Samantha Hill membuka matanya perlahan, mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar itu terasa asing baginya, putih pucat seperti rumah sakit, tapi tak ada suara mesin, tak ada perawat. Hanya keheningan. Ketika kepalanya berpaling, ia menyadari bahwa ia tidak sendiri di ruangan itu. Ada orang lain yang tengah terbuai dalam tidur lelapnya. Tapi itu bukan tubuh suaminya. Jantung Samantha berdesir ngilu. Hampir separuh badan pria tersebut tertutup selimut, menyisakan sedikit punggung kekar tanpa balutan.
Seluruh tubuhnya terasa remuk, dengan rasa sakit yang berpusat di selangkangan. Pakaiannya berserakan di lantai. Selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya, namun dingin ranjang hotel itu tetap menyusup hingga ke tulang belulang.
Samantha nyaris menjerit, tapi tenggorokannya kering. Tak ada suara yang keluar. Yang ada hanya air mata, diam-diam mengalir, bersaing dengan aliran rasa bersalah yang begitu dalam.
Dia menikah. Dia punya keluarga. Dia mencintai suaminya.
Leonard Hill adalah pria sempurna di mata siapa pun. Cerdas, elegan, dan penuh kasih. Suami yang dicintainya sejak tahun pertama kuliah. Mereka membangun hidup bersama dari bawah, dan kini telah berdiri sebagai pasangan yang hampir tak tergoyahkan.
Hampir.
Sampai malam itu.
Samantha tak ingat bagaimana ia sampai di kamar itu. Ia hanya ingat gelas anggur ketiga, rasa kantuk yang tak wajar, dan... lalu gelap. Sekarang, gelap itu meninggalkan jejak di kulit dan jiwanya.
Samantha bangkit perlahan, bergerak tanpa suara. Ia mengumpulkan sisa bajunya, mengenakannya satu per satu dengan tangan gemetar. Tapi belum sempat tangannya menyentuh pintu...
"Pergi tanpa pamit, Samantha?"
Suaranya dalam, nyaris angkuh. Pria itu telah bangun dan duduk di ranjang, pria tampan dengan garis tegas di wajahnya. Tatapannya tajam, menatapnya tanpa malu, tanpa penyesalan. Justru sebaliknya. Ia menatap seperti seseorang yang baru saja memenangkan sebuah permainan.
"Anda tahu nama saya?" bisik Samantha, ketakutan.
"Aku tahu lebih banyak dari itu," jawabnya. "Kau adalah milikku sekarang."
Namanya adalah Nathaniel Graves. Seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Kaya, cerdas, dan... sangat berbahaya.
Rasa takut menjalar dalam diri Samantha. Tubuhnya bergetar hebat. Ia berlari keluar dari kamar hotel dengan sisa-sisa kekuatannya, seolah dikejar setan. Tapi rasa bersalah itu tetap menempel, menggerogoti setiap langkah, setiap tarikan napas.
...****************...
Dan saat ia sampai di rumah, menemukan Leonard sedang membuatkan sarapan sambil bersenandung kecil, dunia Samantha runtuh untuk kedua kalinya.
"Kamu baru pulang? Kenapa tidak memberi kabar? Aku sempat khawatir," kata Leonard lembut.
"Maaf sayang... ada begitu banyak pekerjaan malam kemarin dan ponselku kehabisan daya." Sambil menunjukkan ponselnya. Hanya kebohongan pertama yang keluar dari mulutnya. Dan mungkin bukan yang terakhir.
"Kamu pasti kelelahan, kamu bisa membersihkan diri. Sarapan sebentar lagi siap!" Leonard berkata sembari mencium lembut kening istrinya, yang hanya dijawab anggukan ringan dari Samantha.
Samantha berjalan menuju kamar utama dengan tubuh lunglai dan berakhir terduduk lemas di sisi tempat tidur. Derai air mata mulai turun menganak-pinak. Hingga akhirnya ia tersadar, dia tidak boleh seperti ini. Samantha menyeka air mata dan beranjak dari tempatnya.
Air menyentuh kulitnya seperti ribuan jarum dingin menusuk daging. Di bawah pancuran yang menderas tanpa henti, tubuhnya bergetar. Ia menggigil bukan karena suhu, melainkan karena rasa jijik yang tak sanggup ia redam. Tangannya menggosok kulitnya dengan kasar, seolah ingin mengikis seluruh dosa yang melekat, seluruh kenangan yang menodai.
"Aku kotor... aku kotor..." gumamnya berulang-ulang, nyaris tak terdengar di tengah deras air dan isak tangis yang memecah pagi yang hening. Bahunya berguncang hebat, napasnya tersendat di antara tangisan yang pecah dari dada yang sesak oleh penyesalan.
Samantha mencoba kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Namun seberapa keras ia mencoba, tetap tidak berhasil.
Tak peduli seberapa keras ia menyiram tubuhnya, mencuci setiap inci kulitnya, bekas itu tak juga hilang. Tidak dari tubuhnya, tidak dari hatinya.
“Apa yang sudah kulakukan...?” jeritnya akhirnya. Suaranya melengking, menggema di kamar mandi, bersatu dengan gemuruh air dan denting waktu yang seolah ikut mencibir.
Ia tenggelam dalam genangan air mata dan luka, berusaha menenggelamkan seluruh dosanya bersama air yang tak lagi suci. Tapi dosa tak bisa hanyut begitu saja. Dosa tinggal. Dan ia tahu, sejak malam itu, ia takkan pernah jadi perempuan yang sama lagi.
...****************...
Beberapa hari berlalu.
Samantha mencoba melupakan. Menyapu bersih semua dari ingatannya. Tapi mimpi buruk menghantui.
Layar ponsel itu menyala, menyibak gelap kamar yang sunyi. Hanya satu notifikasi, satu pesan singkat. Tapi cukup untuk membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Kau mencuri hatiku malam itu, Samantha. Aku ingin mencurimu sepenuhnya.”N
Tangannya gemetar hebat. Ponsel nyaris terlepas dari genggaman, dan tubuhnya perlahan merosot di sudut ranjang, seolah kehilangan kekuatan. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ruangan yang semula tenang mendadak berubah jadi penjara pengap. Matanya menatap kosong ke layar, membaca ulang pesan itu seakan berharap ia salah lihat. Tapi kenyataannya tetap sama, lelaki itu kembali. Lelaki asing yang seharusnya tinggal dalam kenangan kelam, yang seharusnya tak tahu di mana ia berada.
"Jangan... jangan ganggu aku lagi..." bisiknya parau, padahal tak ada siapa-siapa di sana. Hanya dinding dingin yang membisu, dan malam yang semakin dalam.
Ketakutan itu menjalar liar, seperti belatung yang menggerogoti pikirannya. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat, tapi juga ingin membantingnya, membuangnya jauh-jauh. Namun rasa takut menahannya. Bagaimana jika ia benar-benar datang? Bagaimana jika ia sudah mengawasinya?
Lelaki itu tak hanya mengambil tubuhnya malam itu, ia mengambil rasa aman, harga diri, dan seluruh ketenangan dalam hidupnya. Sekarang, dengan satu pesan, ia merenggut napasnya lagi.
Air mata mengalir tanpa suara. Tubuhnya mulai berguncang, tenggelam dalam kepanikan yang membunuh perlahan. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertelan oleh ketakutan yang membatu di dadanya. Ia merasa terperangkap, oleh masa lalu, oleh dosa, oleh pria yang kini menghantui kembali.
Dan di tengah malam yang bisu itu, ia tahu satu hal: ia belum benar-benar bebas.
Ia menghapus pesan itu. Tapi tidak bisa menghapus rasa takut. Apalagi saat lelaki itu mulai mengirimkan bunga ke kantornya, tanpa kartu. Atau saat ia melihat siluet mobil yang sama terparkir jauh di ujung jalan rumahnya, hampir setiap malam.
...****************...
Pagi ini Samantha sedang membuat sarapan untuk dirinya dan Leonard. Roti panggang dengan isian ham dan sayuran hijau kesukaan suaminya. Saat Samantha menyusun sarapan di meja makan, Leonard muncul dari kamar utama dengan setelan rapi yang telah disiapkan Samantha pagi tadi. Wajah tampan dengan senyum manis yang selalu menggetarkan hati Samantha.
"Selamat pagi, sayang!" sapa Samantha, menghampiri suaminya dan memberikan kecupan singkat di bibirnya.
"Pagi, sayang...." jawab Leonard seraya menarik kursi dan mengambil roti panggangnya.
"Sayang, apa kamu senggang minggu depan?" tanyanya sambil mengunyah roti.
Samantha tersenyum manis. "Apakah kita akan pergi berkencan? Aku akan menyesuaikan jadwal agar kita bisa pergi bersama!"
Leonard tertawa renyah, kemudian berkata, "Ini bukan kencan, sayang."
Samantha mengernyitkan dahinya. "Lantas?"
"Sayang, kau tahu Nathaniel Graves? Dia sahabat lamaku dari New York. Kita akan makan malam bersama minggu depan."
Samantha menggeleng ringan.
"Kamu pasti akan menyukainya!"
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"
"Dia adalah tipe yang selalu disukai banyak orang!"
Samantha kembali tersenyum, dan berkata, "Tapi tidak akan sebanyak aku menyukaimu."
Leonard tertawa ringan, tanpa menyadari bahwa tawa itu menggema seperti suara lonceng kematian di telinga istrinya.
Dan Samantha tahu, permainan ini belum selesai. Bahkan belum benar-benar dimulai.
Sudah seminggu sejak malam terkutuk itu, dan Samantha masih belum bisa bernapas lega. Setiap langkahnya kini diiringi bayangan. Setiap pesan masuk membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Bahkan ketika ia menatap cermin, ia merasa seperti menatap perempuan asing, seorang perempuan yang lemah, pengecut, dan penuh dosa.
Ia mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk Leonard, pergi bekerja, dan tersenyum seolah tak ada yang salah. Tapi di balik semua itu, pikirannya dipenuhi oleh sosok pria asing itu. Sosok yang belum ia ketahui namanya, tapi wajahnya terus menghantuinya.
Samantha telah memblokir nomor tak dikenal yang mengirim pesan itu. Ia bahkan mengganti nomor ponselnya. Tapi teror tidak berhenti. Ada bunga di mejanya setiap pagi. Mawar merah, tanpa kartu nama. Ada bayangan mobil hitam yang sering terparkir jauh di ujung kantor. Dan malam-malamnya berubah menjadi mimpi buruk yang terus berulang.
Tiap kali ia menutup mata, ia melihat wajah pria itu, mendengar bisikannya, "Kau milikku."
...****************...
Pagi ini Samantha datang ke kantor dengan wajah lusuh dan kelelahan, malam tadi ia hampir terjaga sepanjang malam. Bagaimana tidak, setiap kali Samantha mencoba menutup matanya bayangan pria malam itu kembali muncul di pelupuk matanya. Belum lagi bisikan-bisikan sensual yang keluar dari mulut pria itu. Tentu saja itu hanya halusinasinya. Tapi entah mengapa ...itu terasa nyata.
Baru saja duduk di kursi kerjanya, Greg rekan kerjanya datang menghampiri.
"Nyonya Samantha ditunggu di ruang rapat sekarang juga!" sambil menepuk lembut bahu wanita tersebut.
"Sepagi ini?"
Greg yang semula hendak berlalu kembali menghampiri Samantha, lelaki itu sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Samantha sambil berbisik ringan "Sepertinya kamu kurang fokus akhir-akhir ini Samantha?"
"Apa aku membuat kesalahan?"
Greg mengangkat bahunya sambil berkata "Entahlah...tapi beliau tampak murka!"
Tanpa menunggu lama Samantha beranjak dari tempat duduknya.
Di ruang rapat bosnya telah mengunggu dengan wajah keruh. Samantha mengetuk pintu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam, terdengar penuh luapan emosi yang tertahan.
Samantha membuka handle pintu, dan mendorongnya....pintu terbuka menampakkan pemandangan yang tidak terlalu bagus. Kertas-kertas berserakan di meja panjang. Udara di dalamnya lebih dingin dari biasanya, bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan tajam pria di ujung meja. Semua mata tertuju padanya, pada perempuan dengan blazer abu muda yang kini tampak terlalu besar untuk menutupi kegugupan dan rasa bersalahnya.
"Ini... bencana," suara atasannya menggelegar, memecah keheningan. "Bagaimana bisa naskah final dicetak dengan kesalahan sefatal ini? Ini bukan hanya typo. Ini kesalahan struktural. Narasi berubah. Maksud penulis terdistorsi."
Ia berdiri kaku di tempat, tak mampu mengangkat wajah. Tangannya gemetar di sisi tubuh, jantungnya berdebar seperti hendak meledak. "Saya... saya minta maaf, Pak. Saya."
"Maaf?" Potong suara tajam itu. "Permintaan maaf tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana naskah utama kita bulan ini bisa lolos tanpa revisi yang layak. Ini bisa menghancurkan kredibilitas kita!"
Kepalanya tertunduk lebih dalam. Kata-kata atasannya seperti cambuk yang menyayat harga diri. Tapi ia tak bisa membela diri. Ia tahu, kesalahan itu murni karena kelalaiannya.
Beberapa hari terakhir pikirannya terus diganggu oleh bayangan malam yang seharusnya tak pernah terjadi, malam ketika ia menyerah pada kelemahan dan membiarkan pria asing itu menyentuh tubuhnya. Sejak itu, teror datang bertubi-tubi. Pesan-pesan gelap, ancaman samar, dan rasa takut yang terus menempel seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir. Ia sulit tidur, sulit bernapas, apalagi berkonsentrasi.
Dan hari ini, semuanya meledak. Kesalahan fatal yang mencoreng namanya, menghancurkan kepercayaan yang ia bangun bertahun-tahun.
Saat rapat bubar dengan dentingan frustrasi, ia tetap berdiri di tempat, membeku. Air mata menggenang, tapi tak ia biarkan jatuh. Ia harus kuat. Tapi di balik wajah yang mencoba tegar, hatinya menjerit, ia tak hanya kehilangan fokus, ia sedang kehilangan dirinya sendiri.
...****************...
Di tengah semua kekalutan itu, Samantha punya satu tempat berlindung: sahabatnya, Evelyn Hart. Mereka sudah bersahabat sejak SMA, dan tak pernah ada rahasia di antara mereka. Evelyn adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Samantha merasa aman. Namun kali ini, ia belum mengatakannya apa pun.
Hingga siang itu.
"Samantha, kamu kenapa sih belakangan ini? Seperti bayangan orang yang habis lihat hantu terus-menerus," ujar Evelyn sambil menyeruput latte di kafe favorit mereka.
Samantha menunduk. Tangannya yang menggenggam gelas bergetar ringan.
"Eve... kalau aku bilang sesuatu, kamu janji nggak akan menilai?" bisiknya.
Evelyn meletakkan gelasnya. "Sam, apapun itu, aku ada di pihakmu. Cerita, sekarang."
Dan akhirnya, segalanya tumpah. Samantha menangis di pelukan Evelyn, menceritakan segalanya, malam di hotel, pria asing itu, pesan-pesan, bunga, mobil. Semua. Evelyn mendengarkan tanpa menyela, hanya memeluk sahabatnya lebih erat.
"Sam, ini serius. Kita harus cari tahu siapa dia. Kita harus cari cara untuk menjauhkan dia darimu," ucap Evelyn tegas.
"Aku bahkan tidak tahu siapa dia... Aku bahkan tidak tahu namanya," gumam Samantha lirih. "Dan yang lebih parah, Leonard bilang minggu depan kami akan makan malam dengan sahabat lamanya. Aku takut... aku takut kalau ternyata itu dia."
Evelyn menegang. "Kau yakin?"
Samantha menggeleng pelan. "Aku hanya punya firasat buruk."
...****************...
Hari makan malam itu tiba lebih cepat dari yang Samantha harapkan. Malam merayap pelan di balik jendela, membalut langit dengan semburat ungu tua yang megah. Di depan cermin besar yang dipenuhi cahaya kekuningan, Samantha berdiri dengan napas teratur, namun matanya menyimpan gugup yang tak bisa ia sembunyikan.
Gaun satin berwarna burgundy membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, jatuh anggun hingga mata kaki. Bahu terbuka, punggung sedikit terbuka, memberi ruang bagi kulit porselennya bersinar lembut di bawah kilau lampu. Di lehernya, kalung tipis berhiaskan satu butir mutiara menggantung manis, memantulkan sinar seperti embun pagi.
Ia menyapukan lipstik merah anggur ke bibirnya dengan tangan yang hampir tak bergetar lagi. Riasannya tidak mencolok, sekadar foundation ringan yang menyamarkan lelah, eyeshadow keemasan yang membuat matanya berbinar, dan eyeliner hitam tipis yang menegaskan tatapan. Pipinya memerah alami oleh blush tipis dan gugup yang sulit diredam.
Rambut panjangnya ditata elegan dalam balutan gelombang lembut, sebagian disemat ke belakang dengan jepit berhiaskan kristal kecil. Wewangian mawar dan kayu manis samar melayang dari pergelangan tangannya, jejak aroma yang ia pilih dengan hati-hati, tidak terlalu menggoda, tapi cukup untuk membuat pria di sampingnya menoleh dua kali.
Ia menarik napas panjang di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bukan hanya untuk memastikan penampilan, tapi untuk membungkam kegelisahan yang merayap dari dalam.
Lalu, dering halus dari ruang tamu mengabarkan kehadiran pria yang telah menantinya. Ia tersenyum samar, mengambil clutch hitam kecil, dan melangkah keluar.
Leonard datang menghampirinya, memeluk pinggangnya dan mencium bahunya. "Kau cantik sekali malam ini."
Samantha memaksakan senyum. "Terima kasih, sayang."
...****************...
Mereka tiba di restoran mewah di pusat kota. Lampu-lampu kristal bergemerlap di langit-langit, denting gelas dan suara musik jazz menjadi latar. Dan di sana, di meja pojok, berdiri pria itu.
Samantha membeku. Seluruh udara seperti tersedot dari paru-parunya. Itu dia. Wajah itu. Mata itu. Tatapan itu. Pria dari malam itu.
"Nathaniel!" seru Leonard hangat, memeluk sahabat lamanya. "Senang akhirnya bisa bertemu lagi."
"Aku juga, Leo. Senang bertemu kembali," jawab pria itu dengan suara yang sama persis seperti yang mengusik mimpi buruk Samantha. "Dan ini pasti Samantha."
Samantha mengulurkan tangan, pura-pura tenang. "Senang bertemu Anda, Tuan Graves."
"Nathaniel saja. Aku dan Leo sahabat lama, tidak perlu formal," katanya, sambil menahan tangan Samantha sedikit lebih lama dari seharusnya.
Malam itu menjadi ujian paling berat bagi Samantha. Setiap percakapan tampak normal di permukaan, namun Nathaniel terus melontarkan kalimat-kalimat ambigu, seolah menyindir kejadian malam itu tanpa benar-benar menyebutnya.
"Beberapa malam bisa mengubah hidup seseorang, ya?" katanya sambil menyesap anggur. "Satu malam saja bisa membuat seseorang tak bisa tidur berhari-hari."
Samantha nyaris menjatuhkan garpunya.
"Kau baik-baik saja, sayang?" tanya Leonard khawatir.
"Aku... aku hanya sedikit pusing. Mungkin anggurnya terlalu kuat."
Nathaniel tersenyum, penuh kemenangan.
Dan saat mereka pamit pulang, Nathaniel membisikkan sesuatu ke telinga Samantha. Hanya tiga kata, namun cukup membuat darahnya membeku:
"This is war."
Samantha tahu, malam itu mimpi buruknya baru saja dimulai. Kini ia tahu siapa pria itu. Dan yang lebih menakutkan dari dosa adalah kenyataan bahwa pria itu kini masuk ke dalam hidupnya... secara resmi.
Hujan turun deras malam itu. Kota diliputi kabut tipis yang membuat lampu-lampu jalan tampak buram, seolah dunia sedang menahan napas. Samantha berdiri di balkon apartemennya. Sesaat lalu ia berkirim pesan singkat dengan suaminya. Lelaki itu berkata bahwa dia akan datang terlambat karena pekerjaan. Tubuhnya dibalut sweater tebal, namun hawa dingin yang menusuk bukan berasal dari cuaca, melainkan dari rasa takut yang mulai menggerogoti batinnya.
"This is war."
Tiga kata itu masih terngiang di telinganya, membelah malam dengan kekejaman yang angkuh. Nathaniel Graves. Kini ia punya nama untuk sosok dalam mimpinya, mimpi yang lebih seperti kutukan. Lelaki itu bukan hanya hadir kembali, tapi masuk ke hidupnya sebagai bagian dari lingkaran Leonard. Dan yang lebih gila lagi, Leonard tak tahu apa pun.
Pikirannya kacau. Apakah ia harus mengaku? Pada Leonard? Pada polisi? Pada dirinya sendiri?
Tapi bagaimana caranya menjelaskan sebuah dosa tanpa nama, sebuah malam tanpa bukti, sebuah paksaan yang terjadi dalam balutan absurditas kemewahan dan gairah? Siapa yang akan percaya bahwa ia dipaksa, jika tubuhnya sendiri mengkhianatinya malam itu?
Pintu balkon terbuka. Evelyn muncul dari balik tirai, membawakan secangkir cokelat panas.
"Kau terlihat seperti mayat hidup," ucap Evelyn, mencoba terdengar ringan meski matanya menyimpan kekhawatiran.
Samantha menerima cangkir itu. Hangat. Tapi ia masih menggigil.
"Dia sahabat Leonard, Eve. Dia masuk ke hidupku sekarang, secara legal, tanpa bisa kuhindari."
Evelyn menggigit bibir bawahnya. "Kalau begitu, kita harus mulai main di atas papan catur yang sama. Jika dia menyatakan ini perang, maka kita harus jadi musuh yang pantas."
"Aku bukan pejuang, Eve. Aku bahkan nyaris tak bisa tidur sejak itu."
Evelyn menatap sahabatnya dalam-dalam. "Samantha, kau bukan korban biasa. Kau mungkin lelah, tapi kau tidak lemah. Kita akan temukan kelemahan dia. Kita akan paksa dia keluar dari bayangan."
Samantha mengangguk pelan, untuk pertama kalinya sejak malam itu, ada api kecil yang menyala di dadanya. Api itu belum besar, tapi cukup untuk membuatnya bertahan satu malam lagi.
...****************...
Dua hari setelah makan malam itu, suasana kantor berubah. Tak ada pengumuman resmi, tapi bisik-bisik mulai menyebar. Nama Nathaniel Graves muncul dalam setiap gumaman, di ruang makan, di lift, bahkan di grup obrolan rekan kerja yang biasanya dipenuhi meme dan gosip ringan.
Samantha duduk membeku di ruang kerjanya saat Greg melemparkan tubuh ke kursi seberang meja dengan ekspresi dramatis.
“Kamu tahu siapa pemilik saham baru perusahaan kita?” tanyanya, tanpa menunggu jawaban. “Nathaniel Graves. Si sultan misterius yang sekarang punya suara cukup besar di dewan direksi.”
Samantha menelan ludah. Tangannya mencengkeram tepi meja.
“Tunggu... dia... investor?”
Greg mengangguk. “Dan bukan sembarang investor. Dia masuk ke rapat dewan hari ini dan langsung mengusulkan restrukturisasi beberapa departemen. Termasuk editorial. Termasuk departemenmu.”
Jantung Samantha serasa ingin pecah. Rasanya dunia sedang menertawakannya.
Greg tertawa pelan. “Tapi hey, kabar baiknya... katanya kamu kandidat kuat untuk jadi kepala editor berikutnya. Katanya ada yang menjagamu dari belakang.”
Samantha tak tertawa.
...****************...
Saat malam turun dan kantor mulai sepi, Samantha masih duduk di ruangannya. Ia mencoba menyelesaikan revisi naskah, tapi pikirannya terus melayang ke arah satu nama. Dan seperti dipanggil pikirannya sendiri, suara pintu diketuk pelan.
Berdiri di ambang pintu: Nathaniel Graves. Jasnya masih rapi, dasi longgar di lehernya, dan senyum setipis pisau.
“Boleh masuk?” tanyanya, suara rendah itu terdengar jauh lebih akrab dari yang seharusnya.
Samantha tak menjawab. Tapi Nathaniel masuk juga.
Ia menutup pintu perlahan, lalu melangkah ke meja Samantha dengan gerakan pelan seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa lari.
“Aku tidak pernah menyangka akan bertemu lagi denganmu dalam keadaan seperti ini,” katanya, menatap Samantha seperti menelanjangi pikirannya. “Tapi takdir memang punya cara bekerja yang... mengejutkan.”
Samantha berdiri, mencoba menjaga jarak. “Apa yang kau mau?”
Nathaniel tertawa pelan. “Bukan apa, Samantha. Aku ingin kau....”Lelaki itu tidak melanjutkan kata-katanya. Ia mengangkat sebuah map dari meja. Map proposal revisi struktur redaksi. “Dan aku punya kekuatan untuk menempatkanmu di puncak, atau menghapus namamu dari sejarah perusahaan ini.”
Samantha menahan napas. “Kau mengancamku?”
“Anggap saja aku menawarkan peluang,” jawab Nathaniel, menatap langsung ke matanya. “Kau bisa menjadi perempuan paling berpengaruh di sini... atau kau bisa kembali jadi bayangan, digantikan oleh seseorang yang tak tahu sepertiga dari apa yang kau tahu.”
Samantha mendekat, suaranya bergetar. “Kau mempermainkan hidupku, Nathaniel.”
Nathaniel tersenyum samar. “Aku hanya mempermainkan pion yang lupa dia bisa menjadi ratu.”
Ia meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi. Map itu tertinggal di meja. Isinya: surat rekomendasi promosi atas nama Samantha Hill.
Dan untuk pertama kalinya, Samantha menyadari: ini bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang kekuasaan. Tentang kendali. Tentang permainan yang sedang dimulai di papan yang tidak adil.
...****************...
Sejak Nathaniel Graves resmi mengikatkan dirinya secara langsung dengan perusahaan, suasana kantor tak lagi sama. CEO misterius itu kini sering terlihat melangkah menyusuri lorong-lorong redaksi dengan jas hitam yang rapi dan aroma cologne yang pekat, menandai keberadaannya sebelum siapa pun sempat melihat sosoknya.
Langkah-langkahnya tenang namun penuh tekanan. Setiap kehadirannya seperti menurunkan suhu ruangan beberapa derajat, membuat staf menghentikan obrolan, membenahi posisi duduk, dan berpura-pura sibuk. Ia jarang bicara, tapi ketika membuka mulut, semua orang mendengarkan.
Nathaniel bukan hanya sekadar pemilik saham mayoritas. Ia menjadi bayangan yang melayang di balik keputusan penting, rapat-rapat mendadak, dan kini, pembicaraan tentang promosi Samantha.
Dan yang lebih membingungkan semua orang: ia sering terlihat memasuki ruang editorial, menanyakan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak memerlukan kehadiran CEO.
“Samantha, bisa kita bicara sebentar? Di ruang kerja saya.”
Nada bicaranya selalu tenang, namun tak membuka ruang untuk penolakan. Semua yang berkaitan dengannya adalah urusan penting. Begitu kata HR, begitu kata manajemen.
Dan Samantha, dengan seluruh tatapan yang mengawasinya dari balik layar komputer dan kaca jendela, tak bisa berkata tidak.
...****************...
Di balik pintu tertutup ruangannya, Nathaniel berubah menjadi sesuatu yang lain. Formalitas tipis yang ia kenakan di depan umum terkelupas sedikit demi sedikit. Tatapannya jadi lebih dalam, gerak tubuhnya lebih dekat, dan suaranya… lebih rendah, seolah ingin mengisi celah-celah sunyi di dada Samantha.
"Kau selalu tampak mempesona dalam tekanan, Samantha," katanya suatu kali, berdiri terlalu dekat di belakang kursinya.
Samantha menegakkan punggung, tangannya mengepal di pangkuan. "Apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan Graves?"
“Panggil aku Nathaniel… kita sudah cukup sering bertemu untuk melewati formalitas, bukan?”
Ia menyeringai pelan, lalu duduk di sudut mejanya, matanya tak pernah lepas dari wajah Samantha.
Godaan itu bukan berupa sentuhan, bukan pula rayuan vulgar. Tapi jauh lebih berbahaya. Karena Nathaniel tahu bagaimana caranya meresap ke dalam pikiran. Setiap kalimatnya dibalut ambiguitas, antara perintah kerja dan ajakan pribadi. Setiap pujian terdengar seperti ancaman yang dibungkus manis.
Dan Samantha tahu, di luar ruangan ini, semua orang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
...****************...
Desas-desus tak lagi disembunyikan. Beberapa staf mulai berbicara lebih terang-terangan di ruang pantry. Ada yang melirik Samantha dengan senyum sinis, ada pula yang diam-diam menaruh curiga, atau iri.
“Dia sering dipanggil ke ruang CEO, kan?”
“Katanya mereka punya ‘hubungan khusus’. Makanya dia bisa lolos dari pemecatan waktu itu.”
“Coba kalau itu aku yang bikin salah sebesar itu. Udah ditendang keluar.”
Samantha merasakannya semua—tatapan, bisikan, asumsi. Tapi ia tidak bisa menjelaskan, tidak bisa membela diri. Karena yang sebenarnya terjadi… bahkan lebih rumit dari yang mereka tuduhkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!