalan di samping Caca dengan melihat ke arah wanita itu.
"Iya."
"Kamu bisa dibilangin, gak, sih?!" bentak Riki yang membuat langkah Caca terhenti dan langsung melihat ke arahnya.
Caca terdiam dan mencerna apa yang terjadi, dirinya tersenyum dan menaruh kedua tangannya ke belakang, "Maaf! Maaf ... karena saya tadi lancang untuk ikut campur dalam obrolan manusia-manusia dewasa yang hebat, saya gak akan melakukan itu lagi. Dan kamu ... saya mohon jangan ikut campur juga dalam kehidupan saya!" tegas Caca. Dirinya langsung pergi dengan berlari, mungkin dia akan pulang menggunakan angkot atau apa saja yang ada.
Riki tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya, dirinya menjambak rambutnya sendiri tanda frustasi dengan apa yang terjadi. Kalimat tersebut begitu saja keluar tanpa mengetahui apa dan kenapa bisa terucap, Riki langsung berlari dan mencari keberadaan Caca.
"Caca ...!" teriak Riki di sekitaran parkiran dengan tangan yang membawa dua kantong plastik berisikan makanan yang awalnya untuknya dan untuk Caca.
"Arghh ... gue bodoh!" ucap Riki membuang makanan karena merasa semua ini sebabnya dan kesalahannya. Dia langsung berlari ke motor miliknya, suara motor terdengar dan motor beberapa detik menjauh dari cafe.
"Hiks ... hiks. P-padahal, Caca bisa dibilangin baik-baik kok. Caca ngerti bahasa manusia walaupun si Om Kulkas bukan manusia, ga-gak perlu bentak-bentak Caca juga. C-caca tau dia baik ke Caca cuma karena kasian doang, kok." Suara isakan wanita tersebut berada di dalam angkot. Beruntungnya, angkot sepi jadi hanya dirinya dan sopir di dalam angkot tersebut.
Angkot berhenti mengambil penumpang lainnya, namun Caca tetap fokus pada kegiatannya sekarang. Menangis dan mengeluarkan sakit hatinya oleh perlakuan Riki, mungkin terlihat lebay namun bukankah keadaan hati seseorang tidak selamanya akan baik-baik saja?
"Dek, kamu kenapa?" tanya penumpang yang baru naik tadi.
"Gak papa."
"Dasar wanita!" senyum orang tersebut sambil geleng-geleng.
Caca memberhentikan tangisannya dan menatap orang di depannya itu dengan sangar, bisa-bisanya dia berujar seperti tadi. Apakah dia tidak tahu kalau wanita sedang kesel atau bahkan sedih bisa jadi segalak-galaknya?
"Apa, Om bilang? Kenapa emangnya kalo wanita? Gosah banyak ngomong! Kita gak kenal, jangan ikut campur deh!" ucap Caca yang menggebu-gebu.
"Eh, sabar-sabar Dek! Ya, ampun sensi amat!"
Caca langsung mengelap ingusnya menggunakan ujung hijab putih yang tengah dikenakannya, laki-laki tersebut tertawa melihat apa yang dilakukan Caca.
"Kamu salah pake rok, ya?"
"Ha? Enggak, kok!" kata Caca sambil melihat roknya, apakah sletingnya di depan sehingga laki-laki tersebut berkata seperti demikian.
"Kelakuan kamu kayak anak SMP, bukan anak SMA," tawa laki-laki tersebut kembali pecah dibuat oleh tingkah laku Caca.
"Enak aja!" judas Caca sambil menatapnya sekilas.
"Nih, tisuenya. Kotor nanti hijab kamu meskipun memang sudah kotor, tapi biar gak parah banget. Nama saya, Aldy Andara. Kamu bisa panggil Aldy," ujarnya memperkenalkan diri sambil menyodorkan tisue satu bungkus.
"Makasih!" ucap Caca mengambil tisue tersebut, "Gadak yang nanya nama dia juga, sok banget promosi nama," bisik Caca namun masih bisa di dengar oleh Aldy.
Aldy hanya bisa tersenyum dan menggeleng kepalanya melihat kelakuan Caca yang baru saja dirinya temui itu, "Kamu kenapa nangis?" tanya Aldy yang melihat Caca sudah berhenti menangis.
"Karena pengen nangis."
"Kenapa gak tersenyum dan tertawa aja?"
"Karena lagi gak pengen!"
"Oh ... gak pengen coklat?"
"Gak."
"Masa, sih? Cewek biasanya kalo lagi nangis pasti butuh yang manis-manis."
"Saya sudah manis."
"Ohh, jadi gak mau nih? Padahal niatnya tadi saya mau belikan buat kamu," ujar Aldy dengan niat baiknya.
"Gosah, uang saya juga ada."
"Banyak?"
"Iya, dong!"
"Berapa?"
"Dua ribu."
"Itu banyak?"
"Huum."
"Wah ... uang kamu ternyata banyak, ya. Jaga baik-baik, ya. Ntar kamu dirampok."
"Ya," balas Caca singkat dengan wajah tetap berpaling dari Aldy.
Kemudian, Aldy membuka handphone dan sibuk dengan benda pipih tersebut. Angkot terhenti di lampu merah, Caca melihat-lihat kendaraan yang ada. Matanya membulat sempurna saat melihat orang yang berkendara di samping angkot yang ditumpanginya adalah orang yang sedang dirinya jauhi.
Caca langsung turun dari tempat duduk dan bersembunyi dengan menutup wajahnya menggunakan tas, Aldy yang melihat tingkah aneh Caca langsung melihat-lihat apa sebabnya wanita tersebut bersembunyi dan melakukan hal itu.
"Kamu kenapa?" tanya Aldy menaikkan sebelah alisnya.
"Sutt ...!" ucap Caca meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya pertanda agar Aldy tak berucap dulu untuk beberapa saat.
Beberapa detik kemudian, lampu yang merah sudah berubah menjadi hijau. Motor berwarna hitam itu langsung tak terlihat lagi, Caca membuang nafas lega dan kembali duduk ke tempatnya. Angkot pun mulai jalan kembali setelah semua kendaraan di depannya bergerak.
"Ada apa, sih?" tanya Aldy yang kebingungan.
"Ada orang tadi, Kak."
"Terus?"
"Nabrak."
Wajah Aldy langsung berubah kesal melihat jawaban Caca yang dari tadi tak satu pun serius, Caca langsung tertawa melihat wajah Aldy yang sepertinya sudah sangat kesal padanya.
Citt ...!
Tiba-tiba rem mendadak pun terjadi hingga membuat bunyian yang cukup keras dan penumpang bergeser ke depan akibat rem yang dilakukan tiba-tiba. Caca sedikit meringis saat keningnya yang terbentur mengeluarkan darah, Aldy yang melihat hal tersebut langsung segera mendekat ke arah Caca.
"Kening kamu berdarah!" Aldy membuka tasnya. Sedangkan Caca memegangi keningnya itu dengan wajah yang menahan sakit.
"Pak! Hati-hati, dong!" bentak Aldy dan membuka plester. Dirinya segera menempelkan plester di kening Caca sedangkan Caca hanya menatap bawah saja.
"Maaf, tapi ada orang yang menghadang angkotnya," ucap sopir.
Caca dan Aldy langsung melihat ke arah depan, siapa yang menghadang angkot mereka. Mata Caca membulat sempurna ketika melihat pemilik motor tersebut yang sudah berada di depan pintu masuk-keluar angkot.
"O-om, K-kulkas," ujar Caca terbata-bata karena merasa takut jika Riki melihat apa yang telah dilakukan Aldy padanya. Memang hanya memberikan plester tetapi bukankah cemburu bisa karena hal apa saja? Sedangkan Aldy yang mendengar ucapan Caca langsung melihat ke orang yang dia maksud dengan keadaan dirinya masih di hadapan Caca dengan jarak yang hanya sedikit.
"Turun, lo!" bentak Riki menunjuk Aldy. Tangan yang sudah mengepal dan rahang yang mengeras, serta wajah yang berubah merah. Caca sangat tak menyukai keadaan saat ini, karena jika Riki sudah seperti itu maka sangat susah untuk menenangkannya.
"Dia siapa?" tanya Aldy menatap ke arah Caca mempertanyakan apa yang terjadi, dirinya bingung dengan apa yang terjadi.
Caca langsung turun, dirinya ingin menjelaskan semuanya secara baik-baik. Dia tahu, Riki pasti melihat Aldy yang tadi menempel plester bisa jadi Riki tak tahu bahwa Aldy tak lebih hanya mengobatinya.
"Om," ucap Caca yang sudah berada di depan Riki.
"Aku bilang dia yang turun! Bukan kamu!" bentak Riki dan menatap Caca.
"Om! Ini gak seperti yang Om lihat!" bentak Caca yang tak mau kalah.
"Oh, ya? Hahaha, tak seperti apa yang aku lihat. Emangnya kamu pikir apa yang saya lihat?"
"Dia cuma obati luka aku, Om. Gak lebih," ujar Caca dengan nada rendah. Dirinya tau, jika sama-sama emosi maka tidak akan ada yang mengalah.
"Oh, obati? Dengan cara dekat-dekat begitu? Cih ... kamu sama aja seperti wanita malam, sama-sama murahan!"
Plak!
Satu tamparan di pipi sebelah kanan pun terdengar, "Om ... jaga ucapanmu! Aku memang miskin, tapi aku di didik untuk menjadi wanita yang berkualitas bukan seperti wanita temanmu yang murahan!" kata Caca dengan mata yang memerah.
Dirinya langsung merogoh kantong dan memberikan ongkos pada sopir angkot dan berlari sekencang mungkin dari mereka, sedangkan Riki terdiam dengan apa yang telah diterimanya dan apa yang dilakukan Caca. Apakah dirinya begitu keterlaluan? Sangat dan sungguh sudah keterlaluan.
Riki berjalan ke arah motornya dan pergi entah ke mana, sedangkan Aldy masih tetap berada di angkot bukan karena dirinya tak mau membantu Caca tadi. Tapi, dirinya tak tahu apa permasalah yang terjadi di antara dua orang tadi. Dirinya memilih melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot yang tadi juga, meskipun ada perasaan yang khawatir melihat Caca yang pergi dengan keadaan seperti itu. Namun, tak sopan rasanya jika ikut campur dalam permasalahan orang yang baru saja beberapa jam dia temui.
Riki mencari keberadaan Caca, dirinya sedikit kelelahan karena Caca sudah menghilang entah ke mana tujuan wanita yang masih menggunakan seragam sekolah itu.
"Gak enak ternyata kalau seseorang menyukai kita hanya karena kasihan, hahaha. Berharap lagi berharap lagi. Kenapa, sih? Jadi dewasa itu semenyakitkan ini?"
"Kalau diakhiri, boleh kali, ya? Biar semuanya selesai dengan cepat," sambung wanita yang duduk di pinggiran danau. Dirinya melihat hamparan sungai yang tenang, suasana yang sunyi dan angin yang sesekali menggoyangkan hijabnya.
"Caca?"
Caca yang merasa namanya dipanggil langsung mendongak dan melihat ke sumber suara itu, wajah yang sudah tersenyum bahagia.
"Eh, Amel? Kamu ngapain di sini?" tanya Caca dengan posisi tetap duduk.
"Enggak, aku tadi sengaja lewat-lewat sini. Pengen me time," ucap Amel Anatasya. Teman Caca di lingkungan, mereka berbeda sekolah dan memang Amel jarang sekali keluar rumah pun Caca begitu juga.
"Yuk, sini duduk!" seru Caca sambil menepuk-nepuk bangku yang terbuat dari besi tersebut. Amel langsung mengangguk dan duduk di samping Caca, dirinya menyelipkan rambutnya di telinganya agar lebih rapi.
"Kamu udah lama di sini?" tanya Amel melihat ke wajah Caca yang fokus melihat air danau.
"Enggak, baru aja kok."
"Kok kamu belum ganti baju? Belum pulang ke rumah?"
Amel hanya mendapatkan beberapa gelengan sebagai jawaban dari pertanyaannya, "Kenapa?"
"Gak papa, lagi pengen sendiri aja dulu. Kayak yang kamu bilang," ucap Caca menatap wajah Amel, "me time," sambungnya tersenyum.
"Iya, sih. Me time mah me time, tapi ganti baju juga kali."
"Gak papa, kalo udah ganti baju me timenya bukan di luar rumah. Tapi, di kamar," tawa Caca agar suasana tidak terlalu menyedihkan.
"Kamu tumben banget sendiri? Biasanya sama pacar kamu, mana dia?" tanya Caca.
"Aku putus sama dia."
"Kenapa?"
"Entahlah, dia selalu ingin menang sendiri."
"Egois? Hahaha, banyak orang dewasa yang ingin menjalani hubungan. Berpikir bahwa di umurnya sekarang pasti sudah tak ada lagi egois, namun dengan mereka merasa bahwa tidak akan ada lagi egois itu saja sudah salah."
"Ya, begitulah. Dia mau kalau ada masalah hari ini, besok sudah harus gak ada."
"Bagus, dong."
"Iya, bagus. Tapi, niat dia buat menjelaskan masalah itu gak ada. Aku lebih suka kalau kita berantem habis-habisan hari itu tapi masalahnya selesai, daripada harus diam-diaman dan besoknya sudah sok baikan padahal bisa jadi di antaranya masih kesel atau belum bisa memaafkan masalah kemarin," ujar Amel yang membuat Caca terdiam. Dirinya langsung menatap air kembali, bagaimana pun yang dikatakan Amel sangat benar. Lebih baik berantem habis-habisan kemudian saling baikan, daripada harus diam-diaman dan besoknya seolah tak ada masalah.
"Ternyata benar, ya, filosofi tentang sepatu itu," ujar Caca tersenyum, "Kalau dia menyakitimu berarti dia bukan ukuranmu." Amel menatap, Caca. Dirinya sedikit tak paham dengan apa yang diucapkan wanita di sampingnya ini.
"Jika seseorang menyakiti dirimu, maka lepaskan dia dan cari yang benar-benar bisa membahagiakanmu. Karena, kalo dia menyakiti artinya dia bukan yang terbaik," sambung Caca menatap Amel.
Amel hanya tersenyum dan menghela nafas panjang, dirinya pun tak tau sekarang apa yang harus dilakukannya.
"Oh, iya. Aku pulang duluan, ya. Kamu hati-hati di sini," ujar Caca sambil memakai tas ranselnya kembali.
"Kenapa hati-hati?" tanya Amel menaikkan satu alisnya.
"Soalnya banyak buaya."
"Ha?" Amel langsung melihat danau yang ada di depannya itu.
"Buaya darat. Hahahaha" goda Caca di dekat telinga Amel dan langsung berlari karena merasa berhasil menakuti tetangganya itu.
Caca berjalan ke arah jalan raya, dirinya memeriksa saku baju dan roknya, "Dih, uang dua ribunya udah habis pulak. Mana laper lagi, apa perlu aku ngamen dulu, ya? Hahaha," ujar Caca bertanya dan menjawab ucapannya sendiri.
Di tengah perjalanan pulang dengan sesekali bernyanyi, "Sayo nara-sayo nara." Ada seseorang yang membunyikan klaksonnya dan membuat Caca langsung menepi dan melihat ke belakang.
Dirinya berjalan lebih cepat dari tadi, setelah melihat orang yang dilihatnya tadi. Memegang kedua tali tas dan sedikit berlari, dengan kepala menunduk melihat jalan.
Motor tersebut langsung berhenti tepat di depan Caca, hampir saja Caca akan tertabrak jika kepalanya tak di pegang terlebih dulu oleh pemilik sepeda motor tersebut.
"Ih, apa sih Om!" ucap Caca sambil melepaskan tangan Riki dari kepalanya.
"Naik!"
"Gak!" tolak Caca sambil menyilangkan tangannya.
"Naik, atau saya yang naikkan kamu ke jok belakang ini?"
"Dih, dasar! Taunya cuma ngancem doang!"
"Naik, Sayang."
"Iya-iya!"
Caca menghentak kakinya ketika berjalan ke arah motor Riki, namun bukannya marah laki-laki tersebut hanya tertawa melihat kelakukan perempuan tersebut.
"Nih, makan!" ucap Riki memberikan sebungkus roti.
"Gak."
"Makan! Kamu belum makan tadi."
"Makan atau ...," ucap Riki menggantung karena melihat Caca yang tak kunjung mengambil sebungkus roti darinya itu. Secepat kilat Caca langsung mengambil, dirinya tak ingin mendengar ancaman yang aneh-aneh keluar dari mulut Riki.
"Kita jalan, ya?"
"Serah!" jawab Caca sambil mengunyah rotinya. Riki hanya tertawa dan melajukan motor miliknya itu.
'Kirain pulang duluan, ternyata masih nyariin toh!' batin Caca sambil senyum dan mengunyah rotinya.
"Gak mungkin saya pulang duluan, bisa-bisa saya di amuk sama Bunda saya, Cil!" Riki berucap tiba-tiba yang membuat Caca langsung mendatarkan wajahnya.
.
'Dih, sejak kapan dia punya ilmu hitam?'
"Gak nanya," jawab Caca singkat.
Beberapa menit kemudian, hanya terdengar suara motor-motor milik pengendara. Mereka semua hanyut dalam pikiran masing-masing, sedangkan Caca hanya melihat bangunan yang hampir tiap hari dirinya lalui.
"Maaf, ya. Masih belum bisa jadi laki-laki yang baik untuk Caca."
"Caca udah biasa akan hal itu, santai aja Om." Caca tersenyum ke dan dilihat Riki dari kaca spion.
"Lagian, Caca selalu berpikir. Kalau cinta pertama Caca aja bisa menyakiti, apalagi orang lain? Pasti bisa lebih menyakiti," sambung Caca membuang nafasnya perlahan.
"Maaf. Maaf karena membuat kamu trauma untuk kenal orang baru atau membuka hati lagi."
"Ternyata, orang yang pernah menangis di depan kita dan untuk kita itu gak ada bedanya sama yang gak nangis, ya, Om? Sama-sama pencipta luka terhebat," ujar Caca yang membuat Riki langsung terdiam.
Memang, Caca selalu bercerita tentang segalanya kepada Riki termasuk tentang keluarganya. Walaupun mereka tetangga, tapi bukan berarti masalah-masalah yang terjadi di keluarga Caca bisa dengan mudah diketahui oleh tetangga. Pun, Caca juga sangat menutup diri dari orang-orang tentang keluarganya. Jadi, tak heran jika orang lain tak mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya.
Dan Riki, adalah orang pertama yang dengan mudahnya dapat mengetahui tentang kehidupan Caca. Namun, ternyata itu sama aja. Manusia yang mengetahui tentang kita bisa jadi pencipta luka yang lebih dalam dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!