NovelToon NovelToon

Good Husband

Awal Mula

“Iya Ma... Ini aku lagi jalan cari kendaraan buat ke kampus.”

Seorang gadis melangkah tergesa-gesa keluar dari sebuah gang. Ia masih mengapit ponsel di telinganya, berbicara pada sang ibu yang ada di seberang sana.

“Ayumi itu sendirian di rumah, Ma. Jadi, aku temenin. Iya... Iya, maaf nggak ngabarin dulu.”

Gadis dengan rambut terkuncir ini menepuk pundak seseorang yang berhenti di dekat pangkalan ojek. Pria yang duduk di atas motor ini lantas tersentak dan menoleh ke belakang.

“Kampus Bumi Sakti ya!” gadis itu segera naik ke boncengan sebelum pria itu menjawab permintaannya, “cepet jalan, Mas! Saya udah telat nih.”

“Tapi mbak.”

Untuk sementara gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menatap laki-laki yang duduk membelakanginya ini. Ia dapat dengan jelas menatap wajah laki-laki itu dari kaca spion.

“Kenapa? Harus pakek aplikasi? Kalau belum ada yang booking ‘kan nggak jadi masalah Mas. Saya buru-buru ini nggak sempet kalau harus atur aplikasi dulu. Nanti juga saya bayar kok.”

“Bukan itu mbak...”

“Iya Ma... Oke! Udah ya aku telat nih ke kampus.”

Pria itu kembali menghadap ke depan saat ucapannya tidak digubris lagi. Si gadis kembali berbicara dengan orang yang ada di handphone-nya. Gadis yang ia tidak kenal ini sambil menelepon terus mendesak untuk segera menjalankan kendaraan roda dua itu. Mau tak mau ia melajukan motor metiknya ke tujuan sang gadis.

Selesai menelepon gadis berkaus putih dengan outer merah jambu serta celana bahan coklat itu menyimpan ponsel ke dalam tas. Ia mengambil selembar uang dari dompet.

“Di sini aja, Mas!” ia menepuk-nepuk lagi pundak pria yang dia yakini tukang ojek itu.

Motor pun berhenti sesuai permintaan. Gadis ini turun dan memberikan uang dua puluh ribu, lalu berlari begitu saja meninggalkan si tukang ojek.

Si tukang ojek ini tersenyum sembari menggeleng pelan, memandangi uang yang baru saja ia dapatkan.

...***...

Ketika sampai di kelas ternyata dosen yang mengajar pada hari ini sudah duduk di dalam. Gadis yang baru datang ini mengetuk pintu hingga semua atensi tertuju padanya.

Ia segera masuk saat dosen perempuan itu mempersilakan, “Maaf, Bu. Saya telat.”

Dosen dengan sanggul bak Raden Ayu Kartini ini mengangguk, “Iya, saya tau itu. Masalahnya kenapa kamu bisa terlambat? Bukannya saya udah memberi tau pada kalian semua kalau di kelas saya tidak boleh telat walau hanya satu detik.”

“Maaf, Bu. Saya bangunnya kesiangan.”

“Nama kamu siapa?”

Gadis ini menggigit bibir bawahnya sekilas. Ia meringis saat ditanya namanya saja. Karena itu pertanda bahwa dosen yang taat akan kedisiplinan ini terus mengingat dirinya.

“Cempaka Dahayu, Bu.”

Dosen itu mengangguk sembari memberi sebuah tanda di buku absen yang ia punya.

“Silakan duduk!”

Walau dirinya akan terus terkenang oleh dosen manajemen strategi itu, setidaknya sekarang Cempaka dapat bernapas lega. Ia lekas berjalan menuju kursinya. Di sana Kalya dan Olive telah menyambut kedatangannya.

“Kok bisa lo kesiangan?” Tanya Kalya dengan volume suara sengaja di kecilkan.

Cempaka meletakkan tasnya terlebih dulu dan duduk, “Gue nginep di rumah Ayumi. Itu anak ngampus siang. Dia lupa bangunin gue.”

“Jangan ngobrol lagi! Kita kembali ke materi,” tegur Dosen yang kini sedang bersiap-siap akan menulis di papan tulis.

Kalya dan Olive mengangguk paham. Mereka kembali tenang dari pada terkena semprot dosen galak itu.

Satu setengah jam akhirnya jam kuliah pertama telah selesai. Ketegangan di dalam kelas mulai melonggar. Satu-persatu mahasiswa meninggalkan kelas yang akan digunakan oleh mahasiswa dan dosen lain.

“Hari ini kita cuma punya dua mata pelajaran aja ‘kan?” tanya Olive sembari sesekali melahap es krimnya.

Kini cempaka dan kedua temannya sedang berada di kantin menyantap pesanan masing-masing.

Kalya yang sedang makan salad mengangguk, “Gimana selesai kuliah kita hang out dulu?”

“Setuju!” Olive mengangkat sendok es krimnya, “tadi gue mau ngusul itu.”

“Gue nggak bisa,” ucap Cempaka dengan mulut masih mengunyah sisa makanan. Gadis ini sendirian yang memesan nasi goreng. Katanya, lapar karena tidak sempat sarapan tadi pagi.

“Yaah... kenapa?” Kalya mendadak tidak bersemangat. Olive mengangguki saja untuk pertanda kalau ia ikut bertanya.

“Tadi pagi aja nyokap gue udah ngomel-ngomel karena semalem gue nggak pulang. Kalau habis ini gue telat pulang bisa dicoret nama gue dari kartu keluarga.”

“Lo juga sih, ngapain nggak pulang?” tanya Kalya.

“Pusing gue di rumah. Nyokap sama bokap pembahasannya tentang perjodohan terus. Mereka mau ngejodohin gue sama anak temen Abi. Kalian sendiri ‘kan tau kalau gue udah ada pacar.”

“Lo mau dijodohin, Ka? Ganteng nggak orangnya?”

Dengan sebelah tangan terkepalan, Kalya menjitak dahi jenong milik Olive. Gadis berambut di kepang dua itu merengut sembari mengelus dahi kebanggaannya.

Cempaka menggelengkan kepala, “Gue nggak tau muka orang itu. Gue sama dia belum pernah ketemu. Katanya sih, tuh cowok baru pulang dari kuliah S2 di Aussie.”

“Sakit tau, Kal!” protes Olive setelahnya.

“Ya lo, kalau cowok ganteng cepet.”

“Emang apa salahnya sih nanyain ganteng apa nggak?” Olive mencebikkan bibir, kemudian fokus menatap Cempaka, “Aussie? Sama kayak dosen baru yang katanya mau ngajar di peminatan fakultas manajemen bisnis dong.”

“Kita ada dosen baru?” tanya Cempaka setelah itu ia menyeruput es tehnya.

Olive mengangguk sembari lanjut menghabiskan es krim vanilanya, “Iya, kata anak B. Denger-denger bakal ngisi peminatan manajemen pemasaran.”

“Peminatan kita dong?”

“Iya dan kalian mau tau nggak?” Kalya mengedikkan dagu. Olive mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan, “Pak Dosennya ganteng.” Ia menyampaikan itu seperti orang yang berbisik.

Kalya menggeleng saat ia sebenarnya sudah menebak apa kalimat yang akan Olive beritahu kepada mereka, “Lo emang udah lihat tuh dosen?”

“Iya, sama Arfan ganteng mana?” timpal Cempaka.

“Udah dong. Arfan lewat!” ujar Olive dengan senyum bangga, “habis ini jadwal Bapak itu. Gue buktiin ke kalian, tapi kalian nggak boleh naksir ya! Itu crush gue.”

...***...

Note:

Halo~

Udah lama aku gak nulis di sini. maaf cerita yang ketunda itu aku hapus. Dan aku memilih untuk buat yang baru. sebelumnya cerita ini udah pernah ku upload sedikit di tempat lain, terus aku hapus, lalu sekarang aku pindah dan lanjutin di sini.

Semoga kalian suka sama Kisahnya cempaka dan calon suami yang masih jadi rahasia.

Si Tukang Ojek

✉️ Cempaka: sayang, kamu di mana? Hari ini ngampus ‘kan? Jangan bilang kamu ketiduran lagi.

Cempaka menyimpan ponselnya ketika selesai mengirim pesan singkat lewat aplikasi WhatsApp kepada pacarnya.

“Aka...” Cempaka yang sedang menutup kembali resleting tasnya menoleh ke samping saat mendengar seseorang memanggilnya dengan berbisik, “itu Pak Dosennya, ganteng ‘kan?”

Gadis ini lantas menolehkan kepala ke arah pintu masuk kelas. Ia terkejut siapa orang disebut Dosen oleh Olive. Semua orang yang ada di kelas juga menyapanya dengan sebutan Bapak.

Cempaka mencoba mencubit lengannya sendiri. Ia meringis. Sakit yang ia rasakan pertanda kalau dirinya sedang tidak bermimpi sekarang.

Buru-buru gadis itu membuka buku yang dia bawa hari ini. Ia menutupi wajahnya dengan buku.

“Itu dosennya?” tanya Cempaka pada Olive untuk memastikan lagi.

Olive mengangguk, “Iya, itu. Ganteng ‘kan? Lebih cakep dari Arfan.”

Cempaka tidak berminat menurunkan bukunya. Kalya yang melihat keanehan sikap temannya ini, mencolek dari belakang.

“Lo kenapa?”

Cempaka hanya menggelengkan kepala. Membuat Kalya bingung dengan tingkahnya, sedangkan Olive sudah sibuk dengan dunianya sendiri, yaitu memerhatikan sosok Dosen yang baru saja tiba.

“Itu yang pegang buku. Bisa bukunya diletakkan dulu? Perhatikan apa yang ingin saya sampaikan!”

Cempaka meremas bukunya sendiri. Ia masih belum menurunkan buku itu sampai Olive memaksa agar Cempaka segera menyimpan bukunya.

Dengan rasa terpaksa, perlahan Cempaka menarik turun bukunya. Ia menunjukkan sebuah cengiran pada Dosen itu.

“Begitu lebih baik.” Dosen ini beralih menatap seluruh mahasiswa di kelasnya. Cempaka jadi bingung apa pria itu tidak mengenalinya?

“Perkenalkan saya Dosen baru di peminatan manajemen pemasaran spesialis mata pelajaran komunikasi pemasaran terpadu yang menggantikan posisi Dosen sebelumnya. Nama saya Hanafi Al Amin. Kalian bisa panggil Pak Hanaf saja. Jangan sampai salah mengenali saya ketika bertemu di jalan. Nanti dikira tukang ojek.” Pria berkemeja putih itu tertawa kecil yang membuat para mahasiswanya ikut tertawa.

Kecuali Cempaka, gadis itu mengetuk-ngetuk dahi sendiri saat mendengar sindiran dari sang Dosen yang ternyata mengenali dirinya.

“Memang ada ya yang salah mengenali Dosen seganteng Bapak?” tanya salah satu mahasiswi yang duduk di paling depan.

“Ada.” Hanaf mengeluarkan selembar uang dari saku celananya.

Ia melangkah mendekati meja Cempaka yang ada di tengah urutan ketiga. Seisi kelas mengikuti pergerakan Hanaf. Cempaka memerhatikan uang yang Hanaf letakkan pada mejanya, kemudian mendongak saat pria itu bicara.

“Tidak perlu bayar karena saya bukan tukang ojek.”

Para mahasiswa dan mahasiswi di ruangan itu terkejut. Termasuk Olive dan Kalya. Cepaka menenggelamkan wajah ke meja karena terlanjur malu.

“Lain kali dengarkan penjelasan orang lain dulu agar tidak salah menduga. Siapa nama kamu?”

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir berisi milik Hanaf, Cempaka memberanikan diri mengangkat kepalanya kembali. Namun, ia tidak berani menatap mata Dosen baru itu.

“C-cempaka, Pak,” jawabnya gugup, “Maaf atas kesalahan tadi pagi.”

Hanaf tidak berucap apa pun lagi, ia. kembali berjalan ke arah mejanya, “Sesuai materi kita. Komunikasi dua arah itu sangat penting. Jangan kalian nyerocos aja tanpa mendengarkan dari pihak lain!

Seperti teman kalian itu.” Hanaf membalik tubuh ketika sampai di depan. Ia menghadap ke arah para mahasiswanya, “apabila hanya satu saja maka akan seperti teman kalian itu. Tidak efisien komunikasi yang dia lakukan.”

Panas sudah telinga dan hati Cempaka setelah usai mengikuti pelajaran dari Dosen baru bernama Hanafi itu. Sepanjang pelajaran ia selalu mendapat sindiran.

Kini ia sedang menyeruput es dawet untuk mendinginkan hatinya.

“Gila lo, Ka. Bisa ngira Pak Hanaf itu tukang ojek,” ujar Olive yang sedang berdandan guna menebalkan make up yang telah luntur.

Cempaka melepas pipet yang masih ia gigiti, “Gue mana tau kalau dia Dosen di sini. Salah siapa coba berhenti dekat pangkalan ojek.”

“Kan lo bisa tanya dulu Aka...”

“Gue nggak sempet, Liv. Tadi pagi itu gue udah kesiangan.”

Kalya melipat kedua tangan di atas meja. Ia memandang Cempaka begitu lekat.

“Hari ini udah dua kali lo buat masalah sama Dosen.” Kalya kini menopang dagu, “udah dipastiin Pak Hanaf juga bakal ingat sama lo terus.”

“Siapa juga sih yang mau terlibat masalah? Gue itu nggak mau dikenalin Dosen-Dosen kayak mahasiswa yang cari muka.” Cempaka menghela nafas berat, kemudian menyeruput es dawetnya kembali.

Olive menyimpan alat make up-nya ke dalam tas, “Ayo cabut, Kal!”

Kalya, si gadis berambut sebahu itu berdiri dari duduknya yang tenang, “Kita cabut duluan ya, Ka.”

“Iya, hati-hati! Have fun guys.”

“Lo yakin nggak mau ikut?” tanya Olive memastikan Cempaka berubah pikiran.

“Nggak, deh. Udah kalian hang out berdua aja. Bentar lagi Arfan mau ke sini anterin gue pulang.”

Olive mengangguk, menerima keputusan temannya yang tidak akan berubah itu. Ia meninggalkan kantin bersama Kalya.

...***...

Sudah lebih dari sepuluh menit kedua teman Cempaka pergi, Arfan yang sedari tadi ia tunggu juga belum tampak batang hidungnya.

Terakhir di kirim pesan, katanya cowok itu pergi ke kampus dan akan mengantarkan Cempaka pulang setelah selesai. Namun, sudah jam setengah empat belum juga datang.

Baru akan mengirim pesan lagi, Arfan muncul dengan senyuman lebar khasnya.

“Maaf sayang, aku baru selesai kuliah terakhir.”

Cempaka menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Ia ikut tersenyum menyapa sang kekasih, “Iya, nggak apa-apa. Tadi pagi kamu ke mana sih? Aku spam chat nggak dibalas sampai telepon juga nggak diangkat. Aku pikir kamu ketiduran dan nggak ngampus lagi.”

“Aku memang tidur sayang. Semalam itu aku pulangnya kemaleman. Untung aja hari ini jadwal kuliahku dari jam sepuluh.”

“Dari mana kamu bisa pulang kemaleman?”

“Biasa habis dugem sama temen-temen.” Arfan meraih gelas es dawet milik Cempaka. Dengan tidak segan ia meneguk sisa dawet itu untuk melepas dahaga.

Cempaka mendekatkan dirinya pada Arfan. Ia tampak serius menatap sang kekasih, “Bisa nggak kamu berhentiin kebiasaan dugemmu itu? Kamu ‘kan tau kalau orang tua aku nggak suka. Kalau kamu terus gini aku beneran bakal dijodohin.”

“Kamu kan pacar aku. Masa mau dijodohin sama orang lain?”

“Memang itu yang terjadi sekarang, Fan. Dari seminggu yang lalu orang tua aku udah membahas kalau mereka akan menjodohkan aku sama anak teman Abi.”

“Kamu cinta nggak sama aku? Kalau cinta tinggal kamu tolak aja perjodohan itu.”

“Aku udah berusaha nolak. Bahkan aku bilang, aku punya kamu, tapi Abi nggak setuju sama kamu. Karena kebiasaan-kebiasaan burukmu ini.” Cempaka menghela napas berat, “aku mau nikahnya sama kamu. Please, kamu berubah seperti maunya Abi ya!”

“Jadi selama ini kamu nggak bisa terima aku apa adanya?”

Cempaka memijat pelipisnya yang terasa pening, “Aku suka kamu apa adanya, tapi apa salahnya berubah jadi lebih baik?”

“Apa selama ini aku kurang baik memperlakukan kamu?” Arfan menunjuk dirinya sendiri dari atas hingga bawah, “aku ya begini, Ka. Kebiasaan-kebiasaan aku itu nanti juga berhenti pas waktunya. Abimu saja memang tidak merestui kita.”

Cempaka jadi tidak enak dengan orang-orang yang berlalu-lalang di Kantin. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang karena Arfan mengeraskan suaranya. Laki-laki itu terlihat emosi saat ini.

“Ya udah, sekarang kamu antar aku pulang aja dulu. Masalah ini kita bahas lain kali lagi. Aku akan usaha lagi ngomong sama Abi.”

Cempaka meraih ransel dan menarik sebelah tangan Arfan untuk segera mengikuti langkahnya.

“Begitu dong dari tadi. Jadi aku nggak perlu marah-marah.”

Arfan mengikuti ajakan Cempaka untuk segera meninggalkan kantin. Gadis itu memilih untuk mengalah saja sementara dari pada menjadi tontonan warga kampus.

Malu.

...***

...

Kata Tetangga

Motor trail dengan knalpot yang agak berisik itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar setinggi dada orang dewasa. Cempaka turun dari jok belakang, kemudian menyerahkan helm pada sang kekasih.

“Makasih ya udah anter aku sampek rumah.” Arfan mengangguk, “kamu hati-hati di jalan. Langsung pulang loh jangan keluyuran lagi!”

“Iya pacarku yang bawel.” Arfan mengusap kepala Cempaka penuh kasih sayang.

Cempaka tersenyum diperlakukan manis oleh pacar yang telah merajut hubungan dengannya selama satu tahun belakang ini.

“Oh iya, suruh Abi kamu batalin perjodohan itu. Aku ini ‘kan masih pacarmu. Apa Abi nggak mikirin perasaan aku?”

“Makanya kamu perbaiki sikapmu itu. Biar Abi dengan mudah beri restunya ke kita.”

Arfan mendengus kasar, “Jadi aku lagi yang salah?”

“Disini nggak ada yang nyalah-nyalahin kamu. Cuma minta kamu berubah jadi lebih baik aja sih.”

Arfan menghidupkan kembali mesin motornya, “Udahlah, aku malas bahas ini. Aku pulang dulu.” Lelaki itu melajukan kendaraan roda duanya menuju jalan raya kembali.

Cempaka hanya bisa sabar menerima Arfan yang masih susah untuk dibujuk. Ia harus cari cara buat mengulur waktu agar perjodohan ini tidak cepat-cepat dilaksanakan sampai Arfan dapat restu dari orang tuanya.

“Aka... Cempaka!”

Baru saja masuk dan menutup pagar menuju halaman rumah, seorang wanita paruh baya dengan rambut cepol tinggi memanggil-manggil gadis berambut panjang itu. Ternyata dari tadi ibu itu mengintip Cempaka dari rumahnya.

“Itu tolong dong motor pacar kamu jangan berisik begitu. Pusing saya yang dengar. Ganti knalpotnya!”

Dahi Cempaka mengerut mendengar protes dari tetangga samping rumahnya, “Memang dari sananya motor jenis itu suaranya begitu Bu Tati.”

“Masa nggak bisa diganti? Lagian ngapain sih tiap hari ke sini. Pacaran terus kayak orang suami-istri. Kenapa nggak nikah aja? Padahal ya Umi Indah sama Abi Hamzah tuh orang yang tau agama. Kenapa sih biarin anaknya pacaran begitu?”

Cempaka menghela napas panjang. Baru juga sampai di rumah, tetapi harus menghadapi tetangga resehnya ini.

Gadis itu tersenyum. Tampak terlihat terpaksa. Namun, ia berusaha menahan amarahnya.

“Arfan sama Aka itu masih kuliah Bu Tati. Kami belum kepikiran menikah. Apa lagi Arfan yang umurnya lebih muda satu tahun dari Aka. Perjalanannya masih panjang. Lagian, kita pacaran nggak aneh-aneh kok. Bu Tati tenang aja saya bisa jaga diri.”

“Saya cuma nasihatin aja. Bagaimana pun pacaran itu nggak baik. Mending kamu menikah. Perempuan lebih baik punya pasangan yang lebih tua dari usianya. Bukan brondong kayak pacar kamu. Apa coba kata orang-orang Umi yang suka ceramah di masjid dan Abi Hamzah seorang guru madrasah anaknya punya pergaulan yang bebas. Jaga nama baik keluarga.”

“Udah itu aja?” Cempaka bersedekap dada, “Ibu Tati ya terhormat. Saya kasih tau ya, jadi tetangga itu nggak baik terlalu ngurusin orang lain. Ibu nggak perlu ikut campur sama keluarga saya. Urus aja keluarga ibu itu. Memang keluarga ibu udah bener?”

Setelah melontarkan kekesalannya terhadap tetangga yang menurut Cempaka terlalu ikut campur dengan urusannya. Aka memilih untuk meninggalkan Bu Tati dan melangkah mendekati pintu masuk rumah.

“Yeee! Anak kurang ajar. Beda banget sama orang tuanya. Anak angkat ya situ?”

Baru saja akan mendorong pintu ke dalam, pertanyaan tak mengenakan hati terdengar lagi. Cempaka kembali menoleh ke arah tetangganya.

“BUKAN URUSAN ANDA SAYA ANAK SIAPA. LAGIAN BUKAN ANDA YANG KASIH SAYA MAKAN,” kemudian Cempaka masuk dengan sengaja membanting pintu dan membuat Bu Tati itu tersentak kaget.

“Astagfirullah, Cempaka!” seorang wanita bergamis syar'i mengelus dada karena ikut terkejut oleh suara bantingan pintu, “masuk itu ketuk pintu atau pencet bel, terus ucap salam. Bukan pintunya dibanting seperti itu.”

“Maaf, Umi.” Cempaka berjalan mendekat, lalu mencium punggung tangan ibunya, “habisnya tetangga sebelah itu nyebelin banget. Dia selalu ngurusin hubungan Aka sama Arfan.”

Wanita dengan wajah terlihat sejuk apabila dipandang itu menghela napas, lalu tersenyum. Ia mengusap kepala putrinya dengan kasih sayang yang tulus.

“Kamu ‘kan masih bisa bicara yang sopan sama mereka. Nggak perlu marah-marah sampek melupakan salam kayak tadi. Lain kali jangan diulangi!”

“Iya, Umi. Aka khilaf karena Bu Tati tanya kapan nikah terus. Lagi pusing sama maunya Abi, Bu Tati nambah-nambahin. Jadi Aka kesal.”

“Kalau saran Umi, Aka lebih baik ikutin maunya Abi. Pilihan Abi itu yang terbaik buat kamu.”

“Nggak mau, Umi.” Gadis yang rambutnya tergerai ini merengek, “Aka sayang sama Arfan. Aka mau nikahnya sama Arfan. Arfan baik kok Umi.”

“Kata kamu, Arfan sering bolos kuliah. Suka main sampai larut malam. Kamu suka bantu ngerjain tugasnya. Itu yang kamu bilang baik? Arfan belum siap untuk menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga sama kamu sayang.”

“Apa salahnya sih Umi saling bantu? Aka bisa jadi Aka bantu Arfan untuk nyelesain tugasnya. Bukan cuma Arfan yang belum siap Umi. Cempaka juga. Kami masih muda. Kami ingin lewatin masa ini lebih lama sampek benar-benar siap untuk berumah tangga.”

Indah menghela napas. Ia tersenyum mendengar putrinya yang dulu masih kecil dan suka mengompol kini sudah pandai berdebat mengeluarkan pendapatnya.

“Tapi Abi maunya kamu nikah sayang. Abi punya calon yang cocok untuk kamu.”

“Cocok untuk Aka atau Abi?” Indah terdiam, “udahlah, Umi. Aka mau ke kamar dulu.”

Setelah itu Cempaka melarikan diri ke lantai dua. Tempat kamarnya berada.

...****************...

Cempaka menjatuhkan tubuh di atas kasur berukuran besar. Seorang wanita muda yang tengah menemani bayi usia delapan bulan yang terlelap di sampingnya itu menoleh ke belakang saat merasakan ada sedikit guncangan pada kasur yang ia tiduri.

“Baru pulang kamu?” tanya Juwita yang perlahan mengubah posisinya menjadi duduk bersandar.

“Iya, Kak. Aka mau curhat.”

Juwita itu istri dari Danish. Yang mana Danish adalah kakak kandung Cempaka. Usia pernikahan Danish dan Juwita baru menginjak dua tahun. Mereka sudah dikaruniai seorang putri kecil yang diberi nama Asha. Karena mereka masih tinggal di satu rumah yang sama, hal ini membuat Cempaka dan Juwita sangat akrab. Bahkan sudah seperti teman sebaya.

“Ya udah curhat aja. Apa sih masalahnya kali ini?”

Cempaka menghela napas terlebih dulu. Pandangannya mengarah ke langit-langit kamar.

“Kenapa sih Umi sama Abi sekarang maksa Aka banget buat nikah sama pilihan Abi? Mereka nggak kelihatan merestui hubungan Aka dan Arfan.”

“Bukannya hal ini udah berlangsung lama ya?” Juwita membenarkan posisi duduknya terlebih dulu, “maksud Kakak, hubungan kamu sama Arfan memang ditentang Abi.”

“Iya, sih.”

“Saran kakak mending ikutin aja kata Abi sama Umi. Kakak yakin pilihan orang tua itu yang paling baik.”

“Ish...” Aka bangkit dari rebahannya. Menatap ke arah kakak iparnya itu, “Kak Juwi kok sama aja kayak Abi dan Umi? Aka nggak mau nikah sama orang nggak dikenal, Kak. Terus Aka bucin sama Arfan.”

Juwita terkekeh kecil mendengar ucapan adik dari suaminya, “Bukan begitu, soalnya Kakak lihat-lihat attitude Arfan itu kurang baik. Ia juga lebih muda dari kamu.”

“Umur bukan penghalang rasa cinta, Kak.”

“Tapi anak manja dan keras kepala kayak kamu memang lebih bagus dapat yang lebih tua.”

Cempaka merengut mendengar penuturan sang kakak tentang dirinya, lalu ia menggeleng, “Nggak mau aki-aki.”

Kini Juwita tertawa lagi, “Nggak aki-aki juga kali, Ka. Coba deh jalanin dulu sama pilihan Abi. Kalian bisa taaruf dulu kayak yang Kakak dan Bang Danish lakuin? Kenalan sebelum menikah, siapa tau benaran jodoh.”

Cempaka berdiri sembari menggelengkan kepala untuk kedua kalinya, “Aka tetap maunya Arfan!” kemudian gadis ini pergi dari kamar Kakak iparnya dan masuk ke kamarnya sendiri.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!