"Ibu, jangan tinggalin aku! Aku nggak mau pisah dengan Ibu! Aku mohon Ibu jangan pergi!" pinta Zulfa dengan tangisan yang menyayat hati.
"Maafin Ibu, Fa. Ibu harus pergi demi masa depan kalian juga, mau sampai kapan kita akan hidup seperti ini. Ibu udah capek jadi hinaan dan gunjingan semua orang," tutur Ibu Zulfa, sedangkan Zahra yang merupakan kakak dari Zulfa hanya bisa menangis sambil memeluk adiknya.
"Ra, jaga Fafa dengan baik! Ibu harus pergi sekarang, suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Tentunya dengan kehidupan yang lebih baik."
"Kenapa Ibu tega ninggalin aku dan Fafa? Apa kami menjadi beban untuk Ibu? Di mana Ibu yang selalu sabar dalam menghadapi segala cobaan yang bertubi-tubi, Ibu yang selalu mengajarkan agar kita tidak menyalahkan takdir karena hidup pas-pasan?" cecar Zahra.
"Bukannya Ibu tega dan nggak sayang kalian, tapi Ibu harus pergi demi membuktikan pada semua orang bahwa kita juga bisa hidup layak."
"Ibu pergi sekarang, jaga diri kalian baik-baik!" pamit ibunya lalu melangkahkan kaki keluar dari rumah.
"Ibu!" teriak Zulfa yang melihat ibunya sudah diambang pintu. "Aku ikut, Ibu! Jangan tinggalin Fafa, Bu! Ibu tolong kembali!" Zahra tak kuasa menahan air matanya melihat sang adik yang histeris karena ibunya memaksa pergi untuk menjadi seorang TKW.
"Fafa nggak boleh nangis! Masih ada Kakak yang nemenin Fafa. Kita akan selalu bersama dalam keadaan apapun, Fafa harus jadi anak yang kuat," ucap Zahra menenangkan adiknya.
"Ibu udah nggak sayang kita, Kak. Ibu tega ninggalin kita sendiri di sini. Aku benci Ibu."
"Ssttt, nggak boleh ngomong gitu. Do'akan yang terbaik untuk ibu, supaya dilancarkan segala urusannya."
Zulfa semakin sesegukan mendengar ucapan kakaknya, sedangkan Zahra hanya dapat menahan air matanya agar terlihat kuat di hadapan adiknya. Dia juga tidak boleh terpuruk dalam kesedihan, dia harus kuat demi adiknya saat ini.
"Ya Allah, berikan kekuatan dan ketabahan untuk kami. Mudahkanlah segala urusan kami. Aamiin," batin Zahra.
-
-
-
Keesokan harinya, seperti biasa Zahra bangun pagi lalu pergi ke pasar membeli bahan untuk dagangannya. Ya, keseharian Zahra adalah berjualan gorengan keliling kampung bahkan Zulfa sering ikut membantu berjualan ketika sore hari. Walaupun hanya berjualan gorengan, setidaknya bisa membantu perekonomian mereka untuk kebutuhan sehari-hari.
Sepulang dari pasar, Zahra meletakkan belanjaannya di dapur lalu dia masuk ke kamar Zulfa. "Fa, bangun yuk! Udah pagi lho, kamu kan harus sekolah."
Namun, yang dipanggil tak kunjung menjawab. "Fa, bangun!" Zahra menepuk lembut pipi Zulfa agar segera bangun, tapi dia terkejut sebab suhu tubuh Zulfa sangat panas.
"Astaghfirullah Fafa, badan kamu demam tinggi," ucap Zahra dengan panik, lalu dia berlari ke arah dapur mengambil baskom yang berisi air hangat serta handuk kecil untuk mengompres Zulfa.
Zahra kembali ke kamar Zulfa dengan langkah tergesa-gesa, setibanya di kamar dia langsung meletakkan handuk yang sudah dibasahi air hangat di kening Zulfa.
"Fa, buka mata kamu! Jangan bikin Kakak khawatir!" Zahra memijat lembut tangan Zulfa.
"Ibu! Jangan pergi!" gumam Zulfa dengan mata yang terpejam.
"Fa, ini Kakak. Bangun sayang, jangan buat Kakak takut!" Karena tak juga membuka mata, Zahra bergegas membeli obat penurun panas di warung. Setelah membeli obat, dia langsung ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat.
Setelah 45 menit, bubur yang dibuat Zahra sudah jadi. Dia lalu menuangkan bubur panas tersebut ke dalam mangkok. Sembari menunggu bubur hangat, dia membuat teh juga untuk Zulfa agar saat bangun nanti bisa langsung diminum.
-
-
-
"Cepat, kamu layani tamu yang ada di sana! Jangan sampai kamu membuat masalah!" ucap Zack sambil menunjuk seorang pria tambun yang duduk di sofa.
"Baik, Tuan," jawab Diana yang tak lain ibu dari Zahra dan Zulfa. Beliau sekarang bekerja di sebuah club malam yang berada di pusat kota, menjadi TKW hanyalah alibinya agar anak-anaknya tak mengetahui pekerjaan yang sedang dia lakukan.
Bu Diana lantas menghampiri pria tambun itu, "Akhirnya, kamu datang juga," sapa pria itu.
"Layani aku sekarang! Berapapun yang kamu minta akan aku beri asalkan kamu bisa memuaskanku," tawar pria itu.
"Baiklah, saya akan melayani Anda dengan baik."
Bu Diana dan pria tambun itupun meninggalkan club dan pergi menuju sebuah hotel untuk memuaskan nafsu birahinya.
Menjadi pewaris utama di sebuah keluarga kaya membuat Hendra menjadi sosok yang suka hidup berfoya-foya. Ya, pria tambun itu adalah Hendra. Pria beristri yang sudah mempunyai dua orang anak.
Namun, hal itu tak membuat Hendra fokus pada keluarga melainkan mencari kepuasan sendiri diluar sana. Istri yang sudah menemaninya selama 25 tahun hanya dianggap sebagai pajangan, ketika tak berselera berhubungan dengan sang istri maka dia akan mencari wanita di sebuah club.
-
-
-
"Makan dulu ya, Fa. Habis itu diminum obatnya," ucap Zahra yang menemani Zulfa di kamar, setelah demamnya turun Zulfa langsung terbangun.
"Fafa nggak lapar, Kak," lirih Zulfa. Dia bagaikan mayat hidup, wajah pucat serta pandangan yang kosong membuat Zahra ikut sakit melihat perubahan adiknya.
"Tapi kamu harus makan biar cepet sembuh! Atau kamu mau sesuatu biar Kakak buatin?" bujuk Zahra.
"Aku cuma mau Ibu!" Runtuh sudah pertahanan Zahra, air matanya tak bisa terbendung lagi. Dia pun langsung memeluk tubuh adiknya dengan air mata yang mengalir deras.
"Kamu yang sabar, ya. Ibu pasti pulang dan berkumpul lagi bersama kita. Kamu nggak boleh sedih terus, hati Kakak juga ikut sakit lihat kamu kayak gini."
"Fafa mau kan kita kumpul bareng ibu lagi? Jadi, Fafa nggak boleh sedih apalagi nangis terus. Fafa harus bisa jadi anak yang pintar biar suatu saat menjadi orang yang sukses dan membanggakan semua orang, terutama ibu dan Kakak," lanjut Zahra. Zulfa pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti, dia membenarkan apa yang dikatakan kakaknya barusan.
"Maafin Fafa ya, Kak. Udah buat Kakak sedih dan khawatir. Fafa janji akan menjadi anak yang kuat agar apa yang menjadi impian Fafa bisa terwujud," ucap Zulfa sambil melerai pelukan kakaknya.
"Iya, Sayang. Kakak akan selalu berdo'a agar adik Kakak yang cantik ini menjadi orang sukses suatu saat nanti," harap Zahra.
Kedua kakak beradik itupun saling berpelukan memberikan semangat.
Selamat datang di karya kedua ku, semoga kalian suka dengan cerita ini. Jangan lupa untuk like dan komen ya 😘😘😘.
Jangan lupa juga untuk baca novel pertamaku Cinta Untuk Tiara, yang pastinya juga nggak kalah seru dengan cerita ini.
Hari-hari berlalu, tak terasa sudah satu minggu Bu Diana pergi dari rumah. Zulfa sudah tak sedih seperti biasanya akan tetapi, kini dia berubah menjadi sosok pendiam dan irit bicara.
Namun, ketika di rumah dia akan menjadi Zulfa yang periang dan ceria. Dia tak ingin kakaknya terlalu memikirkan dirinya sebab dia sudah bertekad dalam hati, dia akan membuktikan pada ibunya kelak bahwa dia bisa menjadi wanita yang mandiri dan sukses walau tanpa ada seorang ibu yang mendampinginya.
"Kak, aku berangkat sekolah dulu," pamit Zulfa pada Zahra yang sedang membuat dagangan untuk jualan sore nanti.
"Iya, hati-hati di jalan! Sekolah yang rajin, biar kelak apa yang kamu impikan bisa terwujud," pesan Zahra.
"Iya Kak, aku akan berikan yang terbaik."
Setelah berpamitan Zulfa bergegas berangkat sekolah, dia menempuh perjalanan selama 20 menit untuk sampai sekolah karena dia hanya berjalan kaki.
Sesampainya di sekolah, Zulfa langsung masuk ke kelasnya dan meletakkan tas. Sembari menunggu jam pelajaran dimulai, dia membaca buku yang akan dipelajari nanti.
Ketika sedang fokus belajar, tiba-tiba datang dua orang siswi yang sering mengganggu bahkan membully Zulfa.
"Eh, anak kampung udah datang. Sok rajin banget sih, percuma juga loe belajar nggak bakalan bisa merubah nasib," hina Rosa salah satu siswi yang memang suka membully siapapun yang menurutnya adalah saingan.
"Oh ya, denger-denger ibu loe pergi dari rumah. Loe tahu nggak ke mana ibu loe sebenarnya?" Lalu Rosa membisikkan sesuatu ke telinga Zulfa.
"Ibu loe sekarang jadi p*lacur yang suka melayani pria hidung belang."
Deg
Zulfa mengepalkan kedua tangannya menahan gemuruh di dadanya. Karena sudah tak bisa menahan rasa amarah di hati, dia pun menggebrak meja di hadapannya.
Brakkk
"Silakan kamu hina aku sepuasmu! Tapi jangan pernah sekalipun kamu menghina ibuku!" ketus Zulfa sambil menunjuk ke arah Rosa.
"Kenapa, nggak terima? Emang itu kenyataannya kalau ibu loe seorang p*lacur." Setelah mengucapkan itu Rosa dan temannya meninggalkan Zulfa yang masih emosi.
Setelah dia tenang, Zulfa kembali duduk di bangkunya. Air matanya perlahan menetes, memikirkan semua perkataan Rosa barusan.
"Apa iya ibu pergi karena bekerja sebagai p*lacur? Aku harus cari tau kebenarannya," batin Zulfa.
Tet tet tet
Bel sekolah sudah berbunyi pertanda jam pelajaran akan dimulai.
-
-
-
Sepulang sekolah, Zulfa mengurung diri di kamar. Hal itu membuat Zahra heran karena tak biasanya adiknya mengurung diri.
Dia pun berinisiatif memanggil Zulfa untuk makan siang. "Dek, kamu lagi ngapain? Kok nggak makan dulu."
Zulfa yang semula memandangi buku lantas menoleh ke arah kakaknya, "Nanti aja Kak, masih nanggung mau ngerjain tugas biar cepet selesai."
"Kan tugasnya bisa dilanjut nanti, yang penting makan dulu tadi Kakak udah buatin sayur sop kesukaan kamu," ucap Zahra sambil mengelus rambut adiknya.
"Ya udah aku makan dulu kalau gitu."
"Kakak udah makan?" lanjut Zulfa.
"Belum, makanya Kakak ajak kamu makan sekalian," balas Zahra.
Akhirnya, mereka ke dapur untuk makan siang bersama. Walau hanya lauk sayur dan tempe, itu sudah cukup nikmat bagi Zahra dan Zulfa.
"Kak!" panggil Zulfa disela-sela membantu kakaknya menyiapkan dagangan.
"Iya, Dek. Ada apa?"
"Ibu sebenernya kerja di mana sih?"
"Kalau kata ibu sih jadi TKW. Kenapa emangnya?"
"Enggak apa-apa cuma pengen tahu aja, kok udah seminggu nggak ada kabar," alibi Zulfa, dia hanya ingin memastikan perkataan Rosa tadi pagi.
"Mungkin ibu sibuk kerja, makanya nggak kasih kabar. Do'akan ibu baik-baik aja biar bisa kumpul bareng kita lagi."
"Iya, Kak."
Mereka melanjutkan pekerjaan dengan diselingi obrolan ringan. Setelah satu jam lebih berkutat di dapur, kini Zulfa sedang menata gorengan yang akan dijual.
"Aku ikut Kakak, ya!" pinta Zulfa.
"Enggak usah, kamu di rumah aja. Dagangannya juga nggak terlalu banyak, jadi biar Kakak sendiri aja yang keliling."
"Ya udah kalau gitu. Aku lanjut belajar lagi di kamar."
"Iya, belajar yang rajin! Kakak berangkat dulu ya! Jangan lupa pintunya dikunci!" pesan Zahra.
"Iya, Kak. Hati-hati, semoga dagangannya cepet habis!"
"Aamiin."
Zahra pun berangkat berjualan gorengan keliling kampung. Dengan berjalan kaki sambil menenteng keranjang yang berisi dagangannya.
"Gorengan, gorengan." teriak Zahra menawarkan dagangannya.
Dengan sabar dan telaten, Zahra menjajakan gorengan dari kampung satu ke kampung lainnya.
"Neng Zahra, beli gorengannya," panggil seorang ibu yang sedang duduk di teras rumah.
"Iya, Bu." Zahra mendekat ke arah ibu itu lalu membuka keranjang dagangannya.
"Mau gorengan apa, Bu?"
"Ada apa aja?"
"Ada pisang, tempe, tahu dan bakwan."
"Saya mau pisang dan bakwan aja 10 ribu," pinta ibu itu.
"Baik, Bu." Zahra pun mengambilkan pisang dan bakwan sesuai yang diminta ibu itu.
"Ini, Bu."
"Iya, ini uangnya." Ibu itu menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Neng. Semoga dagangannya laris ya."
"Aamiin, saya permisi lanjut keliling lagi."
"Iya, silakan!"
Kini Zahra kembali keliling ke kampung sebelah, berharap dagangannya cepat habis.
Tak terasa sudah tiga jam Zahra menjajakan gorengan, dia pun bisa pulang lebih cepat karena tadi ada yang membeli sisa dagangannya untuk camilan jaga pos kamling.
"Alhamdulillah, hari ini bisa pulang cepat," syukur Zahra. Dia segera bergegas pulang untuk membuatkan lauk adiknya.
Di tengah perjalanan pulang, ada seseorang yang memanggil Zahra. "Zahra!"
"Mas Amir. Ada apa Mas?" tanya Zahra.
"Lusa kamu di rumah nggak?"
"Setiap hari aku di rumah kok, Mas. Tapi kalau sore ya jualan. Ada apa emangnya?"
"Bapak dan ibu mau ketemu kamu. Katanya ada yang mau disampaikan ke kamu," jelas Amir.
Zahra mengerutkan keningnya karena bingung apa yang ingin disampaikan orang tua Amir. "Oh gitu ya, kalau aku ke sana siang nggak apa-apa kan? Soalnya nunggu Zulfa pulang sekolah dulu."
"Iya, nggak apa-apa. Nanti aku bilang bapak dan ibu. Ya sudah kalau begitu aku pulang dulu."
"Iya, Mas."
Setelah Amir pergi, Zahra kembali melanjutkan perjalanannya ke rumah.
"Assalamualaikum, Dek buka pintunya!" ucap Zahra ketika sudah di depan rumah.
"Waalaikumsalam, sebentar Kak!"
Ceklek
Pintu rumah sudah dibuka, Zulfa langsung mencium tangan kakaknya lalu mengambil alih keranjang bawaannya.
"Tumben udah pulang, Kak?"
"Iya, alhamdulillah tadi masih ada sisa gorengan 50 ribu diborong sama orang kampung sebelah. Jadi, Kakak bisa pulang cepet," jawab Zahra ketika sudah masuk rumah.
"Alhamdulillah," syukur Zulfa.
"Diminum dulu tehnya, Kak!" Zulfa menyodorkan segelas teh hangat pada kakaknya.
"Makasih ya, Dek." Zahra segera meminum teh buatan adiknya untuk melepas dahaga setelah berjalan jauh.
"Oh, ya Dek. Lusa Kakak mau ke rumah Mas Amir, kamu mau ikut apa di rumah aja?"
"Kakak mau ngapain ke sana?"
"Tadi pas di jalan Kakak ketemu Mas Amir, katanya bapak dan ibunya mau ngomong sesuatu ke Kakak."
"Aku di rumah aja, Kak. Takut ganggu nanti."
"Enggak kok, jadi gimana?"
"Terserah Kakak aja, kalau boleh ikut aku ya ikut."
"Ok kalau gitu, sepulang kamu sekolah kita ke sana."
"Iya, Kak."
Siang semuanya, jangan lupa untuk like dan komen ya 😘😘😘
Sesuai perkataan Zahra kemarin lusa, siang ini dia dan Zulfa pergi ke rumah orang tua Amir. Dalam pikiran Zahra banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, kira-kira hal penting apa yang akan disampaikan.
"Kak, kira-kira orang tua Mas Amir mau ngomongin apa ya?" tanya Zulfa disela-sela perjalanan mereka.
"Kakak juga nggak tahu, Dek. Nanti kita juga tahu kalau udah sampai sana."
"Iya Kak."
Tak berselang lama, mereka sudah tiba di depan rumah orang tua Amir.
"Assalamualaikum," ucap Zahra dan Zulfa bersamaan.
"Waalaikumsalam, eh Zahra dan Zulfa. Ayo, masuk bapak dan ibu ada di dalam!" sambut Amir.
"Iya, Mas."
Mereka melangkah memasuki rumah Amir, "Pak, Bu. Ini Zahra dan Zulfa udah datang," panggil Amir.
"Silakan duduk dulu, biar aku buatkan minum!" pamit Amir. Setelah Amir ke dapur, bapak dan ibunya menemui Zahra dan Zulfa di ruang tamu.
"Maaf ya Neng, jadi ngerepotin karena nyuruh kamu ke sini," ucap Bapak Amir.
"Enggak apa-apa kok, Pak."
"Em, kalau boleh tahu ada apa ya kok Bapak dan Ibu meminta saya ke sini?"
"Kita tunggu Amir dulu ya. Biar enak ngomongnya kalau sudah pada kumpul," sahut Ibu Amir.
"Iya, Bu."
"Silakan diminum, Ra, Fa!" Amir menyuguhkan teh hangat di cangkir pada Zahra dan Zulfa tak lupa untuk orang tuanya juga.
"Berhubung semua sudah ada di sini, Bapak akan mulai saja." Bapak Amir membuka pembicaraan.
"Begini, Neng Zahra. Sebenarnya alasan kami meminta kamu untuk datang ke sini, yaitu ingin membicarakan pernikahan kamu dengan Amir."
Deg
Baik Zahra maupun Zulfa sama-sama terkejut, bahkan Zahra tak pernah berpikir akan bisa menikah dengan Amir. Walaupun mereka sudah lama menjalin hubungan, tetapi tak membuat Zahra banyak berharap agar bisa bersatu dengan Amir.
"Bapak serius meminta saya menikah dengan Mas Amir?" tanya Zahra ragu.
"Iya, Neng. Kami sudah memikirkannya jauh-jauh hari," sahut Ibu Amir.
"Bapak dan Ibu tahu sendiri kan bagaimana kehidupan kami sehari-hari? Saya takut Bapak dan Ibu nanti menyesal karena mempunyai menantu seperti saya."
"Inshaallah kami menerima kamu dan adikmu dengan tangan terbuka, Neng. Kami sama sekali tidak mempermasalahkan keadaan kalian, mau kalian kaya atau miskin kami nggak peduli. Yang kami tahu kamu anak yang baik dan nggak neko-neko," jelas Ibu Amir.
Disaat semua sedang sibuk membicarakan pernikahan, Zulfa hanya terdiam dengan tatapan kosong. Dia tengah memikirkan nasibnya ke depan jika kakaknya menikah.
Zahra yang menyadari ekspresi adiknya pun mulai angkat bicara kembali, "Beri saya waktu untuk berpikir, Pak, Bu! Jujur saja, saya belum tega meninggalkan adik saya sendirian apalagi dia masih sekolah," ucap Zahra berterus terang.
"Semua kami serahkan pada kamu dan Amir. Sebaiknya kalian diskusikan lagi, Bapak dan Ibu hanya sebagai perantara saja."
"Baik, Pak, Bu. Terima kasih atas pengertiannya," ucap Zahra sambil menggenggam lembut tangan adiknya untuk meyakinkan semua baik-baik saja.
-
-
-
Sepulang dari rumah orang tua Amir, Zulfa jadi lebih banyak diam. Bicara pun hanya sesekali itupun jika Zahra yang memulai pembicaraan.
"Dek, kamu kenapa dari tadi kok diem aja?"
"Lulus sekolah nanti aku mau langsung kerja aja, Kak."
"Enggak boleh! Kakak nggak ijinin kamu buat kerja, kamu harus bisa jadi orang sukses," tolak Zahra dengan tegas.
"Aku cuma mau mandiri, Kak," lirih Zulfa dengan menundukkan kepalanya.
"Dek, dengerin Kakak! Kakak nggak akan larang kamu buat kerja kalau kamu sudah sarjana dan punya pekerjaan tetap yang baik."
"Biarin Kakak yang nggak bisa melanjutkan pendidikan, tapi itu nggak berlaku untuk kamu. Kamu harapan satu-satunya yang bisa menjunjung martabat keluarga kita kelak," imbuh Zahra.
"Kalau Kakak nikah nanti aku sama siapa?"
"Kamu tenang ya. Nanti Kakak akan ngomong lagi sama Mas Amir gimana baiknya. Kakak juga nggak tega kalau harus ninggalin kamu sendiri," ucap Zahra sambil menenangkan adiknya dan Zulfa pun menganggukkan kepalanya.
"Sekarang jangan sedih lagi, ya! Kalau kamu sedih Kakak juga ikut sedih, kita akan hadapi semua bersama-sama." Zahra menghapus air mata adiknya lalu mencium keningnya.
"Aku sayang Kakak," ucap Zulfa lalu memeluk tubuh Zahra.
"Kakak juga sayang banget sama kamu," balas Zahra sambil membalas pelukan adiknya.
-
-
-
Malam harinya di sebuah club malam, Bu Diana yang saat itu baru selesai melayani tamu di hadang oleh seseorang.
"Ibunya Zulfa kan?"
"I-iya, ka-kamu siapa?" ucap Bu Diana terbata-bata.
"Saya Rosa teman satu sekolah Zulfa."
Deg
Jantung Bu Diana berdetak kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.
"Ada perlu apa, ya?" tanya Bu Diana.
"Tidak ada, hanya ingin memastikan saja kalau benar Anda ibunya Zulfa," balas Rosa.
"Kira-kira gimana ya reaksi Zulfa kalau tahu ibunya adalah seorang wanita malam?"
"Sa-saya mohon jangan beritahu Zulfa tentang pekerjaan saya!" mohon Bu Diana dengan mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Kasih tahu nggak, ya? Lagian apa untungnya juga buat aku? Mau aku kasih tahu atau enggak juga gak bakalan ngaruh buat aku," pungkas Rosa lalu pergi meninggalkan Bu Diana.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mau kalau sampai anak-anak tahu pekerjaanku, apalagi Zulfa dia pasti akan sangat membenciku," gumam Bu Diana yang mulai resah karena perjumpaannya dengan Rosa.
Bu Diana pun kembali ke dalam club, beliau akan memikirkan cara agar Zahra dan Zulfa tak tahu pekerjaannya yang sebenarnya.
"Ros, emang kamu kenal ibu tadi?" tanya Silvi, teman Rosa saat datang ke club tadi.
"Kenal, dia ibunya Zulfa. Yang waktu itu kita samperin dia di kelasnya."
"Oh, cewek itu. Ternyata, ibunya seorang wanita malam. Bakal jadi senjata bagus nih, buat mempermalukan dia."
"Kamu benar, aku akan atur rencana untuk itu," jawab Rosa dengan tersenyum licik.
Alasan Rosa sangat membenci Zulfa karena cowok yang dia incar malah menyukai Zulfa. Dia sangat iri dengan Zulfa, baginya Zulfa adalah saingan terberatnya baik dalam hal pelajaran hingga urusan percintaan.
Walaupun Zulfa seorang gadis polos yang sederhana, tetapi banyak cowok yang menyukainya terutama Bryan, cowok yang selalu jadi incaran Rosa selama ini.
Malam semuanya, jangan lupa untuk kasih like dan komen ya 😘😘. Masukin juga di daftar favorit kalian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!