NovelToon NovelToon

Kata Mereka, Aku Pelakor

Awas, Si Pelakor lewat!

“Lihat deh, si Qeiza, tampangnya saja yang kelihatan seperti wanita baik-baik, padahal aslinya wanita penggoda!”

“Katanya, Pak Andreas terpikat sama janda muda itu, karena wajahnya mirip almarhum istrinya!”

“Tapi kok dia mau ya, menggoda pria yang pantas menjadi ayahnya. Qeiza itu baru 29 tahun loh, sedangkan Pak Andreas kan sudah hampir 70 tahun!”

“Wanita penggoda itu, apa lagi sih yang diincarnya selain harta! Nanti, saat Pak Andreas berpulang, pasti janda itu yang menguasai harta kekayaannya! Dasar wanita licik!”

Begitulah nada-nada sumbang yang selalu terdengar di indra Qeiza, sejak dirinya bekerja sebagai sekretaris pribadi Andreas Bratajaya, yang tak lain adalah CEO Bratajaya Corporation— perusahaan tempatnya bekerja.

Wajahnya yang sekilas mirip dengan istri sang CEO, membuat gosip itu pun semakin merebak. Terlebih hubungan dirinya dengan Andreas begitu akrab.

Qeiza yang bekerja dengan cekatan membuat Andreas semakin menyukai wanita itu. Hubungan mereka semakin dekat, kala Andreas mengetahui jika Qeiza adalah seorang wanita yang sudah tak bersuami.

Andreas sering bercerita mengenai mantan istrinya kepada Qeiza. Betapa dirinya sangat mencintai sang istri, hingga rela tak lagi menikah demi menjaga cinta suci mereka. Namun, saat melihat wajah Qeiza dan sikap wanita muda itu yang penuh kelembutan, dirinya kembali terkenang dengan almarhum istrinya.

Dan, sejak mengetahui jika Qeiza adalah janda beranak satu, pria lanjut usia itu selalu memberikan bahan kebutuhan pokok. Setiap awal bulan, melalui supir pribadinya, Andreas mengirimkan beras, gula, buah-buahan, sabun cuci dan kebutuhan rumah tangga lainnya ke kediaman wanita itu.

Qeiza sempat menolak, saat barang-barang itu tiba di kediamannya. Namun, dengan alasan takut diberi hukuman oleh sang majikan, supir pribadi Andreas, tetap membawa masuk semua barang pembelian CEO Bratajaya Corporation itu.

“Pak, saya sudah sangat berterima kasih sekali kepada Bapak. Karena Bapak sudah memberikan saya pekerjaan dengan gaji yang besar. Jadi, Bapak tidak perlu lagi mengirimkan barang-barang ke rumah saya. Gaji yang diberikan dari perusahaan, sudah lebih dari cukup, Pak,” ucap Qeiza.

Andreas tersenyum dan menatap lembut, pada wanita yang pantas menjadi anaknya itu.

“Qei, wajahmu dan sifat lemah lembutmu itu memang mirip dengan almarhum istri saya. Tapi, kisah hidupmu mirip dengan almarhum mami saya,” ucap Andreas.

“Mami saya ditinggal mati oleh papi, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Di situ mami berjuang untuk menghidupi saya, dengan menjalankan perusahaan hingga bisa sebesar ini sekarang. Jadi, apa yang saya berikan ke kamu, saya anggap, saya memberikan bantuan itu kepada mami saya. Saya anggap, saya bisa sedikit meringankan beban mami saya di masa lalu.”

Qeiza menghela napas berat. Setelah penjelasan dari Andreas, Qeiza tak lagi melarang pria lanjut usia itu untuk memberikannya barang-barang kebutuhan pokok untuk keluarganya. Walaupun, Qeiza juga harus menerima suara-suara sumbang dari para tetangga.

Bagaimana tidak, Andreas kerap menjemput Qeiza di kediamannya dan berangkat bersama menuju perusahaan. Begitu pula ketika pulang bekerja.

Setiap hari selalu diantar dan dijemput menggunakan mobil mewah, serta sering diantarkan banyak barang, membuat Qeiza harus mendengar komentar-komentar miring dari para tetangga mengenai dirinya.

“Wanita simpanan konglomerat.”

Hati Qeiza sakit mendengarnya. Bukan karena orang-orang mengumpatnya sebagai wanita simpanan. Tapi karena para tetangga mengungkapkan hal itu kepada Qiana—anaknya.

“Qiana, mama kamu itu wanita simpanan!”

“Qiana, kalau sudah besar jangan jadi seperti mama kamu. Harus cari pekerjaan yang halal, biar berkah hidupnya!”

Qeiza sempat berpikir untuk berhenti dari pekerjaan itu. Tapi, ketika dia melihat senyum anaknya, pikiran itu hilang. Putrinya harus mendapatkan banyak kebahagiaan. Putrinya tak boleh hidup berkekurangan. Biarlah orang menilainya apa saja. Selama dia tak melakukan hal yang dilarang oleh agama, Qeiza menutup mata dan telinganya dari pandangan dan ucapan buruk orang lain.

Apalagi, anak-anak Andreas bersikap baik padanya. Terlebih Ivona. Anak kedua dari trah Bratajaya itu, sering mengajaknya makan siang bersama. Namun, hal itu malah mengembuskan kabar, jika Qeiza akan segera menjadi nyonya utama di keluarga Bratajaya.

Dan kabar burung itu sampai juga di telinga Andreas.

Karena tak mau Qeiza terus-menerus menerima praduga itu, Andreas lantas memutuskan untuk pensiun. Dan sebagai sulung dari trah Bratajaya, Ivander Bratajaya lah yang menggantikan Andreas, sebagai CEO Bratajaya Corporation.

Qeiza pun bertukar atasan.

Dirinya kini menjabat sebagai sekretaris pribadi, Ivander Bratajaya.

Tampan, muda dan kaya raya, membuat Ivander Bratajaya digilai banyak wanita. Namun, tak ada seorang wanita pun yang mampu menggoyahkan cinta Ivander terhadap istrinya— Evelyn Chandra.

Evelyn adalah wanita yang sangat dicintai oleh Ivander. Mereka pertama kali bertemu, saat Ivander menghadiri pesta ulang tahun temannya, yang juga berteman dengan Evelyn.

Cantik dan mempunyai tubuh yang proporsional, membuat Ivander tersihir akan pesona Evelyn.

Tak butuh waktu lama hingga Ivander berhasil mendapatkan Evelyn. Dan akhirnya mereka menikah.

Memiliki istri begitu cantik yang sangat dia cintai dan mencintainya, membuat Ivander merasa sebagai pria paling bahagia di dunia ini.

Kehidupan rumah tangga mereka sangat bahagia. Walau tanpa dikaruniai seorang anak. Karena Evelyn tak ingin memiliki anak.

Mempunyai anak hanya akan membuat tubuhnya tak indah lagi. Begitulah pemikiran Evelyn. Walau sedikit merasa kecewa dengan keinginan sang istri, dengan alasan cinta, Ivander tetap mengabulkannya. Mereka sepakat untuk tak memiliki anak.

Dan sekarang, di sinilah Qeiza berdiri. Di sisi Ivander Bratajaya, sebagai istri kedua pria.

.

Setelah satu tahun Qeiza menjadi sekretaris pribadi, kini dirinya menyandang gelar sebagai nyonya kedua, bagi Ivander Bratajaya.

“Tuh, si pelakor lewat.”

“Awas, awas, ada pelakor!”

“Di depan sikapnya sok baik! Lagaknya bak ibu peri, padahal di belakang, jual selangkang*n!”

“Pak Andreas yang sudah lanjut usia saja, digoda! Apalagi Pak Ivan yang masih segar bugar. Janda tidak tau diri!”

“Benar tuh. Dulu saat Pak Andreas masih menjadi CEO, dia menggoda Pak Andreas. Sekarang, saat Pak Andreas sudah pensiun, dia malah menggoda Pak Ivan!”

“Padahal Pak Ivan dan Bu Evelyn, couple goals banget. Harmonis dan selalu rukun. Eh, datang si wanita penggoda! Dasar pelakor!”

Seperti itulah kasak-kusuk para staff Bratajaya Corporation, kali ini. Setiap kali Qeiza berjalan melewati mereka ucapan-ucapan seperti itu selalu terdengar.

Pelakor, wanita penggoda, janda genit, adalah julukan-julukan yang mereka sematkan pada diri Qeiza. Karena wanita itu menikah dengan pria beristri.

Satu bulan sudah usia pernikahan Qeiza dengan Ivander. Selama itu pula, julukan-julukan itu diterimanya. Bahkan, julukan itu sudah didengarnya, beberapa hari, sebelum pernikahan dirinya dan Ivander dilaksanakan.

“Kenapa?” tanya Ivander, kepada istri kedua sekaligus sekretaris pribadinya, saat wanita itu masuk ke ruangannya dengan wajah sendu. Qeiza tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya, “tidak ada apa-apa, Mas.”

Ivander terus menatap sang istri, lalu menghampiri dan menggenggam kedua telapak tangannya. “Apa karena desas-desus itu?”

“Desas-desus apa?” tanya Qeiza.

Wanita itu berpura-pura tak mengetahui maksud pembicaraan sang suami. Qeiza tak mau menambah beban pikiran Ivander. Karena dirinya yakin, Ivander juga pasti merasa kesulitan dengan pernikahan mereka.

Membagi cinta dengan adil, itu pasti tak mudah. Qeiza juga tau posisinya. Dia juga sadar, seberapa besar cinta Ivander terhadap Evelyn.

Andai suaminya dulu tak begitu cepat diambil yang maha kuasa, pasti dia tak akan berada di posisi ini.

Andai dirinya tak menolong Andreas saat itu, pasti dia tidak akan menerima rangkaian hujatan dari banyak orang.

Qeiza menarik napas berat. Ingatannya kembali melayang ke masa itu. Masa di mana sang suami meninggalkannya. Masa di mana akhirnya dia bertemu dengan Andreas, yang kini menjadi mertuanya.

Namaku, Qeiza Hikaru

...*Flashback On*...

40 bulan, sebelum Qeiza menjadi istri seorang Ivander Bratajaya.

Tak ada tangisan yang terdengar dari bibir seorang Qeiza Hikaru, saat menatap tubuh sang suami yang kini terbujur kaku. Sembari menggendong si buah hati yang kini berusia tiga tahun, wanita itu menyeret kaki, mengantarkan jenazah sang suami ke peristirahatan terakhirnya.

Qeiza bukannya tak merasa sedih dengan kepergian mendadak itu. Kehilangan nakhoda di tengah samudra, dengan kapal yang baru saja meninggalkan dermaga, tentu membuatnya limbung. Namun, kini dirinya dihadapi pada pertanyaan, bagaimana cara mereka bertahan hidup?

Sejak menikah, Qeiza sepenuhnya bergantung pada sang suami. Promosi dari perusahaan tempatnya bekerja, tak mampu membuat wanita itu mempertahankan pekerjaannya. Karena itu sudah menjadi janji Qeiza pada sang suami sebelum mereka menikah. Qeiza akan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

Tak lagi ada sang suami di sisi, mau tak mau, membuat Qeiza lah yang harus menafkahi hidupnya serta Qiana—anak semata wayangnya.

Namun, bukan hanya hidup sang anak yang menjadi tanggung jawabnya saat tak ada lagi yang menafkahi. Ada satu sosok lagi yang selalu menemani hari-harinya. Dia adalah Melati, ibu kandung yang juga harus dia penuhi kebutuhannya.

Karena tanggung jawab itu, Qeiza pun berusaha untuk mencari pekerjaan, walau baru satu Minggu tragedi itu terjadi. Tragedi yang menyebabkan sang suami meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Namun, setelah satu bulan berlalu, tak ada balasan surat elektronik yang diterimanya, ponselnya pun masih belum berdering. Tak ada satupun panggilan kerja dari puluhan lamaran yang ia lemparkan.

“Bagaimana ini, Bu? Tabunganku sudah menipis. Belum ada panggilan kerja sampai sekarang. Padahal aku sudah mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke belasan perusahan,” ujar Qeiza, suatu malam. Janda beranak satu itu mengembuskan napas berat. Menatap sang buah hati yang kini tengah terlelap.

“Sementara dari hasil berjualan kue hanya cukup untuk makan kita sehari-hari. Bulan depan, aku juga harus kembali membayar cicilan rumah ini. Apa rumah ini kita over kredit saja ya, Bu?”

“Jangan, Qei. Kalau kita menjual rumah ini dan mengontrak sebuah rumah, bukannya itu sama saja? Setiap bulan kita tetap harus memikirkan uang untuk membayar sewa rumah!” tegas sang ibu.

“Laginya, kalau kamu menjual rumah ini, paling hanya dapat berapa? Cicilan rumah ini bukannya baru berjalan satu setengah tahun?”

Lagi, Qeiza menghela napas berat. Ucapan sang ibu memang benar adanya. Qeiza tak tau lagi harus berusaha seperti apa. Setiap hari dia harus berbelanja dan membuat kue untuk dijual, lalu berselancar di internet untuk melamar pekerjaan.

“Jual saja motor milik Aldi itu. Ibu rasa, hasil penjualan motor itu bisa untuk membayar cicilan rumah dan tagihan listrik bulan depan.”

Qeiza tentu merasa berat menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu. Aldi—suaminya, telah menabung cukup lama, bahkan dari sebelum mereka menikah, hanya untuk bisa membeli sepeda motor itu secara tunai.

Sepeda motor itu memang tak dikendarai Aldi setiap hari. Karena pria itu lebih memilih untuk menaiki bus jemputan dari pabrik tempatnya bekerja. Aldi hanya akan mengendarainya setiap hari Minggu, saat dirinya sedang libur, dan mengajak anak istrinya turut serta.

Jika saja sang suami tak mengalami kecelakaan kerja, bisa dipastikan, besok, suaminya itu akan mengajak dirinya dan anaknya untuk berkeliling kota, mengendarai sepeda motor kesayangannya.

Qeiza masih berusaha untuk tak menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu. Tapi, saat memasuki akhir bulan, uang hasil berdagang kue masih belum dapat menutupi pembayaran cicilan rumah. Akhirnya, Qeiza pun menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu.

“Maaf Mas, aku harus menjual sepeda motor kesayanganmu.”

Qeiza menatap sendu pada sepeda motor kesayangan sang suami, yang perlahan semakin menjauh, dibawa sang pemiliknya yang baru.

Tak mau larut dalam kesedihan, wanita itu gegas melangkahkan kakinya, menuju Bank BTN dan menyetorkan uang hasil penjualan sepeda motor itu.

Qeiza tersenyum, menatap buku tabungan yang kini dipegangnya. “Alhamdulillah, dua bulan ke depan, aku tak perlu lagi memikirkan uang cicilan rumah.”

Qeiza lalu melangkahkan kakinya, menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumahnya. Sisa uang penjualan sepeda motor itu, dibelikannya bahan kebutuhan pokok. Beras, minyak goreng, gula, garam, aneka macam tepung untuk membuat kue.

Qeiza menambah kuantitas kue yang dibuatnya. Karena kini, wanita itu tak hanya berdagang di depan rumahnya saja. Kini, Qeiza juga menitipkan kue buatannya ke warung-warung yang ada di sekitar kediamannya.

Qeiza bahkan berjalan kaki, hingga ke beberapa perumahan dan menitipkan kue buatannya di warung-warung yang ada di sana.

“Alhamdulillah ya Qei, hasil penjualan kue semakin banyak. Kita juga bisa menabung untuk membayar cicilan rumah. Walau kita harus benar-benar berhemat untuk makan,” ucap Bu Melati.

Qeiza mengangguk sembari tersenyum. Namun, dirinya masih terus mengirimkan lamaran pekerjaan. Karena, jika Qiana bertambah besar, hasil penjualan kue itu tidak akan cukup untuk membiayai hidup mereka lagi.

“Qiana harus mendapatkan pendidikan yang baik,” gumamnya.

Hingga dua bulan berlalu, sejak suaminya mengembuskan napas terakhir. Untuk pertama kalinya, Qeiza mendapatkan panggilan mengikuti psikotes untuk masuk di salah satu perusahaan multinasional. Milik salah satu dari sepuluh orang terkaya di Indonesia. Bratajaya Corporation.

“Baik, Bu. Terima kasih banyak atas informasinya.”

Qeiza tak dapat menutupi rasa bahagianya saat ini. Wanita itu berlari menghampiri sang ibu yang tengah bermain bersama Qiana. Tak peduli jemarinya yang berlumur adonan kue, wanita itu memeluk sang anak dan ibunya bergantian.

Bahkan kini, Qeiza dan Qiana tengah melompat-lompat sembari berteriak riang. Qiana yang masih belum mengerti apa yang terjadi dengan sang ibu, hanya ikut merasa gembira dengan kegembiraan yang kini tengah dirasakan oleh ibunya.

Mata Qiana berbinar. Anak berumur tiga tahun itu, sudah lama tak berteriak riang bersama sang ibu. Anak kecil itu masih belum terlalu mengerti, mengapa sang ayah tak kunjung pulang? Mengapa sang ibu tak seceria biasanya?

Dan kini, hati gadis kecil itu begitu bahagia, karena kembali bisa berlompatan riang dengan ibunya. Hal yang dulu sering mereka lakukan. Menari bersama, melompat-lompat bersama.

Dibandingkan dengan Qeiza yang bergembira atas panggilan interview yang diterimanya, Qiana lebih bergembira, karena kembali bisa melihat binar bahagia dari wajah sang ibu, yang belakangan terlihat redup.

***

Tes yang dijalani oleh Qeiza berjalan lancar. Wanita itu optimis akan bisa mendapatkan pekerjaan itu. Menjadi staff di salah satu perusahaan multinasional, dengan gaji di atas standar, Qeiza benar-benar berharap akan diterima bekerja di sana.

Qeiza tengah berjalan keluar dari perusahaan itu, bersama beberapa pelamar lainnya. Melangkah menuju halte pemberhentian bus, Qeiza menangkap suatu pemandangan yang membuat hati kecilnya tergerak. Seorang pria tua, sedang membawa beberapa kantong plastik, tersandung, lalu tersungkur.

Gegas Qeiza berlari dan membantu pria lanjut usia itu untuk berdiri, dan menuntunnya duduk di halte.

“Bapak tunggu di sini saja, biar saya yang memungut buah-buahan itu.”

Qeiza lantas memunguti beberapa buah jeruk dan apel yang berserakan di jalan. Lalu lalang pejalan kaki, tak membuat Qeiza enggan memunguti buah-buahan itu. Seorang juru parkir yang mengenal pria lanjut usia itu, turut membantu Qeiza.

“Terima kasih, Pak,” ucap Qeiza pada juru parkir yang telah membantunya.

Sementara, pria lanjut usia yang tengah duduk pada bangku pemberhentian bus, menatap Qeiza tanpa berkedip, bahkan hingga wanita itu tepat berada di hadapannya.

“Ini Pak, buahnya. Ada dua buah jeruk yang terinjak, jadi tidak saya ambil. Tidak apa-apa kan, Pak?”

Pria lanjut usia itu tersenyum, “iya, tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah membantu saya.”

Tak henti pria lanjut usia itu menikmati wajah Qeiza. Menatapnya lekat. Merasa begitu diperhatikan, Qeiza menjadi salah tingkah.

“Saya permisi dulu, Pak.”

“Mau ke mana?”

“Mau pulang, Pak. Tadi saya habis ikut tes di Bratajaya Corp. Saya permisi dulu, Pak.”

Andreas Bratajaya yang sedari tadi terus tersenyum, lantas menganggukkan kepalanya. Namun, sebelum Qeiza menaiki angkutan kota, Andreas sempat menanyakan nama wanita itu.

“Nama saya, Qeiza Hikaru, Pak.”

Qeiza pun meninggalkan pria lanjut usia itu di sana. Tanpa dirinya tau, jika pria tua itu adalah seorang Andreas Bratajaya, CEO Bratajaya Corporation, perusahaan tempat dia melamar pekerjaan.

“Gadis itu, wajahnya mirip dengan almarhum istriku.”

Menjadi Sekretaris Pribadi CEO

Andreas yang tengah berada di ruang kerjanya, kembali teringat akan sosok seorang gadis yang mirip dengan sang istri. Dalam hati, dia mengucap syukur, karena membeli buah-buahan dari pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Jika tidak membeli buah di sana, dirinya pasti tak akan bertemu dengan wanita itu.

“Bukan hanya wajahnya yang mirip. Kebaikan hatinya juga sama. Apakah dia titisanmu, Sayang?” ucap Andreas, sembari menatap foto seorang wanita yang telah meninggalkannya. 20 tahun berlalu sejak kematian sang istri. Namun, pria tua itu masih belum bisa melupakan senyum manis sang istri. Andreas sangat mencintai istrinya.

“Qeiza Hikaru,” gumamnya. Lagi, dirinya teringat akan wanita muda yang begitu mirip dengan sang istri. Andreas terlihat menghubungi seseorang.

“Minta kepada HRD, data diri seorang wanita yang mengikuti psikotes hari ini. Seorang pelamar wanita bernama Qeiza Hikaru!”

Tak berapa lama, seluruh berkas milik Qeiza pun, berada di tangan Andreas. “Janda?”

Seulas senyum tercetak di wajah Andreas. CEO Bratajaya Corporation itu, dengan segera meminta HRD untuk menghubungi Qeiza.

“Saya akan mewawancarainya secara langsung. Besok, pukul 10:00 WIB!” titah Andreas.

Sementara itu, di salah satu rumah di sudut Ibu Kota, Qeiza yang tengah bermain dengan sang anak, terperangah dengan apa yang barusan didengarnya.

“Apa perusahan besar memang selalu begitu ya? Cepat sekali hasil psikotes keluar?”

“Kenapa Qei?” tanya sang ibu. Melati heran, melihat anaknya yang tengah bergumam dengan pandangan kosong. Melati bahkan harus menepuk pundak sang anak, agar Qeiza sadar dari lamunannya.

“Kenapa Bu?”

“Kamu yang kenapa? Habis terima telepon kok bengong?!”

Pandangan Qeiza pun beralih, menatap ponsel pintar yang ada di genggamannya.

“Ini, Bu, Qeiza dinyatakan lulus tes tahap pertama. Besok pagi diminta untuk wawancara. Aneh banget kan, Bu?”

“Kok aneh? Bukannya bagus? Itu artinya kamu lolos tes kan?”

“Qei baru selesai tes tadi siang, Bu. Dan sore ini sudah dapat hasilnya. Bukannya itu terlalu cepat ya Bu?”

“Mungkin mereka benar-benar butuh karyawan baru, Qei. Harusnya kamu bersyukur, bukan malah bengong seperti itu!”

Qeiza mengangguk. Senyuman pun terukir jelas di wajahnya. Ibunya benar. Dia harusnya bersyukur karena berhasil lulus tes tahap pertama itu. Besok, dia harus memberikan performa yang terbaik. Dia harus bisa menyakinkan pihak perusahaan agar diterima bekerja di sana.

Bratajaya Corporation. Awalnya Qeiza ragu untuk mengajukan lamaran ke perusahaan itu. Itu adalah salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Kecil kemungkinannya dia diterima bekerja di sana. Namun, karena desakan ekonomi, Qeiza harus mengambil setiap kesempatan yang ada, walau kesempatan itu sangat kecil sekalipun. Tapi, siapa yang menyangka jika dia lulus tes tahap pertama?

Dan, keesokan paginya, berbekal doa ibu dan anaknya, Qeiza melangkahkan kaki dengan penuh semangat menuju gedung Bratajaya Corporation. Wanita itu terlihat sedikit gugup. Terlebih belum ada pelamar lain yang hadir di sana. Ataukan memang tidak ada pelamar lain, selain dirinya?

Karena saat dirinya dipanggil masuk ke dalam sebuah ruangan interview, tak ada orang lain di ruang tunggu itu selain dirinya. Apa hanya dia yang diterima dari puluhan orang yang mengikuti tes kemarin?

Qeiza semakin heran saat melihat seorang pria lanjut usia duduk di dalam ruangan itu. Pria tua yang kemarin ditolongnya itu, kini tersenyum lebar padanya.

“Silakan duduk, Qei.”

Qeiza pun duduk di hadapan pria lanjut usia itu. Ada seorang wanita juga di ruangan itu, duduk persis di samping pria yang kemarin di tolongnya.

“Hari ini saya yang akan mewawancarai Kamu. Nama saya Andreas. Andreas Bratajaya.”

“Andreas, Andreas Brata ... Tunggu, tunggu, Andreas Bratajaya? Andreas Bratajaya pemilik Bratajaya Corporation? Bapak tua yang aku tolong kemarin, salah satu orang terkaya di Indonesia? Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Tidak mungkin seorang konglomerat membeli buah di pinggir jalan. Iya, itu pasti tidak mungkin. Pasti aku salah mendengar namanya!”

Saat Qeiza sibuk dengan pikirannya sendiri, Andreas malah menatap janda beranak satu itu dengan senyum merekah. Dia tau, Qeiza pasti sedikit terkejut ketika mendengar namanya.

“Ibu Qeiza,” panggil manajer HRD. Namun, Qeiza masih sibuk dengan lamunannya. “Ibu Qeiza!” Dengan sedikit bentakan, akhirnya Qeiza tersadar, jika dia masih berada di ruang interview, untuk proses wawancara kerja.

“I-iya Bu,” jawabnya gugup.

“Pak Andreas meminta anda untuk memperkenalkan diri.”

Qeiza mengangguk. Wanita itu kemudian memerkenalkan dirinya. Bahkan statusnya sebagai seorang janda beranak satu.

Netra Andreas tak lekang menatap Qeiza. Seperti inikah maminya dulu berjuang untuk menghidupi keluarga?

“Qeiza, saya sudah mendengar resume kamu yang dulu juga pernah bekerja di bidang yang sama, yaitu administrasi. Tapi, saya tidak akan menawari posisi itu.”

Qeiza masih berusaha untuk mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Andreas. Dirinya mengirimkan lamaran pekerjaan sebagai staff administrasi. Dan perusahaan ini memanggilnya untuk melakukan wawancara, tapi bukan untuk posisi yang dilamarnya?

Apa mungkin dirinya hanya diterima sebagai office girl? Tapi jika gajinya masih sesuai standard upah minimun, baginya tak masalah. Dirinya bisa bekerja dari pagi hingga sore, dan malam bisa mengadon kue untuk dijual.

Begitulah benak Qeiza.

Namun, semua dugaan Qeiza salah. Karena Andreas menawarkan sebuah pekerjaan yang tak pernah diduganya. Sekretaris pribadi CEO. Dengan gaji 20 juta rupiah per bulan.

“Ja-jadi, Bapak benar-benar Andreas Bratajaya? Pemilik sekaligus CEO Bratajaya Corporation?”

Andreas tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Qeiza. Wanita muda dihadapannya ini, bukan hanya baik, tapi ternyata juga lugu.

“Penandatanganan kontrak kerja, silakan kamu lakukan bersama Bu Indri. Setelah itu, pulanglah, istirahat. Besok pagi, datang ke ruangan saya. Kita akan mulai bekerjasama.”

Andreas pergi begitu saja, meninggalkan Qeiza dengan segudang pertanyaan di kepalanya.

Sepulangnya Qeiza dari Bratajaya Corporation, wanita itu menghampiri sebuah pusat perbelanjaan. Membeli beberapa pakaian bekerja yang layak. Mulai besok, dirinya adalah sekretaris pribadi CEO. Walaupun masih belum terlalu memercayai hal itu sepenuhnya, tapi, karena sudah menandatangani kontrak kerja, mau tak mau Qeiza harus percaya. Dirinya harus tampil memukau agar tak membuat malu CEO. Bukankah seorang sekretaris pribadi akan ikut kemanapun CEO pergi?

Menguras isi tabungan yang seharusnya digunakan untuk membayar cicilan rumah, Qeiza berbelanja beberapa stel pakaian kerja dan sepasang sepatu.

“Kamu borong?” tanya Melati, saat melihat Qeiza pulang dengan banyak kantongan belanja di tangannya.

“Iya, Bu. Qeiza tadi sudah tanda tangan kontrak kerja. Jadi, Qei membeli beberapa pakaian untuk kerja, sepatu dan ... ini, ada ayam goreng crispy,” ucap Qeiza. Wanita itu meletakkan barang-barang yang baru saja dibelinya.

“Qiana ... Mama bawa ayam goreng crispy kesukaan Qiana nih. Ada hadiah mainannya juga,” panggil Qeiza.

Qiana yang tengah bermain di kamar pun, berlari menghampiri sang ibu. “Mama beyik ayam goyeng?” tanya gadis kecil itu. Qeiza tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Nanti, kalau mama sudah terima gaji, kita bermain di playground ya. Nanti, Qia boleh makan ayam goreng crispy yang buaanyak. Boleh beli mainan yang Qia suka juga!”

“Hoyeeee,” ucap Qiana girang. Gadis kecil itu berjingkrak sembari bertepuk tangan.

“Tapi, nanti, setiap hari mama akan pergi bekerja. Qia di rumah berdua saja dengan nenek, tidak apa-apa, ya?”

“Iya, Mama,” ucap Qiana.

Qeiza dan Melati menatap nanar pada gadis kecil di hadapan mereka. Andai ayah sang gadis tak dipanggil yang maha kuasa, tentu Qeiza akan terus membersamai sang anak 24 jam penuh. Namun, takdir berkata lain. Di usia sekecil itu, Qiana harus kehilangan kasih sayang dari sang ayah yang telah berpulang. Dan, kini perhatian ibunya juga harus terbagi dengan pekerjaan.

Tapi, mereka wajib bersyukur karena dengan mudah Qeiza mendapatkan pekerjaan untuk menyambung hidup mereka secara layak.

“Baju-baju yang kamu beli bagus-bagus semua Qei. harganya mahal ya?”

“Iya Bu. Qei malu kalau pakai baju-baju kerja Qei yang lama. Lagian tidak pantas dengan posisi Qei yang sekarang.”

“Bukannya pekerjaan kamu sama saja seperti dulu? Staff administrasi?”

Qeiza menggelengkan kepalanya. Wanita beranak satu itu, menunjukkan kontrak kerja yang tadi pagi ditandatanganinya kepada sang ibu.

Mata Melati seketika membulat, saat melihat deretan angka nol pada lembar kontrak kerja itu.

“Ya ampun Qei, mimpi apa kita semalam?! Kamu mendapatkan pekerjaan sebagus ini, dengan gaji sebesar ini!”

Melati memeluk sang anak dengan haru. Tak pernah dibayangkan olehnya, jika anak semata wayangnya bisa mendapatkan pekerjaan yang sangat baik. Padahal kemarin, mereka masih kebingungan untuk membayar cicilan rumah. Tapi sekarang, dengan gaji Qeiza yang begitu besar, akan sangat cepat bagi mereka untuk melunasi rumah yang mereka tempati ini.

“Bekerjalah dengan baik Qei. Mendapatkan kesempatan bekerja dengan gaji sebesar ini, tidak datang dua kali.”

Qeiza mengangguk dengan yakin. Tentu saja dirinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Qeiza berjanji pada dirinya sendiri, untuk bekerja dengan sangat baik.

Demi masa depan Qiana—putri semata wayangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!