"Mulai sekarang kita putus, Wa!"
"Bianca, tunggu!"
Gadis bernama Bianca itu menghempaskan kasar tangan Dewa yang hendak mencegahnya pergi. "Apa lagi?"
"Lo nggak salah minta putus?" tanya Dewa sambil mengernyitkan dahi.
"Salah? Apa yang salah? Iya, gue minta putus Dewa Adrian Nichole!"
"Ya udah kalau mau lo putus. Tapi jangan nyesel di kemudian hari," ucap Dewa dengan penekanan pada gadis yang awalnya rela mengejar-ngejar Dewa duluan.
"Lo tuh nggak ada rasa nyesel ya, udah nyakitin cewek lo sendiri!" sentak Bianca dengan wajah memerah meluapkan emosi.
"Lo bukan cewek gue, ya, Bianca!"
"Emang lo, ya, Wa. Lo tuh akan dapat karma!"
"Terserah," jawab Dewa tidak peduli.
Awalnya dia kira berpacaran dengan Bianca menarik. Secara Bianca adalah gadis yang terkenal disukai oleh para cowok di sekolah. Ternyata tidak berlaku bagi Dewa. Baru sebulan dekat saja, Dewa sudah tidak betah.
"Siapapun cewek yang Lo tembak jadi cewek lo, bakalan langsung mutusin lo nggak lama dari itu. Camkan kutukan gue buat lo, Dewa!"
***
Siapa yang mengira jika kutukan Bianca itu benar-benar berlaku dalam kehidupan Dewa. Awalnya itu hanya menjadi sesuatu yang menggelikan bagi pria kelahiran bulan Desember itu.
"Meta, kita jadian ya."
"Hah?"
"Hem, iya, kita jadian," kata Dewa pada Meta, gadis yang belum lama ini dia incar.
"Ah, Wa, sorry." Meta tiba-tiba saja merasa illfeel pada Dewa. Padahal sosok Dewa merupakan tipe idealnya. Meta juga sangat menyukai Dewa pada awalnya. Namun entah kenapa, begitu Dewa menyatakan bahwa mereka jadian, rasanya Meta tidak dapat menahan diri ingin meninggalkan Dewa begitu saja.
"Kenapa, Meta?" tanya Dewa bingung melihat ekspresi Meta yang mendadak berubah.
"Gue nggak bisa pacaran sama lo, Wa. Kita nggak usah deket lagi mulai detik ini."
"Hah? Meta kamu serius?" Dewa menarik tangan Meta yang mencoba pergi begitu saja meninggalkannya.
Bagaimana bisa? Dewa terheran-heran.
"Don't—touch—me!" tekan Meta kemudian melepaskan genggaman tangan Dewa di pergelangan tangannya secara paksa. "Bye!"
Dewa menggeleng tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Mana mungkin, ini mustahil. Kenapa Meta berubah seratus delapan puluh derajat dari yang semula membucininya menjadi illfeel padanya?
"Nggak lucu. Ini sama sekali nggak lucu," ucap Dewa sambil menyurai rambut yang menutupi keningnya.
***
Percobaan berikutnya dia lakukan pada Putri. Gadis itu seorang pemain basket yang cukup populer. Cantik, sudah pasti. Semua cewek yang berada di sekitar Dewa tidak pernah di bawah standar. Apalagi Putri merupakan gadis yang sangat menarik, membuat Dewa terpincut dan tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu.b
"Put."
"Ya?"
"Menurut kamu, aku ini gimana?" tanya Dewa ingin tahu respon Putri lebih dulu.
"Kamu?"
"Ya, menurut kamu, aku ini gimana?" ulang Dewa.
"Ah, menurutku ... kamu baik, ganteng, terus apa lagi, ya?" kata Putri sambil tersipu.
Mereka berdua sedang duduk di sebuah kursi panjang dekat taman. Kebetulan barusan saja Dewa menyaksikan Putri bermain basket dengan teman-temannya.
Dewa ikut tersenyum. Batinnya bersorak, melihat dari senyum Putri, sepertinya gadis itu akan memberi respon sesuai yang ia harapkan.
"Kamu mau jadi pacar aku?" tanya Dewa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Mengejutkan. Kontan raut wajah Putri berubah. "Pacar?"
"Hem, kamu nggak mau?"
Diluar dugaan, Putri langsung beranjak dari duduknya menatap Dewa tidak suka. "Maaf, Wa, tapi aku nggak sesuka itu sampai harus jadi pacar kamu."
Brengsek! Mustahil kutukan Bianca jadi kenyataan, kan?!
"Kak Dewa!"
Dewa hanya diam tidak merespon gadis imut yang ada di sebelahnya.
"Marah, ya?"
Raut menggemaskan itu terus menatapnya tanpa dosa.
Sialan! Dewa mengumpat dalam hatinya. Kenapa gadis itu sangat menggemaskan. Rasa-rasanya Dewa ingin menghabisinya saat itu juga.
Jangan lupa, Dewa merupakan playboy pada masanya.
"Nggak, biasa aja," jawab Dewa.
"Kalau gitu, kenapa dari tadi diam aja?" tanya gadis itu mulai berani menyentuh tangan Dewa.
Hentikan gadis kecil. Kamu tidak tahu siapa yang kamu sentuh.
Dewa sontak menatap mata gadis itu yang tengah menatapnya ragu-ragu. "Coba pejamkan mata kamu," pintanya.
Dengan sepolos kertas putih yang belum dikotori oleh coretan sama sekali. Gadis itu menuruti kata-kata Dewa. Ia segera memejamkan matanya.
Dewa tersenyum. Bentuk bibir merah nan tipis, hidung mancung dengan bentuk yang manis, bulu mata lentik yang amat menggoda sejak pertama kali ia memandang.
Ah, Nirmala, kamu sempurna.
Dewa tidak tahu jika keputusan maminya pindah ke Bandung akan sangat menguntungkan baginya.
"Mala."
"Ya, Kak?"
"Lo udah pernah liat bidadari belum?"
"Hah? Bidadari?" sahut Mala bingung dengan pertanyaan Dewa.
"Iya, bidadari. Udah pernah liat, belum?" tanya Dewa lagi.
Mala menggeleng polos. "Belum pernah. Emang Kakak udah pernah?"
Dewa tersenyum lagi. "Udah, ini lagi ada di depan mata."
Mala menggerakkan kepala masih sambil memejamkan mata. "Ah, masa sih?"
"Iya. Mala mau liat juga?"
Mala dengan semangat menganggukkan kepala. "Mau!"
"Coba nanti kalau Mala udah sampai rumah. Mala ngaca, ya."
"Mala ngaca?" ulang gadis itu memastikan. Tapi kenapa dia harus ngaca? batinnya.
"Iya. Mala ngaca, setelah itu Mala akan liat ada bidadari di pantulan cermin nya."
Mala terdiam beberapa saat. Ah kenapa Dewa membuatnya pusing, batin gadis itu.
"Iya deh, nanti Mala ngaca," jawabnya lagi-lagi sepolos itu.
Dewa mengusap puncak kepala Nirmala dengan gemas. "Lucu banget sih kamu. Jadi pengen makan deh."
***
Semenjak kejadian aneh yang menimpanya perihal kutukan yang dilontarkan Bianca, mantan kekasihnya. Dewa jadi lebih berhati-hati untuk mengutarakan perasaannya pada lawan jenis. Apalagi sampai ingin mengajak berpacaran.
Sama halnya yang ia lakukan sekarang terhadap Nirmala.
Gadis itu masih duduk di kelas dua belas SMA. Mala panggilan akrabnya. Awalnya dia gadis yang pendiam, tidak disangka gadis itu merupakan tetangganya di Bandung.
Dewa pindah dari Jakarta ke Bandung karena daddy-nya harus bekerja di sana. Tadinya Dewa tidak mau pindah ke Bandung. Dia memiliki banyak teman di Jakarta, sedangkan di Bandung, dia harus menyesuaikan diri lagi.
Namun semuanya berubah semenjak ia bertemu dengan Nirmala. Gadis itu ternyata tidak sependiam itu ketika sudah akrab. Sekarang justru Dewa tidak bisa lepas dari gadis itu. Keduanya benar-benar seperti sepasang kekasih, walau lebih mirip disebut—hubungan tanpa status.
"Kak Dewa masih marah?"
"Enggak, Cantik." Dewa menggeleng sambil fokus menyetir. Dia baru saja menjemput Mala pulang sekolah. Ya, itu adalah rutinitasnya setiap hari Senin sampai Jumat. Kadang-kadang hari Sabtu pun begitu, kalau Mala ada ekskul dan Dewa sedang tidak ada kelas di kampusnya.
"Maafin Mala, ya." Gadis itu tertunduk menyesal.
Dewa menoleh sedikit lalu mengelus pipi gembil gadis itu. "Kenapa? Kok minta maaf?"
"Hem, Mala tahu, Kakak nggak suka kalau Mala deket sama cowok lain di sekolah," ujarnya pada Dewa.
Dewa menghela napas panjang. Perkataan Nirmala memang benar. Dewa tidak suka siapa pun coba mendekati gadisnya.
"Terus? Kenapa kamu masih deket-deket sama cowok itu?" tanya Dewa mendadak serius.
Mala meneguk ludah. Dia melirik takut-takut, kalau sudah serius begitu, pasti Dewa benar-benar marah.
"Tadi Mala cuma main game aja kok," jawab Mala seadanya.
Dia memang bermain game jujur atau tantangan. Mala tidak mau berkata jujur, jadi dia memilih tantangan. Kebetulan tantangannya, Mala harus menembak salah satu teman cowoknya. Kebetulan juga Dewa melihatnya sewaktu Mala menembak cowok tersebut.
Memang sudah biasa. Dewa seringkali masuk ke kelas Nirmala ketika jam pulang sekolah sudah berakhir. Jujur Dewa kaget, sebelum akhirnya Mala menjelaskan semuanya secara detil.
"Ya udah, Cantik, kalau memang cuma game. Tapi kalau bisa sih ...."
"Kalau bisa kenapa?" sahut Mala..
"Kalau bisa, jangan lakukan itu walau hanya game. Nggak perlu lah main game yang begitu," jawab Dewa tegas.
Mala tersenyum. Dia memainkan jari-jari kecilnya sambil menggigit bibir. "Kak Dewa cemburu, ya?"
Dewa langsung menghentikan mobil yang dikendarainya seketika.
"Astaga, Kak!" sentak Mala sambil memegang dadanya kaget. Dewa mengerem mendadak membuat jantungnya nyaris lepas.
Pipi Mala menggembung sambil menatap Dewa dengan mata membulat. "Kak Dewa kok ngerem mendadak sih!"
"Kamu barusan ngomong apa, Mala?" tanya Dewa, ia ingin gadis itu mengulangi kata-kata nya barusan.
"Yang mana?"
"Yang kamu nanya ke kakak," jawab Dewa.
Mala terlihat berpikir sebelum ia menatap Dewa lagi. "Oh, waktu Mala tanya apa kakak cemburu?" ucap gadis itu.
Dewa masih menatap Mala dengan tatapan tajam, sangat serius. Kalau ditatap begitu, jantung Mala jadi tidak aman. Dia terus berdebar-debar tidak karuan.
"Kenapa Kakak natap Mala begitu, sih?" tanya gadis bermata bulat itu.
"Mala, boleh Kakak cium kamu?"
"Hah?" Mata Mala membulat sempurna begitu Dewa melepas sabuk pengaman yang ia kenakan. Kemudian Dewa mendekati Mala hingga wajah keduanya tidak berjarak sama sekali.
Mala gugup, dia menahan napas karena tidak tahu apa yang akan dilakukan Dewa dengan jarak sedekat itu.
Dewa mengusap perlahan permukaan bibir Mala. Sangat tipis dan merah merona. Dewa meneguk ludah susah payah. Apa yang akan dia lakukan pada gadis sepolos Nirmala?
Mata Mala masih membulat dan mulai terasa pedih karena gadis itu bahkan lupa mengedip.
"Mala, kamu jangan menahan napas," kata Dewa.
Mala mengangguk dua kali kemudian ia mengembuskan napas panjang dengan wajah berkeringat.
Dewa meraih pipi Mala dengan telapak tangannya yang mulai hangat. Gadis itu kontan memejamkan mata begitu benda lembut menyentuh tepat di bibirnya.
Dewa menggerakkan bibirnya perlahan dengan teramat lembut dan halus. Mala tidak tahu harus berbuat apa. Badannya terasa kaku, dia bahkan membeku seketika.
Kecupan ringan itu mulai berubah menjadi ciuman yang sedikit panas sewaktu Dewa menurunkan kursi yang diduduki Mala menjadi posisi berbaring. Tubuh Mala mengikuti gerakan tangan Dewa membawanya.
Dewa melepaskan pagutan itu sambil menatap bola mata indah Mala yang membulat lagi.
"Mau lagi?"
Mala meneguk Saliva. Dia bingung harus menjawab apa. Hanya saja ciuman Dewa terasa bagaikan candu hingga ia tidak ingin mengakhirinya terlalu cepat begitu.
"Hem? Mau lagi nggak?" ulang Dewa.
Mala malu-malu mengangguk. Dewa tersenyum lalu memberikan kecupan kecil di pucuk hidung Mala.
"Aku suka bibir kamu."
Dewa segera mendorong pelan tubuh Mala. Ini sudah lebih dari batas kemampuan Dewa menahan segalanya. Dia sadar, dia tidak boleh gegabah. Terlebih lagi, Mala masih sekolah.
"Mala, maafin Kakak, ya," ucap Dewa memperbaiki posisi duduk Mala.
Ia sudah kembali ke posisi tepat di depan kemudi lagi sekarang.
"Ah, iya, nggak apa-apa, kok, Kak." Mala jadi kikuk sendiri.
Jujur dia terbawa suasana dengan keadaan tadi.
"Sekarang Kakak antar kamu pulang, ya," kata Dewa.
"Iya, Kak," angguk Mala.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka tidak berbicara lagi satu sama lain. Mala sibuk memainkan ponsel untuk membunuh rasa malu yang luar biasa. Jantungnya masih berdegup tidak menentu merasakan sentuhan Dewa terhadapnya beberapa waktu lalu.
Begitu juga dengan Dewa, dia sadar dia sudah melakukan tindakan yang berlebihan. Dia memang brengsek! Beruntung tadi tidak kelepasan.
***
Sesampainya di depan rumah mereka. Ya, rumah mereka. Rumah Mala dan Dewa memang bersebelahan karena mereka tetangga.
Rumah dengan pagar berwarna putih adalah rumah Dewa. Catnya juga serba putih. Ada beberapa tanaman di depan rumah itu, karena maminya senang menanam bunga dan pohon-pohon di depan halaman.
Sedangkan rumah Mala bercat hitam. Di depan rumah Mala justru sangat polos. Tidak ada tanaman apa pun sejauh mata memandang. Itu karena orang tua Mala jarang ada di rumah. Mala hanya tinggal bersama dengan pelayan saja.
"Udah sampai, kita turun, yuk." Dewa membantu Mala melepaskan sabuk pengaman.
Gadis itu mengerjapkan mata begitu Dewa berada kembali dekat dengan wajahnya.
"Kakak cuman mau bantu buka seat belt aja," ucap Dewa.
"Oh, iya, Kak." Mala jadi salting tidak karuan. Ah, semuanya karena kejadian tadi.
Setelah melepaskan sabuk pengaman. Dewa membukakan pintu mobilnya untuk Mala. Gadis itu tidak lupa membawa tasnya keluar dari mobil Dewa.
"Kakak, makasih ya udah antar Mala pulang," katanya tersenyum tipis ke arah Dewa.
Dewa pun ikut tersenyum. Baginya senyuman Mala yang sangat manis tidak tertandingi. Gadis berlesung pipi itu bukan hanya cantik, lembut, baik, tapi juga sangat polos dan itu yang paling membuat Dewa jadi rindu setengah mati, jika sebentar saja tidak bertemu.
"Iya, Mala, sama-sama." Dewa menggaruk tengkuk kemudian ia menggenggam tangan Mala.
"Maaf untuk yang tadi, ya," kata Dewa mencondongkan tubuhnya mendekati Mala dan berbisik tepat di dekat telinga gadis itu.
"Hem, iya, gapapa kok." Mala menghela napas panjang.
Dewa mengacak rambut Mala yang dibiarkan tergerai begitu saja. Rambut lurusnya amat lembut. Panjangnya tidak sampai sepinggang, hanya sebahu lebih sedikit. Tidak lupa poni yang menutupi kening Mala membuat tampilan gadis itu makin terlihat manis.
"Mala masuk gih."
"Hem, Kakak duluan," jawab Mala.
"Mala aja duluan," kata Dewa.
Mala akhirnya mengangguk. Ia melihat tangannya yang masih digenggam oleh Dewa.
Seketika Dewa melepaskan genggaman tangannya pada Nirmala. "Duh, Kakak lupa."
Mala terkekeh kemudian ia melambaikan tangan ke arah Dewa. Gadis itu masuk ke dalam gerbang berwarna hitam, ke dalam rumahnya. "Dadah Kak Dewa."
"Iya, Mala," jawab Dewa membalas lambaian tangan Mala.
Dari jauh Maxime, Daddy Dewa melihat putranya tengah melambaikan tangan pada Mala. Dia pun menggeleng mendekati putranya.
"Dewa."
"Da-Daddy?"
Mala langsung melebarkan mata melihat Maxime dengan suara baritonnya muncul mengejutkan.
"Om Max?"
"Hei, Mala, Sayang." Maxime tersenyum ke arah Mala. "Baru pulang?"
"Eh, iya, Om Max. Mala masuk dulu, ya," ujar gadis itu sambil tersenyum ramah ke arah Maxime.
"Iya, Mala, jangan lupa kamu langsung makan ya. Inget, kamu punya gangguan lambung, nggak boleh telat makan," ingat Max perhatian pada gadis itu.
Bukan tanpa sebab Maxime perhatian pada Mala. Melainkan orang tua Mala menitipkan Mala padanya. Jadi apa pun yang terjadi pada Mala merupakan tanggung jawabnya juga.
"Siap Om, kalau gitu Mala masuk ya."
"Oke sayang." Maxime membiarkan gadis itu masuk ke rumahnya. Setelah pintu tertutup rapat, ia beralih kembali pada putranya.
"Wa."
Dewa memegang dada, dia tersentak dengan suara Maxime yang menggelegar memanggil namanya.
"Iya, Daddy," jawab Dewa.
Maxime menatap Dewa dengan tegas. Siapa pun yang melihat tatapan itu pasti akan bertekuk lutut dan tidak berani membantahnya.
"Kamu nggak melakukan hal yang tidak-tidak dengan Mala, kan?" tanya Maxime menaruh curiga.
Maxime pernah memergoki Dewa memeluk Mala di dalam kamar. Sebab itulah Maxime tidak mau kecolongan. Dia harus melindungi Mala termasuk dari ancaman putranya sendiri. Maxime tidak akan pernah lupa, berapa banyak pacar koleksi Dewa dulu selama tinggal di Jakarta.
"Enggak lah, Dad," geleng Dewa sambil menggaruk hidung.
"Dewa, Daddy nggak mau kamu berbohong," kata pria yang umurnya lebih dari setengah abad itu.
"Dewa nggak boong," jawab Dewa meski terdengar ragu-ragu.
Maxime menggaruk alis masih tidak percaya kata-kata Dewa begitu saja. "Ya sudah, kamu masuk sana."
Akhirnya, batin Dewa menghela napas lega. "Oke."
Maxime memerhatikan Dewa yang hendak masuk ke dalam gerbang. ia kemudian menangkap sesuatu yang janggal tertempel di kerah baju putranya yang berwarna abu-abu terang. "Dewa, tunggu sebentar."
Dewa membulatkan mata. Apalagi ini? Dia sudah berumur dua puluh empat tahun dan daddy-nya masih saja bersikap seolah dia masih anak-anak yang perlu di awasi gerak-gerik nya. "Ada apa lagi, Dad?"
"Kesini kamu," kata Max meminta Dewa berdiri di hadapannya. Keduanya masih berada di depan rumah.
Dewa tidak punya pilihan selain melakukan apa yang Daddy-nya perintahkan. Dia berdiri di hadapan daddy-nya sambil mengusap wajahnya kasar.
"Wa, ini apa?" tanya Maxime menunjuk ke arah kerah baju Dewa.
Anjir! Mati lo Dewa!
Dewa meneguk ludah begitu melihat Max menunjuk ke noda merah yang tidak lain dan tidak bukan merupakan noda liptint dari bibir Mala. Dia tidak ingat bagaimana bisa noda itu tertempel di bajunya. Yang jelas, tadi Mala sempat memoleskan gincu tersebut ke bibirnya sewaktu Dewa hendak menciumnya.
"Jawab Daddy. Ini apa?" tanya Maxime lagi.
Sebagai seorang pria, Maxime bukan tidak mengerti apa yang ada di pikiran Dewa.
"Dewa. Kamu belum mengerti juga kenapa Daddy melarang kamu melakukan hal yang tidak-tidak pada Mala?"
Dewa mengerti. Hanya saja tidak semudah itu menahan godaan setiap kali berada di dekat Mala, pikirnya ingin protes pada Maxime saat itu juga.
"Hem ...." gumam Dewa tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana setiap pertanyaan yang diajukan Maxime padanya.
"Kamu tahu, kan, kalau Daddy dititipkan orang tua Mala untuk menjaga putrinya, bukan merusaknya?"
Siapa juga yang berniat merusak Mala, batin Dewa. Dia justru ingin menjaga Mala, pikirnya. Hanya sedikit bermain-main, tidak akan melewati batas walau kadang kewalahan juga.
"Iya, Daddy," jawab Dewa tidak punya kekuatan untuk membantah.
"Awas ya, kalau sampai kamu ketahuan cium Mala lagi. Daddy nggak segan kirim kamu ke luar negeri untuk kerja di perusahaan Daddy di sana!"
"Jangan, Dad! Dewa janji nggak akan cium Mala," ucapnya pelan.
Janji nggak satu kali maksudnya. Dewa, Dewa, mustahil dia bisa menghindari bibir manis Mala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!