“Cie... yang mau menikah, bahagia banget, sih?”
Suara tawa menggema dikamar seorang gadis, mereka sibuk bercengkrama sambil tertawa ketika saling melempar canda. Dera—sebagai calon pengantin, senyum-senyum ketika mengingat wajah calon suaminya.
Setelah lulus kuliah, akhirnya apa yang dia impikan tersampaikan. Sang pacar mau menikahi dia, mengingat hubungan mereka sudah lima tahun. Menjalani sebuah hubungan, tidaklah mudah. Banyak sakitnya ketimbang bahagia.
“Tiba-tiba aku rindu pada Pandu,” celetuk Dera sambil terkikik geli.
“Eaaaaa... sok, iya, lu,” sahut Vera—sepupunya.
“Kira-kira Pandu lagi apa, ya? Mau chat, tapi nggak boleh.”
Mengikuti adat sang ibu, tidak boleh mengirim chat atau bertemu calon suami seminggu menuju hari H. Meski begitu, Dera tetap berpikir positif, meskipun hatinya gelisah memikirkan sang calon suami.
Lambat laun, rasa kantuk menghampiri Dera dan Vera. Keduanya memposisikan tubuh, untuk menyambut mimpi yang akan segera datang.
**
Gebrakan pintu yang begitu nyaring, membuat Dera terkejut dan langsung terbangun. Karena nyawa yang belum terkumpul, Dera setengah membuka mata, mencoba untuk mengumpulkan nyawanya.
“Dera! Bangun!” Teriakan sang ibu dari luar, membuat Dera kembali terkejut.
Dengan secepat kilat, gadis itu turun dari kasur dan berlari menghampiri pintu. Ketika pintu terbuka, wajah dengan air mata yang dia dapati. Ibunya menangis? Dera mengusap mata untuk melihat dengan jelas, seketika tubuhnya terguncang saat sang ibu memeluk erat tubuhnya.
“Ibu, ada apa?” tanya Dera dengan wajah bingung. Meski begitu, tangannya sesekali mengusap punggung ibunya.
“Hiks.” Hanya suara tangis ibu yang terdengar, diselingi sesenggukan yang menyayat hati.
Karena tidak mendapat jawaban, Dera akhirnya memilih untuk diam lebih dulu, sampai ibunya berhenti menangis. Dera tetap membiarkan ibunya menumpahkan segala air mata di bahu miliknya, sambil terus mengusap punggung sang ibu dengan kedua tangan.
Hampir dua puluh menit wanita paruh baya itu menangis, akhirnya melepas pelukan sambil mengusap air mata dengan punggung tangan. Hamidah—ibu Dera menatap putrinya dengan wajah semakin sendu.
“Ibu ... kenapa menangis?” Dera membuka suara. Sebelah tangannya terangkat, mengusap air mata Hamidah.
“Dera, anakku ... hiks. Nasibmu begitu buruk, Nak,” lirih Hamidah disertai isak tangis.
Semakin bingung mendengar ucapan Hamidah, Dera kembali bertanya dengan wajah bingung. “Bu, ada apa? Kenapa bicara begitu?”
“Pandu, Nak. Pandu ....”
“Ada apa dengan Pandu, Bu?”
“Pandu kabur setelah meniduri anak orang.” Hamidah menutup mulutnya, air mata kembali mengalir dengan derasnya.
Kabar apa ini? Dera menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak percaya. Tanpa diminta, air mata merembes turun dari kedua sudut matanya. Luruh sudah tubuh Dera, disusul isak tangis yang semakin terdengar menyakitkan.
“Nggak mungkin, Bu! Nggak mungkin!” teriak Dera.
Tidak mungkin, tidak mungkin Pandu melakukan hal itu. Ingin Dera berteriak bahwa semua itu tidak benar, tetapi air mata ibunya menguatkan bahwa calon suaminya memang benar melakukan hal keji itu.
Dalam kamar bernuansa merah muda, hanya isak tangis yang terus bersahut-sahutan. Dera sama sekali tidak beranjak, sesekali gadis itu berteriak menyangkal semuanya. Sampai-sampai, Vera yang tengah tertidur, harus bangun dengan terkejut mendengar teriakan sepupunya.
“Tante, ada apa ini?” Vera memeluk Hamidah erat.
“Pandu, Ver. Pandu ....”
“Kenapa Tante? Mas Pandu kenapa?” cerca Vera tidak sabaran.
“Pandu kabur.”
Deg
Bukan hanya Dera, Vera juga terkejut. Pandu yang dia kenal, adalah pria baik dan bertanggung jawab. Tidak mungkin pria itu pergi, dua hari menuju hari H. Tidak mungkin.
Dengan dituntun ibu dan Vera, Dera dibawa turun untuk menemui orang tua Pandu. Gadis yang masih dengan balutan piama, banyak diam. Pandangan Dera kosong, sedangkan air mata terus merembes turun tanpa permisi.
Melihat itu, orang tua Pandu merasa sangat bersalah. Mereka segera berdiri, menatap sendu Dera yang masih terus diam.
Ingin marah, tetapi Hamidah tidak bisa. Bagaimana pun, dia tahu bahwa orang tua Pandu tidak ingin semua ini terjadi. Ingin menyebut takdir, tetapi kenapa begitu menyakitkan untuk putrinya. Undangan sudah tersebar, dekor mulai berjalan, tetapi calon pengantin pria telah kabur. Hamidah menghembuskan napas kasar, membimbing Dera untuk duduk. Dia mengusap lengan putrinya pelan, mencoba meredakan tangis Dera.
“Maafkan Bunda, Dera. Maafkan Bunda ....” Ibunda Pandu, menunduk dengan wajah sendu. Dia berusaha menahan air mata, tetapi tidak bisa.
“Bunda tidak tahu, kalau semua ini akan terjadi. Bunda gagal ... Bunda gagal mendidik Pandu,” lirih bunda Pandu.
Dera semakin menangis, dia berusaha mengeluarkan segala sakit yang menimpa hati dan jiwa. Dia selalu berpikir, bahwa pria seperti ayah itu tidak ada. Namun, kejadian ini, membuat dia berpikir ulang, bahwa pria itu sama saja.
“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa?!” teriak Dera histeris.
“Sayang, tenang ....” Hamidah memeluk erat tubuh Dera.
“Dera, Bunda minta maaf. Bunda sangat bodoh, Bunda bodoh menjadi seorang ibu.”
“Ini bukan salah Bunda, tetapi Pandu. Dia adalah pria kejam! Kenapa? Kenapa dia tega padaku?!”
Dada Dera naik turun, akibat menangis dan menahan amarah yang kian mengilat sempurna. “Dari banyaknya perempuan di dunia ini, kenapa harus aku dan Ibu yang merasakan sakit seperti ini?! Kenapa?! Di mana keadilan Tuhan, di mana?!”
“Tuhan tahu mana yang terbaik buat kamu. Tuhan ingin memberitahu kamu, bahwa pria bernama Pandu, bukanlah seseorang yang mampu bertanggung jawab atas kamu!”
Pandangan Dera beralih, pria dengan rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu lumayan tebal, menatap dengan sorot ketegasan.
“Saya akan menikahi Dera.” Pelan, tetapi tegas.
Semua orang yang ada di ruangan itu, terkejut mendengar penuturan pria yang diketahui adalah paman Pandu. Bunda menatap tidak percaya pada adiknya, mencoba mencari kebohongan di mata bak elang itu.
“Apa maksud kamu, Daren?” tanya bunda.
“Saya benar-benar ingin menikahi Dera. Bukan hanya ingin bertanggung jawab dengan apa yang Pandu perbuat, tetapi juga menyelamatkan keluarganya dari rasa malu akibat perbuatan anak Kakak,” ucap Daren.
Hamidah terdiam. Cemoohan dari tetangga, tidak mungkin tidak akan ada. Namun, memaksa pernikahan ini tetap lanjut dengan mempelai berbeda, bukan solusi terbaik. Hati Dera baru saja hancur, tidak mungkin Hamidah egois untuk menghancurkannya kembali.
“Tidak perlu. Biarkan saja pernikahan ini batal, karena saya tidak mau memaksa anak saya untuk tetap melanjutkannya,” lontar Hamidah tegas.
“Tapi benar kata Daren, Buk Hamidah. Saya tidak ingin semua orang merendahkan kalian, saya sungguh merasa sangat bersalah.”
“Semua sudah terjadi.” Hamidah berusaha untuk tegar.
Sejak tadi Dera diam, Vera terus mengusap lengan sepupunya. Berusaha memberikan kekuatan untuk gadis yang terkenal ceria itu, tetapi Vera tahu, masalah ini bukan hal sepele.
“Aku mau pernikahan ini tetap lanjut.” Dera buka suara.
“Siapa pun calon penggantinya, aku tidak peduli. Intinya pernikahan ini harus tetap dilanjutkan,” sambung Dera.
Karena perselingkuhan ayahnya, sang ibu jadi bahan pembicaraan. Dituduh tidak becus menjadi seorang istri. Dera tidak ingin, karena pernikahannya yang batal, membuat ibu mendapatkan banyak cemoohan lagi. Sungguh, Dera tidak sanggup jika itu terjadi. Jadi, biarlah dia mengorbankan hati, demi ibu yang dulu mengorbankan nyawa untuk melahirkannya.
“Persiapkan dirimu. Dua hari lagi, pernikahan akan dilangsungkan, dengan saya yang menjadi calon pengganti. Daren Algra.”
Dekorasi untuk akad, hampir sempurna. Tetangga pun sudah pada berdatangan untuk memasak. Besok. Besok Dera akan melepas masa gadisnya, meskipun dengan pria yang bukan dia cintai. Sejak kejadian kemarin, Dera banyak mengurung diri. Makan selalu telat, bahkan nyaris tidak bila sang ibu tidak membawakan untuknya.
Dia bukan ingin mati dengan tidak makan, hanya saja, Dera masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Salah apa dia sampai-sampai disakiti seperti ini. Memang, dia bukan dari kalangan orang berada. Hanya saja, sang ibu memiliki satu butik untuk mencukupi kehidupan mereka selama ini. Bahkan, dari hasil butik itu, Dera bisa jadi sarjana.
Sibuk meratapi diri, ketukan di pintu yang disusul dengan derap langkah membuat Dera mau tidak mau mengangkat kepalanya.
“Percuma kamu ketuk, kalau nyelonong aja juga,” ucap Dera ketus. Vera hanya cengengesan saja.
“Abisnya, tadi aku panggilin kamu nggak nyahut,” jawab Vera.
“Aku ngantuk. Mending kamu keluar sana,” usir Dera sambil mendorong pelan tubuh Vera.
“Ya, sudah, aku juga numpang tidur.”
Dengan segera Vera langsung naik ke tempat tidur, gadis itu merebahkan tubuhnya lebih dulu, agar Dera tidak bisa lagi mengusirnya. Menghela napas kasar, Dera ikut naik ke kasur, tetapi gadis itu memilih duduk bersila di sana.
“Keputusan aku udah benar, kan, Ver?” tanya Dera.
Vera diam. Dia pun bingung ingin menjawab apa. Apakah seharusnya dia senang? Karena sepupunya tidak jadi menanggung malu? Atau harus sedih, sebab hati sudah hancur berkeping-keping?
“Aku nggak tahu, Der.” Akhirnya jawaban itu yang bisa Vera lontarkan.
“Memang seharusnya dari awal, aku tahu bahwa Pandu bukan pria baik-baik. Tapi, sikapnya bertahun-tahun ini, tidak bisa aku bantah. Dia tidak pernah menyakiti aku, bahkan memaksa aku untuk memberikan apa yang dia mau. Kenapa? Kenapa ketika semua hampir selesai, justru dia membuka wajahnya, menghancurkan seluruh impianku dan Ibu.” Meski berusaha tegar, Dera tetap menjatuhkan satu titik air mata dari sudut matanya.
“Aku ingin pergi jauh, ingin menghindari semua orang, tetapi masih ada Ibu yang harus aku pikirkan. Mungkin, ini jalan takdir yang sudah Tuhan takdirkan, menikah dengan sosok yang tidak aku cinta,” sambung Dera.
“Kamu harus kuat, Der. Ada aku dan Ibu yang selalu mendukungmu,” pungkas Vera sambil memeluk tubuh Dera dari samping.
“Aku cuma takut akan merasakan apa yang Ibu rasakan dulu.”
Vera menggeleng. “Aku yakin Om Daren orang yang baik.”
“Semoga saja,” harap Dera.
**
Hari pernikahan pun tiba, Dera sudah dirias sedemikian rupa layaknya seorang pengantin. Sejak tadi, gadis itu menguatkan diri, bahwa dia sanggup menghadapi kenyataan yang nantinya akan dia dapatkan. Mungkin saja, semua orang di luar sana bingung, sebab nama pengantin pria sangat berbeda dengan yang ada di undangan.
Andai bisa jujur, sudah pasti Dera akan memberitahu semua orang bahwa calonnya adalah pria brengsek. Namun, ibunya melarang. Bagaimanapun, orang tua Pandu tidak perlu menanggung malu dengan sikap putranya.
Sekali lagi Dera membuka ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari Pandu. Ternyata tidak, bahkan nomornya saja sudah diblokir pria itu. Dera tidak mengharapkan Pandu kembali, dia hanya ingin pria itu minta maaf, setidaknya pada ibu saja.
Ceklek
“Sayang, ayo kita turun. Suami kamu menunggu di luar,” ucap sang ibu sambil masuk ke dalam kamar, diikuti Vera yang tersenyum gembira.
“Baik, Bu.”
Dera menurut saja, menolak juga sia-sia. Sekarang dia sudah menjadi seorang istri, bukan dari Pandu Alamsyah, melainkan Daren—paman dari pacarnya.
Dera diminta untuk duduk di sebelah Daren, lalu keduanya menandatangani buku nikah secara bergantian.
“Mempelai perempuan, diminta untuk mencium tangan suaminya,” ucap MC. Dera mendesah kesal.
Baru saja akan mengangkat tangannya, Daren lebih dulu menyodorkan tangannya untuk dicium Dera. Akhirnya dengan terpaksa, gadis itu mengikuti arahan MC.
“Giliran mempelai pria, mencium kening sang istri.”
Gadis dengan balutan baju pengantin, melotot ketika mendapati Vera mengejeknya. Ingin sekali Dera menyumpal mulut MC, tetapi itu tidak akan bisa.
Cup
“Tidak perlu melotot seperti itu, aku bukan setan,” bisik Daren sambil menepuk pelan bahu Dera.
“Kamu ....”
“Suamimu,” sahut Daren. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Menghela napas pelan, Dera baru merasakan aura tidak mengenakkan dari orang-orang di sekitarnya. Bisik-bisik untuk dirinya, semakin membuat Dera menunduk.
“Mempelainya berbeda, atau jangan-jangan Dera ketahuan selingkuh dengan pria ini.”
“Iya. Mungkin dia juga mengguna-guna pria ini agar mau dengannya. Secara, terlihat kaya.”
Kedua tangan Dera sudah mengepal sempurna, siap memberikan pelajaran bagi mereka yang tidak tahu, tetapi sudah berasumsi sesuka hati. Ketika akan bergerak untuk memberikan sedikit pelajaran, Daren langsung menggenggam tangan Dera, alhasil gadis itu langsung terdiam.
“Jangan buang tenaga untuk hal yang tidak penting.”
“Harga diriku dan Ibu sedang dipermainkan. Kamu bilang ini tidak penting!” tekan Dera.
“Ikut aku. MC minta kita untuk menyambut para tamu,” ucap Daren langsung menarik tangan Dera, memaksa gadis itu untuk ikut dengannya.
Dari selesai akad sampai sore hari, keduanya menyambut tamu yang datang. Meski sudah lelah, tetapi Dera tidak bisa pergi begitu saja. Bahkan, dia sampai lupa untuk makan karena terlalu fokus pada tamu yang datang terus-menerus.
Akhirnya, acara selesai juga. Dera bernapas lega, dengan memegang sedikit rok yang dia pakai, gadis itu pergi dari pelaminan untuk ke kamar. Bodoh amat dengan suaminya, pria itu punya kaki, pasti bisa menyusul bila mau. Pikir Dera.
Sesampainya di kamar, Dera langsung merebahkan tubuh tanpa melepas kebaya dan roknya lebih dulu. Kakinya begitu pegal karena berdiri terus. Bangun kembali, Dera memijat pelan pergelangan kakinya yang terasa ngilu. Sampai pintu kamar terbuka, menghentikan aktivitas gadis itu.
“Kata Ibu, saya mandi di kamar ini,” ucap Daren tanpa merasa bersalah karena masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
“Kamu pikir ini kamarmu, apa? Bisa tidak, kalau masuk itu ketuk pintu lebih dulu. Kalau tadi aku masih pakai baju, gimana?” omel Dera.
“Ya, tidak apa,” balas Daren santai.
“Tidak apa kamu bilang? Dasar otak mesum!”
“Saya pinjam kamar mandi.” Dengan membawa handuk dan pakaian ganti, Daren masuk ke kamar mandi yang berada di kamar Dera.
Huh. Gadis itu hanya bisa membuang napas kasar. Menolak pun percuma, yang ada, nanti ibu bakalan marah sama dia. Sambil menunggu Daren keluar, Dera memilih membuka sanggul yang terasa berat. Lalu gadis itu juga mengusap make up.
Ceklek
“Apa tidak ada sabun mandi yang lain lagi?” tanya Daren. Hanya menyembulkan kepala, sambil menunggu jawaban dari Dera.
“Nggak ada! Kalau mau, ya, pakai sabun itu. Kalau tidak, bisa cepat keluar dari kamar mandiku. Karena aku juga mau mandi!”
“Judes.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!