Novel ini adalah sekuel dari Novel My Husband Is My Secret Lover (Ketika dendam dan cinta tumbuh secara bersamaan)
Orang bilang terkadang rasa cinta baru akan muncul ketika kita telah mengalami kehilangan, kita baru akan benar-benar merasakan dalamnya perasaan itu saat dia yang selama ini kita sia-siakan keberadaannya itu pergi.
Namun tidak dengan Yoshiano Lubby, pemuda tampan dan dingin itu tetap pada pendiriannya dan yakin tidak akan pernah jatuh hati pada Janetha Anjani, gadis berpenampilan biasa saja yang jauh dari kata cantik apalagi mempesona.
Begitupun dengan Janeth, ia yakin jika dirinya tidak akan pernah jatuh hati pada sahabat sekaligus atasannya itu, baginya Shian adalah seseorang yang hanya pantas dianggapnya sebagai sahabat sekaligus pasiennya, tetapi ternyata takdir berkata lain, Janeth terlalu sering membantu dan menyelamatkan Shian, hingga tanpa ia sadari perasaan cinta itu mulai muncul begitu saja dengan sendirinya.
Pada suatu hari, Janeth berhasil merubah penampilannya menjadi lebih indah dan sedap dipandang mata, sangat berbeda dengan penampilannya yang sebelumnya dan akhirnya membuat Shian mulai tertarik pada gadis itu, Shian sadar jika ternyata perasaannya begitu dalam pada Janeth bahkan sebelum Janetha merubah fisiknya.
Mereka pun akhirnya bersama, namun kebersamaan itu harus kandas begitu saja saat Ana, ibunda Shian tiba-tiba saja menentang hubungan kedua insan itu.
Layaknya kisah Romeo dan Juliet yang terhalang restu kedua orang tua mereka.
Akankah kisah Shian dan Janeth akan berakhir tragis seperti cerita legendaris itu, mari kita rubah alurnya hehe.
...•••...
Lima tahun berlalu, Janetha kembali ke Indonesia dengan membawa seorang anak lelaki berusia lima tahun.
“Janeth, siapa anak ini?” tanya Shian yang tak sengaja bertemu dengan gadis yang sangat dicintainya itu. Beberapa tahun ini pemuda yang telah tumbuh menjadi pria dewasa itu terus mencari keberadaan Janetha Anjani tetapi ia selalu gagal.
Janeth terlihat begitu terkejut saat wajah yang sangat ia benci itu tiba-tiba berada di hadapannya. Perasaan yang telah lama ia pendam dalam lima tahun belakangan ini terpaksa harus muncul kembali.
“Dia anakku! Jangan menyentuhnya!” gertak Janeth. Shian gemetar hebat saat mendapati gadis itu begitu terlihat marah, namun mata pria itu tak dapat terlepas dari wajah balita yang begitu mirip dengannya tersebut.
Siapakah anak tampan itu? Apakah ia memiliki hubungan dengan Shian?
Kita mulai ceritanya ya genk, dukungan berupa like, vote dan komen sangat-sangat Author persilahkan. Terima kasih 🤗🤗🤗
...❤❤❤...
Secangkir kopi arabica dengan dua lembar roti panggang selai kacang menemani pagi Shian, pemuda dengan wajah menawan itu tampak sedang menikmati sarapannya. Dia bukan orang yang terbiasa dengan sarapan tatapi hari ini asisten pribadinya begitu memaksanya. Dan melontarkan ancaman pada remaja tampan itu jika ia tidak mengisi perutnya dengan benar.
“Jika kau tidak sarapan, jangan harap aku akan mengatur jadwal kencanmu dengan gadis-gadis itu!” gertak Janeth sambil menekankan suaranya.
“Ayolah Janeth cukup katakan saja jika kau memang sebegitu perhatiannya kepadaku!” jawab Shian sambil menyibakkan rambut bagian depannya yang memanjang. Janeth terdiam, ini adalah kesekian kalianya pemuda itu terlihat mempesona dengan gesture seperti itu.
“Apa kau pikir aku sedang bercanda, Shian?” cecar Janeth dengan wajah seriusnya pada layar video call mereka.
“Janeth, berikan aku satu kesempatan."
“Kesempatan apa?” tanya gadis itu ketus.
“Kesempatan untuk melepaskan kacamata kudamu itu!” Shian tertawa terbahak, ia selalu saja menggunakan penampilan sahabatnya untuk bahan ejekan.
Tanpa menjawab perkataan Shian, gadis berambut ikal itupun menutup panggilan video-nya.
“Nak, apa kau sudah menyelesaikan sarapanmu?” Ana berjalan mneghampiri Shian dengan perutnya yang semakin membesar.
“Halo mama dan adik bayi, apa kabar kalian!” Shian menciumi perut ibunya bertubi-tubi. Menurutnya Ana adalah ibu terbaik yang pernah ada di dunia
“Baik sayang, wah Janeth benar-benar hebat ya. Dia bisa mengubahmu dengan singkat, kau bahkan tidak terlalu sering memakai sanitizer sekarang, Nak!” Ana terlihat begitu bahagia saat melihat tangan puteranya yang biasanya kasar dan kering akibat terlalu sering menggunakan hand sanitizer kini telah kambali normal.
“Kau pun mulai terbisa dengan makan pagi sekarang!”ucap Ana sambil mencium puncak kepala Shian.
“Ma, jangan terlalu berlebihan!”
“Katakan, apa Janetha cantik menurutmu?” goda Ana sambil tersenyum jahil pada sang putra.
“Ma, pertanyaan macam apa itu?” sanggah Shian ia selalu saja menghindar jika sang ibu ingin membahas tentang asisten pribadi sekaligus sahabat Shian tersebut.
“Ayolah, jujurlah pada mama Nak, apa kau bersedia untuk berjodoh dengan Janeth?” Ana mengedipkan satu matanya.
“Astaga, kenapa mama selalu saja ingin membahasnya? Shian dan Janeth hanya bersahabat.”
“Benarkah? Apa karena penampilan Janeth yang seperti itu, hingga membuatmu tidak tertarik padanya?” Ana masih saja ingin membahas hal itu.
“Ma, sudahlah! Shian harus berangkat ke kampus!,” pinta remaja itu kemudian meninggalkan sang ibu yang sebenarnya masih ingin menggodanya, Ana hanya menggelengkan kepalanya, jujur saja sebenarnya ia sangat menyukai Janeth, gadis yang sangat mandiri dan bisa menangani Shian dengan baik.
“Baby bos, apa kita perlu membawa virox wipes hari ini?” tanya David, semacam cairan disinfectant yang bisa Shian gunakan untuk melindungi dirinya dari sesuatu yang menurutnya tidak higienis, sebab pemuda itu mengidap Obsessive Compulsive Disorder atau disingkat OCD atau yang biasa disebut dengan penyakit gila kebersihan.
“Tidak, biarkan saja Janeth yang mengurusnya!” perinta Shian sambil membetulkan kancing kemeja kotak-kotaknya, ia tampak tampan dengan pakaian rapi itu, gaya rambutnya pun sempat menjadi trending di kalangan mahasiswa di kampusnya.
“Baiklah, apa Baby Bos sudah membawa hand sanitizer?”
“Biarkan Janeth yang mengurusnya David!”
“Dan jangan memanggilku dengan baby bos! Itu sangat memalukan!” pinta Shian.
“Baiklah tuan,” ucap David terkekeh ia sudah terbiasa dengan panggilan itu sejak Shian masih bayi.
Dari kejauhan tampak seorang gadis dengan penampilan khasnya, berjalan dengan tergesa-gesa dan menghampiri Shian. Tangannya penuh dengan buku-buku dan di punggungnya pun telah bertengger sebuah ransel yang sepertinya cukup berat hingga membuat gadis itu harus berjalan dengan posisi membungkuk untuk menahannya.
“Shian! Maaf aku telat!” ucap gadis itu sambil membetulkan kacamatanya. Pipinya merona karena paparan sinar mentari, sekilas terlihat menggemaskan bagi Shian.
“Jika tidak ingat kau adalah asisten kesayangan mama, aku sudah memecatmu dari kemarin!” ucap Shian sambil menatap jam klasik brandednya.
“Pecat saja! Jika begitu!” jawab Janeth seenaknya.
“Aku tidak bisa memecatmu Janeth, karena sulit sekali untuk mendapatkan asisten se-unik dirimu di dunia ini.”
“Sungguh? Lalu mengapa kau tidak mencari asisten yang seksi dan cantik saja agar lebih sedap dipandang tidak sepertiku!”
“Kau antik Janeth! Aku akan mengabadikanmu sebelum kau punah! Hahah!” Shian tertawa terbahak, membuat Janeth semakin kesal dibuatnya.
Astaga, kenapa senyuman tampan Romeo harus dimiliki wajah semenyebalkan Shian! gumam Janeth dalam hati, harus ia akui jika Shian adalah pemuda yang sangat mempesona.
“Jangan melihatku seperti itu! Aku tau aku tampan!” celetuk Shian sambil memposisikan wajahnya di hadapan Janeth.
“Cih, sangat percaya diri! Aku tidak sedang melihatmu bos tengik!”
“Tetapi tatapanmu padaku itu seperti--.”
“Seperti apa?” Janeth mengerutkan keningnya.
“Seperti tatapan yang mendamba!”
“Apa maksudmu Shian!” cecar Janeth yang sebenarnya telah memasukki fase salah tingkah karena Shian menangkap basah dirinya.
“Kau menadamban diriku Janeth! Mengaku saja!”
PLAK
Janeth memukul lengan pria itu hingga berbunyi nyaring. Membuat sang pemilik memekik, meskipun tidak terlalu sakit.
“Kau sangat bar-bar Janeth, bisakah kau bersikap lembut sedikit saja? Agar aku yakin jika kau benar-benar seorang perempuan!” goda pemuda bergigi rapi itu.
“Tentu saja aku perempuan! Kau pikir apa ha! Banci?!”
Bugh
Janeth kembali memukuli tubuh tuan muda itu dengan gemas, baginya Shian adalah sahabat terbaiknya, bahkan kedua orang tua pria itu pun sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai seorang asisten atau perawat bagi Shian, mereka telah menggap Janeth sebagai bagian dari keluarga Luby.
“Hentikan Janeth! Kau belum cuci tangan kan!”
“Aku bahkan belum mandi jika kau tau!” jawab Janeth, meskipun itu tidak benar.
“Ish! Selain antik kau juga sangat jorok!” Shian mengibas-ngibaskan kemejanya yang telah diserang Janeth.
“Biarkan saja! Apa masalahnya? Apa kau sudah minum obat hari ini?” tanya Janeth.
“Hmm belum,” Shian menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?”
“Aku menunggu asisten antikku untuk meminumkannya,” jawab Shian tersenyum simpul.
“Dasar!” Janeth pun meraih tas raksasa di punggungnya, di sana terdapat beberapa item keperluan Shian dan salah satunya adalah obat.
“Shian, apa yang kau rasakan akhir-akhir ini?” tanya Janeth sembari memasukkan thermometer ke mulut pemuda itu.
“Tidak ada, aku baik-baik saja,” jawab Shian sambil menggigit alat pengukur suhu itu.
“36 derajat celcius, normal!” ucap Janeth sambil menarik benda pipih itu dari mulut Shian.
“Dan kau Janeth? Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” tanya Shian.
“Aku baik!”
“Tidak merasakan apapun? Sedikit pun?”
“Em em!” Janeth menggelengkan kepalanya.
“Tidak merasakan getaran aneh saat kau dan aku duduk berdua seperti ini?” goda Shian, posisi mereka amat sangat dekat, membuat Shian bisa merasakan hrmbusan nafas gadis itu.
“Ya, aku merasakannya Shian, aku merasa ingin mengehajarmu lagi!” gertak Janeth dan Shian pun berlari.
Mereka adalah sepasang sahabat yang cukup terkenal di kampus itu, para gadis pun hanya menganggap Janeth sebagai asisten Shian, mereka tak pernah merasa cemburu pada gadis cupu itu meskipun sebenarnya Janeth memiliki wajah asli yang cukup cantik tapi tak seoarang pun yang mengetahuinya.
Janeth terbiasa dengan pekerjaan sampingannya di luar jadwal kuliah atau jadwal menjadi asisten Shian. Dia mengelola sebuah café milik sang ayah, café bergaya vintage dengan menu utama kopi itu adalah satu-satunya harta yang mereka miliki dan bisa diandalkan, sebelumnya ayah Janeth adalah seorang pengusaha yang mengalami kebangkrutan, lalu perusahaan itu kemudian dikelola oleh pihak keluarga besar mereka tanpa kabar yang jelas.
“Shian, minum obatmu!” perintah Janeth sambil menyodorkan beberapa butir pil ke tangan pemuda itu.
“Aku lelah sekali Janeth, dengan semua ini. Bisakah kau menggantinya dengan kapsul berbungkus éclair saja?”
“Apa maksudmu? Tidak ada obat dibungkus coklat!” ucapnya sambil meminta Shian untuk membuka mulut.
“Umh umh!” Shian membungkam mulutnya rapat-rapat.
“Shian! jangan mengujiku! Berpacaran saja bisa mengapa minum obat tidak bisa! Dasar playboy cap rempeyek melempem!” ejek Janeth yang mulai jengkel.
“Umhh!” Shian menepis tangan gadis itu sambil tetap meletakkan telapak tangannya pada mulutnya.
“Ayolah cepat buka mulutmu!” tanpa menunggu reaksi Shian, gadis itu pun mencengkeram kedua pipi pemuda itu lalu memasukkan tiga butir pil pahit ke tersebut ke dalamnya.
“Auh!” pekik Shian saat tangan halus Janeth membuat kedua pipinya tertekan untuk memaksa mulutnya terbuka.
“Kau ini gadis atau kuli panggul sebenarnya ha! Sangat kasar!” dengus Shian sambil berusaha butir demi butir obat itu.
“Kau yang memaksaku Shian! sudah berjam-jam aku mengejarmu hanya untuk meminumkan obat ini! dan ini kulakukan setiap harinya!” balas Janeth kesal.
“Ini ambil! Minumlah!” Janeth menyodorkan sebotol air mineral kepada Shian, tetapi pemuda itu tampak ragu untuk menerimanya padahal pil-pil pahit yang baru saja ditelannya itu masih tersangkut di kerongkongan dan membutuhkan dorongan air untuk dapat terterlan sempurna.
“Tenang saja rempeyek higienis! Air mineral ini masih tersegel dengan sempurna! Hentikan kecurigaanmu pada botol tak bersalah ini!” seru Janeth lalu Shian pun meminumnya dengan tenang, membuat pil-pil jahanam itu masuk ke kerongkonganya, melewati dadanya lalu turun ke lambung dengan lancar.
“Aku akan membayarmu tiga kali lipat bulan ini jika kau mau mengurangi jadwalku untuk meminum obat sialan itu!” Shian menunjuk botol-botol berlabel kimia far*a itu.
“Apa katamu? Jadi kau mau menyogokku ha?” sergah Janeth, tiupan angin membuat rambut lembutnya melambai-lambai, menebarkan wangi yang menyegarkan.
“Tidak! Aku hanya sedang menawarimu kerja sama saja!”
“Kau benar-benar --!” Janeth terlihat marah dan berniat mengacak rambut Shian yang telah tertata rapi tetapi dengan sigap aksinya terhenti karena Shian menggenggam pergelangan tangannya dan tanpa sadar rambut panjang Janeth pun mengenai wajah playboy tampan itu.
“Janeth, apa merk parfummu?” tanya Shian mengendus aroma yang berasal dari rambut Janeth dengan hidung mancungnya.
“Aku tidak memakai parfum, Shian!”
“Kau bohong!” Shian tidak percaya bagaimanapun wangi itu begitu membuatnya sedikit tergoda pada Janeth. Shian menempelkan hidungnya pada rambut hitam Janeth, membuat gadis itu memelototkan matanya.
“Astaga! Shian jangan mencoba mengalihkan sesuatu!” Janeth mengibskan rambutnya ke belakang dan menjauhkan dirinya dari Shian tetapi pemuda itu mendekatkan dirinya lagi.
“Aku serius Janeth, parfum apa yang kau gunakan?”
“Aku tidak punya uang untuk membeli parfum! Jadi berhentilah membahas parfum-parfum tidak penting itu!” decak gadis itu tentu saja sambil membetulkan kacamatanya yang melorot menyusuri hidung mancungnya.
“Sungguh?” Shian mendekatkan wajahnya lagi pada wajah Janeth membuat gadis itu salah tingkah. Bagaimana pun dia adalah gadis yang normal, dia bisa merasakan ketegangan saat berada dalam posisi sedekat itu dengan lawan jenis.
“He’em, aku hanya menggunakan deodorant saja!” jawab Janeth terbata sambil memegangi jantungnya.
“Benarkah?” Shian menatap manik cantik yang tesembunyi di balik kacamata tebal gadis itu.
“Ya!” Janeth semakin tak karuan, mendapati hidung Shian hampir menempel pada wajah halusnya.
“Lalu berasal dari manakah wangi yang menggairahkan ini?” goda Shian, Janeth pun tak tahan lagi lalu segera mendorong tubuh Shian.
“Berhenti membuatku merasa terancam Shian!” bentak gadis itu lalu berjalan mendahului pria yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak. Membuat Janetha Anjani merasa kesal adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi Shian.
“Kau tegang bukan?” Shian mengejar langkah Janeth, dengan tergesa-gesa.
“Tidak!”
“Kau tegang Janeth! Kau takut tertarik padaku!”
“Tidak mungkin!”
“Aku bisa membuatnya menjadi mungkin jika kau mau Janeth!”
Shian terus saja berbicara tentang hal yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan, entah mengapa dari sekian gadis yang dekat dengannya, hanya Janetha saja yang terlihat begitu kuat dan tidak tertarik pada pemuda bermata tajam itu.
“Janeth, pria seperti apa yang menjadi tipemu?” tanya Shian.
“Apa saja!”
“Apa saja bagaimana?”
“Apa saja! Yang penting tidak sepertimu!”
“Kenapa? Bukankah aku cukup tampan?” tanya Shian mengedipkan satu matanya.
“Tidak!”
“Bukankah aku cukup kaya?”
“Tidak!” lagi-lagi jawaban Janeth semakin membuat Shian kesal.
“Apa yang kurang dariku Janeth?”
“Apa aku kurang maskulin? Kurang bertenaga? Kurang bersih? Kau tau akan tingkat kebersihanku seperti apa bukan?” sergah Shian. Janeth menghela napas memikirkan jawaban untuk pemuda itu agar mau berhenti bicara.
“Kau mau tau, apa kekuarnganmu Shian?” akhirnya Janetha mendapatkan jawaban.
“Apa?”
“Kau kurang waras!” ucap Janeth dengan mengibaskan rambutnya pada Shian, membuat laki-laki itu kembali merasakan aroma bidadari dari khayangan.
“Apa kau bilang!” Shian menaikkan volumenya.
“Kau kurang waras!”
“Awas saja Janeth jangan sampai kau jatuh hati pria yang tak waras ini!”
“Kaulah yang akan jatuh hati padaku Shian!” ucap Janeth, ia bahkan tidak sadar jika dirinya sedang sesumbar.
“Hahaha! Aku tidak mencintai barang antik tetapi jika untuk diperlihara, baiklah!”
“Aku bukan barang antik Shian! lihat saja suatu saat nanti si antik ini akan berubah menjadi estetik!”
***
Kediaman keluarga Luby
“Kak Shian!” teriak Gweneth berlari menuruni anak tangga menghampiri kakaknya yang baru saja tiba di mansion.
“Tunggu Gwen!” Shian menjauhkan dirinya dari sang adik.
“Kak! Tenang saja! Aku tidak akan membawa es krim tanah itu lagi!” ucap gadis berponi itu sambil tetap mendekatkan dirinya pada sang kakak.
“Apa kau yakin?” Shian memeriksa. Memutari tubuh adiknya menelisik, khawatir jika sang adik akan melakukan hal konyol seperti dulu lagi.
“Kak! Ayolah! Aku sedang sangat serius!”
“Ada apa, memangnya?” tanya Shian.
“Mama kak!” Gweneth terlihat panik sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Mendengar nama mamanya disebut, membuat wajah Shian yang tadinya dingin berubah menjadi khawatir.
“ Mama? Ada apa dengan mama ha?”
“Dimana Mama?” Shian melihat sekeliling mencari sosok yang sangat dicintainya itu.
“Mama di rumah sakit Kak!”
“Apa? Kenapa?” Shian panik.
“Mama akan melahirkan! Dan saat ini sedang menjalani operasi untuk mengeluarkan adik kita kak!”
“O-operasi? Sekarang?” Shian terkejut, rasa khawatir dan bahagia bercampur menjadi satu, bahagia karena ia segera memiliki adik dan khawatir karena ibunya sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya demi nayawa lain di dalam tubuhnya.
“Kita ke rumah sakit sekarang!” ajak Shian lalu menarik tangan Gweneth.
“Niluh! Jaga mansion! Aku akan ke rumah sakit!” perintah Shian pada pelayan andalan keluarga itu.
“Baik Baby Bos, eh-eh tuan muda maksud saya, ehe.” Niluh mengulum senyumnya, sama dengan David ia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaannya untuk memanggil Shian dengan panggilannya sejak bayi itu.
Bersambung..
Di Rumah Sakit
Seorang pria paruh baya sedang tergesa-gesa menuju ruang bersalin setelah mendapat kabar jika sang istri akan melahirkan, jantungnya berdegup kencang, keringat mulai membasahi dahinya, meskipun ini adalah kali ketiga bagi sang istri untuk melahirkan, tetapi tetap saja Yoshi tak pernah berubah dalam menanggapinya.
Dia selalu saja panik dan takut terjadi sesuatu pada Ana.
“Sus, di mana ruang bersalin?” tanya Yoshi tak dapat berpikir jernih, ia selalu saja tidak bisa menemukan ruangan itu meskipun telah berulang kali menemani Ana melahirkan Shian dan Gwen di rumah sakit tersebut.
“Sus!” bentak Yoshi saat sang perawat di hadapannya itu hanya sibuk menatap wajahnya tanpa menjawab pertanyaan darinya.
“I-iya Pak, maaf! Saya pikir anda Mario Maureer,” ucap gadis berpakaian putih itu.
“Dimana ruangan bersalin?” Yoshi memejamkan matanya menahan kekesalan, ini ke sekian kalinya orang mengatakan jika wajahnya mirip dengan aktor Thailand pada waktu dan kondisi yang tidak tepat.
“Di-Di sana Pak!” jawab perawat itu menunjuk pintu di sebelah Yoshi.
“Astaga sejak kapan mereka memindahkan ruangan ini di sini!”
“Sejak dulu ruangan itu di situ Pak!” sahut perawat lain mengulum senyuman sambil melintasi kedua orang tersebut. Yoshi pun segera masuk ke ruangan itu tetapi sang perawat melarangnya.
“Sus, tahun-tahun sebelumnya saya diijinkan masuk untuk mendampingi istriku. Lalu kenapa sekarang tidak bisa?”
“Bukan tidak diijinkan Pak Yoshi, tetapi masalahnya Ibu Ana sedang menjalani operasi SC bukan melahirkan normal dan ruangannya tentu saja bukan di sini,” ungkap perawat tersebut.
Astaga kenapa tidak bilang dari tadi!
Yoshi terlihat terkejut dan khawatir sebab pihak rumah sakit belum mengabarkannya tentang metode persalinan yang akan Ana jalani itu.
"Apa?" tanpa menunggu jawaban, pria itu pun segera menuju ke tempat tersebut.
Sekian menit berlalu dokter bedah dan ahli kadungan keluar dari ruang operasi lalu mengabarkan pada Yoshi jika Ana mengalami pendarahan dan membutuhkan transfusi darah.
“Apa Dok? Bagaimana mungkin itu terjadi, sedangkan pada proses persalinan anak pertama dan kedua kami, semuanya baik-baik saja,” ucap Yoshi, ia mulai kalut.
“Apa saja bisa terjadi dalam proses perslinan Pak, apalagi kondisi Ibu Ana memang sebelumnya tidak begitu stabil, tetapi kami tak punya alasan lain untuk menunda-nunda proses persalinan, karena nyawa anak bapak juga harus segera diselamatkan,” pungkas dokter itu.
“Dok, apa masih ada stok darah yang kalian punya untuk golongan darah istriku?”
“Mohon maaf Pak, tetapi kami sedang kekurangan stok darah golongan A, jika ada sanak saudara yang memiliki golongan darah yang sama, segera hubungi mereka Pak!”
Yoshi termenung, ia ingat jika golongan darahnya berbeda dengan Ana, begitu pun dengan Shian dan Gwen, tak satupun yang memiliki golongan darah seperti Ana. Di tengah kekalutan, seseorang datang dan menyapa Yoshi.
“Pak Yoshi, sedang apa di sini?” tanya gadis itu sembari mendorong kursi roda ayahnya.
“Janeth, kau di sini Nak?”
“Iya Pak, saya sedang mengantar ayah periksa rutin,” ungkap gadis itu, Yoshi dan ayah Jeneth pun saling menyapa satu sama lain.
Kemudian Yoshi menceritakan jika Ana sedang menjalani proses persalinan dan saat ini sedang membutuhkan transfusi darah.
“Pak, golongan darah saya A. Biar saya saja yang mendonorkan darah untuk Ibu Ana!” ucap Janeth dengan penuh keyakinan.
“Benarkah?” Yoshi terbata, tak percaya jika bantuan datang di waktu yang sangat tepat. Saat itu juga Janeth segera menemui dokter yang baru saja keluar dari ruang bersalin.
“Dok! Ambil darah saya! Selamatkan Ibu Ana!”
“Apa golongan darah adik?” tanya sang dokter, wajahnya tampak tegang seperti sedang menangani kodisi Ana yang semakin memburuk.
“A!” seru gadis berkulit cerah itu, tanpa menjawab pernyataan Janeth, sang dokter segera memerintahakan perawat untuk mengambil sampel darah Janeth, yang kemudian diambil loebih banyak lagi untuk menolong Ana.
Yoshi bernapas lega, akhirnya istrinya mendapat bantuan dari gadis yang juga telah banyak merawat Shian itu.
“Tenanglah Pak Yoshi, saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Ibu Ana pasti akan selamat!” ucap Ardiansyah, ayah Janeth memberikan semangat untuk pria itu.
“Terima kasih Pak, saya sungguh telah berhutang budi kepada anda dan Janeth!”
“Jangan berterima kasih kepada saya Pak, mungkin memang semua ini sudah merupakan bantuan dari Tuhan. Yoshi pun mengangguk dan menunjukkan rasa bersyukurnya pada pria bernama lengkap Ardiansyah Nakula tersebut.
****
“Pak Yoshi, saya dan ayah pamit pulang dulu,” ijin Janeth pada ayah Shian itu.
“Kenapa buru-buru sekali Janeth? Sebentar lagi Shian akan datang.”
“Sebenarnya saya ingin menunggu sampai ibu Ana siuman tetapi ayah sedang kurang sehat Pak,” terang Janeth mengingat kondisi sang ayah memang belum benar-benar sehat dan membutuhkan istirahat.
“Oh iya baiklah jika begitu, apa kau baik-baik saja? Om banyak berhutang budi padamu Janeth,” ucap Yoshi dengan raut wajah sendu.
“Tidak perlu berterima kasih Pak Yoshi, saya sudah menganggap bapak dan ibu Ana sebagai orang tua saya sendiri,” ungkap gadis itu, membuat Yoshi tersenyum bangga dan berpikir jika Janeth adalah gadis yang tepat untuk Shian.
Janeth berpesan kepada Yoshi agar merahasiakan masalah transfusi darah yang baru saja ia lakukan untuk Ana itu, agar tidak menimbulkan perasaan tidak enak antara dirinya dan Ana setelahnya, awalnya Yoshi menolak dan ingin mengatakan hal penting itu kepada sang istri tetapi karena Janeth memaksa akhirnya pria itu pun menyetujuinya.
****
Shian berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan Gweneth di belakangnya mengikuti. Begitu tiba di dekat ruang operasi ia pun menghentikan langkahnya, dilihatnya sang ayah sedang menunggu dan beberapa saat kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam.
Wajah tegangnya berubah menjadi haru begitupun dengan Shian dan Janeth.
“Papa!” teriak gadis bertubuh sintal itu lalu memeluk ayahnya.
“Gwen, apa kau dengar suara tangisan adikmu itu Nak?” tanya Yoshi sambil memeluk puterinya tersebut.
“Wah si bungsu sudah lahir rupanya ya! Gwen akan tergeser!” ejek Shian pada adiknya.
“Ah kakak! Menyebalkan!” Gweneth menghentakkan kakinya kesal.
“Apa yang kalian permasalahkan? Tidak akan ada yang tergeser, posisi kalian di hidup papa dan mama tak akan pernah berubah, kami menyayangi kalian dengan presentase kasih sayang yang sama rata!” ucap Yoshi mencubit pipi gadis remajanya itu.
Seorang perawat menghampiri Yoshi dan anak-anaknya dan memberitahukan jika Ana sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Pak Yoshi, ibu Ana akan kami pindahkan ke ruang perawatan, bersama dengan bayinya,” ucap dokter itu. Dengan bangga Yoshi menganggukkan kepalanya.
“Wah tampan sekali adikku ini!” ucap Gweneth sambil menciumi pipi bayi yang baru lahir itu.
“Lihatlah Kak! Bukan posisiku yang tergeser tetapi posisimu! Ia bahkan lebih tampan darimu Kak!” ejek Gweneth membalas kakaknya sedangkan Shian hanya tersenyum sambil menjulurkan lidahnya, ia tak membalas adiknya, sebab tak ingin membuat ibunya yang masih lemah berteriak melerai pertengkaran mereka seperti biasanya.
“Apa kalian lupa jika tidak ada yang lebih tampan dari Uncle Eza!” tiba-tiba saja suara baritone memasukki ruangan VVIP itu, Reza dan Luna datang dengan membawa kedua anak kembarnya, Zayn dan Zara.
Dua anak bermata biru yang masih tampak menggemaskan meskipun usianya sudah menginjak remaja, mereka hanya berselisih lima tahun dengan Shian dan Gweneth.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!