NovelToon NovelToon

Aku Juga Ingin Bahagia ( Pejuang garis dua)

Kebahagiaan Zahra

"Maukah kau menikah denganku?" tanya Arham menggenggam setangkai bunga Mawar merah dan juga cincin sambil berlutut di hadapan Zahra.

Zahra membekap mulutnya, ia tak menyangka jika kekasihnya itu melamarnya. Mereka baru 3 bulan berpacaran. Namun, kini ia melamarnya.

Tiga bulan yang membuat Zahra benar-benar jatuh cinta dan tak bisa berpaling lagi dari kekasihnya. Arham terus memanjakannya dan memberikan perhatian lebih.

"Aku berjanji akan menjadi suami yang baik, yang selalu membahagiakanmu. Aku akan menjadikanmu wanita yang paling bahagia di dunia ini," ucap Arham lagi yang masih berlutut di depan Zahra..

"Iya, aku mau jadi istrimu," jawab Zahra penuh rasa bahagia, membuat tepukan tangan dari pengunjung restoran mewah tempat mereka makan malam ikut bahagia mendengar jawaban Zahra yang menerima lamaran Arham.

Ya, saat ini mereka sedang dinner di sebuah restoran mewah, itulah Arham ia selalu membawa Zahra ke tempat-tempat mewah, membelikannya barang-barang mewah dan juga selalu memperhatikannya di setiap saat.

Arham memasangkan cincin di jari manis Zahra, membuat Zahra meneteskan air mata meluapkan rasa senangnya.

"Terima kasih sudah percaya pada cintaku," ucap Arham mengecup punggung tangan Zahra.

Zahra yang tak memiliki siapapun di dunia ini merasa bahagia dengan disematkannya cincin jari manisnya, mengikatnya dalam sebuah hubungan membuat ia merasa memiliki sandaran untuk berlindung.

Selama ini Zahra berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keahliannya dalam mendesain membuat ia sukses dalam bisnis butiknya. Walau butiknya hanya butik sederhana. Namun, semua itu cukup untuk menghidupi dirinya dan dua karyawan lainnya. Karyawan sekaligus sahabatnya Ranti dan Tere.

Seminggu setelah lamaran Arham pun menikahi Zahra, mereka menggelar pesta sederhana di kota kecil Zahra dan akan melanjutkan resepsinya di kota Arham.

"Ranti, Tere aku titip butik ya, aku akan ikut suamiku ke kota. Maaf jika merepotkan kalian," ucap Zahra sebelum ia berangkat ke kota suaminya meninggalkan butik dan semua kenangannya di kota asalnya.

"Iya, kamu tenang saja. Masalah butik biar kami yang urus, kami akan rutin melaporkan perkembangan butik padamu setiap bulannya," ucap Tere memeluk sahabatnya. Mereka mengantar Zahra ke bandara.

Lambaian tangan kedua sahabat yang mengantar Zahra ke kota suami yang baru dikenalnya selama 3 bulan dan tak tahu seperti apa kehidupan suaminya di kota asalnya. Namun, ia yakin suaminya itu sangat mencintainya dan bisa membahagiakan.

Di kota Arham .

Zahra dibuat tercengang saat mereka sudah sampai di kediaman Arham,

"Mas ini rumah kamu?" tanya Zahra tak percaya melihat rumah megah yang ada di hadapannya.

"Iya, tentu saja ini adalah rumah kita, kita akan tinggal di sini. Oh ya malam ini aku akan mengadakan resepsi pernikahan kita, aku sudah mengundang kerabat dan juga kolegaku. Hari ini kamu istirahat saja aku tak ingin membuatmu kelelahan malam nanti."

Zahra hanya mengangguk mendengarkan apa yang suaminya katakan.

Begitu turun dari mobil, Zahra menggenggam erat tangan Arham, ia belum pernah bertemu dengan orang tua Arham sebelumnya. Arham hanya mengatakan jika ibunya sedang sibuk dan tak bisa menghadiri pernikahan mereka dan menunggu mereka datang ke kotanya.

"Ibu pasti senang menyambutmu," ucap Arham mengusap tangan Zahra yang melingkar dilengannya.

Begitu mereka masuk lagi-lagi Zahra tercengang melihat kemewahan yang ada di dalamnya, rumah itu sangat mewah jauh dari bayangannya. Ia memang tahu jika Suaminya itu adalah orang yang kaya. Namun, ia tak menyangka jika suami yang dinikahinya memiliki rumah sebesar itu.

"Selamat datang! Apakah ini calon menantuku?" tanya Wani, ibu Arham. Ayah Arham sudah lama meninggal dan ia hanya tinggal bersama ibunya.

"Iya, Bu. Ini Zahra istriku," ucap Arham memperkenalkan Zahra pada ibunya.

"Wah kamu cantik sekali, Nak. Arham sangat beruntung memiliki istri secantik kamu. Maaf ya Ibu tak bisa datang ke pesta pernikahan kalian, Ibu benar-benar sedang ada kegiatan lain," ucap Ibu memasang raut wajah menyesal.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku mengerti kok mendapat restu dari Ibu aku sudah sangat senang," ucap Zahra yang sadar akan kondisi perekonomiannya bila dibanding dengan Arham.

"Tentu saja ibu merestui hubungan kalian, Ibu tak pernah memilih calon menantu yang penting Arham mencintaimu dan juga kau mencintai Arham itu sudah cukup. Ayo silahkan masuk kamu pasti kelelahan setelah perjalanan.

Wani menggandeng menantunya untuk masuk ke dalam, Zahra merasa sangat bahagia ternyata Ibu Arham sangatlah ramah dan menyambutnya dengan baik.

***

Malam hari pesta megah digelar, semua keluarga besar dan kolega dan rekan bisnisnya juga datang, mereka mengucapkan selamat.

"Bagaimana? Apa kamu suka pestanya?" berisik Arham.

"Aku seperti bermimpi mendapatkan pesta pernikahan semegah ini, aku bahkan tak pernah menyangka pernikahanku akan dirayakan seperti ini. Terima kasih ya, Mas. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu."

Arham tersenyum bahagia mendengar janji wanita yang dicintainya, ia mengecup punggung tangan dan kembali menyapa para tamu undangan yang memberi selamat kepada mereka.

***

Dua bulan setelah pernikahan mereka.

Zahra kembali merasa bahagia saat memegang benda pipih di tangannya.

Yang memiliki dua garis, kemudian ia memegang perutnya.

"Ya Allah terima kasih atas kebahagiaan yang kau berikan, aku hamil. Mas Arham Pasti sangat bahagia mendengar kabar ini," ucap Zahra yang bergegas keluar dari kamar mandi dan menghampiri suaminya yang masih tertidur.

"Mas, aku punya kabar bahagia untukmu," ucap Zahra mencoba menarik selimut Arham.

"Aku ngantuk, beri aku waktu sebentar lagi," gumamnya masih dengan mata tertutup.

"Aku hamil," bisik Zahra ditelinga suaminya membuat Arham yang tadinya masih menutup mata langsung menatap tak percaya pada Zahra.

"Ka-kamu hamil?" tanya Arham memastikan apakah ia tak salah mendengar bisikan istrinya.

Zahra membawa tangan Arham ke perutnya dan memperlihatkan hasil tespek yang menunjukkan jika hasilnya positif hamil.

Arham sangatlah bahagia, ia langsung memeluk istrinya mengucapkan rasa syukur, kebahagiaan kembali dirasakan keduanya.

Wani yang mendengar kabar itu juga sangat bahagia. Wani dan Arham sangat memanjakan Zahra, mereka melayani Zahra dengan sangat baik.

"Zahra kamu nggak boleh makan ini, ini rasanya pedas nggak baik untuk kandunganmu," ucap Wani yang bersikap protektif pada Zahra. Semua diaturnya makanan apa yang boleh dan tak boleh dimakannya.

Zahra mengerti semua itu demi kebaikannya, Ia pun membiarkan suami dan mertuanya menunjukkan rasa sayang mereka padanya, hingga tak terasa kehamilan Zahra berlalu begitu cepat kini mereka menggelar acara 7 bulanan.

"Mas, apa ini tak terlalu meriah? Kita cukup adakan di rumah saja."

"Tidak, Sayang. Ini adalah putra pertama dan cucu pertama di rumah ini, mana mungkin aku menggelar acara pertamanya dengan sangat sederhana," ucap Arham.

"Iya, suamimu benar. Kita harus merayakannya semewah mungkin, ibu akan memamerkan cucu Ibu pada teman-teman arisan Ibu mereka pasti iri pada Ibu, masih banyak dari mereka yang tak memiliki cucu," ucap Wani sambil mengelus perut menantunya dan merasakan gerakan cucunya di dalam sana.

Zahra pun terdiam dan kembali menuruti apa yang mereka inginkan, walau itu terdengar sangat berlebihan. Mereka melakukan itu karena antusias menyambut bayi yang ada di dalam rahimnya. Pikir Zahra.

Acara 7 bulan pun digelar, acaranya tak kalah mewahnya saat acara pernikahan mereka.

"Wah Selamat ya sebentar, lagi kamu akan menjadi seorang nenek," ucap salah satu teman arisan Wani.

"Iya, aku juga tak menyangka akan mendapatkan seorang cucu secepat ini.

Cepatlah menikahkan putramu agar kau juga menjadi seorang nenek," ucap Wani pada temannya yang bernama Desi.

"Semoga saja putraku juga akan segera menikah, aku sudah kesal padanya. Aku sering memperkenalkannya pada gadis-gadis cantik. Namun, tetap saja ia terus saja menolak," keluh Desi.

"Aku doakan semoga jodohnya cepat datang."

"Selamat ya atas kehamilanmu, ini Ibu berikan hadiah untuk bayimu," ucap Ibu Desi memberikan perlengkapan bayi dari merek terkenal.

"Terima kasih, Bu," jawab Zahra mengambil hadiah tersebut dan menyimpannya bersama dengan hadiah lainnya.

Acara malam itu berlangsung dengan meriah dan lancar, Zahra melihat begitu banyak perlengkapan bayi yang diberikan oleh para tamu, begitu juga dengan perlengkapan bayi yang sudah dibeli oleh mertuanya. Kamar yang sudah disiapkan untuk putra mereka kini dipenuhi dengan barang-barang.

"Baik-baik ya kamu, Nak. Coba lihat betapa banyaknya orang yang menyayangimu dan menantikan kelahiranmu," ucap Zahra mengusap perutnya.

Kabar Buruk

Deringan ponsel bergema di kamar Zahra, ia pun bergegas mengangkat panggilan telepon dari suaminya

"Iya, Mas ada apa?" jawab Zahra mengangkat panggilan Arham.

"Aku ingin mengajakmu makan malam di luar, kamu siap-siap ya! Aku akan langsung menjemputmu setelah pekerjaanku selesai," ucap Arham dari balik telepon.

"Makan malam? Tapi, apakah ibu mengizinkan kita. Mas tahu sendiri 'kan Ibu terlalu posesif padaku, aku bahkan tak boleh keluar dari pintu gerbang."

"Kamu tenang saja, aku sudah izin pada ibu untuk membawamu dan ibu sudah mengizinkan. Kamu siap-siap saja nanti aku akan menjemputmu dan kembali meminta izin pada ibu."

"Baiklah, Mas. Aku akan berdandan cantik untukmu," ucap Zahra yang terdengar begitu bahagia, semenjak kehamilannya ia tak pernah keluar rumah dan hanya menghabis waktu di rumah dan halaman saja.

"Akhirnya aku bisa keluar lagi, aku sedikit bosan terus di rumah," gumam Zahra memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya.

Sementara itu di kantor, Arham memandang sebuah kotak kado yang akan diberikan pada Zahra, saat keluar negeri beberapa minggu yang lalu ia sengaja membeli perhiasan mewah yang akan diberikan untuk Zahra untuk memperingati hari jadian mereka.

"Semoga saja kamu suka kejutanku malam ini," gumam Arham sambil berjalan menuju ke lobi, semua pekerjaannya sudah selesai.

Di kediaman Arham.

"Zahra, kamu hati-hati ya, jaga cucuku baik-baik. Sebenarnya Ibu tak mau mengizinkan kamu untuk keluar malam ini, tapi karena Arham yang memohon makanya Ibu mengizinkan. Setelah urusan kalian selesai cepatlah pulang," ucap ibu yang masih mengkhawatirkan kondisi bayi yang ada di dalam kandungan Zahra, ini adalah cucu pertamanya membuat ia sangat protektif.

"Iya, Bu. Aku akan menjaganya dengan baik. Lagian aku kan pergi dengan mas Arham, sudah pasti ia akan menjaga kami."

Keduanya mendengar suara mobil Arham yang masuk ke pekarangan. Mereka pun berjalan keluar menghampiri Arham.

"Bu kamu pergi dulu ya!" Pamit Arham.

"Jaga mereka baik-baik."

"Ibu tenang saja," jawab Arham kemudian mereka pun pergi ke restoran.

Begitu sampai di restoran itu, Zahra sangat bahagia melihat ruangan yang sudah dipesan oleh Arham, ruangan yang sangat indah dan tertulis happy anniversary.

"Ya ampun, Mas. Ini indah banget," ucap Zahra memeluk suaminya. "Maaf aku tak punya hadiah untukmu."

"Iya, nggak apa-apa Sayang. Bayi kita adalah kado yang paling indah yang kau berikan padaku," ucapnya memakaikan kalung berlian pada Zahra.

"Kamu suka?"

"Iya, Mas. Aku sangat suka. Terima kasih untuk semua cintamu selama ini." Mereka pun makan malam romantis bersama.

"Ini sudah malam, sebaiknya kita pulang," ucap Zahra yang merasa jika mereka sudah terlalu lama keluar. Ia tak ingin membuat mertuanya merasa khawatir menunggu mereka.

"Ya sudah, kita pulang sekarang." Mereka pun pulang, sepanjang perjalanan Arham terus menggenggam tangan istrinya dan tangan satunya lagi menggenggam setir. Ia sangat bahagia sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

"Masss Awas!" Pekik Zahra yang melihat mobil truk yang melaju kencang ke arah mereka.

Arham dengan cepat membanting setir menghindari mobil tersebut yang melaju kencang ke arahnya. Namun, ia justru menabrak pembatas jalan yang membuat mobilnya terbalik.

"Mas, bayiku," ucap Zahra menatap pada suaminya. Ia bisa merasakan rasa sakit di daerah perut dan sesaat kemudian ia pun pingsan.

"Zahra kau baik-baik saja? Kita akan ke rumah sakit," ucap Arham panik melihat kondisi Zahra saat ini, ia berusaha keluar dari mobil dan mengeluarkan Zahra.

Beberapa kendaraan pun mulai berhenti dan membantu mereka, membawa kedua ke rumah sakit.

"Apa! Kecelakaan?" pekik Wani yang mendengar kabar tersebut. Ia pun bergegas menuju ke rumah sakit dan melihat Arham yang sudah mendapat pertolongan terlebih dahulu, beberapa perban terlihat menutupi luka-lukanya.

"Arham dimana Zahra?" tanya Wani menghampiri putranya yang terduduk lemas didepan ruang operasi.

Arham hanya menggeleng, ia sangat takut melihat kondisi Zahra dan bayinya. Arham melihat tangannya yang masih berlumuran darah Zahra. Tangannya bergetar hebat.

"Ibu kan sudah bilang padamu, Kamu harus menjaganya dengan baik! Bagaimana jika terjadi sesuatu pada cucuku," ucap ibu yang kini sudah menangis tak bisa menahan rasa khawatirnya, sementara Arham hanya tertunduk.

Setelah lama menunggu akhirnya operasinya pun selesai, Dokter keluar dan menghampiri keduanya.

"Dokter, bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Arham yang menghampiri dokter.

"Istri bapak baik-baik saja dia sudah keluar dari masa kritisnya. Namun ...."

"Namun, apa dokter? Bagaimana dengan cucuku?" tanya Wani memotong pembicaraan Dokter.

"Maafkan, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik. Namun, saat terjadi kecelakaan perut pasien sepertinya terbentur dan membuat bayinya tak bisa diselamatkan. kami sudah berusaha Bu, tapi kami tak bisa menyelamatkannya," jelas dokter yang membuat Wani langsung lemas dan jatuh terduduk di lantai.

"Arham apa semua ini? Katakan jika semua ini hanya mimpi!" ucap ibu yang tak terima dengan apa yang baru saja Dokter katakan. Ia sudah menantikan kehadiran cucu pertamanya dengan sangat bahagia dan semua berakhir seperti ini.

"Sekali lagi maaf, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik. Kami permisi dulu," ucap Dokter meninggalkan keduanya.

Setelah Zahra dipindahkan ke ruang perawatan mereka berdua menunggu dan terduduk lemas di sofa yang ada di ruangan tersebut, keduanya hanya terdiam masih tak percaya jika mereka sudah kehilangan bayi yang bahkan belum mereka dengar tangisannya.

Beberapa saat kemudian Zahra terbangun.

"Dimana aku?" gumamnya kemudian ia berbalik melihat suami dan mertuanya yang terlihat begitu bersedih, ingatan tentang kecelakaan itu terlintas di pikirannya secara langsung, Zahra memegang perutnya, rasa sesak menyusup di dadanya saat mendapati sudah tak ada bayi di dalam rahimnya.

"Mas, dimana bayi kita?" tanya Zahra mencoba untuk duduk. Namun, langsung dihentikan oleh Arham.

"Tenanglah dulu, kau baru saja dioperasi," ucap Arham duduk di samping Zahra.

"Tapi, Mas dimana bayiku? Bagaimana keadaannya?" tanya Zahra yang kini sudah berderai air mata terus menatap memohon Untuk Sebuah Jawaban pasti dari suaminya.

"Bayimu sudah tak ada, cucuku sudah tak ada, semua ini karenamu! Kau tak mampu menjaganya, tak bisakah kau menjaga bayimu sendiri?" teriak ibu yang tak terima. Ia pun berjalan cepat menghampiri menantu yang kini masih duduk di ranjang rumah sakit.

"Apa maksud Ibu?" tanya Zahra disela isak tangisnya.

"Ya, kau yang membunuh cucuku. kembalikan cucuku! kembalikan!" Wani mengguncang tubuh Zahra.

"Ibu tenanglah, jangan seperti ini."

"Mas dimana bayi kita? Apa yang dikatakan ibu itu tak benar kan, Mas?"

"Ibu benar, kita sudah kehilangan bayi kita. Bayi kita sudah meninggal."

"Tidak, Mas. Itu tidak benar. Bayiku tak mungkin meninggal, ku bohong kan, Mas?" Zahra tak terima jika ia sudah kehilangan bayinya.

"Tapi itulah kenyataannya. kita sudah kehilangannya."

"Semua ini salahmu, Zahra!" ucap Wani menatap kesal pada menantunya.

"Kenapa Ibu menyalahkanku. Aku tak mungkin sengaja melukai bayiku, Bu."

"Jika kau lebih hati-hati semua ini tak akan terjadi."

Zahra masih ingin membela diri. Namun, dokter masuk ke ruangan mereka.

Semua terdiam, ibu mencoba menahan amarahnya yang menggebu-gebu.

"Bagaimana kondisi Anda, Bu? Apa Anda merasa ada keluhan?" tanya dokter yang memeriksa Zahra.

Zahra menggelang, dia mencoba menahan isakannya. "Dokter apa yang terjadi pada bayiku?" tanya Zahra yang ingin tau penyebab ia kehilangan bayinya.

"Maaf, Bu. Kami tak bisa menyelamatkannya bayi Ibu. Terdapat benturan keras di daerah tengkorak kepalanya sehingga ia tak bisa diselamatkan. kami mohon maaf," ucap dokter membuat Zahra semakin terenyuh, ia sudah melukai bayinya. Itulah yang dipikirkannya saat ini.

Arham menghampiri Zahra dan mengusap punggungnya saat melihat istrinya itu terlihat begitu terpukul mendengar penjelasan dokter.

"Sudahlah, mungkin memang bayi kita tak ingin bertemu dengan kita. Ikhlaskan saja! kita akan bertemu dia di akhir nanti. Allah pasti menggantinya dengan bayi yang lebih baik dari yang ia ambil dari kita saat ini." Arham mencoba berfikir positif dan mencoba menerima semua kenyataan yang ada, semua sudah terjadi.

"Maaf, Kami punya satu lagi kabar yang mungkin kabar ini tak enak untuk kalian dengar," jelas dokter menatap Arham dan Zahra secara bergantian.

"Apa maksud dokter?" tanya Arham mengurutkan kening mendengar ucapan dokter

"Saat benturan ada bagian rahim istri Anda yang terluka, karena dengan sangat menyesal Kau memberikan kabar jika kemungkinan untuk bisa hamil lagi itu sangat kecil. Kami sarankan untuk menunda program kehamilan beberapa tahun kedepan. Karena jika ibu hamil dalam jangka waktu yang terlalu dekat itu sangat berbahaya dan beresiko keguguran .

Mendengar hal itu semakin membuat hati Zahra hancur. Apakah ia sudah tak mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang ibu?

Air Mata Calon Ibu

Setelah menenangkan Zahra dan mencoba melerai pertengkaran antara istri dan ibunya Arham pun mengantar ibunya pulang.

"Arham, kamu dengar sendiri kan apa yang dikatakan Dokter tadi? Kemungkinan Zahra untuk hamil lagi itu sangat kecil, bahkan kalian disarankan untuk melakukan program kehamilan beberapa tahun ke depan. Ibu tak mau menundanya, Ibu ingin mendapatkan cucu lagi!" tegas Wani pada anaknya, saat mereka sedang dalam perjalanan pulang.

Arham tak menjawab, ia masih mencerna semua apa yang terjadi, kebahagiaannya, kecelakaan, kehilangan bayinya dan sekarang kenyataan jika Zahra mungkin tak bisa memberinya keturunan, semua itu menjadi pukulan besar bagi Arham. Ia sangat mencintai Zahra. Namun, hati kecilnya juga merasa kecewa dengan kenyataan jika Zahra tak bisa memberinya keturunan. Arham adalah putra tunggal di keluarganya, memiliki keturunan sangat penting untuk kelangsungan keturunan keluarganya.

"Arham, Ibu tak mau tahu, kau harus memberi keturunan kepada keluarga kita dan Ibu tak mau jika Ibu tak memiliki seorang cucu hanya karena kondisi Zahra," ucap ibu sebelum keluar dari mobil saat mereka sudah sampai di rumah.

Arham menyandarkan bahunya di sandaran mobil Ibunya, mobil miliknya sendiri entah dimana sekarang.

Arham menarik rambutnya merasa frustasi. Disisi lain ia mencintai Zahra. Namun, kenyataan itu begitu pahit dan dia juga tak menyalahkan keinginan dari ibunya yang menginginkan seorang cucu.

"Apa yang harus aku lakukan, mengapa semua ini harus terjadi," ucap memukul stir mobil melampiaskan segala kekesalannya. Lama ia terduduk di sana, setelah merasa lebih tenang Ia pun masuk membersihkan diri dan mengemas beberapa pakaian untuknya dan juga Zahra kemudian bergegas Kembali menuju ke rumah sakit.

Sementara itu Zahra di rumah sakit terus saja menangis, hatinya terasa sangat terpuruk.

"Mengapa semua ini harus terjadi padaku, kesalahan apa yang aku lakukan sehingga mendapat hukuman seperti ini. Mengapa aku harus diberi kebahagiaan yang begitu sempurna, kemudian diberi cobaan yang begitu dahsyat seperti ini. Apakah aku sanggup menghadapi semua ini? Apakah aku bisa melewatinya? Ini sangat menyakitkan," ucapnya terus berderai air mata. Zahra menepuk-nepuk dadanya menghilangkan rasa sesak yang semakin membuatnya kesulitan untuk bernafas.

"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa menjagamu dengan baik, semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya ibu menjagamu sampai engkau dilahirkan ke dunia ini." Zahra terus menyalahkan kondisinya, menyalahkan dirinya atas meninggalnya bayi yang ada di dalam rahimnya. Bayangan kecelakaan itu terus kembali terlintas di kepalanya membuat perutnya terasa perih, bayangan saat bayi kecilnya menendang dan memberi gerakan-gerakan kecil di dalam rahimnya juga masih teringat jelas di benaknya, semua itu semakin membuatnya terpuruk. Ingin rasanya ia menjerit, mengadu. Namun, tak tahu harus mengadu pada siapa.

Zahra melihat ke arah pintu saat Arham datang dan menghampirinya, membawa makanan untuknya.

"Makanlah dulu, kamu pasti lapar 'kan!"

"Aku tak lapar, Mas," ucapnya membalikan wajahnya, ia tak ingin melihat suaminya. Hati kecilnya juga menyalahkan suaminya atas kejadian ini, jika saja suaminya tak mengajaknya untuk keluar dan lebih berhati-hati membawa kendaraannya mungkin Kejadian ini tak akan terjadi. Namun, ia tak mau melampiaskan semua itu, dia tahu jika semua ini sudah kehendak sang pencipta. Zahra tak ingin menyalahkan siapapun atas apa yang dialaminya. Ia tak ingin memperkeruh hubungannya dengan Arham.

"Aku tahu Kau pasti sangat terpuruk dengan kondisi ini, aku pun merasakan hal yang sama. Tapi, semua itu sudah terjadi, makanlah walau sedikit," ucap Arham mengusap punggung tangan istrinya, Ia sendiri belum makan sedikitpun tak ada rasa lapar yang dirasakannya hanya rasa sakit kehilangan bayi yang kini terus menggores hatinya, meninggalkan rasa perih di sana.

"Mas, kamu dengar sendiri 'kan apa kata dokter, jika aku mungkin tak bisa memberimu keturunan," ucap Zahra kembali menatap suaminya yang duduk disisi tempat tidurnya, setetes air mata kembali menetes saat mengucapkan kalimat itu.

"Kita jangan membahas itu dulu ya, kita pulihkan dulu kondisimu. Aku mohon!" ucap Arham yang belum bisa berpikir jernih saat ini.

Zahra mengangguk dan melihat makanannya.

"Aku tak lapar, Mas. Aku benar-benar tak ingin makan. Mas juga pasti belum makan kan? Mas aja yang makan," ucapnya mendorong makanan yang disodorkan oleh Arham.

Arham menghela nafas panjang, ia kembali menyimpan piring itu di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur.

"Sama halnya denganmu. Aku juga tak lapar. Sebaiknya kau istirahat lah! Aku akan menjagamu." Arham memperbaiki posisi tidur Zahra kemudian menyelimutinya. Mereka pun tertidur sambil terus berpegang tangan, mereka harus menerima kenyataan itu walaupun sangat menyakitkan bagi mereka berdua.

Setelah dirawat selama 5 hari Zahra pun dibolehkan untuk pulang. Selama Zahra dirawat di rumah sakit tak sekalipun Wani menjenguknya. Zahra tak berharap banyak dari mertuanya itu setelah apa yang terjadi padanya.

Wani yang sedang duduk di ruang tamu langsung masuk ke kamarnya saat melihat Zahra sudah kembali, Zahra yang melihat sikap mertuanya menghentikan langkahnya dan menatap pada Arham.

"Beristirahatlah di kamar. Aku ingin bicara pada ibu."

Zahra mengangguk pelan, ia mengerti jika mertuanya itu kecewa padanya, sikapnya jauh berbeda dari sebelum ia mengalami musibah tersebut.

Zahra pun berjalan ke kamarnya sementara Arham masuk ke kamar ibunya.

"Ibu, aku mohon tolong mengertilah. Ini semua bukan kemauan kami, Zahra juga merasa sedih atas kehilangan bayinya."

"Arham, Ibu sudah memikirkan jalan keluar untuk masalah ini!"

Arham hanya yang terdiam mendengar ucapan ibunya.

"Bujuklah istrimu agar kau bisa menikah lagi, dengan begitu Ibu akan memiliki seorang cucu dalam waktu dekat. Itu bisa membayar kekecewaan di hati Ibu dan mungkin saja Ibu akan bersikap baik pada istrimu itu."

"Tidak, Bu. Aku tak mungkin melakukan hal itu, aku mencintai Zahra."

"Ibu tak peduli dengan cinta kalian, yang Ibu pikirkan adalah penerus keluarga kita. Semua harta kekayaan kita ini membutuhkan seseorang yang harus terus mewarisinya, jika kamu terus mempedulikan cintamu. Apa kau ingin semua hasil kerja keras ayahmu ini diberikan kepada orang lain yang bukan darah daging keturunan kita?" bentak Wani pada putranya.

Arham hanya tertunduk mendengar ucapan ibunya, ia sama sekali tak bisa membantah semua itu.

"Arham, jika kamu menolak apa yang Ibu inginkan. Ibu bisa saja meminta orang lain untuk menggantikan posisimu dari sekarang, ingat semua ini adalah masih atas nama Ibu, jika kau memilih istrimu daripada Ibu, Ibu bisa saja mengusir kalian dari rumah ini, Jangan anggap Ibu sebagai Ibu yang kejam, tapi Ibu hanya ingin mempertahankan keluarga kita."

"Beri aku waktu, Bu. Aku belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Tolong mengerti posisi aku. Bu."

Zahra yang bisa mendengar percakapan di antara mereka kembali merasakan sakit di hatinya, ia sudah diterpa cobaan dengan kehilangan bayinya, divonis akan sulit untuk mendapatkan bayi lagi dan sekarang dia dihadapkan pada kenyataan jika ia harus rela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi.

"Tidak, aku tidak sanggup. Aku tidak akan membiarkan semua ini terjadi padaku, aku tak selemah itu," ucap Zahra kemudian Ia pun berjalan ke arah kamarnya menghapus dengan kasar air mata yang kembali menetes di pipinya.

Zahra baru tahu jika selama ini ternyata suami tak memiliki apa-apa, semua harta kekayaan suaminya yang selama ini digunakan untuk memanjakannya semua masih atas nama Ibunya, semua itu adalah harta kedua orang tuanya.

Satu yang di takutkan, jika suaminya akan memilih semua kemewahan yang selama ini memanjakannya dibanding dirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!