Emily tersenyum setelah membaca pesan yang baru masuk, akhirnya dia memiliki kesempatan emas untuk mendekati targetnya. 1 tahun ini, sejak perceraiannya dengan Aji, Emily mentargetan Garry untuk membalas dendamnya. Karena hancurnya bahtera rumah tangganya dengan Aji akibat istri Garry yang bernama Lesty, juga campur tangan ibu Lesty.
Lesty, kau selalu menuduhku pelakor, lihat nanti aku akan datang sebagai pelakor dalam rumah tanggamu.
Nyonya Andita, kamu tahu sakitnya rumah tangga yang dipertahankan runtuh begitu saja karena tangan ketiga, kamu akan merasakan sakit yang sama seperti sakit aku rasa dulu, seperti sakit yang kau berikan padaku dulu.
Emily berharap usahanya kali ini ini tidak sia-sia, dia yakin ini kesempatan yang sangat bagus. Selain tempatnya sangat tepat, pesta malam ini juga hanya di hadiri tamu pria dan wanita penghibur. Setelah perceraiannya dengan Aji, Emily sengaja merendahkan dirinya sendiri menyamar sebagai wanita penghibur demi pembuka jalannya mendekati Garry.
Garry memang laki-laki baik, tapi teman-teman Garry adalah target Emily untuk membuka jalan pembalasan dendamnya.
"Akhirnya kesepatan ini datang juga," ucapnya.
Emily berdandan semaksimal mungkin, dan dia mengenakan mini dress yang sangat terbuka. Emily keluar dari Apartemennya, setiap orang yang berpapasan dengannya terpana melihat keindahan dunia itu.
"Kemana tuh mata!"
Seorang wanita marah pada pasangannya, karena laki-laki yang berjalan bersama wanita itu lehernya seakan patah memandangi Emily. Mendengar hal itu Emily hanya tersenyum. Kebiasaanya mengenakan pakaian seksi, membuat beberapa wanita kesal padanya, ditambah statusnya seorang janda.
Emily tidak pernah menggoda laki-laki yang berpapasan dengannya, namun mereka yang menggoda Emily, tapi Emily tetap salah di mata para istri-istri yang suaminya tergoda dengan kemolekan dan kecantikan Emily.
"Pergi sore, pasti nanti pulangnya pagi, ngelontee di mana lu!"
"Hati-hati ibu-ibu, ada bibit pelakor baru!"
Bermacam kata-kata yang sangat menusuk itu terus terdengar telinga Emily, dari tempat kerjanya, hingga saat dia melintas di jalanan.
Emily terus berjalan menuju pintu keluar, dengan gaya anggun dia terus melangkah, mengabaikan tatapan mata yang terus tertuju padanya. Saat Emily sampai di depan gedung Apartemennya, sepersekian detik kemudian taksi yang dia pesan sudah tiba.
Emily sengaja tidak mengendarai mobilnya, dalam rencananya, targetnya harus mengantarnya pulang setelah acara. Emily memandangi jalanan yang dia lewati, saat hampir sampai di tempat tujuan, Emily menelepon sebuah nomor.
"Halo bos," sapaan di ujung telepon.
"Kalian nanti beraksi setelah aku kode. Mungkin masih lama."
"Tidak masalah bos, kapanpun rencana dimulai, kami siap."
"Oke, jangan lupa bubuk ajaib yang aku pesan, kalian hanya boleh memasukan seperempat dosis saja," titah Emily.
"Siap bos."
Semua rencananya telah matang, tinggal menunggu saat yang tepat.
Mobil taksi pun berhenti di tempat tujuan Emily. Emily segera keluar dan menuju pintu masuk, dia memberikan undangan yang dia miliki.
"Emily Karzila," ucap Emil.
Petugas keamanan itu menscan undangan Emily, saat terverifikasi, Emily mendapatkan gelang khusus, dia pun diperbolehkan masuk.
Acara di dalam terlihat sangat ramai, Emily berusaha mencari keberadaan targetnya.
"Emily, akhirnya kamu datang."
Sapaan itu membuat perhatian Emily buyar.
"Happy birthday Shanyua," ucap Emily.
"Makasih Mel, ayuk gabung dengan tamu-tamu yang lain."
Emily berusaha berbaur dengan semua tamu undangan. Persentase tamu undangan malam ini banyak laki-laki, karena yang punya acara memang mengadakan acara dewasa, bahkan beberapa pria beristri datang dengan wanita lain. Mereka terlihat asing satu dengan yang lain, yang mereka nikmati hanya kesenangan mereka sendiri.
Emily terus tersenyum pada mereka yang berusaha menggodanya, namun saat ini Emily hanya menargetkan satu orang. Hingga pencarian Emily berakhir, saat dia melihat targetnya datang dengan teman-temannya.
Target Emily belum menyadari posisi Emily, Emily segera berbalik, karena targetnya berjalan ke arahnya.
Target Emily mulai memesan minumannya pada Bartender yang bertugas. Saat dia meraih minumannya, dia menoleh pada Emily.
"Tante?"
Emily tersenyum dalam hati, akhirnya targetnya melihatnya. Emily menoleh pada Targetnya. "Garry?" Emily pura-pura terkejut.
"Eh kenapa Tante bisa ada di sini?"
"Aku diundang, masa aku menerobos."
"Tante kenal Shan?"
"Kenal, dia dulu rekan satu kantorku sebelum aku berhenti bekerja."
"Oh … aku baru tahu kalau tante pernah bekerja."
"Garry, jangan panggil aku tante, aku bukan istri om kamu lagi."
"Aku manggil apa dong tan …."
"Panggil nama aja, selain kamu lebih senior dari aku, aku juga bukan bagian dari keluarga kamu lagi, dulu okey kamu manggil aku tante, karena aku istri om kamu, sekarang kan keadaannya beda."
"Sulit sih, secara aku terbiasa manggil tante."
"Makanya biasa in panggil nama dari sekarang."
Garry merasa nyaman berbicara dengan Emily, dia dan Emily terus bicara banyak hal, bahkan saat acara puncak berlangsung, Garry tetap duduk di bar berdua dengan Emil.
"Tante, kenapa--" Garry merasa dia salah bicara. "Maaf, sepertinya aku belum terbiasa."
"Pelan-pelan pasti bisa Gar."
"Em, kenapa kamu dan om Aji bisa bercerai?"
"Ya jodoh kami habis, kan habis umur, mati. Habis jodoh cerai," sahut Emily dengan santainya.
Garry merasa tidak puas dengan jawaban Emily. "Pasti ada sebab dong Em …."
"Gimana ya …." Emily memasang raut keraguannya.
"Cerita aja, kan kita di sini sebagai teman," bujuk Garry.
"Aku bingung memulai dari mana."
"Seingatmu saja Em, rasanya aku sulit percaya om Aji dan kamu bercerai, secara logika, apalagi yang om cari, kamu cantik, seksi, dan sangat menarik, rasanya aku ingin mengatai om Aji bodoh karena menceraikan istri secantik kamu Em."
Emily memulai dramanya, dia menarik napas begitu dalam, dengan sorot mata kesedihan, Emily memulai dramanya.
"Apa gunanya kecantikan dan tubuh yang indah? Aku wanita yang tidak sempurna. Hiks!" Air mata Emily menetes.
"Maksud kamu?" Garry terkejut dengan pengakuan Emily.
"Aku wanita mandul, aku tidak bisa memberi keturunan pada mas Aji, sebab ini aku dicerai."
"Kamu sudah berusaha, misal ke dokter atau usaha herbal gitu. Berusaha dulu Mel sebelum memvonis sesuatu."
Emily menghempas napasnya kasar. "5 tahun Gar, kamu kira selama 5 tahun pernikahan aku hanya diam?"
Sepasang mata Emily berkaca-kaca. Saat Garry menunduk Emily memberi isyarat pada pelayan agar menukar minuman Garry dengan minuman yang sudah dicampur obat perangsang.
Emily kembali fokus pad Garry. "Masalah berobat, aku sudah berobat kemana-mana, bahkan sampai luar negri, tapi aku diam Gar, buat apa aku teriak-teriak tentang usahaku."
"Tapi sedih saja, kan keterbatasan ini di luar kemampuan kamu Mel, kenapa jalan keluarnya perceraian?"
"Karena keluarga besar istrimu ingin keturunan dari Aji."
Emily meraih minumannya, dan perlahan meminumnya. "Lupakan masalah aku Gar, aku di sini untuk senang-senang."
"Iya, maafkan aku, karena aku mengingatkanmu dengan kesedihanmu," sesal Garry.
"Santai saja Gar, ini masih baru, wajar aku menangis jika mengingatnya, lama-lama nanti aku juga biasa. Kayak kamu yang menghadapi hidup kamu , kamu terlihat biasa-biasa saja."
"Tentang?" Garry tidak mengerti arah ucapan Emily.
"Istrimu selalu bicaranya kasar sama padamu, terus sering hina-hina kamu, bukan hanya di belakangmu, tapi aku sering lihat dia hina kamu di depanmu, dan kamu tetap sabar, aku salut sama kamu. Kamu sangat sabar menghadapi wanita seperti itu."
Garry teringat kehidupannya sehari-hari yang selalu diremehkan istrinya, dia berusaha melupakan hal itu, dia meraih minumannya dan menegaknya habis.
"Maaf ya Gar, kalau aku salah bicara."
"Tidak apa-apa Em, kita pernah jadi satu keluarga, wajar kamu mengetahui semua kisahku."
Emily tersenyum, karena Garry menghabiskan minuman yang telah dicampur dengan bubuk ajaib.
"Aku heran aja sama Lesty, nggak ada lembut-lembutnya jadi wanita, dia nggak mikir apa di luar banyak wanita sepertiku yang siap memberi kelembutan pada suami yang ditelantarkan."
Kedua bola mata Garry membulat sempurna mendengar perkataan Emily.
"Lupakan Gar, aku hanya bercanda."
"Owh …."
"Tapi maksudku benar adanya, banyak istri yang tidak menyayangi suaminya, tidak menghargai perjuangan suaminya, hingga suaminya mendapatkan kasih sayang dari wanita lain, kalau sudah demikian, pelakor lagi di salahin. Apa para istri sah itu tidak bercermin dengan keadaan, kalau mereka telah menelantarkan suami mereka, contoh nyata, ya istrimu, dia selalu menelantarkanmu, andai kamu mencari kasih sayang lain, bukan sepenuhnya salahmu."
Bersambung.
***
Maaf kalau temanya sangat tidak nyaman, bacaan ini hanya hiburan. Ini juga sebagai nasihat untuku sendiri agar aku lebih bisa menghargai pasangan. Tema ini ikut lomba, jadi aku menyesuaikan persyartan, bukan mendukung pelakor ya😅
Emily dan Garry sama-sama terlihat canggung.
"Jangan dengarkan kata-kataku tadi, aku hanya berusaha bercanda," ucap Emily.
Garry membisu, jemarinya mengetuk gelas minumnya yang telah kosong
"Tidak semua laki-laki sama Gar, misalnya kamu, kamu sangat berbeda, banyak pastinya wanita yang ingin menjadi simpananmu, tapi kamu laki-laki setia, di sini saja, kamu memilih bicara denganku, bukan dengan mereka." Emily menunjuk kearah para wanita seksi yang memang bertugas untuk menghibur semua tamu.
"Kamu bicara denganku, karena kamu menganggapku tantemu, dan kamu nyaman bukan?"
Garry tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Lupakan pembicaraan kita, ayo kita nikmati pestanya."
Emily mengajak Garry turun ke lantai dansa, di sana keduanya berjoged bersama tamu-tamu yang lain.
Garry mulai merasakan hal aneh, entah kenapa sekujur tubuhnya seakan menegang, apalagi di depan matanya kini perempuan dengan pakaian seksi. Pandangan Garry terfokus pada gundukan kembar yang sangat indah di depan matanya. Rasanya sangat sulit bagi Garry untuk mengalihkan pandangannya dari dada Emily.
Melihat Garry terus memandanginya, Emily berusaha menahan kebahagiaannya. Emily mengambil handphonenya dan mengetik pesan untuk dia kirim pada suruhannya.
*Saat aku berjalan menuju meja kami, nanti, tabrak aku.
Melihat pesannya sudah dibaca suruhanya, Emily bersiap untuk melancarkan rencana lanjutan.
"Kita rehat dulu yuk …."
"Ada apa Em?"
"Sudah malam, jadi aku mau pulang, dan ini aku lagi pesan taksi."
"Nggak bawa mobil sendiri? Bukankah kamu diberi mobil dan Apartemen sama om Aji?"
"Untuk pesta seperti ini, aku sengaja naik taksi, biasanya aku mencari seseorang yang bersedia menghabiskan malam bersamaku, tapi … sepertinya malam ini aku harus kesepian lagi."
"Karena aku ya?" ucap Garry.
"Lupakan." Emily menepuk pundak Garry. "Aku pamit ya Gar," Emily segera berjalan keluar dari lantai dansa.
Seper sekian detik kemudian ada pelayan yang seolah tidak sengaja menabrak Emily, membuat tubuh Emily basah kuyup tersiram oleh minuman yang tumpah.
"Maafkan saya Nona, saya tidak sengaja," sesal pelayan itu.
Melihat tubuh seksi Emily basah oleh minuman, Garry sangat susah menahan segala ledakan dalam dirinya melihat pemandangan itu, Garry berulang kali menelan salivanya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja."
"Tapi Nona basah," sesal pelayan itu.
"Tidak apa-apa, kamu lanjutkan pekerjaan kamu." Emily kembali menoleh pada Garry. "Garry aku pamit duluan ya …."
Garry tersadar dari khayalan sesatnya. "Aku antar pulang bagaimana?"
"Berbahaya pulang dalam keadaan ini sendirian," ucap Garry.
Emily memandangi keadaan tubuhnya. "Iya juga sih."
"Aku antar ya," tawar Garry lagi.
"Jangan, aku nggak mau repotin orang," tolak Emily.
"Aku Nggak repot."
Emily pun setuju, saat dia mencari yang punya hajat, terlihat dia sangat sibuk dengan tamu yang lain. Emily dan Garry pun pergi tanpa berpamitan pada siapa-siapa.
***
Setelah sampai ke mobil Garry, keduanya segera masuk. Saat di dalam mobil, reaksi itu semakin membuat Garry sulit menahan keinginannya, di luar kendalinya, dia langsung menyerang bibir Emily, menciumnya begitu buas, seakan tidak ingin melepaskan bibir yang sangat seksi itu.
Saat di tengah-tengah kegilaanya, Garry menyadari siapa dirinya. Dia langsung menarik dirinya. "Maafkan aku Emily."
"Bisa antar aku pulang sekarang?" Ucap Emily dingin.
Mendapat reaksi dingin seperti itu membuat Garry merasa bersalah. Dia menyalakan mesin mobilnya dan perlahan melajukan mobilnya.
Selama perjalanan keadaan terasa sangat canggung, Emily hanya mengatakan Apartemennya saat ini.
Sepanjang perjalanan Garry berusaha merangkai kata, untuk minta maaf pada Emily, namun semua hanya sekedar khayal. Bahkan sampai di gedung Apartemen Emily, dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata.
Melihat Garry sudah sampai, Emily segera keluar dari mobil tanpa bicara sepatah kata pada Garry. Melihat tingkah Emily, Garry merasa sangat bersalah.
Garry terus memandangi Emily yang semakin menjauh dari pandangannya. "Kenapa aku tidak bisa menahan diriku!"
Garry memukul setiran mobilnya meluapkan kekesalannya. Garry berusaha menenangkan dirinya, sesaat kemudian dia perlahan menegakkan tubuhnya, Garry pun mulai meninggalkan gedung Apartemen Emily.
Kesunyian menyelimuti perjalanan pulang Garry. Entah kenapa ciuman tadi sangat sulit dia lupakan. Tiba-tiba deringan handphone terdengar. Garry merasa itu bukan nada deringnya. Garry perlahan menepikan mobilnya, dia menyalakan lampu dalam mobilnya, mencari benda yang terus berdering itu, dan Garry menemukan handphone dengan wallpaper wajah cantik Emily.
Garry langsung menerima panggilan itu.
"Halo!" Suara di ujung telepon itu terdengar sangat panik.
"Halo, saya bicara dengan siapa ya?"
Garry menjauhkan handphone itu dari wajahnya.
Apa Emily tidak mengenali suaraku? Atau dia tidak menyadari kalau handphonenya ketinggalan di mobilku.
"Halo mas, mbak, tante …."
Suara di ujung telepon yang samar terdengar membuat lamunan Garry buyar.
"Ehm!" Garry hanya berdeham.
"Mas, mas nemu hp saya, mas bisa antarkan ke tempat tinggal saya? Kalau mas bersedia, saya akan kasih imbalan mas." Emily menyebutkan apartemennya tinggal.
Garry tidak menjawab ucapan Emily, dia memutuskan panggilan telepon itu, dan segera melajukan mobilnya kembali ke Apartemen Emily. Sepanjang perjalanan handphone itu terus berdering, Garry sesekali memperhatikan handphone itu.
"Kasihan sekali Emily, pasti dia cemas."
Garry terus menambah kecepatan mobilnya.
Sedang di sisi lain. Emily sangat bahagia, semua rencananya berjalan sempurna, bahkan saat ini Garry akan kembali ke Apartemennya. Emily terus tersenyum sambil terus menghubungi handphone yang sengaja dia tinggalkan di mobil Garry.
15 menit kemudian handphone Emily berdering, terlihat satu pesan masuk dari nomor asing.
*Ingin handphone mu kembali? Kalau mau, temui aku di basement.
Emily tersenyum, dia yakin ini nomor Garry. Emily sengaja keluar dengan baju yang sangat mini yang dia tutup dengan jaket panjang. Emily segera menuju basement yang dimaksud dalam pesan yang dia terima.
Saat sampai di basement, Emily melihat Garry duduk di depan body mobilnya.
"Garry?" Emily memasang raut wajah syoknya.
"Aku ke sini mengembalikan teleponmu."
"Jadi … handphone kerjaku ketinggalan di mobil kamu?"
"Yup, katamu akan memberiku imbalan jika mengembalikan ini bukan?" Garry memainkan handphone Emily.
"Imbalan apa yang kamu mau?" Emily masih memasang wajah dinginnya.
"Bagaimana kalau segelas teh? Tapi teh buatanmu."
Emily menghempaskan napasnya begitu kasar. "Ikuti aku."
Garry sangat bahagia, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Emily. Selama di dalam lift, keduanya bungkam, sampai pintu lift terbuka lagi, tidak ada obrolan diantara keduanya. Garry hanya mengekori langkah Emily, hingga dia memasuki sebuah Apartemen mewah milik Emily.
Emily masih membisu, dia segera menuju pantry, dan menyeduh 2 gelas teh di sana. Emily kembali dengan membawa 2 gelas di tangannya, dia memberikan satu gelas pada Garry.
"Ini saja imbalanmu?" Tanya Emily.
Garry menerima gelas teh yang Emily berikan. "Ini hanya alasanku, agar aku bisa berbicara padamu."
"Bicara apa?" Nada suara Emily sangat dingin.
"Em, maafkan aku atas perbuatanku tadi."
"Lupakan, hanya ciuman tidak berpengaruh apa-apa padaku. Kamu tiduri aku pun tidak berpengaruh, secara aku wanita mandul."
"Boleh aku duduk di sofa?" Garry berusaha mengalihkan pikiran Emily.
"Duduk saja di mana kamu senang." Emily melepaskan jaketnya, sehingga tubuh seksinya kembali terekspose.
Reaksi obat yang ada di tubuh Garry masih terasa, Garry merasa panas dingin memandangi pemandangan indah di depan matanya.
Garry terus meminum tehnya, hingga gelas teh itu kosong. Mereka masih tidak lanjut berbicara.
"Teh ku sudah habis, makasih Em."
"Terima kasih juga telah mengantarkan handphoneku," sahut Emily.
"Boleh nanti aku main lagi ke sini?"
"Lihat keadaan," sahut Emily.
"Takut pas aku datang saat ada kekasihmu ya?"
"Kekasih?" Emily tertawa kaku. "Mana ada yang mau menjadikan wanita yang penuh kekurangan ini menjadi istrinya?"
"Berhenti Em, kamu itu tidak seburuk yang kamu katakan, kamu tidak sempurna bukan berarti kamu buruk."
Emily mendekati Garry, dan menarik lengan laki-laki itu. "Sudah malam, sebaiknya kamu pulang."
Saat hampir sampai pintu, Garry menahan Emily, dan kembali mencium bibir wanita itu dengan sangat buas.
Reaksi obat yang semakin terasa, membuat Garry hanya memikirkan satu hal, ingin menidurkan miliknya, sedari tadi benda itu terus menjerit melihat kemolekan tubuh Emily.
Garry tidak memberi Emily kesempatan untuk menghirup oksigen, aktivitas itu benar-benar menghilangkan akal sehat Garry. Saat ini dia lupa siapa dirinya dan siapa Emily. Hingga ciuman dahsyat itu membuat keduanya terdampar diatas tempat tidur.
Malam semakin larut, Garry merasakan tubuhnya sedikit lebih tenang, namun saat melihat sosok yang berbaring di sampingnya, Garry panik.
Apa yang aku lakukan?
Garry masih syok, perlahan wanita itu membuka kedua matanya.
"Kenapa ini harus terjadi, Garry?"
"Am … am …." Garry bingung harus menjawab apa.
"Lupakan, anggap tidak terjadi apa-apa diantara kita." Emily turun begitu saja dari tempat tidurnya.
Emily berjalan menuju kamar mandi, beberapa saat Garry mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Garry perlahan mendekati pintu kamar mandi itu.
"Emily … maafkan aku," ucap Garry.
Perlahan suara percikan air itu tidak terdengar lagi.
Ciiitttt!
Pintu kamar mandi itu terbuka, memperlihatkan sosok Emily dengan tubuh basah yang berbalut handuk.
"Lupakan, anggap tidak terjadi apa-apa diantara kita."
"Apakah kita bisa?" Tanya Garry.
"Semoga bisa."
"Aku takut …." Garry menunduk memandangi lantai.
"Takut apa? Aku hamil? Kamu lupa atas alasan apa aku dicerai?"
Emily membuang pandangannya saat Garry menegakan pandangan, dan terus memadanginya.
"Aku takut tidak mampu melupakanmu dan rasa yang telah kau beri," ucap Garry.
"Mau tambah teh? Atau mau ku buatkan makanan?" Emily berusaha merubah pembicaraan mereka.
"Aku lapar, tapi boleh aku numpang mandi dulu?"
"Mandilah, bajumu biar aku uap dengan setrika uap." Emily memunguti baju Garry yang berserakan di lantai.
Walau baju itu kotor, namun Garry mau tak mau harus mengenakannya lagi, Emily dengan santainya menyetrika baju Garry dan menyemprotkan cairan pelicin pada baju itu.
Emily melihat-lihat keadaan, pintu kamar mandi masih tertutup rapat, Emily segaja menyelipkan antingnya di jas Garry.
Saat Emily selesai menyetrika ulang baju Garry, saat yang sama Garry keluar dari kamar mandi.
"Maafkan aku, kalau bajumu aku cuci, maka kamu tidak punya baju lagi, jadi aku hanya menyetrikanya saja."
"Tidak apa-apa, itu lebih bagus daripada aku harus mengenakannya lagi tanpa sentuhan apapun."
Emily mendekati Garry, dan memakaikan baju Garry, mendapat perlakuan manis Emily, Garry tegang.
"Aku bisa sendiri Em," tolak Garry.
"Aku harus bertanggung jawab juga, aku terlibat menanggalkan semua pakaianmu, izinkan aku memakaikan baju ini lagi."
Garry pasrah, dia membiarkan Emily membantunya memakaikan bajunya. Pelayanan Emily padanya sangat sederhana, namun mampu menggetarkan seluruh jiwanya. Garry memandangi wajah Emily yang begitu dekat dengan wajahnya.
Di rumah istrinya sangat sibuk, jangankan dia memakai apa, dia makan apa saja, Lesty tidak peduli. Dilayani Emily seperti ini, ingin rasanya Garry menangis haru.
"Sudah selesai, katanya kamu lapar, ayo kita makan." Emily berjalan menuju pantry, di sana Emily terlihat sibuk menyiapkan makanan untuk mereka berdua.
Sekali lagi Garry merasakan warna baru di hidupnya, selama ini hanya pelayan yang menyiapkan makanan untuknya. Garry mencoba menepis semua pemikirannya. Dia duduk di salah satu kursi dan menikmati makanannya.
"Mau tambah?" Tawar Emily.
"Cukup." Garry kembali meneruskan makannya.
Garry memandangi piring kosong yang ada di depannya, entah mengapa dia tidak tega untuk pergi begitu saja.
"Ada apa?" Tanya Emily.
Garry tetap menunduk, dia tidak tahu harus berkata seperti apa.
"Kamu ingin pulang? Pulang saja, di sana rumahmu, kamu harus pulang," ucap Emily.
"Bagaimana dengan kamu?" tanya Garry.
"Jangan pikirkan aku, sana pulang dulu."
Berat, tapi mau tak mau Garry harus pulang. Emily melepas kepergian Garry, seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.
**
Sepanjang perjalanan, Garry terus terbayang perjuangannya diatas ranjang dengan Emily, sumpah demi apapun, ini hal terindah dalam hidupnya. Saat bersama istrinya, yang ada Lesty terus mengomel, saat dia sibuk memompa Lesty malah membeku seperti gedebong pisang.
Khayalan Garry tentang Manisnya perjuangannya dengan Emily seketika berakhir, saat mobilnya melewati sebuah gerbang yang menjulang tinggi. Itu adalah istana milik istrinya, yang merupakan putri tunggal keluarga kaya itu.
Setelah memasuki rumah, Garry melihat pintu ruang kerja Lesty sedikit terbuka, dia segera memasuki ruang kerja istrinya.
"Masih kerja ma?" sapa Garry.
"Jangan basa-basi deh pa! Mau ngomong apa?"
Sebuah ide melintas di kepala Garry, akankan Lesty melayaninya seperti Emily melayaninya. Garry berjalan kearah Lesty, ingin memeluk istrinya itu.
Namun Lesty malah menghindar dia tidak mau di peluk. "Jangan aneh-aneh kamu!" Maki Lesty.
"Aneh gimana? Aku suami kamu, apakah aneh jika aku ingin bermanja dengan istriku sendiri?" Jawab Garry.
"Aku sibuk, besok ada pertemuan dengan klien luar negri."
"Tapi sudah 2 bulan loh ini." Garry memasang wajah memelasnya.
"Kamu hanya gangu konsentrasi aku, sana keluar! Nggak ngertian banget sama pekerjaan istrinya."
"Maaf, bukan aku nggak ngerti …." ucap Garry lembut.
"Kalau mau mendapat pelayanan waw, kamu harusnya pacu usaha kamu, gajimu saja tidak sebanding dengan seperempat gajihku, jadi jangan macem-macem kamu!"
"Ingin istri yang melayani, ayo hasilkan uang yang lebih banyak dari pendapatanku, jika masih di bawahku, sadar diri dong kamu!"
"Andai bukan karena permintaan nenek, ogah aku nikah sama orang nggak berguna kayak kamu! Sialannya Nenek malah memberikan perusahaan Farla Group padamu!"
"Dia tidak memberikan, hanya mengamanahkan, hasilnya pun tetap untuk keluarga kita."
"Jangan besar kepala kamu! Merasa udah kasih nafkah ke aku begitu?"
"Bukan maksudku begitu Les, aku sadar siapa aku."
"Bagus kalau kamu sadar siapa dirimu, jangan lupa tempatkan dirimu pada tempatnya!"
"Keluar sana! Ideku buyar gara-gara kamu!"
Jangankan mendapat pelayanan istrinya, malah cacian dan hinaan yang tertuju untuknya. Garry menyeret langkah gontainya menuju kamar.
Walau tidak pernah medapat rasa hormat dari istrinya, Garry selalu berusaha setia pada Lesty. Garry melepaskan satu per satu pakaian yang dia kenakan, membuka satu per satu kancing kemejanya, dia kembali teringan Emily yang begitu memperhatikannya.
"Istri sendiri jangankan melayani, memberi perhatian saja tidak, sedang wanita di luar memberi perhatian dan pelayanan yang luar biasa. Kalau seperti ini siapa yang salah jika aku menginginkan Emily."
Garry meraih piyama tidurnya, dan dia menghempaskan bobot tubuhnya di tempat tidur. Saat memeluk guling, Garry merasa saat ini memeluk Emily.
Garry ….
Garry terbayang rintihan Emily yang saat Emily berada di bawah tubuhnya. Rasanya itu hal yang sangat indah. Garry membuka kedua matanya, agar berhenti membayangkan Emily.
Namun saat kedua matanya tebuka, Garry seakan melihat Emily bekerja keras diatas tubuhnya.
"Em …." Garry ingin memeluknya, namun bayangan Emily hilang begitu saja.
"Arggg! Kenapa aku selalu merindukan Emily!" Garry bangun dan meremass rambutnya, dia sangat frustasi dengan perasaannya.
Garry mengambil handphonennya dan langsung menghubungi Emily.
Tuttt ….
Suara itu terus berulang, beberapa saat kemudian terlihat wajah Emily memenuhi layar handphonenya.
"Ada apa?" tanya Emily.
"Apa yang terjadi padaku, Em?" keluh Garry.
"Kamu pikir setelah kamu pergi aku bisa baik-baik saja?"
Terlihat di layar handphone Garry Emily menangis.
"Aku nggak pernah merasakan perasaan aneh seperti ini, saat kamu pergi aku merasa kosong! Hiks!" Emily tenggelam dalam isak tangisnya.
*Bersambung.
3 Bab dulu ya, untuk bab lanjutan, aku masih menunggu feedback dari editor yang menangani lomba ini. Jadi kelanjutannya belum tau kapan adanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!