“Kau bercanda? Aku melawan seorang wanita?”
Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang pria bertubuh tambun ketika melihat seorang gadis tengah mengikat rambut di ujung sana akan menjadi lawan duelnya.
Salah seorang temannya berbisik dengan suara gemetar.
“Jangan anggap sepele, Max! Dia adalah Kirana Putri Mahendra, rumornya dia pernah menjuarai ajang MMA.”
“MMA? Mix Martial Arts, seni bela diri campuran itu?” Max berdecih. “Dia tidak lebih dari seorang wanita.”
Pria bertubuh tambun itu mendengus keras. Ucapan dari temannya itu seolah tengah meremehkan kemampuan tinjunya.
Teng Teng…
Suara bel yang menjadi tanda dimulainya acara tinju bebas pun dibunyikan.
Baik Max dan Kirana telah siap dengan sikap kuda-kuda mereka. Keduanya saling menyeringai pada sang lawan.
“Ini pertarungan tinju bebas, Nona. Bukan acara dansa bertopeng,” cemooh Max pada Kirana yang memakai topeng hitam untuk menutupi setengah wajah.
Kirana menampilkan senyuman tipis yang terlihat jelas karena bagian mulutnya tak tertutup oleh topeng.
Dengan cepat, Max melayangkan tinju yang sangat mudah untuk Kirana hindari. Wanita itu hanya memiringkan kepala sedikit, lalu menyerang wajah Max sebanyak dua kali.
Pria itu terhuyung ke belakang. Sorak dari para penonton semakin ricuh, terutama yang mempertaruhkan atas kemenangan Kirana.
Max kembali menyerang namun sekali lagi Kirana menangkis dan balik menyerang sang lawan dengan menendang keras adik kecil Max yang seketika menjerit kesakitan.
Para penonton, terutama yang laki-laki, turut mengaduh. Seolah ikut merasakan sakit yang dialami Max.
“Kau yang merusak rem mobil ayahku, sehingga dia mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu, iya kan?” ucap Kirana selagi Max masih membungkuk.
“I-iya, Nona,” jawab Max sambil meringis kesakitan.
“Katakan! Siapa yang menyuruhmu?”
“A-aku tidak tahu namanya.”
Max kembali menjerit karena Kirana sangat gesit memukul perut, lalu menyikut keras punggungnya.
Kemudian Kirana mendorong tubuh Max. Kericuhan penonton semakin menjadi.
Di lain sisi, Max tidak terima predikat juara bertahan tinju bebasnya dipatahkan oleh seorang wanita. Dia kembali melayangkan pukulan.
Namun, lagi-lagi meleset. Malah dia yang mendapat serangan dari wanita bar-bar itu, hingga kondisinya babak belur.
Max terbaring lemah di lantai. Tubuhnya telah terkunci oleh Kirana.
“Katakan atau aku patahkan semua tulangmu?”
“Aku benar-benar tidak tahu namanya, hanya saja dia bekerja di perusahaan Irawan Group,” tutur Max terengah-engah dan menahan sakit.
Lalu detik berikutnya kepala Max tergolek seperti boneka.
Sial. Dia malah pingsan. Hanya segitu kemampuannya? Umpat Kirana di dalam hati.
Max, sang juara bertahan, kalah telak oleh Kirana.
Ketika wasit hendak mengumumkan juara baru, Kirana melangkah pergi dari arena. Tidak peduli pada teriakan orang-orang yang memintanya untuk kembali bertarung.
Kirana melepas topeng dan menggantinya dengan kacamata hitam, lalu mengambil kopernya yang disimpan di sebuah loker.
Yap, tidak salah Kirana membawa koper, karena dia baru saja pulang dari Negeri Matahari Terbit.
Dia menempuh pendidikan dan mendirikan perusahaan di sana, dan ini adalah kepulangannya ke tanah air setelah sekian lama.
Kirana memutuskan kembali ke negeri kelahirannya bukan tanpa sebab. Dia akan mengurus perusahaan cabang yang ada di Indonesia, sekaligus menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpa sang ayah, Balin Mahendra.
Langkah kaki Kirana terusik ketika dia mendengar suara gaduh dari sebuah lorong. Rasa penasaran membuat Kirana membelokkan arah.
Di lorong remang itu, Kirana melihat Max diseret paksa oleh dua orang pria.
Tak perlu pikir panjang, Kirana meninggalkan kopernya sejenak, berjalan perlahan tanpa menimbulkan suara untuk menguntit Max dan gerombolan pria misterius.
“Kamu tahu kesalahan terbesarmu?” tanya seorang pria bermantel hitam dengan suara berat.
“A-ampun, B-bos,” tubuh Max yang gemetaran bersujud pada pria itu.
Kirana tidak mampu melihat wajah sang pria, karena posisinya membelakangi tempat persembunyian KIrana saat ini.
“Kau hampir saja menyebutkan mata-mata yang telah berhasil aku masukkan ke Irawan Group.”
Apa? Jadi, ada mata-mata yang bekerja di perusahaan Papa? Kirana bertanya dalam hati sambil menajamkan telinga.
“Nyalimu sungguh ciut, Max. Melawan wanita itu saja kamu langsung K.O. Pantas saja kamu tidak becus menjalankan tugas dariku untuk memusnahkan Balin Mahendra.”
“Saya mohon ampun, Bos,” kata Max memelas.
“Ampun? tidak ada kata ampun di kamusku. Kau akan mati hari ini juga.”
Pria itu tertawa dingin, lalu memerintahkan anak buah yang lain untuk membawa Max ke dalam mobil.
Kirana tidak mau kehilangan jejak mereka, dia pun kembali mengikuti arah perginya Max dan kelompok pria itu.
Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahu Kirana. Menjadikan gadis cantik itu memutar badan, sekaligus memelintir tangan yang telah berani menentuhnya.
“Aw, No-Nona Kirana, saya Ken, pengawal yang ditugaskan Tuan Balin untuk menjemput Nona,” tutur Ken meringis kesakitan.
Seketika Kirana melepaskan tangannya, mengendurkan badan lega karena ternyata orang di depannya adalah salah satu pengawal keluarga Mahendra.
“Kenapa kalian bisa tahu aku ada di sini?” tanya Kirana begitu iris matanya menangkap barisan pria di belakang Ken.
“Kami tahu Nona Kirana sengaja kabur saat di bandara, tapi kami mampu melacak Nona Kirana sampai di tempat ini. Mari Nona, kita pulang! Tuan Balin telah menunggu Nona,”
“Tunggu! Aku harus mengikuti Max, aku ingin tahu siapa orang yang menjadi bosnya itu,”
Lengan Kirana yang hendak pergi ditahan oleh Ken.
“Nona Kirana, saya mohon, Nona pulanglah sekarang juga. Seharusnya Nona sudah ada di rumah dua jam yang lalu. Tuan Balin pasti akan memecat kita semua, jika Nona tak kunjung pulang.”
Kirana berdecak, melihat raut memelas Ken dan para pengawal lain membuat dia iba dan akhirnya mengikuti langkah Ken.
Kirana masuk ke dalam salah satu deretan mobil mewah yang terparkir di tepi jalan. Kemudian, iringan mobil yang mengawalnya pun melaju ke kediaman keluarga Mahendra.
***
Di depan gedung Irawan Group, Si Duo Balin Junior alis Nakula dan Sadewa melangkahkan kaki menuju ruangan CEO.
Sepanjang perjalanan, mereka menanyai semua karyawan yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Entah itu satpam, Office Boy, atau bahkan pegawai yang sedang sibuk mengetik cepat.
Pertanyaan yang mereka lontarkan adalah…
“Hai, menurutmu mana yang lebih tampan di antara kita berdua?”
Tentu semua orang yang mendapat pertanyaan itu hanya bisa mengerutkan dahi karena kedua pria yang ada di depan mereka kembar identik. Sangat sulit untuk dibedakan.
Begitulah mereka sampai langkah kaki mereka berhenti tepat di depan pintu ruang kerja sang ayah.
“Untuk sementara skor ketampanan kita imbang. Lima sama,” ucap Nakula yang sejak tadi menghitung jawaban orang-orang.
Kemudian Nakula dan Sadewa mendengar suara yang tak asing bagi mereka. Suara desah*n yang selalu ada di setiap film dewasa yang mereka tonton tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.
Mereka semakin menajamkan telinga, dan mengangguk pelan saat meyakini bahwa suara itu berasal dari ruangan yang hendak mereka masuki.
“Nakula, kamu masih ingat di film yang link-nya dikasih oleh Paman Rama?” tanya Sadewa pada kakaknya.
“Iya, CEO yang selingkuh dengan sekretarisnya,” sahut Nakula sambil menyipitkan mata.
“Papa pasti sedang bersama selingkuhannya di dalam. Ayo, kita grebek mereka! Kalau perlu rekam,” Sadewa mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera dalam mode merekam video.
“Lalu kita tunjukan pada Mama,” usul Nakula.
“Jangan! Jangan tunjukan ke Mama! Kita gunakan bukti rekaman ini untuk memeras Papa. Supaya Papa mau tidak mau memberikan uang jajan yang lebih banyak,” ucap Sadewa tersenyum menyeringai.
“Bingo! Harus aku akui, otakmu lebih encer dariku, Sadewa.”
“Ayo kamu buka pintu, aku yang rekam. Dalam hitungan ketiga.”
“Satu… Dua… Tiga…”
“Satu… Dua… Tiga…”
Pintu terbuka dan alangkah terkejutnya Nakula serta Sadewa melihat cuplikan adegan di film dewasa namun dengan pemerannya adalah orang tua mereka sendiri.
“AAAAAAAAAAA”
Sontak tangan Sadewa lemas membuat benda canggih yang ada di genggamannya jatuh membentur lantai.
Mereka membelalakan mata, berteriak kencang, dan segera berbalik badan menghadap pintu yang kini sudah tertutup kembali.
Jantung Nakula dan Sadewa berdebar selaras dengan teriakan mereka. Tidak menyangka akan apa yang baru saja mereka lihat.
Sang Mama yang biasa dikenal sangat anggun, kini berada di bawah kungkungan Papa yang tak memakai sehelai kain memamerkan badan kekarnya.
Alexa yang menengok ke arah pintu juga ikut berteriak tak kalah kencang. Hanya Balin saja yang tampak tenang, dia memutarkan kedua bola mata, menghela napas jengah dan mengumpat dalam hati.
“Papa, apa kami sudah boleh berbalik?” tanya Nakula yang masih menghadap ke pintu.
“Belum,” jawab Balin sambil membantu membenahi baju Alexa.
“Kalau sekarang?” kini Sadewa yang bertanya sedikit menengok ke belakang.
“Jangan mengintip!” pekik Alexa.
Secepat kilat Sadewa kembali mengarahkan kepalanya menghadap pintu.
Alexa selesai membenarkan pakaiannya, tinggal Balin yang belum mengenakan kemeja.
Setelah itu, mereka duduk santai di sofa dan Balin menyisir rambut Alexa sebelum akhirnya dia mengizinkan si kembar untuk membalik badan mereka.
Nakula dan sadewa bernafas lega, melangkah menuju sofa yang ada di depan orang tua mereka, dan menghempaskan bokong untuk duduk di sana.
“Kalian mau apa kemari? Jangan bilang kedatangan kalian hanya untuk bertanya di antara kalian berdua mana yang lebih tampan?” ucap Balin melipat tangan di depan dada dan menatap sinis pada kedua anak kembarnya.
Nakula dan Sadewa hanya bisa terkekeh karena tebakan ayah mereka sangat tepat sekali.
“Jadi, menurut Papa dan Mama, mana yang lebih tampan? Aku atau Sadewa?”
“Kalian menanyakan itu terus setiap tahun. Memangnya kalian tidak bosan dengan jawaban dari Papa?” Balin balik bertanya sangat jengkel.
“Iya kan, Pa. Siapa tahu dari tahun ke tahun ada perubahan di wajah kita. Siapa tahu tahun ini aku yang lebih tampan dari Nakula,” ucap Sadewa mengelus dagu dan tersenyum percaya diri.
“Kalian berdua itu kembar, dan sama-sama tampan,” Alexa tersenyum pada kedua anak yang sudah dia lahirkan itu.
“Nah, itu. Itu jawaban yang paling tidak kami suka. Aku dan Sadewa harus ada pembeda.”
“Ya, bagaimana kalau nanti kita punya istri dan tidak dapat membedakan kita berdua. Bisa bahaya, Ma,” timpal Sadewa.
Balin bangun berdiri berkacak pinggang. Dia memberikan kuliah tujuh menit pada si kembar agar mereka sedikit bersikap dewasa.
Balin juga menumpahkan keluh kesah selama ini karena dari ketiga anaknya tidak ada yang dapat menjalankan perusahaan Irawan Group.
Kirana yang berhak atas perusahaan warisan dari kakeknya, justru mendirikan perusahaan robotik bernama Red Riding Hood yang berpusat di Negeri Matahari terbit.
Sedangkan Nakula dan Sadewa masih senang bermain-main, daripada harus berjibaku dengan urusan perusahaan.
Si kembar hanya bisa menunduk, saling lirik, dan mendesah pasrah.
“Papa, bukankah kita harus pulang? Kirana pasti sudah ada di rumah,” ucap Sadewa sengaja menyela agar Balin menyudahi ceramahnya.
Balin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Dia berdecak dan memijat keningnya.
“Bagaimana aku bisa lupa kalau Kirana pulang hari ini? Tunggu sebentar, aku perlu memberi beberapa tugas untuk sekretarisku.”
Balin duduk di kursi kerja, menelepon sang sekretaris untuk datang ke ruangannya. Sementara si kembar tersenyum penuh kemenanga karena terbebas dari ceramah dari sang ayah.
“Kak Kira, pulang hari ini, Ma?” tanya Nakula yang dibalas angukan oleh Alexa.
“Aku tidak sabar bertemunya, ingin mendengar cerita Kak Kira secara langsung yang katanya memiliki koneksi dengan para Yakuza selama di Jepang.”
Tak lama, pintu diketuk dan masuklah Raka, sang sekretaris yang baru beberapa bulan ini bekerja di kantor Irawan Group.
Meskipun Raka adalah sekretaris baru, namun, Balin harus mengakui kredibelitas Raka yang dapat diandalkan.
Raka menyerahkan obat yang tadi dipesan oleh Balin, lalu pria muda itu melangkah keluar setelah mendapatkan beberapa perintah selama bosnya pulang ke rumah.
***
Di halaman depan sebuah rumah besar bergaya Eropa, para pelayan dan juga penjaga yang jumlahnya puluhan itu tengah berbaris rapi untuk menyambut kedatangan Nona Muda Kirana.
Mereka mendengarkan intruksi singkat dari Juan, sang kepala pelayan, lalu tak lama dua mobil masuk melewati gerbang.
Balin dan Alexa turun dari mobil, diikuti oleh si kembar yang juga turun dari mobil yang satu lagi.
Serempak Juan dan para bawahannya menunduk hormat pada Tuan mereka yang mengukirkan kerutan di dahi.
“Kenapa Kirana belum datang?” tanya Balin yang langsung tahu putrinya belum sampai ke rumah, begitu melihat jumlah penjaga yang belum lengkap.
“Maaf, Tuan. Para pengawal kehilangan jejak Nona Kirana saat menjemput di bandara,” lapor Juan menundukan kepala.
“Apa? Kirana hilang?” Alexa terperangah.
“Tuan dan Nyonya tidak perlu khawatir. Para Pengawal adalah orang-orang handal yang mampu menemukan kembali Nona Kirana hanya dalam hitungan jam.”
“Aku harap begitu,” ucap Balin yang sedikit menunjukan rasa kesal.
“Papa, tenanglah! Kak Kira jago bela diri, dia juara di ajang MMA tingkat internasional. Jadi dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri,” kata Nakula mencoba menenangkan ayahnya.
“Begitu Kirana sampai, katakan kalau aku menunggu di ruang baca!” titah Balin.
Kemudian keluarga kecil itu melangkah masuk ke dalam rumah.
Beberapa menit setelah itu, iringan mobil yang ditugaskan menjemput Kirana berhenti tepat di depan barisan para pelayan.
Akhirnya Juan dapat bernapas lega, dia melengkungkan senyuman dan menunduk saat Nona Muda Kirana melangkah turun dari salah satu deretan mobil di depannya.
Kirana membalas menganggukkan kepala dan tersenyum pada kepala pelayan yang telah setia pada keluarga Mahendra sejak Kirana masih kecil.
“Selamat datang kembali, Nona Kirana,” sapa Juan yang diikuti oleh para pelayan.
“Pak Juan, apa kabar?”
“Kabar saya baik, Nona. Tuan Balin sudah menunggu Nona di ruang baca.”
“Baik, terima kasih, Pak Juan.”
Juan tersipu akan sikap Nona Mudanya yang memiliki prestasi setinggi langit tapi sikapnya tetap membumi.
Kepada para pelayan pun Kirana membalas anggukan mereka.
“Sungguh paket komplit Nona Kirana itu, kan?” bisik seorang penjaga pada teman di sampingnya setelah Kirana berjalan melewati mereka.
“Iya, aku tidak percaya dia seorang CEO, padahal usianya masih sangat muda.”
“Sudah cantik, pintar, jago bela diri, dan tentu saja kaya raya. Kapan aku bisa menikah dengannya ya?”
Teman si penjaga mendengus, “Hah? Mimpi kamu.”
Suara bisik-bisik kedua penjaga itu berhenti ketika Juan berdehem keras sambil melirik tajam.
***
Kaki Kirana bergulir cepat menaiki anak tangga. Ia tak sabar menuju ruang baca, tempat favorit nomor dua di rumah.
Begitu membuka pintu, empat pasang mata langsung menyorot ke arahnya.
Kirana melengkungkan senyuman, menatap satu per satu anggota keluarganya. Ada Papa, Mama dan kedua adik kembar Nakula dan Sadewa.
Mereka membalas senyuman Kirana dengan binar mata melepas rindu.
Kemudian, langkah kaki Kirana menuju sang ayah yang telah berdiri untuk menyambutnya dengan sebuah pelukan.
“Kirana,” sapa Balin.
Seketika senyuman Balin berubah menjadi ringisan menahan sakit, menjadikan Kirana yang siap menerima pelukan sang ayah mendadak membeku di tempat.
“Papa, ada apa?”
Balin menggelangkan kepala, tapi raut wajahnya menunjukan bahwa dia semakin tak kuasa menahan sakit.
Dengan dibantu Alexa yang cemas luar biasa, Balin menghempaskan diri ke sofa. Tangan kanannya mencengkeram dada sebelah kiri.
Nakula dan Sadewa juga ikut panik. Mereka mengerumuni Balin yang meringis kesakitan.
“Papa, Papa kenapa?”
“Semenjak kecelakaan itu, Papa sering mengeluh dadanya sakit,” tutur Alexa pada Kirana.
“Apa?” Kirana terperangah.
Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyuruh Max untuk merusak rem mobil Balin. Pasti dialah penyebab sang ayah mengalami kecelakaan.
Sialnya tadi Kirana kehilangan jejak pria itu.
“Nakula, tolong ambilkan obat di tas Papa!” perintah Alexa yang terlihat tetap tenang meski terlihat tanganya gemetar.
“Maksudnya, obat yang tadi dibelikan oleh sekretaris baru Papa, bukan?” tanya Nakula mengerutkan dahi.
“Iya, Nakula. Cepat!” ucap Alexa tak sabar.
Tunggu! Papa punya sekretaris baru? Kenapa Papa percaya begitu saja pada karyawan baru untuk membelikan obat?
Pria yang menjadi bosnya Max itu bilang kalau ada mata-mata di Irawan Group kan? Bagaimana kalau mata-mata itu adalah sekretaris baru Papa?
Sederet pertanyaan muncul di benak Kirana. Lalu manik mata Kirana menangka botol obat yang ada di genggaman Nakula.
Bagaimana kalau obat itu beracun? Atau telah dicampur zat berbahaya? Curiga memang tidak boleh, tapi waspada perlu, kan?
Secepat kilat tangan Kirana menepis lengan Nakula, sehingga botol yang hendak diserahkan pada Balin terjatuh ke lantai dan menumpahkan isinya.
Semua orang terheran akan sikap Kirana.
Namun Kirana hanya mengaku tidak sengaja, dan Alexa pun tak ingin memperpanjang masalah.
Dia segera mengambil obat yang sama di kamarnya, hanya saja botol obat yang ini isinya hampir habis.
Setelah minum obat, pelan-pelan Balin tampak relaks. Begitu pula semua orang yang ada di ruangan itu.
Termasuk Kirana yang memandang wajah Balin, dia berniat untuk tidak memberitahu perkara orang yang ingin mencelakai ayah tercintanya.
Genggaman tangan Kirana kuat selaras dengan tekad untuk melindungi keluarganya yang semakin bulat. Tanpa sadar, netranya sudah berembun.
“Kenapa Papa kembali bekerja jika Papa masih sakit?” tanya Kirana bersimpuh di depan lutut Balin.
“Kamu tentu tahu sendiri jawabannya, Kirana. Siapa yang akan mengurus perusahaan jika Papa tidur di brankar rumah sakit?”
Mendengar itu, Kirana hanya tersenyum kecut. Kirana tahu Papanya ingin dia mengurus perusahaan yang diwariskan dari Kakek Indra Irawan, ayah dari pihak ibu kandung Kirana.
Namun, Kirana lebih bangga mendirikan perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak keberatan jika Nakula atau Sadewa menggantikan posisi Balin sebagai CEO Irawan Group.
“Aku ingin secepatnya Papa menjalani pengobatan di luar negeri oleh dokter spesialis jantung terbaik. Urusan perusahaan Irawan group biar aku saja yang urus,” kata Kirana lembut.
“Benarkah?” tanya Balin yang tampak tidak percaya. Dia melirik Alexa yang sama tak percayanya.
Kirana mengangguk mantap.
“Akan aku urus tempat tinggal dan rumah sakit selama Papa di luar negeri. Mama juga harus ikut menemani Papa sampai Papa sembuh.”
“Kirana, kamu yakin bisa mengurus dua perusahaan sekaligus?” tanya Alexa menautkan alis.
Kirana menyeringai dan melirik ke arah si kembar.
“Tentu saja aku butuh bantuan Nakula dan Sadewa.”
“HAH?” si kembar terperangah bersamaan.
Melihat senyum penuh arti yang mengembang di bibir Kirana, si kembar tahu kalau Kakaknya itu memiliki rencana yang akan memberatkan mereka.
***
Dan hari di mana Balin akan menjalani pengobatan di luar negeri pun tiba.
Pagi buta, Balin dan Alexa bersiap menuju bandara. Di halaman rumah besar itu, mereka berdua mengobrol sejenak dengan Kirana sebelum pergi.
Tampak Juan yang memastikan semua barang bawaan tuannya telah masuk ke dalam bagasi mobil.
Nakula dan Sadewa masih di dalam kamar. Masih menyelam di alam mimpi mereka masing-masing.
“Maaf aku tidak bisa mengantar Papa dan Mama ke bandara.”
“Tidak masalah, Kirana. Lagian hari ini hari pertama kamu bekerja di Irawan Group. Pasti akan sangat melelahkan,” ucap Alexa yang langsung memeluk tubuh Kirana.
Balin menepuk bahu Kirana dan mengulum senyum padanya.
“Pa, ada yang aku ingin tanyakan,” kata Kirana sedikit bimbang.
“Tanyakan saja.”
“Apa Papa selama ini punya musuh?”
“Musuh?” ulang Balin sambil menaikan alis. Sekilas tatapannya beradu dengan Alexa.
“Iya. Mungkinkah Papa pernah memecat seseorang atau tanpa sengaja melakukan kesalahan pada orang lain?”
“Tidak,” sahut Balin.
Sekali lagi Balin menepuk bahu Kirana, dan hendak masuk ke dalam mobil, tapi langkahnya terhenti.
“Papa merasa tidak punya musuh. Musuh Papa sudah lama mati.”
Lalu Balin masuk ke dalam mobil yang melaju meninggalkan rumah besar.
Meninggalkan Kirana yang masih berdiri diam mematung, menatap mobil yang perlahan mulai menjauh. Benaknya tengah berpikir, sekiranya siapa yang ingin ayahnya celaka.
Papa tidak menyadari ada seorang pengkhianat bekerja di Irawan Group, dan akan lebih baik jika Papa tidak perlu tahu. Akan aku selidiki sendiri, Pa. Ucap Kirana dalam hati.
Kemudian Kirana masuk ke dalam kamarnya. Mandi di bawah guyuran air shower hangat.
Setelah itu, masih menggunakan handuk kimono, dia duduk di meja rias. Memandangi wajahnya yang polos tanpa make up.
Dengan gerakan yang cepat, tangan Kirana mengambil gunting di laci dan…
Srek.
Kirana menggunting rambutnya yang basah. Beberapa helaian rambutnya jatuh ke bawah meja rias. Dia terus menggunting rambut hingga panjangnya kini hanya sebahu.
Setelah rambut, Kirana sengaja memakai bedak yang memiliki warna agak gelap dari warna kulit aslinya.
Tujuannya agar wajah Kirana terlihat kusam. Dan hanya itu saja riasannya hari ini. Tidak ada polesan lipstik, eyeshadow, apalagi alis yang cetar membahana.
Beberapa menit berlalu, kini Kirana telah siap untuk bekerja di perusahaan warisan kakeknya itu. Sekali lagi Kirana memandangi bayangan gadis yang terpantul di cermin.
Dengan penampilannya saat ini, pasti semua orang tidak akan mengira jika dia adalah putri dari keluarga Mahendra.
Terlebih sang ayah tak pernah memperkenalkan Kirana ke media atau karyawan Irawan Group.
Lalu Kirana melangkah turun untuk menemui adik kembarnya di ruang makan.
“Good morning, Boys,” sapa Kirana.
Nakula yang belum mandi dengan rambut acak-acakan menjatuhkan sandwich yang hendak dia lahap. Melotot tak percaya melihat penampilan kakaknya.
Sedangkan Sadewa telah rapi memakai jas kantor, menengok ke arah pandang Nakula.
Sontak Sadewa langsung tersedak karena saat melirik Kirana, dia tengah menyeruput kopi. Bahkan cipratan kopi panas itu tumpah ke pakaiannya.
“Kak Kira?” ucap si kembar kompak.
“Kak Kira, mau kerja atau mengemis di pinggir jalan?” tanya Nakula yang masih terperangah.
Kirana berdecak kesal.
“Tentu saja kerja.”
“Tapi kenapa dandanan Kak Kira seperti itu?” Sadewa meneliti kembali penampilan Kirana sambil tangannya sibuk mengelap tumpahan kopi.
Kirana tidak menyahut. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati oleh Balin, yaitu di ujung meja. Lalu mengambil sepotong buah apel, dan memakannya.
“Hari ini hari pertama kita bekerja. Sadewa, kau bekerja di perusahaan cabang Red Riding Hood. Akan ada Sunny yang menjadi partner kerjamu,” perintah Kirana menunjuk salah satu dari si kembar.
“Aku Nakula, Kak.”
“Oke, maaf.”
“Hehe. Bercanda. Aku Sadewa kok.”
Kirana menggeram kesal. Namun sejenak dia bisa kembali mengontrol emosinya.
“Dan kau, Nakula. Akan bekerja di Irawan Group bersamaku. Tapi kau yang jadi CEO menggantikan Papa untuk sementara waktu.”
“A-Apa?” kali ini Nakula yang tersedak.
Dia menyambar segelas air putih dan meneguknya.
“Kalau aku CEO. Posisi kakak apa?”
Kirana menggigit lagi apelnya, tersenyum dan menjawab, “Office Girl.”
“What?!” si kembar bersamaan.
Kirana sudah memikirkan rencananya dengan matang.
Dan menurutnya menyamar menjadi office girl adalah posisi di mana dia bisa memantau gerak-gerik semua karyawan tanpa mereka sadari bahwa dirinya adalah anak pemilik perusahaan.
“Dan jangan panggil aku Kirana, tapi panggil aku Raya!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!