NovelToon NovelToon

Heaven Road

Kebahagiaan? (Prologue)

Langkahku tidak selalu cepat, namun di setiap langkahku selalu ada makna yang bisa aku dapat.

Langkahku tidak selalu hebat, namun langkahku selalu kulakukan dengan kuat.

Langkahku pun tidak pernah pasti, namun aku selalu mencoba untuk tidak pernah berhenti.

Langkahku juga tidak selalu panjang, namun aku selalu mencoba untuk selalu menebarkan kebahagiaan.

Ah... Kebahagiaan... Ya... Kebahagiaan...

Satu kata tapi begitu sulit untuk dijabarkan. Kebahagian berasal dari satu kata bahagia. Bahagia adalah suatu kata sifat yang akan selalu berbeda makna bagi setiap individu di dunia.

Bahagia untukku, belum tentu bahagia untukmu. bahagia untukmu, belum tentu menjadi bahagia untukku. Bahagia terlalu relatif, sehingga begitu sulit untuk menetapkan standar bahagia untuk semua orang.

Itu baru kata bahagia, sedangkan untuk kebahagiaan sendiri? Kebahagiaan tentu lebih rumit untuk dijelaskan. Pasalnya kebahagiaan tidak lah hanya sekedar kata bahagia ditambahkan awalan dan akhiran. Dua kata tersebut hampir sama, namun makna yang terkandung jauh berbeda levelnya.

Begitu sulit untuk mencapai suatu titik bernama kebahagiaan, karena bahagia saja belum tentu merupakan suatu kebahagiaan. Kebahagiaan mungkin bisa diartikan sebagai titik tertinggi dalam suatu rasa bahagia.

"Kenapa? Bukankah hanya tinggal menambahkan awalan dan akhiran saja pada kata bahagia?"

Bagi kalian mungkin begitu, tapi bagi diriku. Kebahagiaan tidak hanya seperti itu. Kebahagiaan tidak akan terjadi tanpa adanya suatu faktor dari luar diri. Entah itu pribadi yang lain, atau lingkungan yang ada. Bisa dibilang tidak akan pernah ada kebahagiaan jika kita hanya seorang diri tanpa ada apapun di sekitar kita.

Itulah sebabnya kebahagiaan belum tentu bisa didapatkan dengan begitu mudah.

"Lalu bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan?"

Pertanyaan seperti itu terdengar lucu jika ditanyakan kepadaku. Pasalnya yang tahu akan titik kebahagiaan seseorang hanyalah diri orang itu. Sekali lagi aku katakan. Kebahagiaan tidak bisa di sama ratakan. Begitu banyak gaya dan faktor dari dalam dan luar yang membuat titik kebahagiaan akan selalu berbeda posisinya.

Seorang tunawisma misalnya, dia mungkin akan merasa kebahagiaan jika memiliki uang yang banyak. Tapi para saudagar kaya tentu tidak cukup hanya sekedar memiliki uang yang banyak untuk mendapatkan kebahagiaan.

Itu hanya penggambaran jika kebahagiaan dipandang dari segi harta. Sayangnya...

Kebahagiaan tidak bisa di ukur cuma dari hal tersebut. Ada begitu banyak penggambaran di dunia ini yang bisa menunjukkan kebahagiaan tidak hanya sekedar harta.

Sepasang tunawisma yang telah lama mendambakan anak misalnya. Mereka akan merasakan satu titik kebahagiaan ketika mengetahui istrinya hamil. Dan tingkat kebahagiaan mereka akan semakin tinggi lagi ketika si perempuan berhasil melahirkan dengan selamat dan sehat.

Namun... Apakah cukup sampai disitu titik kebahagiaan mereka? Aku rasa tidak...

Titik kebahagiaan akan selalu ada di depan kita. Tidak peduli sebesar apapun kebahagiaan yang kita rasakan saat ini, kebahagiaan tersebut pasti akan termakan oleh aliran waktu. Dan kebahagiaan itu berubah menjadi suatu hal yang bernama kenangan indah. Titik Kebahagiaan yang lain pun sudah menanti kita untuk bisa kita dapatkan di masa depan.

"Bukankah dari hal tersebut menjelaskan jika kita tidak pernah bisa merasakan suatu kebahagiaan selamanya?"

Bisa jadi iya, bisa juga tidak.

Gaya dan faktor dari dalam dan luar begitu berpengaruh. Faktor dari luar tentu adalah apa yang ada di sekitar kita. Pasangan, teman, lingkungan, kekayaan dan yang lainnya. sedangkan faktor dari dalam adalah apa yang ada di diri kita, pikiran dan perasaan.

Dan dari dua faktor itu, faktor dari dalam aku rasa adalah apa yang paling begitu berpengaruh untuk mencapai suatu titik bernama kebahagiaan.

"Kenapa?"

Karena dua hal itu lah yang begitu menentukan titik kebahagiaan seseorang. Pikiran yang luas tentu memiliki wawasan yang luas, wawasan yang luas akan semakin melebarkan pandangan. Dan semakin lebarnya pandangan, akan semakin banyak titik kebahagiaan yang ingin kita capai.

Perasaan begitu pula, semakin dalam kita mencintai atau merasa ingin memiliki sesuatu hal. Semakin besar pula rasa kita untuk mendapatkan suatu titik kebahagiaan yang ada di depan kita.

Dan sayangnya... Tidak semua titik kebahagiaan akan selalu bisa kita capai. Ada kalanya kita harus mau merasakan kesedihan atas ketidakmampuan kita untuk mencapai titik kebahagiaan di depan kita. Walaupun kita sudah berusaha sekuat tenaga, sudah mencurahkan semua waktu kita. Ada kalanya titik kebahagiaan tersebut tidak singgah kepada kita.

"Kenapa? Bukankah jika demikian semua usaha dan waktu menjadi sia-sia?"

Ekspektasi. Itulah jawaban untuk pertanyaan pertama. Gabungan pikiran, perasaan dan faktor dari luar menghasilkan titik ekspektasi dari diri kita. Dan sebagian besar titik ekspektasi itu akan menjadi patokan untuk titik kebahagiaan yang ingin kita dapatkan. Hal itu menyebabkan ekspektasi berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan.

Semakin tinggi ekspektasi kita, semakin tinggi pula titik kebahagiaan yang ingin kita dapatkan. Dan hal itu memancing semakin besar pula tingkat kita merasakan kesedihan akan gagalnya meraih titik kebahagiaan.

Dan untuk yang pertanyaan kedua. Aku tidak sependapat jika walaupun kita gagal, segala hal yang kita lakukan percuma...

Aku Yin Sheng, telah melihat begitu banyak hal di dunia ini. Pahit, manis, asam, getirnya kehidupan terpampang di mata. Bahkan hal hal yang tidak terjadi di hidupku, aku pun telah melihatnya. Segala hal yang aku lihat itu mengajarkan banyak hal padaku.

Dan dari semua itu aku belajar, walaupun di dalam kesedihan akan kegagalan kita. Kita masih bisa merasakan suatu titik kebahagiaan jika kita mau menurunkan ekspektasi diri, dan menerima keadaan di sekitar dengan apa adanya.

1. Asal usul

Langit seakan sedang menumpahkan kemarahan yang terpendam. Tidak hanya jutaan air yang terjun bebas dari langit, petir dan angin turut serta memberikan peran mereka. Menjadikan hujan badai di malam itu begitu kelam dan menakutkan.

Tidak akan ada orang normal yang mau untuk keluar dari rumah dalam cuaca yang seperti itu. Namun ada satu orang yang nampak berlari dengan kencang di dalam hujan badai tersebut.

Langkah lari pria berwajah 30 tahunan tersebut begitu cepat, seakan akan dirinya sedang berlomba lari dengan dewa kematian. Dan tujuan lari dari pria tersebut adalah sebuah rumah sederhana di pinggir desa.

Sebuah rumah yang sebenarnya akan nampak indah dan asri jika kondisi cuaca sedang bersahabat. Sayangnya, hujan badai beserta angin kencang membuat indahnya taman yang terawat mesti pudar. Pohon oak yang berdiri kokoh di depan rumah pun ikut bergelayut manja mengikuti arah angin yang menerpanya. Jika bukan karena kuatnya akar yang tertanam di bawah, mungkin pohon Oak itu akan ikut terbang bersama daun dan bunga bunga dari tanaman di bawahnya.

"Ling... Lingling..." Pria paruh baya tersebut mengetuk pintu dengan keras, mencoba membangunkan salah satu penghuni rumah. Ketukan pintu Pria paruh baya itu begitu keras, berharap sang wanita di dalam segera mendengar dan membukakan pintu untuk dirinya.

Klek...

Pintu pun terbuka setengah. Si Pria paruh baya langsung menyerobot masuk ke dalam. "Dimana Yin Sheng?" Dengan raut wajah panik, pria paruh baya memegang pundak wanita di hadapannya.

"Ada apa? Dia sedang tidur di kamar." Wanita tersebut bingung, mendapati suaminya tiba-tiba pulang dengan tergesa-gesa dan bertingkah macam orang panik.

"Kita harus segera menyembunyikannya.. Mereka telah datang..." Pria paruh baya langsung bergegas ke kamar, mencari sang buah hatinya yang katanya sedang tidur di kamar.

Mendengar penjelasan suaminya, muka wanita bernama Xie Qinling tersebut langsung pucat. Dia pun segera menyusul suaminya ke kamar anaknya.

Baru masuk ke kamar, Xie Qinling melihat suaminya telah membopong anak semata wayangnya. Membawanya keluar kamar untuk menyembunyikannya.

Suami Xie Qinling yang bernama Yin Jiang itu lalu meletakkan Yin Sheng di sebuah ruangan di bawah tangga. Ruang kecil yang sebenarnya adalah lemari untuk barang barang bekas.

"Ada apa sebenarnya?" Xie Qinling menepuk pundak suaminya yang baru saja meletakkan anaknya di dalam lemari. Meskipun sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi, Xie Qinling tetap ingin mendengar langsung dari suaminya.

"Entah bagaimana... Mereka bisa menemukan keberadaanku di sini." Yin Jiang berbalik arah, menatap mata sang istri. Pancaran kesediha bisa begitu kentara dari nada ucapannya barusan. Menandakan apa yang akan terjadi ke depannya bukanlah suatu hal baik.

"Apa mereka akan kesini sekarang?" Xie Qinling tidak bisa untuk ikut merasakan kesedihan. Dirinya memeluk erat suaminya. Seakan-akan dirinya akan kehilangan suaminya saat itu juga.

"Aku yakin mereka tidak akan melepaskan diriku begitu saja. Karena itu... Mereka tidak boleh mengetahui keberadaan Yin Sheng." Yin Jiang membalas pelukan istrinya dengan begitu erat. Ingin merasakan kehangatan pelukan istrinya sepenuhnya. Pelukan yang dirinya yakini akan menjadi pelukan yang terakhir kali untuk dirinya.

"Tapi..." Xie Qinling melepaskan pelukannya, menatap mata Yin Jiang dan ingin mengutarakan isi hatinya. Namun perkataannya terhenti oleh sebuah kecupan dari Shin Jiang di bibirnya. Kecupan tersebut begitu hangat, seakan akan Shin Jiang tidak ingin melepaskan tautan bibirnya ke arah bibir istri ya tersebut.

"Aku sudah tidak bisa lari lagi... Hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah menyembunyikan keberadaan Yin Sheng."

Xie Qinling hanya bisa memeluk erat suaminya kala itu. Dengan keluarnya kata-kata seperti itu sari suaminya, itu menandakan jika waktu kebersamaan dirinya dengan suaminya hanya tersisa beberapa saat saja.

Dan benar saja... Belum genap lima menit Xie Qinling memeluk suaminya, pintu rumah terdengar di ketuk kasar dari luar. Sebuah kilatan petir yang besar ikut menyambar. Memberikan sebuah kilatan cahaya yang menembus jendela rumah.

Sepasang suami istri tersebut langsung saling bertatapan dalam diam. Xie Qinling menggelengkan kepala, linangan air mata terlihat berkumpul di sudut kedua matanya.

Mau tidak mau Yin Jiang melepaskan pelukan Xie Qinling. Dirinya tahu betul Orang yang mengetuk pintu barusan akan melakukan tindakan berlebih jika dirinya tidak segera membuka pintu rumahnya.

Dua orang pria nampak berdiri di depan pintu begitu Yin Jiang membuka pintu rumah. Satu orang berbadan kekar dengan tinggi hampir dua meter, dan yang satu lagi memiliki tinggi setengah lebih sedikit dari pria yang berbadan kekar atau bisa dibilang cebol. Kedua wajah pria tersebut tidak terlihat. Selain jubah hitam dengan garis hijau di pinggir menutupi kedua kepala, gelapnya malam tanpa bintang membuat kedua wajah pria tersebut sama sekali tidak bisa Xie Qinling lihat.

"Ternyata dugaanku benar..." Yin Jiang hanya bisa tersenyum kecut melihat dua pria tersebut.

"Kita tidak akan memberikan toleransi... Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." Si pria cebol mendongakkan kepala, menatap tajam ke arah Yin Jiang. Membuat Xie Qinling bisa melihat samar wajah dari pria cebol tersebut.

"Paling tidak berikan aku waktu untuk berpamitan dengan istriku." Yin Jiang tidak bisa mengelak, dirinya hanya bisa pasrah memenuhi maksud kedatangan kedua pria itu. Mereka datang ke rumahnya malam ini adalah untuk menjemput dirinya. Memaksa dirinya untuk kembali pada dunia yang sudah dirinya tinggalkan selama Tujuh tahun.

"Lima menit!" Kata si pria cebol tanpa basa-basi.

Yin Jiang memanfaatkan waktu yang diberikan dengan sangat cermat. Memeluk istrinya, membawa istrinya ke dalam pelukannya sedalam mungkin.

"Apa kamu tidak akan kembali lagi?" Xie Qinling berurai air mata di dalam pelukan suaminya.

"Aku tidak bisa menjanjikan hal yang tidak bisa aku tepati. Tapi ketahuilah... Aku akan mencoba melakukan yang terbaik untuk bisa kembali."

"Aku percaya kamu bisa menjaga Yin Sheng. Jangan sampai Yin Sheng jatuh ke dalam dunia seperti ayahnya." Bisik Yin Jiang dengan sangat pelan. Tidak ingin jika kedua pria yang menunggunya mengetahui jika dirinya telah memiliki seorang anak laki-laki.

Xie Qinling tidak bisa menjawab perkataan suaminya. Dirinya terlalu diliputi perasaan sedih sehingga tidak bisa mencerna perkataan suaminya dengan cermat.

"Ehem..." Si pria kekar batuk pelan, memberi tanda jika waktu yang mereka berikan telah habis.

Mau tidak mau pun Yin Jiang melepas pelukan istrinya. Mengambil sebuah mantel coklat dan pergi keluar rumah untuk mengikuti kedua pria yang datang menjemputnya.

"Aku mohon... Kembalilah suatu saat nanti..." Xie Qinling hanya bisa menangis sambil duduk lemas di atas lantai. Hujan air mata di pipinya, tidak kalah deras dengan hujan badai yang ada di luar rumah.

###

Yin Sheng terbangun sesaat, yang dirinya dapati adalah kegelapan di sekitar. Dirinya pun hanya bisa terdiam karena merasa ketakutan.

Klek... Duar...

Dirinya bisa mendengar adanya suara pintu terbuka di ikuti satu gemuruh petir yang begitu besar. Sorotan cahaya sekilas membuat dirinya bisa melihat adanya sebuah lubang yang bisa dirinya gunakan untuk melihat keluar ruangan tempat dirinya berada.

"Ayah..." Lirih Yin Sheng pelan.

Shin yeng hanya bisa terdiam, melihat ayahnya pergi keluar rumah mengikuti dua orang berbeda tinggi tersebut. Samar dirinya bisa melihat pakaian yang kedua pria tersebut gunakan. Sebuah jubah berwarna hitam dengan garis hijau di setiap tepinya.

1.Asal usul 2

Sebuah belaian lembut membangunkan Yin Sheng dari alam tidurnya. Dua bola mata indah beririskan biru langit menatapnya dengan sendu. Nampak sedikit benjolan kecil di bawah kedua kelopak mata tersebut, menunjukkan jika sang empunya telah memaksa matanya untuk bekerja keras sepanjang malam. Ya... Bekerja keras karena menangis terlalu lama.

"Pagi Sheng'er..." Senyuman lembut menyambutnya begitu kedua mata Yin Sheng sepenuhnya terbuka.

"Bangun nak... Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu..." Sebuah kecupan hangat mendarat di dahi Yin Sheng. Dari kecupan tersebut Yin Sheng merasakan jika perasaan ibunya sedang tidak baik baik saja.

Xie Qinling meninggalkan kasur anaknya berbaring. Semakin lama dirinya berada di sana, semakin tidak kuat dirinya menahan rasa tangis. Dan dirinya tidak ingin anaknya melihat sisi lemah dari ibunya. Meskipun berat, dirinya harus bisa menahan gejolak di dada.

'Semua demi perkembangan mental Yin Sheng.' Lirih Xie Qinling di dalam hati.

Tidak lama Yin Sheng menyusul ibunya, setelah membersihkan badan dirinya duduk di meja makan untuk menyantap apa yang telah di siapkan ibunya.

"Ayah sudah pergi bekerja bu?" Tanya Yin Sheng sembari menyruput sup buatan ibunya.

Xie Qinling yang tengah menyibukkan diri di dapur akhirnya menghentikan aktifitasnya. Menarik nafas dalam dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Membuat kontrol diri akan emosinya membaik.

Dengan mengelus kepala anak semata wayangnya, Xie Qinling mencoba memberikan pengertian yang paling baik dan mudah diterima untuk Yin Sheng.

"Apa ayah perginya lama bu?" Tanya Yin Sheng dengan polosnya. Dirinya masih merasa jika kepergiannya semalam hanyalah mimpi di tidurnya, pasalnya dirinya bangun tetap masih di atas kasur empuknya.

"Kita hanya bisa berharap ayah secepatnya pulang ya Sheng'er..." Senyum lembut Xie Qinling. Meskipun dari senyum tersebut tersimpan luka yang begitu dalam. Namun dirinya tidak boleh menunjukkan kepada anak semata wayangnya.

"Ibu akan menata tanaman di luar dulu, hujan semalam membuat semua taman berantakan. Kamu cepat habiskan sarapanmu, nanti bantu ibu jika sudah selesai."

"Ya bu" Jawab Yin Sheng dengan mata polosnya, jiwa anak anaknya membuat dirinya masih belum menyadari jika ibunya sedang begitu tersiksa di dalam hati untuk menjelaskan semua yang terjadi pada Yin Sheng.

Xie Qinling menatap taman di depan rumah yang hampir sepenuhnya rusak karena badai semalam. Tanaman tanaman obat pada ambruk, daun dan bunga bunga jatuh berserakan di atas tanah. Sungguh, taman depan rumah ini senada dengan suasana hatinya saat ini.

"Aku harus belajar menerimanya..." Xie Qinling menghela nafas panjang sembari menatap langit pagi yang begitu cerah. Dirinya yakin jika apapun yang terjadi saat ini akan memberikan suatu hikmah baik di masa depan.

Sama seperti dengan langit. Hujan badai semalam menghabiskan semua awan yang ada di langit, membuat langit pagi ini begitu cerah nan indah.

"Ibu... Ibu... Aku sudah selesai sarapan" Yin Sheng keluar dari rumah dan mendapati ibunya tengah sibuk dengan tanaman tanaman di depan rumah. Yin Sheng segera berlari ke arah ibunya sambil tersenyum ceria.

Melihat apa yang dilakukan Yin Sheng, membuat luka hati di Xie Qinling sedikit mereda. Senyum polos dari anak lima tahunnya tersebut, menambah indahnya cuaca pagi hari ini.

"Ada yang bisa aku bantu ibu?" Tanya Yin Sheng pada ibunya tersebut.

"Ya... Tetaplah tersenyum nak... Meskipun dunia kadang begitu berat, tapi tetaplah tersenyum." Ucap Xie Qinling lirih.

"Ibu bilang apa?"

"Ah tidak... Ayo sini... bantu ibu merapikan ini..." Senyum Xie Qinling tergambar sempurna.

Empat tahun berlalu sudah.

Desa Melati Hijau tempat tinggal Yin Sheng dan ibunya Xie Qinling tidak jauh berubah. Desa yang terletak di pedalaman Kerajaan Two Pillar mountain masih asri dan sejuk seperti ketika Yin Sheng lahir. Di tengah desa ini mengalir sebuah sungai kecil, sungai kecil ini lah yang menjadi sumber mata air utama untuk para penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.

Bukan petani padi ataupun gandum, tetapi sebagian besar penduduk menanam berbagai macam tanaman herbal. Tanaman tanaman herbal tersebut nantinya akan dibeli oleh para pedagang dari kota. Biasanya setiap seminggu sekali rombongan pedagang akan datang ke desa Melati Hijau, membeli semua tanaman herbal yang tersedia, lalu para pedagang tersebut akan menjualnya ke pasar yang ada di kota kota besar.

Jika saja Desa Melati Hijau ini tidak begitu terpencil, tentu desa Melati Hijau akan sangat ramai. Mengingat kebutuhan akan tanaman herbal di dunia yang penuh dengan kultivator seperti ini tidak akan pernah turun. Entah itu tanaman herbal yang berkualitas tinggi, ataupun tanaman yang hanya berkualitas rendah. Semuanya memiliki pangsa pasar tersendiri yang akan selalu membutuhkan ketersediaan.

Yin Sheng dan ibunya juga memilih seperti mayoritas penduduk yang ada. Setelah kepergian ayahnya, Yin Sheng dan ibunya menanam dan menjual berbagai macam tanaman herbal kepada rombongan pedagang yang datang ke desa.

Sayangnya, harga yang diberikan oleh para pedagang tidak sepenuhnya selalu bisa memuaskan para petani di desa Melati Hijau. Para pedagang mematok harga jauh di bawah harga pasar, dengan beralasan letak desa Melati Hijau yang begitu terpencil. Membuat biaya perjalanan mereka untuk bisa pulang pergi dari kota ke desa Melati Hijau begitu tinggi.

Para penduduk desa juga sadar sepenuhnya, tanpa bantuan para pedagang tersebut mereka tidak akan bisa menjual tanaman tanaman herbal yang mereka tanam. Membawa langsung sendiri ke kota kota terdekat pun juga merupakan suatu hal yang mustahil. Mengingat lokasi yang begitu terpencil dan bahaya yang menghadang di sepanjang perjalanan, bukanlah suatu hal yang bisa di hadapi oleh penduduk biasa seperti mereka.

Yin Sheng yang kini baru berumur 9 tahun 11 bulan memikul dua keranjang besar yang penuh dengan tanaman obat. Dengan satu tongkat yang menjadi penyangga di tengah, dua keranjang besar tersebut dibawa dengan mudahnya.

"Ah... Sepertinya aku terlalu kepagian..." Yin Sheng meletakkan dua keranjang yang baru saja dirinya pikul di lahan kosong yang ada di pinggir sungai.

Ya... Pinggir sungai adalah pusat aktifitas desa Melati Hijau. Semua pedagang dari kota pasti akan langsung menuju tempat tersebut untuk membeli barang dagangan yang tersedia. Terlihat baru ada 3 orang petani selain Yin Sheng yang sudah membawa keranjang keranjang berisi tanaman untuk mereka jual.

"Yin sheng... Sepertinya kamu membawa banyak hari ini..." Teriak seorang pria sepuh yang baru saja datang dengan satu keranjang berisi macam macam tanaman herbal.

"Ah... Pak Tua Kong..." Yin Sheng memberi sapa pada pria tua tersebut. "Iya... bulan lalu aku mulai membuka lahan di belakang rumah, jadi bulan ini hasilnya bisa lebih banyak dari pada biasanya."

"Hahaha... Kamu masih kecil tapi sungguh pekerja keras... Jangan terlalu memaksakan diri Yin Sheng..." Kong Gang menepuk pundak Yin Sheng yang nampak kekar dan berisi. Meskipun baru berusia mendekati 10 tahun, tubuh Yin Sheng sudah penuh dengan otot otot. Jika saja bukan karena tinggi badan Yin Sheng yang masih seperti anak berumur 10 tahun, mungkin Yin Sheng akan dikenali sebagai seorang pemuda beberapa tahun lebih tua.

Mungkin itu terlihat berlebihan, bagi anak usia hampir 10 tahun memiliki tubuh seperti itu. Tapi berbeda dengan Yin Sheng. Dari semenjak kepergian ayahnya yang entah kemana, Yin Sheng dan ibunya mengolah tanah di sekitar rumah. Semua hal hal berat yang seharusnya dilakukan oleh pria dewasa terpaksa harus Yin Sheng sendiri yang lakukan.

Yin Sheng tidak tega jika ibunya harus mencangkul tanah, menebang kayu, atau mengambil air dari sungai. Yin Sheng tahu jika ibunya sudah cukup menderita dengan ditinggal pergi ayahnya. Dirinya tidak ingin menambah penderitaan ibunya dengan pekerjaan yang berat berat.

"Aku hanya melakukan sebisaku Pak Tua... Anda juga seharusnya juga jangan terlalu memaksakan diri... Ingatlah usia... Perbanyaklah beribadah sebelum..."

Thak...

"Kurang ajar bocah... Kamu mendoakan aku cepat mati?" Kong Gang menjitak kepala Yin Sheng sekuat tenaga. Membuat bocah tersebut langsung memegangi kepalanya.

Satu persatu petani yang akan menjual tanaman mereka pun berdatangan. Berbagai macam tanaman herbal tingkat tinggi maupun rendah pun tersedia saat ini. Jika seorang alchemist datang ke tempat ini, alchemist itu pasti akan merasa jika tempat ini adalah surga bagi mereka.

Rombongan pedagang yang akan membeli tanaman tanaman herbal mulai terlihat. Puluhan kereta kuda dan puluhan prajurit pengawal juga terlihat mengiringi rombongan kereta kuda, memastikan perjalanan panjang rombongan para pedagang tersebut selamat sampai tujuan.

Transaksi jual beli pun terjadi. Saling tawar menawar harga dilontarkan oleh para pedagang maupun petani. Pasar sesaat tersebut berasa begitu hidup.

Sayangnya... Para petani selalu dalam kondisi yang tidak diuntungkan. Harga yang diberikan pedagang selalu saja jauh di bawah pasar. Mereka pun juga tidak bisa menolaknya, karena tanaman tanaman herbal yang mereka bawa pasti akan layu atau busuk begitu sudah diangkat dari akarnya.

Yin Sheng menghela nafas lega. Tanaman tanaman herbal yang dirinya bawa hanyalah tanaman herbal kelas biasa. Semuanya mudah terjual, meskipun harus dengan harga yang jauh di bawah pasar. 43 koin perak untuk dua keranjang tanaman herbal kelas biasa baginya sudah cukup memuaskan.

"Ah... Ibu pasti senang aku membawa banyak uang." Senyum sumringah Yin Sheng terpampang. Membayangkan ibunya akan begitu senang melihat Yin Sheng membawa hasil penjualan yang lebih banyak dari biasanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!