"Kamu membuat aku gila, Gama!" pekik Nessa setengah sadar. Perempuan itu terus berteriak seperti orang tidak waras.
"Nes, sadar Nes, ini tempat umum," tegur Bima sembari membekap mulutnya.
"Awwhh ....!" desis pria itu mengaduh saat telapak tangannya terasa panas lantaran perempuan itu menggigitnya.
Nessa berjalan sempoyongan meninggalkan Bima yang masih sibuk mengibaskan tangannya yang terasa panas.
"****! Nessa! Ya ampun ... pulang Ness!" geram pria itu terpaksa menggendong sahabatnya dengan gemas.
"Lepas, Bim! Lepas!" Nessa meronta, tapi Bima dengan cepat mengunci pergerakan perempuan itu, lalu memasukan tubuh seksinya ke dalam mobil. Memasang seatbelt, dengan cepat mengitari mobil, duduk di jok bagian kemudi dan segera meninggalkan lokasi.
Pria itu membawa ke apartemennya, dengan langkah lebar segera membaringkan ke ranjang. Ini bukan kali pertama terjadi, bahkan Bima berkali-kali mendampingi sahabatnya menghabiskan hari yang setiap hari dirasa semakin tak beraturan. Pria itu menghela napas lega setelah menjatuhkan bobot tubuh gadis itu ke ranjang. Menatap iba sahabatnya yang berantakan. Melepas sepatunya lalu menyelimuti tubuhnya yang terlihat setengah terbuka, namun bagi Bima, Nessa haram disentuh karena mereka berada di zona teman, sahabat yang tidak ingin saling menyakiti.
Mas Gama!
Bima menatap bingung layar ponsel Nessa yang sedari tadi memekik, karena bingung ia pun membiarkan saja. Beberapa kali masih berdering hingga yang menghubungi mungkin merasa bosan.
Selang beberapa menit berlalu Gama kembali menghubungi adik iparnya lagi. Namun, karena bingung Bima kembali mengabaikannya. Beralih handphone pria itu yang memekik, ternyata yang menghubungi orang yang sama. Bima menatap layar ponselnya dengan bingung.
"Hallo Kak," jawab Bima di ujung telepon. Akhirnya memilih menerima panggilan dari kakak ipar sahabatnya.
"Nessa ada sama kamu, nggak? Aku hubungi nggak bisa, kalau ada tolong bilangin suruh pulang, ini sudah larut," pesan Gama yang membuat Bima terdiam beberapa saat.
"Bima, kamu dengar? Masih ada di sana nggak?" pekik Gama meninggikan suaranya. Pria itu sedikit tidak suka dengan sahabat adik iparnya itu. Entah sebabnya apa, namun Bima sering merasa seperti itu.
"Iya kak, ada, Bima masih mendengar, Nessa—" Bima jelas bingung memberi tahu yang sebenarnya. Ia tidak mungkin memulangkan Nessa ke rumah dalam keadaan mabuk.
Lagian susah payah Nessa berpindah tempat demi tak terlihat pria itu, bagaimana jadinya kalau Bima malah memulangkan ke rumahnya.
"Nessa kenapa? Di mana? Tadi aku ke kosan dia tapi nggak ada, handphone Nessa juga susah dihubungi. Kamu di mana sekarang?" tanya Gama terdengar panik.
"Ada sama aku kak, dia baik-baik saja. Di apartemen Kak—" Belum sempat Bima menyelesaikan kata-katanya, Gama sudah keburu menutup sambungan teleponnya secara sepihak.
Pria berstatus kakak iparnya itu langsung bertolak ke apartemen Bima. Rasanya ia gemas, melihat keduanya yang selalu berperilaku di luar batas. Ya, Gama pikir, antara Nessa dan juga Bima terlibat perasaan satu sama lain, namun yang membuat Gama kesal kenapa Bima tak kunjung beriktikad baik datang ke rumah.
Faktanya, pria itu tak pernah menyangka, perasaan yang Nessa punya malah tercipta untuk pria yang berstatus kakak iparnya.
Bima menatap datar layar ponsel yang telah menjadi gelap, sementara Gama langsung bergegas ke tempat Bima menghampiri adik iparnya. Ayah mewanti-wanti untuk menjaganya, ia merasa harus ikut bertanggung jawab terhadap adik iparnya bila terjadi hal yang menyimpang.
Kurang dari satu jam, Gama sudah sampai di apartemen Bima. Pria itu tahu mereka berdua memang bersahabat semenjak lama. Jadi, tak asing lagi dengan keberadaan Nessa jika bersama, tetapi tetap saja Gama merasa tidak suka bila adiknya terlalu bebas bermain. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama.
"Nessa mana?" todong Gama begitu Bima membuka pintu apartemennya. Pria itu langsung menyerobot masuk tanpa permisi.
"Ada Kak, lagi tidur," jawab Bima santai.
Gama berjalan cepat langsung menerobos masuk ke kamar, sementara Bima mengekor dengan santai. Nessa masih terlelap damai ketika kakak iparnya menjemputnya.
"Nes, bangun Ness, ayo pulang!" ajak pria itu membangunkan adiknya.
Bima membiarkan saja, menyorot datar usaha pria itu membangunkan adik iparnya yang jelas-jelas teler. Gama menutup hidungnya saat mendekat mendapati bau alkohol begitu menyengat dari diri Nesa. Lantas tatapannya memindai Bima, netranya menyorot tajam seakan meminta penjelasan pada pria yang berdiri santai menyender tembok dengan kedua tangannya masuk di saku celananya.
"Nessa berinisiatif sendiri, aku hanya menemani," ucap pria itu santai.
"Aku harap ini yang terakhir kali, dia harus pulang ke rumah," peringat pria itu dengan nada tak suka.
"Lebih baik jangan memaksa, Nessa bisa mengambil keputusannya sendiri," ucap Bima sedikit kesal.
Sebagai seorang yang selalu menjadi tempat curhatnya. Betapa Bima sangat mengerti tersiksanya perasaan Nessa saat harus selalu di dekat Gama.
Tak mendengar omongan Bima, Gama mendekati ranjang dan langsung menggendong adik iparnya, keluar dari apartemen pria itu dengan tatapan mengintimidasi. Pria itu memapah menuju mobilnya.
"Sa, bangun, kamu sudah keterlaluan!" Gama merebahkan perlahan tubuh Nessa hingga terduduk di jok penumpang. Menepuk pipinya perlahan, berharap gadis itu tersadar dan berhenti meracau seenak kata.
"Hmmm, Kak Gama! Hahaha, aku pasti mulai halu. Pergi dari hadapan aku, kak, jangan muncul di depanku. Aku ingin melupakanmu!" gumam Nessa di bawah alam sadarnya. Berkata begitu lantang tanpa beban.
"Sadar Sa, kamu mabuk, berhenti merusuh!" geram Gama merasa kewalahan saat adik iparnya seakan mengamuk. Melampiaskan kekesalannya dengan mengomel dan meninju-ninju kecil dada bidang pria itu.
"Hahaha, kamu membuat hidupku rumit! Aku benci!" Nessa terus meracau, mendekap manja, tak peduli pria itu merasa bingung. Gadis itu memeluknya tanpa risih, memainkan rahangnya yang kokoh, membuat pria itu beberapa kali menelan saliva gugup, menormalkan kewarasannya.
"Astaghfirullah ... kamu dalam masalah Sa! Berhenti meracau, atau kamu akan malu dengan kelakuanmu!" geram Gama gusar. Memberi jarak, sedikit menjauhkan tubuhnya yang menempel tanpa sekat.
Bagaimanapun dirinya seorang lelaki dewasa yang beristri, jadi sangat harus menjaga batasan. Apalagi yang ada di hadapannya ini adalah adik dari istrinya sendiri.
Gadis itu memang setengah mabuk, namun pikiran alam bawah sadarnya mengutarakan kejujuran yang terasa sakit. Ia muak dengan hidupnya, muak dengan pikirannya yang menginginkan sesuatu yang bahkan dimiliki kakaknya.
Menit berikutnya Nessa terlihat diam, dengan lamunannya, tepar setelah Gama memenangkan. Pria itu tak habis pikir kenapa adik iparnya yang dulu terlihat kalem sekarang begitu sangat berbeda. Bahkan terlihat begitu sangat membenci dirinya jika dalam keadaan sadar.
Melihat kondisi Nessa tak sadarkan diri, Gama juga nampak bingung hendak membawa ke mana, ke rumah jelas tidak mungkin dalam keadaan mabuk begini. Akhirnya pria itu memutuskan membawa adik iparnya pulang ke kostnya Nessa sendiri.
Keesok paginya, Nessa tersadar dan merasa dirinya baik-baik saja. Bahkan ia tidak yakin kalau Gama yang menjemputnya dan membawa pulang ke kosan. Gadis itu pikir, Bima yang mengantarnya seperti biasanya.
Perempuan itu pergi ke kampus seperti biasanya. Ia menghubungi Bima untuk bertemu siang nanti setelah kuliah. Nyatanya pria itu sedang menghadiri rapat penting di perusahaan ayahnya. Karena merasa tidak ada kegiatan setelah menyelesaikan urusan kampus, Nessa memilih pulang saja.
Gadis itu melempar tas punggungnya ke lantai begitu saja setelah memasuki rumah. Menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang beberapa bulan ini telah menemaninya dari pelarian konyolnya. Gagal move on, mungkin saja, tetapi keberadaannya saat ini cukup membuat hatinya lebih nyaman.
Gadis itu memejamkan matanya sejenak, menikmati kesendiriannya dalam ruang hampa. Ia menolak untuk mengingat rupa tampan Gama yang terus mengitari otaknya. Suara vibrasi handphonenya yang memekik sama sekali tidak ia hiraukan, hanya menatap dengan malas layar ponselnya tanpa minat mengangkatnya.
Suara gedoran pintu yang nyaring di telinganya jelas membuat gadis itu terusik. Ia menarik diri dari pembaringan, mendekati pintu dengan langkah malas. Hidupnya tiada menarik lagi semenjak dua tahun terakhir ini. Menepi sendiri menata hati.
Gadis itu membuka pintu kamar kostnya. Menemukan seseorang yang paling tidak ingin ia temui.
"Nessa, kenapa mengabaikan panggilan kakak?" Pria yang paling ingin Nessa hindari muncul di hadapannya.
"Sorry, nggak tahu ada telepon," dusta gadis itu menatap malas.
"Aku ke sini mau menjemput kamu pulang, ibu sakit!" kata pria itu terdengar risau.
"Ibu sakit? Kok bisa? Ada Mbak There 'kan?" jawabnya masih santai.
Setahun terakhir ini ibu memang sering sakit-sakitan, kambuh darah tingginya tapi masih bisa diatasi. Jujur Nessa malas pulang kalau memang tidak emergency.
"There nggak bisa pulang, baru saja berangkat luar kota tadi pagi, kakak bingung, kamu pulang ya?" pintanya setengah memohon.
"Ya udah nanti aku pulang, kak Gama pulang saja dulu!" ujarnya terdengar nada ketus.
"Bareng aja ya, aku tunggu," kata Gama sembari masuk ke kamar kost gadis itu.
"Kakak tunggu di luar, aku mau ganti baju," titahnya menyorot tak ramah.
"Owh oke, kakak tunggu di depan," jawab Gama sembari melipir meninggalkan rumah singgah ukuran lima meter persegi itu.
Gama keluar kamar, sementara Nessa segera menukar pakaiannya. Sebenarnya ia malas di rumah, selain dengan aturan ibu dan kakaknya, juga tentang seseorang yang selalu membuatnya gelisah.
Dua puluh tujuh menit berlalu, Nessa keluar dengan style anak muda kekinian outfit terusan di atas lutut dipadukan jaket denim. Perempuan itu menatap tak suka kakak iparnya yang menunggu dengan santai.
"Udah? Rok kamu apa nggak terlalu pendek?" tanya kakak iparnya meneliti gadis itu.
"Kenapa? Ada masalah? Masih wajar kok, kalau kakak tidak nyaman bareng sama aku, aku pulang sendiri saja," ujarnya bergegas.
"Nessa, tunggu, oke nggak pa-pa, ayo bareng," ucapnya dengan nada pasrah.
Nessa melirik sinis, begitulah caranya agar tidak terlalu dekat dengan kakak iparnya itu. Perempuan itu memang sengaja menjaga jarak demi menjaga hatinya agar tetap waras. Biar bagaimanapun, apa yang selalu bersarang dalam pikirannya tidak boleh terealisasikan atau akan menyebabkan huru hara dalam dirinya.
Selama dalam perjalanan, baik Nessa maupun Gama sama-sama diam. Mereka tidak ada yang minat membuka obrolan. Sebenarnya Gama ingin menanyakan hal semalam namun ia urungkan, mungkin saja adik iparnya itu hanya salah berkata karena memang dalam keadaan mabuk.
Tunggu, bukankan orang mabuk bekerja di bawah alam sadarnya, dan biasanya itu jujur. Lantas yang dikatakan Nessa kemarin, apa maksudnya ingin melupakan Gama? Mengapa Nessa begitu dingin dan membencinya.
Gadis itu terlihat dingin, sedang Gama lebih kepada bingung cara menyikapi adik iparnya itu.
"Kaka minta maaf kalau membuat kamu tidak nyaman, atau dalam situasi yang sulit," celetuk pria itu setelah memarkirkan mobilnya dengan benar.
Nessa tidak minat menanggapi, ia berlalu begitu saja dan hendak turun dari mobil. Namun, pria itu mengunci mobilnya.
"Nessa, kamu kenapa sih! Apa kakak pernah berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hatimu? Telah berbuat yang menyebabkan kamu marah, seolah aku telah berbuat kesalahan yang besar."
Nessa menatapnya malas, perempuan itu hanya diam tanpa menjawab.
"Oke, anggap saja aku salah, aku minta maaf, kenapa kamu bersikap kaya gini? Kamu sadar semalam ngomong apa?" tanyanya tidak mengerti.
"Udah sampai 'kan? Tolong buka kuncinya, aku mau keluar!" titahnya dengan nada dingin. Nessa benar-benar lupa dengan kejadian semalam, atau ia tidak ingin menjawab karena tidak ingin kakak iparnya tahu dirinya mempunyai perasaan khusus terhadapnya.
Gama menghela napas sepenuh dada, ia tidak mengerti dengan detail mengapa adik iparnya itu terlihat sangat tidak menyukainya. Beberapa kali ia mendapati adik iparnya lebih suka berdiam diri, bahkan sudah tiga bulan ini keluar dari rumah memilih kost di luar, padahal jelas ibu di rumah sendirian.
Tak ingin berdebat terlalu panjang, Gama mengikuti langkah pasti Nessa yang berjalan menuju ruang rawat. Perempuan itu langsung memasuki ruangan diikuti Gama mengekor di belakangnya.
"Mama, Mama sakit apa Ma? Nessa di sini," ujar gadis itu mendekati ranjang.
"Nessa, kamu udah datang sayang," lirih Bu Rianti berujar. Menatap putrinya, tangannya terulur membelai mahkotanya dengan sayang.
"Mama jangan sakit-sakitan, Ma, bikin Nessa tidak tenang," ucap gadis itu menatap sendu.
"Kamu pulang ke rumah ya, Mama kesepian?" ujar perempuan paruh baya itu serius.
Nessa sebenarnya merasa kasihan, namun ia juga tidak betah tinggal di rumah semenjak Mbak Tere menikah dengan Mas Gama. Nessa merasa tidak nyaman dan terusik, lebih tepatnya hati perempuan itu yang terusik, karena pada dasarnya hatinya selalu ingin dekat, walau serasa tidak mungkin namun itulah kenyataanya.
"Mbak Tere mana Kak, kenapa nggak ada di sini? Seharusnya jemput juga pulang dong, kenapa cuma aku?" tanyanya sedikit kesal.
"Tere sedang tidak di rumah, baru saja berangkat luar kota tadi pagi, sorry ya jadi terpaksa kakak panggil kamu. Lagian kenapa harus ngekos segala sih, jaraknya juga tidak terlalu jauh dengan kampus, lebih baik di rumah, sekalian bisa jagain mama," usul Gama yang tentu saja tidak diiyakan.
Sebenarnya Nessa tidak sampai hati meninggalkan mamanya sendiri, namun perempuan itu jelas segan bila harus seatap terus dengan penghuni baru di rumahnya yang jelas-jelas membuat dirinya gagal move on, gagal fokus bahkan gagal mencintai orang lain.
"Sa, makan dulu, dari tadi belum makan 'kan?" tawar Gama perhatian.
"Kak Gama nggak kerja? Kalau mau ngantor tinggal aja, Kak, biar Mama aku yang jaga."
"Kerja sih, nanti berangkat agak siangan nggak pa-pa sebagian sudah aku limpahkan pada asistenku, lagian kasihan mama kalau ditinggal-tinggal."
"Maaf ya Kak, jadi banyak ngerepotin, seharusnya ini tanggung jawab aku dan mbak Tere."
"Nggak pa-pa lah, aku kan juga anaknya, sama aja kan, mewakili Tere," jawab Gama bijak.
"Iya sih." Nessa tersenyum simpul mengiyakan.
Dua hari Mama Rianti dirawat secara intensive. Darah tinggi mama kumat, dan menyebabkan perempuan itu pusing-pusing sehingga dilarikan ke rumah sakit. Hari ini akhirnya mama sudah boleh pulang dan rawat jalan saja.
"Ma, Mbak Tere pulangnya kapan ya?" tanya Nessa merasa kurang nyaman.
"Kenapa Nes, kamu ada perlu? Kenapa tidak telepon saja," ujar mama Rianti santai.
"Nggak ada sih, aku harus balik ke kost, Ma, aku juga ada kuliah, nggak mungkin izin terus," ujar Nessa resah.
"Maafin Mama ya Nes, jadi terbengkelai," ujar Mama merasa tak enak.
"Nggak pa-pa, Ma, hanya saja—sudahlah lupakan saja. Aku baliknya nunggu kakak pulang saja."
"Selamat beristirahat, Ma," ucap Nessa mencium kening ibunya lalu keluar dari ruangan.
Nessa beranjak, melangkah gontai menuju kamarnya. Saat melewati ruang tengah, menemukan kak Gama tengah menikmati secangkir teh sendirian. Perempuan itu pun berlalu begitu saja, bingung lebih tepatnya mau menyapa.
"Nessa!"
Nessa menghentikan laju kakinya begitu namanya mengudara masuk di telinganya.
"Apa Kak, ada yang bisa saya bantu?" sahut gadis itu cukup formal tanpa menoleh.
"Kakak mau ngomong boleh?" Terdengar langkah kaki mendekat.
"Lima menit, waktu dari sekarang," ujarnya memberi ruang.
"Oke, terima kasih, bisa kita duduk di sana," tunjuk pria itu pada sofa.
"Di atas saja," ucap Nessa terus berjalan mendahului. Gadis itu menuju beranda di lantai dua, tempat favoritnya kalau di waktu senggang.
"Mau bicara apa?" tanya Nessa dingin. Enggan menatap bukan lantaran tak suka, namun menyembunyikan rona wajahnya yang terasa gugup jika netra itu bertemu.
Gama tak langsung berbicara, ia menatap adik iparnya begitu lama.
"Maaf Kak, waktu habis dan saya harus kembali ke kamar!" ucap Nessa merasa jengah.
Pria itu menahan lengannya, membuat seonggok daging bernama hati itu mengumpat karena merasa tak mampu menghindar bahkan menyela. Ia begitu patuh saat kak Gama membimbingnya untuk duduk.
"Kamu kenapa terus menghindari kakak, aku ada salah?" tanya pria itu cukup bingung.
"Nggak ada, bukankah memang biasanya begini ya?" ujar Nessa dingin.
"Kamu terus menghindariku seakan ada sesuatu yang kamu sembunyikan," selidik Gama serius.
"Itu cuma perasaan kakak saja, maaf, sudah malam aku harus istirahat," pamit Nessa sedikit gugup. Jelas ia menghindar, takut dan merasa malu jika kakak iparnya sampai tahu perasaannya selama ini.
"Malam kemarin kamu bilang aku membuat hatimu rumit, apa maksudnya?" seru pria itu kembali menghentikan langkahnya. Gadis itu memejam matanya sejenak, tetap tenang untuk menjawab pertanyaan yang mati-matian ingin ia hindari.
"Maaf Kak, aku tidak ingat," dusta Nessa di titik buntu.
Gadis itu memang mabuk, namun tidak hilang kesadarannya penuh, jadi ia sebenarnya sedikit ingat hanya tidak begitu jelas. Sungguh malu bila apa yang dikatakan kak Gama itu benar.
Gama termangu di tempat, sementara Nessa kembali melajukan langkahnya ke kamar. Menghela napas lega begitu sampai di ranjangnya, rasanya bingung luar biasa.
"Gue ngomong apa ya? Duh ... mana Gama mulai curiga dengan perasaan gue, ribed beud perasaan."
Nessa menjatuhkan bobot tubuhnya di ranjang. Menatap langit-langit kamarnya, pikirannya melanglang buana entah ke mana, hingga larut gadis itu tak menemukan kantuknya.
Karena merasa belum ngantuk, gadis itu ngadem di balkon. Menatap pekatnya malam dengan seberkas sinar bintang yang berkerlip. Syahdu, udara dingin semakin menambah aksen hampa hatinya.
Terpaan angin malam yang menimpa mahkotanya menyibak wajahnya yang ayu. Tanpa sadar, dari balkon sebelah ada yang memperhatikan.
"Kamu belum tidur? Katanya ngantuk!" celetuk pria itu cukup jelas di telinganya.
Tanpa menoleh Nessa sudah tahu siapa yang bicara. Tak ingin menanggapi lebih lama, lebih kepada takut pria itu banyak bertanya, Nessa langsung meninggalkan balkon itu begitu saja. Memastikan pria itu tidak terlihat di sekitarnya.
Sungguh situasi yang membuatnya tidak nyaman, harus terus berperang melawan perasaannya.
"Ya ampun ... bisa gila lama-lama di rumah," gumam gadis itu menggerutu. Membenamkan wajahnya pada bantal, berharap malam ini bisa tidur tenang tanpa bayang-bayang wajah itu.
Keesokan paginya, Nessa bangun seperti biasa. Membersihkan diri dan bersiap dengan kegiatan hari ini. Setelah beberapa kali mengikuti pembekalan magang, hari ini adalah penentuan di perusahaan mana para mahasiswa akan dialokasikan.
Perempuan itu sudah rapi, dengan style lebih feminim pagi ini. Keluar kamar dengan rambut tergerai indah. Mendatangi meja makan yang ternyata sudah terisi semua anggota keluarganya, termasuk kak Tere.
"Pagi Sa, tumben kuliah rapih amat?" sapa Mbak Tere terlihat tengah menyiapkan sarapan untuk Ibu dan juga Kak Gama.
"Kakak sudah pulang? Jam berapa sampai kak?" tanya gadis itu mendekat. Cipika-cipiki sejenak, lalu duduk di dekat Mama Rianti, tepat di hadapan pria itu yang kini tengah khusuk menikmati sarapan roti.
"Dini hari, setelah selesai urusan kakak, kakak langsung pulang, kasihan kamu jadi repot jagain Mama, maaf ya?"
"Kok minta maaf sih kak, Mama Rianti kan juga mama aku, iya kan Mah?" tekan Nessa menyakinkan. Secuil hati selalu merasa tersisih saat harus dibedakan, dirinya memang bukan anak yang terlahir dari rahim yang sama, namun mereka dibesarkan oleh malaikat ibu yang sama.
Perempuan paruh baya itu mengangguk, tidak pernah membedakan keduanya.
"Eh ya, berhubung Mbak Tere sudah pulang, nanti Nessa kembali ke kost ya Ma, Nessa janji bakalan sering pulang," ucap gadis itu kembali tenang.
"Kenapa nggak tinggal di rumah saja, Sa, sekalian jaga Mama, kasihan kesepian, jam terbang aku padat banget, ini aja cuma pulang dua hari harus terbang ke Makasar."
"Pergi lagi?" tanya Nessa tak percaya. Gadis itu melirik kak Gama yang tidak merespon tetap menikmati sarapannya dengan khusuk.
"Lusa sudah mulai magang Mbak, aku juga sibuk, kenapa Mbak Tere ambil job yang jauh-jauh sih," keluh gadis itu kurang setuju.
"Resiko wanita karir ya gini, Sa, nikmati saja mumpung masih muda."
Uhuks uhuks!
Mama terdengar batuk, perempuan itu sebenarnya tidak begitu setuju dengan pekerjaan Tere yang terlalu sibuk, orang tua itu lebih menginginkan anaknya berkarir di rumah mengurus keluarga, terlebih sudah tiga tahun menikah belum dikasih momongan, membuat wanita paruh baya itu sedikit waswas.
"Minum Ma!" Tere cekatan menyodorkan air bening dalam gelas.
"Sudah siang, aku berangkat dulu sayang," pamit Gama usai sarapan. Sepertinya biasa meninggalkan jejak sayang di kening istrinya, membuat pemandangan itu terasa ngilu saja. Apalagi terlihat jelas bekas tanda merah di leher jenjang Mbak Tere semakin membuat paginya gagal fokus.
"Iya sayang, hati-hati di jalan," ucap perempuan itu manis.
"Sa, bengong, berangkat bareng kakakmu saja sana, hemat ongkos kan?"
"Eh, tidak usah Mbak, Nessa sudah ada janji berangkat bareng teman," tolak gadis itu beralasan.
"Nggak pa-pa Sa, ayo kalau mau bareng!" tawar Gama datar.
Mau tidak mau akhirnya gadis itu mengiyakan, walaupun hatinya masih kesal. Entah itu tentang apa, rasanya selalu tak nyaman melihat dua sejoli itu mengumbar mesra.
'Sadar Nessa, ayolah jangan cemburu, mereka itu sepasang suami istri jadi sangat wajar bila melakukan itu,' batin Nessa merutuki dirinya.
Selama perjalanan mereka hanya saling diam, baik Nessa ataupun Gama tidak menyumbangkan suaranya sedikit pun.
"Makasih Kak," ucap gadis itu turun dari mobil. Pria itu hanya mengangguk dengan senyuman.
Memasuki area kampus, langsung menuju kelasnya. Hari ini sebenarnya pengumuman perusahaan untuk mahasiswa magang. Informasi tersebut akan dibagi secara online sesuatu jurusan.
"Lo dapat di mana Sa?" tanya Khaira teman seangkatannya.
"PT GH corporation!"
"Wah ... selamat, kamu dilirik perusahaan besar," ucap Khaira ikut senang.
Berbeda dengan gadis itu yang merasa bingung sendiri. Bagaimana tidak, perusahaan tersebut adalah perusahaan kak Gama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!