Di ruangan temaram kini tampak dua pasang mata saling pandang dengan tatapan tajam.
"Kembali atau kau akan terus di injak-injak oleh mereka, Adin?" wajah tampan nan tegas itu terlihat sangat serius mengatakannya.
Namun sayang, respon sang anak justru tak ia sangka begitu berani. Ia tersenyum smirk lalu menaikkan sebelah alis dan berkata, "Aku tidak akan berhenti begitu saja. Kau tahu jika apa yang ku putuskan tidak akan mudah di hentikan. Siapa pun itu!" tuturnya penuh penekanan.
Helaan napas kasar terdengar berhembus dari pria yang saat ini berhadapan dengan seorang gadis bernama Adina Auristela.
Hening tanpa ada gerakan di ruangan sunyi tersebut, wanita bertubuh semampai menggeser kursi yang ia duduki hingga suara decit pun menggema di ruangan tersebut.
"Sepertinya tidak ada yang penting lagi. Aku harus segera pergi." Hentakan sepatu boots pun beradu dengan marmer mengiringi kepergiannya meninggalkan gedung tinggi yang baru saja ia pimpin meeting melalui online.
***
Setelah meninggalkan gedung Candramaya Grup, kini Adina meninggalkan mobil sport miliknya di tempat biasa ia akan berganti hidup.
Rambut lurus terjuntai indah kini ia gulung dengan karet pengikat sayur di pasar. Bibir yang tampak terpoles lipstik ia hapus sempurna dengan kapas. Begitu pun dengan pakaian yang elegan sudah tergantikan dengan jaket berlapis kaos ketat dan celana hitam.
"Taksi!" serunya yang berhasil menghentikan taksi di pinggir jalan.
Dalam perjalanan manik mata hitam miliknya beberapa kali melirik jam tangan kulit yang tampak terkupas sampulnya.
"Sabarku harus di mulai lagi. Baiklah demi restu calon mertua kau harus kuat Adina." batinnya bersemangat.
Di sisi yang berbeda, keluarga besar sedang duduk saling berhadapan berbatas dengan meja makan yang cukup besar. Lengkap dengan hidangan makanan yang sudah tersaji sempurna.
Nyonya Aileen Zee Osmon , wanita paruh baya yang selalu tampil dengan ramah kini nampak mulai menunjukkan sisi aslinya, wajah yang teduh tampak memerah menahan rasa kesalnya kala makan siang belum juga di mulai. Sedangkan para keluarga sudah lengkap berjajar rapi di kursi meja makan.
"Apa sih pentingnya membuang waktu untuk orang tidak jelas seperti dia itu? dalam sejarah makan bersama keluarga, kita tidak pernah telat seperti ini." cicit wanita yang menjadi ibu dari pria idaman Adina Auristela.
"Aileen, ini meja makan. Bukan tempat untuk berdebat." tegur sang ayah.
Semua mata hanya menatap acuh ekspresi dari wanita paruh baya tersebut. Sedangkan pria yang menjadi incaran gadis itu hanya menggeleng pelan.
"Granpa, tidak salahkah jika aku kenal dengan gadis yang bahkan sudah nyata tidak di sukai oleh Mommy?" tanya pria yang bernama Kalyan Fin Osmon. Anak pertama dari pasangan Brandon Cashel dan Aileen Zee Osmon.
Mengapa marga Osmon yang tertinggal di ujung nama anak Brandon dan Aileen? Itu semua tentu karena kekuasaan keluarga Osmon lah yang tertinggi. Sedangkan Brandon hanyalah pria biasa yang beruntung di terima di keluarga Leonardo Osmon.
"Fin, dia wanita yang tepat untukmu." tegas sang kakek tanpa terima bantahan.
"Permisi, Tuan. Nona Dina sudah tiba." suara yang penuh sopan santun terdengar jelas.
Di belakang palayan tersebut tampak seorang wanita yang tersenyum ceria. Dua manik matanya bahkan langsung menatap wajah tampan pria yang selama ini belum pernah ia temui langsung.
"Dina, kemarilah bergabung dengan kami." Panggilan dari suara serak itu menarik mata Adina untuk mengalihkan pandangannya dari sang idaman.
"Baik, Kek." ujarnya patuh.
Dalam perjalanan ke meja makan, langkah gadis itu tak lepas dari tatapan sinis Aileen.
"Menarik, tapi...ah sudahlah." batin Kalyan kembali menguasai dirinya.
Melihat kondisi yang tidak mengenakkan, tetap saja Adina tampak santai.
“Kakek, bagaimana kabarnya?” tanya Adina begitu akrab.
Leonardo Osmon, pria tua yang selalu menjadi tempat berlomba keluarga untuk menarik perhatiannya merasa apa yang di berikan Adina adalah sebuah ketulusan yang sangat mahal.
“Kakek sehat terlebih hari ini kau berjanji akan datang.” jawab Leonardo dengan ramah. Lalu ia pun memerintahkan sang pelayan untuk melayani gadis cantik yang menjadi titik sumber pemanas di siang hari itu.
“Ayah, jangan berlebihan seperti itu.” sahut Aileen ketus dan melarang sang pelayan melakukan perintah sang ayah. “Bi Tari, masuk kembali ke dapur. Biarkan dia melakukan apa yang biasa ia lakukan. Memangnya ini rumahnya?”
Mendengar penuturan Ailenn yang kurang mengenakkan, Adina segera tersenyum lebar dan berucap santai. “Ah tidak apa-apa. Saya bisa melakukannya sendiri. Lagi pula Kakek, bukankah Dina harus berlatih untuk melayani Kalyan kelak? Sebelum melayaninya Dina harus melayani diri Dina sendiri dulu.” di akhir kalimat ia terkekeh mungil hingga mengundang tawa Leonardo yang mendengar.
Berbeda dengan Kalyan yang mendadak tersedak karena sangat kaget mendengar keberanian gadis di depannya kini.
“Dasar mulut tidak bersekolah. Pantes dengan penampilannya.” gerutu Aileen kesal setengah mati.
“Sudah Aileen. Makanlah makanan di piringmu.” Kini sang suami yang bernama Brandon akhirnya bersuara menegur sang istri yang selalu membuat suasana tidak enak.
“Tidak apa-apa Ayah mertua. Kita lanjutkan makan saja ayo. Ini saya sudah mengambil makan juga kok.” ujar Adina menggoda sang ayah mertua dengan senyum ganjil.
Semua orang tampak saling pandang kecuali Leonardo yang menggelengkan kepala kecil dan terkekeh tanpa suara.
“Tingkat percaya dirinya sangat tinggi.” batin Kaylan bermonolog.
Ting!! Tiba-tiba hentakan sendok dan garpu memekakkan telinga semua yang ada di situ.
Tentu saja Adina yang sedang makan pun tersentak kaget dan menghentikan makannya.
“Ayah, cukup! Apa gadis seperti ini yang Ayah idamkan selama ini sampai harus melarang semua teman wanita Kaylan untuk mendekat pada cucu Ayah?” suara Aileen tampak emosi kala itu.
“Ibu mertua…maaf.” Adina membungkam sejenak mulutnya dengan tangan saat melihat pelototan mata dari wanita yang sedang terbakar emosi. Lalu melanjutkan kembali, “Tolong jangan berteriak pada Kakek. Saya akan membuktikan jika saya pantas untuk anak anda.” ujarnya dengan yakin.
“Cih. Pantas? Dari mananya? Bahkan penampilanmu saya sudah bisa menggambarkan betapa bar barnya dirimu itu. Kau bisa lihat?” Tangan Aileen menujuk ke arah Kaylan yang hanya menunduk.
“Anakku sangat sempurna. Bagaimana aku bisa rela? Untuk kau dekat dengannya pun aku tidak setuju. Apalagi jika harus bersanding.”
“Apa penilain Anda memang dari penampilan terlebih dahulu? Bagaimana jika saya berpenampilan dengan baik datang kemari? Apa anda akan menyetujui meski anda tahu jika saya tidak sudi untuk memanggil anda seorang ibu?” tanya Adina.
“Apa sebegitu penting semua materi? Jika memang anda benar-benar seperti itu mungkin saya sendiri yang akan mundur. Maaf jika kedatangan saya membuat keributan. Saya datang karena niat tulus saya pada anak anda. Tapi saya sadar, sampai kapanpun anda akan tetap seperti itu. Dan saya tidak ingin menjadi menantu yang membuat suami dan mertua akan ribut setelah kami menikah kelak.” Adina berucap dengan wajah serius.
Semua kaget, karena baru beberapa saat lalu gadis itu berlagak kocak tanpa tahu malu. Dan sekarang ia begitu tegas.
“Permisi,” ujarnya membuat Leonardo seketika berdiri dari kursinya.
“Dina!” panggilnya serak.
“Kakek,” Adina kaget melihat Leonardo memegangi dadanya yang sesak.
Semua pun ikut panik.
“Jangan pergi, Nak.” pintahnya memohoh di sela ringisan sakit menahan dadanya.
“Mommy, persiapan ke rumah sakit. Kita bawa Grandpa ke rumah sakit.” ujar Kalyan panik dan segera memapah tubuh sang kakek yang rapuh.
“Kakek, maafkan Dina, Kek.” gadis itu merasa sangat bersalah. Leonardo adalah pria yang sangat baik padanya.
Mereka memang kenal cukup dekat. Lantaran Leonardo dan Adina merupakan rekan kerja yang saling membantu satu sama lain. Bisa di bilang Adinalah yang cukup banyak membantu perusahaan Leonardo yang saat ini di pimpin oleh Kalyan, sang cucu.
Sedangkan Leonardo, begitu banyak membantu ilmu dalam berbisnis pada Adina.
Di rumah sakit kini tampak para keluarga tengah cemas menunggu pintu IGD terbuka. Manik mata Kalyan memerah memandang ke arah pintu tersebut.
"Kamu tahu ini karena kehadiran kamu kan? apa masih belum jelas kehadiran kamu membuat keluarga kami hancur?" hardik Aileen sembari kedua tangannya menggenggam erat bahu Adina.
"Mom, cukup." lerai Kalyan kala melihat kemarahan sang Mommy yang bahkan mengguncang keras tubuh gadis cantik di depannya.
"Kalian seperti ini karena panik, atau...karena harta Kakek?" tantang Adina dengan berani menatap tegas wajah wanita yang benar-benar merah padam.
Jelas saja Kalyan yang mendengarnya pun sampai menatap tak percaya. Bagaimana bisa ucapan gadis ini benar pada mommynya.
"Adina, ayo pergi."
"Kalyan, lepas tanganku. Mau kau bawa kemana aku? Kakek belum sadar." tuturnya berusaha melepas genggaman tangan pria tampan tersebut.
Tak ada jawaban. Langkah kaki panjang milik Kalyan terus bergerak tanpa menghiraukan tubuh gadis di belakangnya yang terseok karena seretan Kalyan.
"Wanita itu terlalu memiliki mulut yang berani. Tidak akan ku biarkan dia menikah dengan anakku." gumam Aileen menatap punggung Adina dan sang anak yang sudah menjauh darinya.
Sedangkan di depan rumah sakit, kini genggaman yang begitu keras di lepas juga oleh Kalyan. "Tolong, keadaan Grandpa sedang tidak baik. Pulanglah tunggu keadaan baik-baik dulu."
"Apa aku percaya jika kalian benar akan menjaganya hingga sadar? apalagi kau. Untuk menjaga Kakek aku ragu denganmu yang sebagai cucu tertuanya." mata hitam tajam milik Adina mendekat pada wajah tampan yang tak kalah bersih dari wajahnya.
"Itu sebabnya kau membutuhkan aku untuk melakukan hal baik. Karena aku tahu kau bukan pria yang baik. Benar bukan?"
Setelah membuat wajah Kalyan menegang, Adina segera pergi dengan langkah penuh percaya diri. Tak lupa ia mengedipkan sebelah matanya pada sang pujaan.
"Ingat Dina. Untuk mendapatkan hati cucu Kakek, kau harus mencuri hatinya dengan gaya yang mahal. Jangan tunjukkan dirimu yang benar-benar meminta cintanya." Begitulah ucapan Leonardo sebelum pertemuan pertama Adina dan juga Kalyan.
"Gadis saiko," tutur Kalyan sembari memutar tubuhnya meninggalkan tempat sebelumnya.
***
Malam harinya, di apartemen tempat Kalyan melepas lelah tampat suasana apartemen begitu rapi. Lengkap dengan menu makan malam yang masih menguapkan asap pertanda makanan masi baru terhidang.
Kening pria itu mengernyit kala mencium aroma masakan. "Tumben Bibi belum pulang." lirihnya kala memutar handle pintu untuk ia tutup.
Aroma masakan benar-benar membuatnya segar kembali dari rasa lelah.
"Bi! Bibi!" panggilnya sembari terus melangkah mencari sang pembantu.
Namun, alangkah terkejutnya Kalyan melihat punggung wanita yang tengah mencuci piring.
"K-kau..." tunjuknya kaget bukan main.
Gadis itu menoleh dan tersenyum. "Karena makan siang perkenalan kita gagal. Aku menyempatkan untuk makan malam denganmu. Bersyukurlah karena aku tidak marah atau menjauhimu." Adina melepas celemek dan melangkah mendekati Kalyan.
Tanpa di duga, Adina melingkarkan tangannya di leher pria tampan itu.
"Astaga...perasaan apa ini? mengapa aku justru tertantang dengan gadis ini? seharusnya aku ilfil." batin Kalyan bingung. Jujur hatinya selalu gelisah berdekatan dengan gadis yang menurutnya tingkat percaya dirinya sangat tinggi.
Senyuman jahil tersungging di wajah Adina mendapati respon Kalyan yang jelas sangat gugup.
"Buka matamu." pintah Adina yang melihat Kalyan menutup kedua matanya.
"Em...aku lapar." ujarnya gugup.
"Ayo, makanan sudah siap." Adina melepaskan rangkulan di leher pria itu dan berjalan lebih dulu ke meja makan.
Sementara Kalyan yang melihat punggung Adina hanya menatap penuh kebingungan. "Dimana Grandpa dapat gadis aneh seperti dia? bisa serangan jantung aku jika setiap hari di datangi olehnya. Bahkan hari ini di pertemuan pertama sudah dua kali dia datang."
"Katanya lapar? mau sampai kapan mengagumi aku terus?" Pertanyaan Adina sontak membuyarkan lamunan Kalyan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!