NovelToon NovelToon

Pengagum Rahasia

Chapter 1 - Aa Tersayang

Tinggal menghitung bulan saja para siswa/i yang kini tengah berada bangku SMA tingkat akhir akan dinyatakan lulus. Tapi dengan syarat harus mengikuti semua rangkaian ujian demi ujian sampai pada puncaknya yaitu Ujian Nasional atau UN. Perjalanan selama tiga tahun yang penuh suka duka dan masa pencarian jati diri akan segera berakhir. Dan mereka akan mulai memasuki fase kehidupan orang dewasa yang sesungguhnya.

Begitu lah yang kini tengah di alami oleh seorang gadis yang bernama Namira Azzahra, seorang gadis yang masih duduk di bangku SMA tingkat akhir. Pagi ini adalah hari pertama ia akan ujian sekolah, meski ia sudah berusaha belajar sejak beberapa minggu yang lalu, tapi tetap saja ia takut dan khawatir kalau soal-soal yang ada berbeda dengan materi yang sudah ia pelajari.

‘’Bismillah..’’ gumamnya percaya diri saat ia berdiri di hadapan cermin, lalu ia mengambil tas dan memakainya.

Saat ia melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya, ia begitu terkejut ‘’aduhh udah jam segini lagi’’ Rara sapaannya, dengan terburu-buru ia meminta di antar kakak untuk menuju sekolah.

‘’Bang... Bang.. ayo Bang cepet anterin aku nanti aku kesiangan nih’’ Rara menepuk bahu Rio kakaknya. Lalu ia pun langsung memakai sepatu.

‘’Bang..bang.. emang abang bakso apa, orang ganteng begini juga di panggil abang’’ sahut Rio yang sedang menikmati secangkir teh.

Huhh dasar sok ganteng hihi. Rara melirik jahil kearah Rio yang sedang memakai jaket.

‘’Bu.. Ibu.. aku berangkat ya, doain aku ya Bu. Assalamu’alaikum’’ ucap Rara sambil menyalami tangan ibu. Sementara Rio sudah bertengger di motor menunggu adiknya yang super duper cerewet.

‘’Pasti nak, Ibu selalu doakan kamu sayang, Wa’alaikumussalam’’ balas ibu.

Rara yang begitu khawatir akan terlambat menyuruh Rio untuk lebih cepat lagi mengendarai motornya. Ya karena Rara cerewet, jadi kalau kakaknya tidak mengikuti perintahnya, ia akan terus ngoceh-ngoceh yang pada akhirnya membuat Rio tidak tahan dengan ocehan si Rara.

Rara memang gadis yang cerewet, ia tidak akan berhenti bicara kalau perintah atau keinginannya belum terpenuhi. Kalau di sekolah sih dia sok jaim gitu, katanya jaga image dan cukup teman terdekat atau sahabatnya saja yang tahu sifat asli Rara yang cerewet. Terkadang egois, pelupa, keras kepala dan cuek tapi Rara baik ko dan kalau sifat baiknya sih nggak di buat-buat alias tulus.

Begitu juga saat ia terus-terusan ngoceh agar Rio lebih cepat lagi mengendarai motornya, dalam waktu lima belas menit mereka pun sampai dan beruntung pintu gerbang masih terbuka luas dan lebar, jadi Rara bisa lebih sedikit tenang. Mungkin kalau ia sampai di sekolah lima menit lagi, bisa-bisa gerbangnya sudah tertutup rapat.

‘’Alhamdulillah, untung aja belum telat. Lagian tadi abang bawanya lama banget, kalo ngak aku suruh cepet-cepet pasti aku di tutupin deh’’ ucapnya seraya membuka helm.

‘’Aduh dek, ini kan udah sampai bisa ngak sih ngak usah ngoceh mulu. Panas nih kuping dengernya. Udah masuk sana!’’ ucap Rio yang begitu gemes dengan Rara

‘’Iya iya bawel deh, nih helmnya. Assalamu’alaikum Abang ganteng akuhh’’ pamit Rara sambil meledek Rio

Wa’alaikumussalam, perasaan yang bawel dia deh, kenapa malah abangnya yang ganteng ini yang di bilang bawel. Dasar Rara. Batin Rio

Baru saja Rara sampai di ruang kelasnya, bel masuk pun sudah berbunyi menggema di area sekolah. Tak lama setelah bel berbunyi, beberapa guru pengawas ruangan pun terlihat mulai memasuki kelas-kelas pertanda ujian akan segera di mulai.

Salah satu guru yang bertugas megawas di ruangan Rara pun masuk dan langsung meminta siswa/i untuk berdoa. Setelah berdoa, soal-soal ujian pun mulai di bagikan.

Huft Alhamdulillah soalnya tidak jauh beda dari materi kemarin. Batinnya gembira saat mengamati soal-soal yang baru saja ia terima.

Rara terlihat begitu tenang saat mengerjakan soal demi soal yang ada di hadapannya. Karena sudah matang dalam menguasai materi, jadi ia tidak terlalu panik saat melihat soal-soal yang bertebaran di atas kertas itu.

Bahkan sebelum waktu berakhir pun ternyata Rara sudah menyelesaikan pekerjaannya, tak ada satu soal pun yang jawabannya kosong. Semua soal di isi dengan jawaban terbaik menurutnya ‘’Alhamdulillah selesai juga’’ gumamnya pelan sambil mengecek kembali lembar jawabannya.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bel yang di tunggu-tunggu terdengar juga. Itu berarti ia sudah boleh untuk mengumpulkan lembar jawabanya kepada pengawas.

----

‘’Ra.. tumben banget tadi dianterin, biasanya kan kamu ngak mau alasannya udah gede lah atau kalo diantar kaya anak kecil lah terus...’’ Rara memotong ucapan Riska teman sebangku di kelasnya. Jari telunjukknya ia dekatkan tepat didepan bibir Riska. ‘’sstt... Ris bisa ngak sih kalo ngomong itu pake jeda dulu’’ ucapnya yang sedang serius dengan buku-buku yang tergeletak di atas meja.

‘’Sebenanya sih ngak mau, tapi berhubung tadi itu udah mepet banget waktunya dan kalo telat lima menit aja, bisa-bisa aku ngak ikut ujian hari ini’’ sambungnya.

‘’Eh tapi ngomong-ngomong yang antarin tadi pagi itu siapa? pacar ya? ’’ kepo Riska, sementara Rara justru malah tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.

Apa? jadi si Rara udah punya pacar, tapi ngak mungkin deh orang dia aja sentuhan tangan ngak mau sama aku, masa sekarang malah pacaran. Batin seseorang yang tidak sengaja mendengar percakapan Riska dengan Rara.

Rara masih belum menjawab pertanyaan Riska, ia malah masih menertawakan Riska. Sementara Riska malah semakin kepo. Karena menurut Riska, Rara itu sangat anti pake banget deket-deket sama teman laki-laki, makanya ia begitu penasaran saat tadi pagi melihat Rara diantar seorang laki-laki.

Rara tidak ingin menjawab pertanyaan itu, ia justru akan mengenalkan Riska pada Rio kakaknya saat nanti ia di jemput.

Sejak pertama masuk SMA, Rara memang jarang sekali atau bahkan belum pernah diantar Rio sampai ke depan gerbang sekolah karena ia selalu menolak dengan alasan kalau ia itu sudah dewasa dan ingin mandiri. Ya begitulah sifat Rara yang bisa dibilang keras kepala, kalau ia sudah berkata iya makan sulit untuk diubah menjadi tidak.

Saat mereka sedang asik mengobrol sesekali di selingi candaan yang membuat mereka tertawa, tiba-tiba saja bel berbunyi, pertanda bahwa jam ujian kedua akan segera di mulai.

Riska yang berbeda ruang ujian dengan Rara buru-buru bangkit dari duduknya dan langsung bergegas menuju ruang ujiannya, khawatir sudah ada pengawas yang sudah masuk ke ruang ujiannya. Sementara Rara sibuk merapikan buku-buku yang tadi ia pelajari sebentar, dan ia pun segera menyiapkan peralatan ujiannya.

Salah satu guru yang bertugas mengawas pun masuk dan langsung mengintruksikan agar barang-barang yang ada di atas meja atau pun di kolong meja dan yang berhubungan dengan ujian segera di masukkan ke dalam tas, lalu meletakkannya di depan.

Sejurus kemudian, soal-soal dan lembar jawaban mulai di bagikan oleh pengawas. Dengan mengucap Bismillah, Rara mulai mengerjakannya.

Saat sedang fokus menulis jawaban demi jawaban, seseorang memanggilnya.

"Sstt.. Ra.. Rara.. Ada pulpen lagi ngak? Pinjam dong Ra" pinta Azka.

Dengan rasa malas dan kesal ia pun menoleh ke arah Azka "Makanya besok-besok siapin pulpen sekarung, biar ada cadangannya kalau habis" ucapnya sambil mengambil pulpen lalu memberikannya kepada Azka.

Pengawas yang melihat mereka berdua, segera menegurnya. Karena peraturan di sekolah sangat ketat apalagi kalau sedang ujian seperti ini. Kalau ketahuan pengawas sedang mengobrol pasti langsung di tegur.

"Kamu yang di belakang!" pengawas tersebut menunjuk Azka, sontak saja ia pun kaget saat di tegur.

"Kenapa malah ngobrol dan bukan mengerjakan? " pengawas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tempat Azka.

Awalnya Rara tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tapi ia pun merasa kalau Azka tidak bersalah dan ikut membelanya

"Tapi Bu, saya cuma pinjam pulpen sama Rara. Kalau ngak pinjam saya ngak bisa lanjutin ngerjainnya Bu" jelas Azka

"Tapi kenapa harus pinjam dengan Rara?" tanya pengawas

"Karena saya di depannya Bu, lagian kalau dia pinjam ke teman sebelah ke jauhan Bu." bela Rara.

Beneran yang tadi Rara belain aku? Ya semoga dia ngak kesel dan sebel deh sama aku.

Setelah mendengar penjelasan Rara, akhirnya Azka di perbolehkan melanjutkan ujiannya lagi. Pukul 11.30 bel berbunyi pertanda bahwa ujian telah selesai. Semua siswa/i pun segera mengumpulkan lembar jawaban kepada pengawas.

"Eh Ra.. makasih ya untuk yang tadi" ucap Azka saat Rara hendak duduk setelah mengumpulkan lembar jawaban.

"Ehhmm,, makanya besok-besok jangan lupa tuh beli pulpen sekarung, biar nggak kaya tadi lagi" ocehan Rara tanpa menoleh ke Azka karena ia sedang merapikan barang-barangnya.

Di luar ruangan Rara ada Riska yang sedang menunggunya. Wajahnya pun tak karuan, antara pusing karena habis menjawab soal-soal yang cukup sulit, ia juga merasa kesal karena Rara belum juga keluar dan wajah-wajah kepo karena ingin tahu tentang laki-laki yang akan Rara kenalkan kepadanya.

"Haduh.. si Rara lama banget deh. Masa aku suruh nunggu mulu. Udah tau nunggu itu kan nggak enak.. Huh! " gerutunya, yang tanpa disadari orang yang ia tunggu sudah ada di belakangnya.

"Masa sih? Emang kamu nungguin siapa sih Ris" ledek Rara yang membuatnya kaget "ya ampun Ra, kenapa ngak bilang sih kalau kamu udah keluar" rajuk Riska

"Habisnya tadi tuh aku mau panggil kamu, eh kamu malah ngomong sendiri. Ya udah aku diamin aja deh"

"Isshh.. terus kita jadi nggak nih ketemu sama Aa kamu?" tanya Riska yang langsung di jawab cepat oleh Rara "jadi dong, biar kamu ngak kepo. Yuk dia lagi otw ke sini ko" Rara mengajak sahabatnya yang sedang merajuk. Sebenarnya sih bukan marah tapi cuma kesal.

"Jadi beneran yah kalau Rara punya pacar?" gumam seseorang yang mendengar pembicaraan Rara dan Riska.

Sinar mentari yang begitu terik ditambah lagi angin yang di tunggu tak kunjung datang, membuat cuaca semakin panas. Mereka masih setia menunggu kehadiran seseorang yang masih belum datang juga.

Sementara di lain tempat, ada sepasang mata yang diam-diam memperhatikan Rara dan Riska dari jauh.

"Raa.. Aa kamu kapan nih datang nya? Panas banget nih Ra.. Ternyata Aa kamu sama aja kaya kamu, suka banget bikin orang nunggu" keluh Riska

"Sabar Ris.. Kalau kamu ngak mau ketemu ya nggak apa-apa sih tap.. " ucapannya terpotong "aku mau ko nungguin, yang penting bisa ketemu sama aa kamu" senyumnya merekah dengan tiba-tiba.

Sekolah semakin sepi, karena para siswa/i sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi belum ada tanda-tanda kalau Rio akan datang. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pulang saja. Baru beberapa langkah, mereka menoleh karena ada yang memanggil Rara.

Rara yang menyadari kalau yang datang adalah Rio, langsung menarik tangan Riska dan menghampiri Rio.

"Ra.. jadi ini si Aa yang tadi pagi anterin kamu?" tanyanya histeris. Rara yang melihat tingkah Riska hanya bisa diam.

"Aa?" Rio bingung apa maksudnya panggilan aa itu.

"Iya,, Aa yang tadi pagi antarin Rara ke sekolah kan A? "

"Oh iya dong, kenalin saya Rio Aa tersayangnya Rara" ucap Rio sambil melirik ke Rara

"Riska A.. jadi benar ya kalau Aa ini pacar Rara?" belum sampai Rio atapun Rara menjawab. Seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka tiba-tiba datang.

"Pacar? " Rara, Rio dan Riska kompak menoleh ke sumber suara.

"Azka? Kamu masih disini, kamu lagi ngapain? " Rara mulai menginterogasi Azka

"Palingan tuh dari tadi dia ngikutin kita dan ngupingin, iya kan Ka?" Riska menyambar pembicaraan

"Ehh.. enggak, aku ke sini karena mau balikin ini pulpen yang tadi" ia mengeluarkan sebuah pulpen dari sakunya.

"Alaaah.. palingan itu alasan aja ya kan?" sahut Riska

"Kenalin saya Rio, Aa kesayangannya Rara" Rio menjulurkan tangannya kepada Azka

"Azka Ka" ia menyalami tangan Rio.

"Ya sudah Ra, kita pulang yuk. Eh tapi sebelumnya Aa mau ajak kamu pergi ke suatu tempat" ajak Rio tapi tidak ada sahutan dari Rara.

"Ra.. bukannya kamu selalu jaga jarak ya sama laki-laki?" tanya Azka tertunduk

"Kalo itu sih harus, tapi masa sama kakak sendiri nggak boleh sih. Rara ini adik tersayangnya Aa Rio" jawab Rio sambil memberikan penjelasan pada Azka da Riska yang salah paham.

"Yuk Ra otw, guys duluan yah Assalamualaikum" pamit Rio pada dua teman Rara.

Riska dan Azka hanya diam terpaku sambil menatap Rara dan Rio yang berjalan semakin menjauh. Mereka masih tidak mengerti maksud ucapan Rio. Keduanya pun saling bertanya-tanya.

"Jadi dia bukan pacarnya, tapi kakaknya ya. Ah mas sih, aku ngak percaya deh" gumam Riska sambil berpikir-pikir

"Kamu kenapa ngak percaya sih sama sahabat sendiri. Udah tau mereka itu adik kakak, bukannya pacaran" ucap Azka tegas.

"Santai bro santai ngak usah ngegas gitu dong,, sampe segitunya kamu belain Rara. Oh aku tahu, kamu tuh ada hati ya sama Rara. Sampe-sampe kepo sama si Aa yang kita omongin di kelas tadi kan? Ngaku deh" Riska coba menggoda Azka, kali-kali aja dia beneran jujur sama Riska masalah hatinya.

"Sok tahu, udah ah duluan. Kamu jagain tuh sekolah jangan sampai ada yang bawa kabur. Assalamualaikum"

"Jagain, emang rumah keong yang bisa di bawa kabur gitu aja. Huh dasar, aku tuh yakin deh kalau dia ada hati sama Rara. Tapi gengsi mau jujur" gumam Rara sambil berjalan ke arah parkiran motor untuk mengambil motornya.

Kalau tadi aku sampai jujur ke si Riska, bisa-bisa heboh satu sekolah. Tapi gengsi juga aku harus ngakuin masalah itu. Batin Azka

Karena Azka sudah pulang, Riska pun segera menuju parkiran motor siswa. Dari kejauhan, Riska melihat seseorang sedang termenung di atas motornya. Dan ternyata dia adalah Azka.

"Bro! Ngapain ngelamun di sini, awas ke sambet loh siang-siang begini. Masih mikirin si hati yang berharap ke Rara ya, ya kan? " Riska menjeda ucapannya sesaat. "Eh bro aku duluan yah, mending kamu aja gih sana yang jagain sekolah biar ngak kabur. Haha.. Assalamualaikum" ucapnya setelah memanasin motornya lalu melaju meninggalkan Azka yang masih ada di sana.

Azka masih tidak mengerti dengan hatinya sendiri. Jiwa dan pikirannya pun melayang dan berangan-angan tak tentu. Akhirnya setelah cukup lama termenung, ia pun segera menyadarkan dirinya sendiri dan tidak mau terlalu berlarut-larut memikirkan seseorang yang bukan siapa-siapanya. Dan segera ia menggas motornya agar cepat sampai ke rumah.

Chapter 2 - Semua Karena Rara

Dalam perjalanan menuju rumah, Rio bertanya tentang Azka pada adiknya. Ia ingin memastikan kalau Rara dan Azka tidak ada hubungan apa-apa. "Dia cuma teman aku Bang, lagian tuh si Azka kan sok cool gitu, jadi tidak mungkin lah dia ada perasaan sama aku. Apalagi aku kan selalu jaga jarak sama laki-laki. Jadi Abang tidak usah mikir yang aneh-aneh ya" jelas Rara. "Tunggu deh, ini kan bukan jalan ke arah rumah" gumam Rara pelan saat menyadari kalau Rio sepertinya akan membawanya pergi. "Eh...ehh Bang, ini kita mau kemana sih" tanyanya bingung. "Udah kamu diam saja, nanti juga tau kita mau kemana" jawab Rio santai. Huft dasar, untung sayang. Coba kalo ngak.. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di depan sebuah cafe. Eh tidak, lebih tepatnya mereka sampai di sebuah toko di samping cafe. Ya Rio mengajak adiknya ke sebuah toko buku. Entah tujuannya apa, tapi sepertinya ia ingin membeli buku. Tapi kenapa juga Rara harus ikut? ya supaya Rio tidak merasa jomblo haha. "Ngapain si Bang kita ke sini" ucap Rara saat turun dari motor lalu melepas helmnya. "Oh aku tau.. Abang ngajak aku ke sini supaya aku temenin dan biar ngak di kira jomblo. Ya kan? ngaku deh" goda Rara "Sstt bawel banget.." Rara memotong ucapan Rio. "Bawel? Bukannya bawel itu ikan ya Bang" ia berpura-pura berpikir. "Itu ikan Bawal Rara sayang, cantik, manis tapi cerewet. Udah ayo masuk, mau Abang traktir novel ngak nih" ucapnya gemash, sedangkan Rara hanya tertawa senang. Akhirnya mereka pun berjalan memasuki toko buku tersebut. Sesampainya di dalam, mereka kembali ribut. "Bang liat novel dulu ya.. ya.. ya please" rengek Rara "Ngak ah, mending kita liat-liat komik dulu aja. Kan kamu Abang yang traktir, jadi harus nurut sama Abang. Ok" "Iihh.. Abang mah ngak mau ngalah. Ya udah kalo gitu kita masing-masing aja. Terus nanti ketemunya di meja kasir" ucapnya dengan wajah cemberut. "Oke, duluan ya by. Awas jangan sampai nyasar loh Haha" setelah meledek Rara, Rio langsung berlalu menuju buku rak komik yang mana itu buku favorit Rio. Begitu juga dengan Rara, dengan penuh semangat ia langsung menuju rak-rak buku kumpulan novel. Karena ia hobi sekali dengan membaca apalagi kalau yang ia baca adalah novel, dalam satu minggu saja ia bisa menyelesaikan beberapa buah novel yang cukup tebal. Bagi Rara sendiri, waktu yang paling menyenangkan adalah saat ia benar-benar bisa fokus dengan buku bacaannya tanpa ada gangguan dari siapapun. Ya begitulah sifat Rara. Sesampainya di salah satu novel, ia begitu senang bukan main. Novel yang selama ini ia incar selama beberapa bulan, akhirnya ia temukan. Dan tidak tanggung-tanggung, ia mengambil beberapa novel yang paling terbaru untuk ia beli, eh maksudnya di beliin bang Rio. "Mudah-mudahan aja si Abang mau deh beliin semua ini" gumamnya dengan memegang beberapa novel. "Mending sekarang aku cari aja si Abang, kemana sih tuh orang. Emang ngak takut apa kalau adek tercantik dan tercerewetnya hilang" Belum sampai ia melangkah, ponsel di dalam saku roknya bergetar. Dan ternyata ada pesan masuk dari ibu. Dari: Ibu Assalamualaikum Ra.. kamu ko sudah jam segini belum pulang, bukannya kalau ujian pulangnya cepat ya. Kamu ngak kenapa-kenapa kan Ra? Jangan pulang lama-lama ya, kamu kan masih ujian jangan main kemana-mana dulu loh. Ibu nungguin kamu nih, cepat pulang yah. Wassalamu'alaikum. Setelah membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya. Rara justru diam terpaku, ia merasa bersalah dengan ibunya. Sampai-sampai tidak sengaja seseorang menabraknya dari belakang. Bruukk.. Buku-buku dan ponsel yang sedang ia genggam jatuh seketika. Begitu juga dengan tubuhnya yang juga ikut terjatuh. "Aduhh.. Sakit ihh" Rara meringis sakit, karena saat ia terjatuh kepalanya membentur rak-rak buku yang ada di belakangnya. Sementara si penabrak membantu merapikan buku-buku dan ponsel Rara yang terjatuh lalu memberikannya "Nih.. Sorry ya saya lagi buru-buru" ucap seseorang itu sambil menyerahkan buku pada Rara dengan wajah yang tertunduk. Entah kenapa ia menunduk, yang pasti sebelum Rara bangkit ia sudah menghilang. "Huft.. bukannya tolongin, malah ngilang dasar aneh" Saat ia mencoba bangkit tiba-tiba Rio datang "Haha.. ya ampun Ra.. kamu ngapain si di duduk di situ. " Bukannya nolongin Rio malah meledek yang membuat Rara semakin kesel. "Ngak lucu tau! Udah tau adeknya jatuh terus kesakitan bukannya di bantuin malah di ledek. Sebel!" "Jatuh? Ko bisa? Lagi ngapain emangnya Ra? Atau kamu... " Rara dengan cepat memotong "Sstt.. aku ini habis jatuh Bang bukan lagi interview. Jadi ngak usah interogasi aku deh" Akhirnya setelah Rio puas mendengar ocehan adik tersayang sekaligus cerewet. Ia pun membantu Rara dan segera mengajaknya pulang. "Astagfirullah Bang, tadi Ibu sms aku suruh pulang cepat. Dan Abang ngajak aku ke sini belum bilang sama Ibu kan? "tanyanya serius. "Terus kenapa?" jawab Rio santai tanpa merasa bersalah. "Tuh kan, nanti aku yang di marahin Ibu Bang. Abang kan tau kalau lagi ujian aku ngak boleh main. Udah ayo cepetan Bang kita pulang" Rara menarik tangan Rio dan langsung mengajaknya pulang. Sebenarnya sih Rio merasa bersalah saat ia sadar kalau ia belum izin untuk mengajak Rara pergi. Tapi sudah terlambat, ibu pasti curiga kenapa Rara pulang telat dan pasti akan kena tegur. Ibu memang melarang Rara untuk pergi saat ia masih ujian di sekolah. Alasannya agar Rara lebih fokus belajar dari pada main yang mana hanya membuang waktu saja. Karena kalau sudah pergi keluar dengan temannya Rara pasti lupa waktu. Kalau tidak di ingatkan, tidak mungkin Rara akan pulang cepat. Pasti ia akan pulang lewat maghrib. Kurang lebih 30 menit waktu yang di butuhkan untuk sampai ke rumah. Karena memang jarak dari toko buku tersebut cukup jauh, belum lagi ditambah jalanan yang sering macet. Rara tahu kalau ibu pasti sudah menunggunya dan sudah siap untuk menegur. Mau tidak mau Rara harus menerimanya, karena ia melanggar aturan yang ibu buat. Akhirnya mereka pun sampai ke istana mereka yang sederhana, dari kejauhan terlihat ibu yang sedang membersihkan halaman rumah. Dengan penuh rasa dag dig dug Rara pun menghampiri ibu. "Assalamualaikum Bu" dengan wajah datar dan pasrah ia menyalami Ibu diikuti dengan Rio setelahnya. "Wa'alaikumussalam, kamu langsung masuk aja. Makanannya sudah ibu siapkan dan jangan lupa ganti bajunya dulu ya" ucap ibu lembut seperti tidak ada apa-apa, padahal Rara tahu kalau sebenarnya ibu sudah menyiapakan waktu untuk menegurnya. Mendengar perintah ibu, segera ia masuk ke dalam tanpa menolak. Biasanya sih Rara selalu nolak alasannya nanti lah, masih kenyang, belum lapar dll. Tapi kali ini ia nurut, karena ia sudah membuat satu kesalahan pada ibu. Dan kalau ia menolak bisa-bisa saat itu juga teguran ibu di mulai. Aduh gimana nih, gara-gara si Abang nih. Aarrgg sebell!. Ucapnya dalam hati saat ia masuk ke dalam untuk mengganti baju. Selesai ganti baju, ia langsung segera menuju meja makan. Ternyata di sana sudah ada ibu dan bang Rio yang menunggunya untuk makan siang bersama. Suasana meja makan yang biasanya hangat dan ramai karena saling berbincang. Kini menjadi dingin dan sepi, hanya terdegar dentingan suara sendok dan garpu yang saling begantian. Beberapa menit pun berlalu, mereka telah menyelesaikan makan siang. Rara pun segera membereskan meja makan tersebut dan juga membersihkan piring yang kotor. Sebenarnya ibu tidak menyuruh, tapi karen Rara merasa bersalah maka ia pun melakukannya tanpa diminta. "Emang bener Ra, tadi Bang Rio yang ngajak kamu? Bukan kamu yang ngajak Bang Rio?" Ibu mulai membuka suara saat Rara sudah selesai dan duduk kembali di meja makan. "Iya Bu, maaf ya tadi aku ngak izin sama Ibu dulu" jawabnya dengan wajah tertunduk. "Kalau kamu jujur Ibu ngak akan marah, lagi pula kan bukan kamu yang minta pergi kan. Tapi jangan di ulang lagi ya". Tangan Ibu menyentuh dagu Rara dengan maksud agar Rara menatap Ibu. "Ra.. Sebagai permintaan maaf, kamu boleh ko beli buku lagi yang kamu suka.." belum sampai selesai berbicara, Rara memotongnya begitu saja. "Bener ya Bang, ngak boleh bohong loh" ucapnya penuh semangat. "Hmm tadi diam-diam aja, eh giliran ngomongin buku aja langsung nyamber" Rio mulai memancing Rara "Yah kan gara-gara Abang, aku jadi di telat pulangnya" kesalnya. Ibu yang melihat tingkah keduanya hanya geleng-geleng kepala. Bagi ibu meski kini anak-anaknya sudah dewasa, namun kalau sedang bertengkar seperti ini mereka kembali mengingatkan ibu saat keduanya masih kecil. --- Rara.. Rara.. dan Rara itulah yang ada di pikirannya sepanjang perjalanannya menuju rumah. Tak henti-hentinya ia terus memikirkan Rara dan juga Rio kakaknya. Pertanyaan Riska terus terngiang-ngiang di kepalanya. Apakah mungkin kalau yang jemput Rara tadi memang kakaknya atau mungkin pacarnya? "Huuhh... Rara.. Rara. Kenapa sih kamu harus hadir dalam hidupku, bikin aku.. " Belum sampai ia melanjutkan ucapannya, Azka hampir saja menabrak seorang pejalan kaki yang sedang menyebrang. "Aduh Azka.. Azka.. hampir saja kamu berurusan sama polisi. Kalau sampai itu terjadi gimana coba pandangan Rara.’’ ucapnya pelan Setelah menempuh kurang lebih 20 menit plus hampir terjadi insiden tabrakan. Azkan pun sampai di rumahnya. Rumah yang cukup luas dengan taman kecil di bagian halaman depan membuat suasana rumah tersebut tampak asri dan indah saat mata memandang. Tanpa membuang waktu Azka langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam. Ia langsung rebahkan tubuhnya ke sofa yang ada di ruang keluarga. Tanpa Azka sadari seorang wanita sudah memerhatikannya sejak tadi. "Ekhmm.. Wa'alaikumussalam" ucap seseorang yang tiba-tiba datang, tentu saja membuat Azka kaget dan membuatnya merubah posisi dari tiduran jadi duduk. "Eh Mama.. Assalamualaikum Mama cantik" Ternyata ia adalah mama Azka. Bukan Azka namanya kalau ia melakukan kesalahan bukannya langsung minta maaf, malah merayu agar tidak kena marah. "Azka.. harus berapa kali lagi sih Mama ajarin kamu, kalau masuk atau keluar rumah biasakan ucapkan salam" Mama langsung duduk di sebelah Azka. "Eh.. Iya Ma, maaf ya Mama ku yang cantik. Janji deh ngak di ulang lagi." ia lantas bangkit dari posisinya "Aku ke kamar dulu ya Ma" pamitnya kemudian berlalu menuju kamar. Sejurus kemudian Azka yang hendak membuka pintu kembali di kejutan dengan teriakan mama "Azka.. ini tas kamu kenapa ngak di bawa juga. Kalo ada yang ilang Mama ngak tanggung jawab loh ya" Azka lantas menepuk jidatnya, kenapa coba tas itu harus ketinggalan. Tapi biarlah, toh di dalamnya juga cuma ada beberapa buku aja. Bukannya menanggapi ucapan mama, Azka malah tidak peduli dan tetap ingin masuk ke kamarnya. "Aduhh.. Rara.. Rara.. kenapa sih kamu bisa secantik, semanis, sepolos, dan se se se yang lainnya" ucapnya yang tanpa sadar di dengar oleh seseorang. "Rara.. siapa itu? Pacar kamu ya?" Mama memergoki Azka yang tengah bergumam sendiri dengan pintu kamar yang tidak di tutup. Mama? Ko Mama bisa ada disini sih. Aduhh.. gawat nih, bisa-bisa Mama mengajukan berbagai pertanyaan yang banyak buanget, berasa di interview nih. Pertanyaan mama sukses membuat Azka terdiam. Lidahnya seolah kaku dan mulutnya seperti di kunci. Tidak hanya sepatah kata pun yang terucap. Hanya berbagai tingkah aneh yang ia tunjukkan. "Azka..." tegur Mama "Eh iya Ma, tadi Mama nanya ke aku ya" pertanyaan macam apa itu "Terus menurut kamu Mama ini tadi nanya siapa? Kucing?" sahut mama dengan wajah yang kesal. "Maaf Ma.. maaf, Mama ko bisa masuk sih. Perasaan Azka udah kunci deh pintunya" ucapnya sambil mengingat-ingat. "Perasaan? Haha" mama spertinya sedang menggoda Azka. "Kayaknya perasaan kamu ke si Rara.. Rara itu ada sesuatunya deh, sampai pintu ngak di tutup aja dibilang di kunci. Haduh.. Azka.. Azka" mama sudah tak bisa menahan tawanya, sementara Azka terlihat malu-malu. "Mama serius Azka. Siapa itu Rara" tiba-tiba ucapan mama begitu serius. "Hah? Itu Ma.. anu.. Ehmm temen Azka yang pinter banget. Hehe" akhirnya Azka pun berbicara tapi tidak jujur. "Azka, Mama tau kalau kamu lagi tertarik sama perempuan yang namanya Rara kan? Mama emang tidak melarang, juga tidak mengiyakan perasaan kamu ke dia. Mama cuma tidak mau karena perasaan kamu ke dia, itu membuat sekolah kamu jadi terganggu. Apalagi saat ini kan kamu sedang ujian, Mama tidak mau kamu lebih memikirkan perasaan kamu dari pada sekolah kamu. Pokoknya urusan jodoh itu sudah ada yang mengatur, jadi kamu fokus saja sama sekolah kamu." Setelah menasihati Azka panjang lebar, Mama pun berlalu meninggalkan Azka. Seketika pikirannya tentang Rara hilang begitu saja. Tergantikan dengan nasihat yang baru saja mama ucapkan kepadanya. Kenapa ya dengan Mama, apa salah kalau aku tertarik sama Rara. Lagi pula kan perasaan ini juga hadir tanpa diminta. Sebenarnya mama tidak tega bicara seperti itu pada Azka Hanya saja kalau tidak dari awal diberi ketegasan, yang mama takutkan adalah Azka lebih mementingkan urusan yang seperti itu dari pada masa depannya. Setelah mama benar-benar menjauh dari kamarnya, segera mungkin ia menutup bahkan mengunci pintu kamarnya agar tidak terjadi tragedi seperti tadi. ‘’Rara..Rara.. Ini semua karena dia. Karena dia, hari ini aku harus behadapan dengan banyak tragedi yang tidak terduga.’’ ia menjeda ucapannya ‘’Eh masa karena Rara sih, yang melakukan siapa yang di salahkan siapa. Duh dasar Azka.. haha’’ ucapnya kemudia ia pun berlalu untuk ganti baju.

Chapter 3 - Pengagum Rahasia

Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi, bahkan sang mentari pun belum begitu menampakkan sinarnya. Namun entah apa yang terjadi dengan Azka. Pagi ini ia terlihat begitu bersemangat, dan hendak berangkat ke sekolah begitu pagi. Tidak biasanya.. "Ma.. Pa.. Azka duluan ya, Assalamualaikum" pamitnya. Tetapi papa menahannya "Sarapan dulu Ka" tangan papa mengisyaratkan agar Azka duduk di kursi persis di sampingnya. "Nggak bisa Pa, aku bawa saja ya. Makannya nanti di sekolah" ‘’Tapi kan ini masih pagi banget Ka, ayolah sarapan dulu. Sebentar saja, kita kan jarang baget sarapan bertiga’’ ucap mama ‘’Janji ya sebentar aja’’ Azka mendudukkan tubuhnya di kursi samping mama ‘’Iya lah sebentar, emang kamu mau sarapan berapa lama sih’’ sahut papa. Dengan terpaksa, Azka pun ikut makan bersama dengan kedua orang tuanya. Karena Azka adalah anak tunggal, jadi wajar saja mama dan papa selalu berharap bisa bersama dengan Azka dan akan memberikan yang terbaik untuk masa depannya. ‘’Jadi setelah lulus nanti, kamu mau kuliah dimana Ka? Apa perlu Papa yang memilihkan kampusnya?’’ tanya Papa ‘’Eh.. nggak usah Pa. Nanti biar Azka pikir-pikir dulu ya’’ ‘’Tapi kamu jangan sampai salah pilih kampus ya, apalagi sampai salah jurusan’’ ‘’Iya Papa, udah ya Pa, Ma nanti Azka telat. Assalamu’alaikum’’ Ia menyalami papa dan mama lalu bergegas pergi. Sebenarnya pembicaraan di meja makan tidak mengganggu pikirannya, hanya saja ia takut kalau tiba-tiba mama membahas masalah yang kemarin yaitu saat ia memikirkan Rara. Kalau sampai papa tahu bisa-bisa ia langsung kena marah dan akan berakibat fatal. Huft... Semoga nggak telat deh. Setelah memakai sepatu, ia lantas bergegas menaiki motornya. Kemudian tanpa berlama-lama Azka langsung menggas motornya dan melesat dengan cepat. --- Sementara di lain tempat, di rumah Rara lebih tepatnya. Ia masih terlihat sibuk membantu ibu menyiapkan sarapan. Dengan penuh semangat, ia terlihat begitu berbakat dalam hal masak-memasak. Setelah semua masakan selesai, ia langsung membawanya ke meja makan. Disana terlihat Rio yang sedang menunggu sambil memainkan ponselnya. Beberap menit pun berlalu, saat ia melihat jam di tangannya, ia segera ia mengambil tas dan langsung memakai sepatu. "Bu.. aku berangkat ya" Rara menghampiri ibu yang sedang merapikan peralatan memasak di dapur. "Nggak di antar Bang Rio?" tanya ibu, Rara pun hanya menggeleng "Ya udah hati-hati ya" pesan ibu. "iya Bu" jawabnya sambil mencium punggung tangan ibu. "Duluan Bang.. Assalamualaikum" baru beberapa langkah, Rara membalikkan badannya "Bang.. aku tunggu loh janjinya buat beliin buku lagi." Rio yang hendak meneguk teh pun sampai tidak jadi dan menaruhnya kembali "Huh.. Iya Rara adiknya Abang yang cantik, gemesh, pintar, sholehah, baik hati dan tidak sombong plus tercerewet. Udah sana berangkat" Rara tersenyum puas "Ok, terimakasih ya Abanya Rara yang super baik, super pintar, sholeh, dan... super ngeselin. Haha" "Haduh.. Istigfar Rio.. Istigfar. Untung dia adek yang tersayang. Coba aja kalo nggak sayang… " gumam Rio sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski naik angkutan umum, tapi Rara tidak pernah mengeluh. Ia selalu berusaha untuk mensyukuri nikmat yang masih bisa ia rasakan hingga detik ini. Baginya cukup sekali saja Rio mengantar sampai gerbang sekolah. Dan jangan sampai terulang lagi. Karena ia tidak mau lagi ada kesalahpahaman saat orang-orang melihat ia diantar oleh laki-laki. Sudah cukup baginya Riska dan Azka yang salah paham dan jangan sampai itu terjadi lagi. Eh.. ngomong-ngomong tentang Azka. Dia kenapa bisa tiba-tiba muncul gitu ya kemaren pas kak Rio bilang dia Aa aku? Apa dia ngikutin aku? Ah masa sih? Tapi ko dia kepo gitu ya kalau aku lagi ngomongin cowok. Pikirannya menerawang jauh Astagfirullah Ra, kamu lagi mikirin apa sih. Ngak boleh gitu ah. Ia langsung tersadar bahwa apa yang ia pikirkan tadi bukanlah hal yang baik. Segera ia beristigfar dan berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang tidak baik. Akhirnya setelah beberapa menit perjalanan, ia sampai di sekolah. Baru saja ia hendak memasuki gerbang sekolah. Tiba-tiba seseorang menepuknya dari belakang "Assalamualaikum Rara ku yang cantik! " sapa Riska dengan suara yang cukup kencang. Rara pun langsung membalikkan badannya. Sebelum menjawab ia menghela napas "Huh.. Riska, bisa nggak kalo nyapa nggak pake teriak" "Bisa ko, tapi Rara bisa juga nggak kalo ada yang sapa tuh di jawab dulu salamnya" Riska kembali memutar balik pertanyaan Rara. "Hehe.. iya aku lupa, Wa'alaikumussalam Riska sahabatku yang super baik" ucap Rara, namun Riska masih berpura-pura marah. Saat Rara dan Riska sedang mengobrol di depan gerbang sekolah, dari kejauhan ada sesorang yang sedang memperhatikan mereka berdua. ‘’Ouh,, jadi namanya Rara, tapi dia anak kelas mana ya? ko rasanya belum pernah liat dia deh’’ gumam seseorang, yang masih terus memperhatikan mereka. No, bukan mereka lebih tepatnya ia memperhatikan Rara Rara dan Riska masih terus mengobrol di depan gerbang sekolah, bahkan sampai gerbannya hendak di tutup mereka masih di sana. Sampai-sampai pak satpam menegurnya. "Neng,, kalian mau masuk atau nggak nih. Kalo nggak mau saya tutup nih gerbangnya" tegur salah satu satpam. "Eh.. mau lah pak, ayo Ris masuk" Rara langsung menarik tangan Riska Setelah menyusuri beberapa koridor, mereka pun sampai di kelas masing-masing. Karena bel belum berbunyi, maka Riska ke dalam kelas untuk menaruh tasnya dan setelahnya ia akan ke ruang kelas Rara. Sebuah kertas putih terlipat ada di dalam kolong meja yang Rara tempati. Awalnya ia tidak tahu, tapi saat ia ingin meletakkan ponselnya di kolong meja. Ia merasakan ada sesuatu dan saat ia ambil ternyata sepucuk surat. Rara tidak menyangka kalau surat itu di tujukkan untuknya, karena selama ini ia tidak pernah menerima surat dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Kecuali surat undangan rapat untuk orang gua wali murid dari sekolahnya. Tadinya ia ingin membuangnya langsung, tapi saat ia ingin membuang di luar surat tertulis bahwa itu memang surat untuknya. Rasa penasaran pun tak kuasa tertahankan. Ragu tapi kepo, itulah yang ada di benaknya saat ia mulai membukanya. Baru saja Rara ingin membacanya seseorang memanggil namanya "Ra.. Rara.. Aku minjem pulpen lagi dong, boleh ya.. ya.. ya please" pinta Azka Refleks Rara pun menoleh ke arahnya "Bukannya kemaren kamu bilang katanya udah beli pulpen ya" tanyanya heran. Jleb... pertanyaan Rara otomatis membuat Azka diam beberapa saat. "i..iyaa. Tapi ketinggalan di rumah, soalnya semalam di pake belajar" jawabnya bohong. "Nih.. Kalo masih perlu nggak usah dibalikin dulu. Pakai aja" Azka hanya mengangguk. Haduh Azka.. Azka. Berawal dari satu kebohongan, maka muncul kebohongan lain yang akan terus menerus. Kembali mengingatkan pada kejadian kemarin siang saat Azka diam-diam membuntuti Rara dan Riska saat Rara ingin memberitahu tentang kakaknya. Karena jauh di lubuk hati yang terdalam rasa ingin tahunya begitu besar melebihi rasa ingin tahu yang dimiliki Riska. Dari awal percakapan antara Rara dengan Riska, ia begitu serius mendengarkan tanpa terlewatkan satu kata pun. Sampai saat Rio Abang Rara datang dan memperkenalkan dirinya, refleks ia kaget dan membuka suarannya. Dan saat itulah kebohongan pertamanya dimulai. Ia beralasan ingin mengembalikan pulpen yang di pinjamkan Rara kepadanya. Padahal kan ia biaa mengembalikan sesaat sebelum Rara keluar kelas, tapi kenyataannya berbeda. Dan alasannya itu pun sukses membuat Rara, Azka dan Rio percaya dengannya. Setelah percakapan singkatnya dengan Azka, tak lama kemudian seorang pengawas ruangan pun masuk dan akan segera memulai ujian. ---- Jam pertama telah selesai, guru pengawas pun sudah meninggalkan ruangan. Dan para siswa/i pun sudah bubar untuk istirahat. Rara yang tadinya ingin mengambil buku pelajaran untuk di pelajari kembali, seketika teringat dengan surat yang tadi pagi ia temukan di bawah kolong meja. Ragu tapi penasaran, itu yang memenuhi hati dan pikirannya. Ia ragu kalau surat tersebut bukan surat yang baik untuknya, namun ia juga penasaran karena bisa saja isi surat tersebut penting. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka dan mulai membacanya. "Bismillah" ucapnya Assalamualaikum, Selamat pagi untukmu Izinkan aku sang pengagum rahasiamu Untuk menyertakan namamu dalam setiap doaku Wassalamu'alaikum Sang Pengagum Rahasiamu Dalam hitungan detik, Rara diam mematung saat mengetahi isi surat tersebut. Singkat, namun penuh makna yang begitu dalam. Pengagum Rahasia? Siapa dia? Aku kan nggak pernah dekat sama siapapun? Apa mungkin ada yang diam-diam menaruh hati dengan aku? Ah masa sih, kepedean banet sih kamu Ra. Hati dan pikirannya didera banyak pertanyaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!