NovelToon NovelToon

Rahasia Alit

Ireng

Aku suka binatang sejak kecil, terutama kucing. Makanya, saat lihat Ireng di rooftop rumah, aku langsung mau membawanya masuk. Siapa sangka, kalau Ireng adalah kucing yang 'peka', sama sepertiku.

***

Saat pertama ketemu, Ireng baru berumur tiga bulan. Dia seperti ketakutan, 'ndepis', meringkuk di samping salah satu pot tanaman di rooftop. Aku menduga, mungkin dia lagi dikejar kucing jantan. Badannya gemetaran. Sampai-sampai, dia hanya diam dan menurut saat aku bawa menuruni tangga. Bahkan, dia tetap kalem saat aku mengguyurnya dengan air untuk dimandikan.

Kehadiran Ireng juga membuat papa jadi suka kucing. Papa selalu ingat untuk membeli dry food. Padahal sebelumnya, papa selalu cuek dengan kucing yang mampir ke rumah.

Ireng adalah kucing pintar dan periang. Tingkah lakunya sangat lucu. Apalagi ketika dia menemukan gulungan kertas atau kardus, kedua tangannya akan langsung menangkap benda itu sambil berguling-guling di lantai. Aku sekeluarga sangat terhibur dengan tingkah Ireng.

Biasanya, Ireng selalu mengikuti nenek ke warung untuk berbelanja. Ketika nenek berada di dalam warung atau mengobrol dengan tetangga, Ireng akan duduk menunggu. Seolah mengerti dengan aktivitas nenek, Ireng pun akan mendekat jika nenek mulai menjinjing belajaan dan bergegas pulang.

***

Suatu hari, aku terbangun sekitar jam 3 pagi. Karena haus, aku pun keluar kamar untuk minum. Saat berjalan menuju ke dapur, aku melihat Ireng sedang memandangi pintu depan. Aku penasaran, apa sih yang sedang dilihat Ireng sampai dia terpatung begitu? Aku pun mendekat dan membuka pintu depan. Ternyata, nenek sedang ada di luar, berdiri diam di dekat pagar, membelakangi pintu.

"Oh, nenek di depan rupanya. Pantas Ireng serius sekali memandangi pintu. Mungkin dia mau keluar," pikirku. Benar saja, Ireng langsung menghampiri nenek.

Aku pun lanjut menuju dapur untuk mengambil air minum. Saat itu, aku memang masih sangat mengantuk. Begitu meminum air, satu teguk, dua teguk, tiga teguk, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku baru tersadar kalau di luar masih gelap. Sedang apa nenek gelap-gelapan di luar? Memikirkan hal itu, perasaanku langsung tidak enak.

Dengan ragu-ragu, aku pun berjalan menuju pintu depan. Rumah masih dalam keadaan gelap, sumber cahaya hanya berasal dari lampu dapur, menambah suasana jadi makin mencekam. Dengan perlahan, aku pun membuka pintu depan. Begitu pintu terbuka, Ireng langsung lari masuk ke dalam.

"Kenapa Ireng?!" Tanyaku kaget, dengan setengah berbisik. Namun Ireng tetap lari menjauh dari pintu depan.

Aku mengintip ke depan, dan melihat nenek sudah tidak ada di situ. Kali ini, hanya ada seorang wanita berbaju kebaya dengan rambut disanggul. Posisinya dekat pintu, hanya beberapa meter dari tempatku berdiri, tapi masih membelakangi pintu. Dia berjongkok. Kepala berayun lambat ke kanan...kiri...kanan...kiri...

"Maaf Bu...sedang apa di sini?" Tanyaku dengan suara agak gemetar. Entah karena takut, atau karena kedinginan akibat udara pagi. Goyangan kepala perempuan itu pun berhenti saat mendengarku, dan entah kenapa, perasaanku tambah tidak enak. Aku pun langsung membanting pintu dan lari ke kamar. Saat itulah aku melihat nenek keluar dari kamarnya.

"Kenapa berisik sekali malam-malam begini?" Tanya nenek. Ternyata nenek masih tidur daritadi tapi terbangun karena mendengar suara bantingan pintu depan.

Lalu, siapa makhluk mirip nenek yang kulihat di depan? Dan siapa perempuan berkebaya itu? Aku mungkin akan bertanya kepada nenek, namun tidak sekarang. Tapi nanti, saat rasa penasaran sudah mengalahkan rasa takutku.

Rumah Nenek

Namaku Alit Permata, anak paling kecil dari keluarga Purnama. Aku tinggal bersama nenek, papa, mama, kakak, dan Ireng, kucing kesayanganku. Sehari-hari, mama dan papa sibuk dengan urusan kantor. Sementara kakakku, Luni, sibuk belajar untuk persiapan lulus SMA dan masuk kuliah.

Sejak setahun lalu, kami pindah ke rumah nenek. Tinggal di rumah nenek memudahkan kak Luni dan aku pergi ke sekolah, karena jaraknya lebih dekat. Lagipula, nenek tinggal sendirian setelah kakek meninggal.

Di rumah nenek, ada halaman luas dengan pepohonan besar. Suasana di sini sejuk, meskipun matahari bersinar terik di siang hari. Halaman rumah nenek sering menjadi tempat singgah kucing liar. Aku punya kegiatan ekstra bersama teman-teman di komunitas peduli kucing, yaitu memberi makan hewan liar dan juga mengikuti program sterilisasi kucing.

Orang-orang rumah pun jadi sering ikut aktivitas peduli hewanku. Apalagi sejak ada Ireng di rumah, mereka jadi suka kucing, terutama papa. Memang, tingkah lakunya sangat lucu dan menggemaskan. Tidak mungkin orang tidak jatuh hati melihatnya.

Ireng telah jadi bagian dari keluarga kami. Dia adalah kucing yang pintar. Kenapa aku bilang pintar? Salah satunya, karena dia mengerti kebiasaan nenek. Setiap pagi, nenek selalu mengajaknya belanja di warung dekat rumah.

Warung tempat nenek belanja berada di dekat taman komplek rumah. Di bangku taman itulah, nenek biasa duduk-duduk bersama para tetangga untuk sekadar ngobrol santai sambil berjemur. Nenek memang sering pergi ke taman itu bersama Ireng. Apalagi, nenek sering sendirian karena papa, mama, Kak Luni, dan aku punya aktivitas masing-masing di luar rumah.

Para tetangga mengenal nenek sebagai pembuat jamu. Banyak orang yang suka jamu buatannya. Tidak hanya orang tua, anak-anak muda pun juga banyak yang suka jamu buatan nenek.

***

Sehari-hari, nenek selalu berpenampilan rapi. Aku sering melihatnya sedang menyerasikan motif serta warna jarik dan kebaya yang akan dipakainya.

"Motif batik itu sarat akan makna dan selalu dibuat untuk berbagai momen," begitu kata-kata yang sering diucapkan nenek.

Nenek bertubuh ramping. Rambutnya yang sudah putih itu selalu digelung dengan dua tusuk konde di kanan dan kirinya. Wajahnya selalu tampak ramah, yang membuat nenek sangat disukai orang.

Bisa dibilang, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama nenek karena mama dan papa sibuk bekerja. Begitupula dengan Kak Luni yang berbeda dua tahun denganku. Dia sedang punya jadwal ketat untuk menghadapi ujian kelulusan sekolah. Lagipula, Kak Luni lebih suka kumpul-kumpul bersama teman-temannya. Sedangkan aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah.

Terkadang, Kak Luni merasa iri jika aku lebih dekat dengan nenek. Apalagi, nenek selalu membelaku ketika aku lupa mengerjakan tugas rumah, yaitu menyiram tanaman. Padahal, nenek juga selalu menjadi penengah dan bersikap netral saat aku dan Kak Luni bertengkar. Meskipun begitu, tetap saja Kak Luni cemberut dan tidak terima.

Aku merasa nenek menyayangi semua orang di rumah secara adil, baik itu papa, mama, kak Luni, dan juga aku. Setiap hari, neneklah yang menyiapkan makanan buat sekeluarga.

Akan tetapi, hanya aku yang bisa melihat sisi lain nenek yang misterius. Seringkali aku melihat sosok yang menyerupai nenek, seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya. Sampai-sampai aku banting pintu jam 3 pagi dan membangunkan seisi rumah. Kejadian semacam itu tidak hanya aku alami sekali dua kali. Tapi hingga sekarang, aku tidak tahu dan belum pernah bertanya kepada nenek mengenai hal tersebut.

***

Pada hari yang sama saat kejadian aku banting pintu di jam 3 pagi tersebut, mama dan papa memanggilku untuk sarapan bersama di ruang tengah. Di sana sudah ada Kak Luni dan nenek juga.

"Jadi gini, Alit, tadi aku dengar ada suara bantingan pintu jam 3 pagi, bener itu kamu? Kenapa? Kamu habis ngapain? Lagian, jam segitu kok belum tidur?" Kak Luni membuka obrolan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan dengan nada agak tinggi.

Dia memang agak bawel terhadap sesuatu hal yang belum jelas baginya. Berhubung aku anak paling kecil, aku memang sering jadi tumpahan kekesalan Kak Luni.

"..." Aku hanya terdiam dan sebenarnya agak kesal diberi pertanyaan betubi-tubi begitu.

Sementara itu, papa tetap bersikap tenang dan bertanya, "Kenapa, Alit?"

"Maaf, Pa, Alit ngga sengaja. Alit mau buka pintu buat Ireng, dia mau masuk rumah. Tapi pintunya kebanting, mungkin kena angin," kataku berbohong.

"Oh, Papa kira kamu banting pintu karena ketakutan lihat sesuatu," kata papa. Tebakan papa benar. Aku sampai kaget mendengarnya. Aku pun terdiam. Aku yakin, papa bisa lihat gelagatku. Dia jelas terlihat tidak puas dengan jawabanku, tapi papa tidak bertanya lebih detil.

Papa memang orang yang tenang dan tidak pernah mencecar seseorang. Dia selalu menghargai privasi orang lain, termasuk anak-anaknya.

Mama menghampiriku dan mengambilkan segelas air putih agar aku lebih tenang. Sedangkan Kak Luni...dia masih saja cemberut. Mungkin kesal, gara-gara aku, dia jadi terbangun dari tidurnya yang pulas tadi pagi.

Nenek hanya tersenyum mendengar percakapan kami. "Semua akan baik-baik saja, tidak usah cemas," kata nenek.

Kejadian itu memang membuat jantungku hampir copot karena ketakutan! Aku penasaran, takut, heran, semua campur aduk. Meskipun begitu, aku berusaha untuk tetap tenang, supaya mama, papa, dan Kak Luni tidak banyak bertanya. Aku harus meredam rasa penasaran ini untuk sementara, dan butuh kesabaran dalam mencari jawabannya.

***

Pernah sekali waktu, aku melihat sosok mirip nenek lagi. Kala itu matahari sudah bersinar terik. Rumah sedang sepi karena papa dan mama sedang bekerja, sedangkan nenek sedang pergi ke warung. Hanya ada aku yang sedang makan siang sendirian di dapur, dan Kak Luni yang sedang tidur siang di kamarnya.

Saat aku sedang asyik mengunyah, tiba-tiba pandanganku tertuju ke ruang tengah. Dari tempatku duduk, aku memang bisa melihat ke ruang tengah dari pintu dapur yang aku biarkan terbuka. Di situlah, aku melihat lagi sosok mirip nenek yang sedang menari gemulai seakan mengikuti irama. Aku hanya bisa diam terpaku memandang sosok itu. Tidak tahu berapa detik atau menit sudah aku habiskan. Hingga akhirnya Kak Luni, yang baru bangun tidur, tiba-tiba masuk ke dapur.

"Heh bengong aja," kata dia mengagetkanku.

Kak Luni sepertinya tidak melihat sosok itu. Benar saja, begitu aku menengok lagi ke ruang tengah, wanita itu sudah tidak ada.

"Aneh," pikirku. Aku tahu, nenek memang pintar menari. Tapi, nenek kan lagi di warung. Ah sudahlah, lagi-lagi aku buang saja rasa penasaranku.

***

Sejak aku tinggal di rumah nenek, memang banyak kejadian aneh yang kualami. Hanya aku. Mama, papa, dan Kak Luni tidak mengalaminya. Sedangkan nenek...entah makhluk macam apa yang sudah ditemuinya. Aku yakin, pasti lebih aneh dari pengalamanku.

Hantu Toilet

Banyak orang yang percaya kalau hantu itu ada di mana-mana. Hal itulah yang membuat sosok ini selalu dikait-kaitkan dengan sebuah tempat. Hantu toilet misalnya.

Menurutku, toilet menjadi tempat yang cukup sering menjadi tempat munculnya makhluk halus. Aku yakin, beberapa di antara pembaca pun ada yang pernah mengalaminya. Atau setidaknya, pernah mendengar cerita hantu toilet.

Aku pun pernah mengalaminya. Bukan di rumah nenek kali ini, tapi di mal. Ya, di mal! Bayangkan saja, di tempat ramai begitu, sempat-sempatnya ada hantu yang mengganggu.

***

Pada suatu Minggu, aku pergi ke mal bersama kedua temanku, Ara dan Monet, untuk mengisi waktu libur. Mal yang kami tuju cukup besar dan merupakan salah satu mal yang paling terkenal di kota ini. Elit, bisa dibilang. Yang berbelanja di sana, hanya orang-orang berkantong tebal saja. Barang-barang yang dijual semua 'branded', alias barang mahal dengan merek terkenal.

Sebagai anak sekolahan, tentu saja aku dan teman-teman hanya berniat untuk nongkrong dan cuci mata. Maklum saja, kami belum punya cukup uang untuk belanja barang-barang mahal.

Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Saat kami sedang asyik melihat-lihat barang diskon, Monet tiba-tiba mengeluh sakit perut.

"Haduh, mules nih. Aku ke toilet dulu ya. Tememin yuk!" Kata Monet. Aku dan Ara meng-iya-kan ajakan Monet. Kami pun langsung berjalan menuju toilet. Sesampainya di sana, ternyata toilet ramai dan antre.

"Duh, udah ngga tahan. Kita ke toilet lantai dua aja, yuk," kata Monet.

"Kalau ke lantai dua, aku ngga ikut ya. Masih mau liat-liat diskon nih," kataku.

"Oke, ngga apa-apa kita berdua aja," kata Ara.

Saat itu, kami berada di lantai satu. Untuk menuju toilet lantai dua, Monet dan Ara naik eskalator. Lantai dua memang lebih sepi pengunjung. Mungkin karena toko-toko diskon ada di lantai satu, jadi hampir seluruh pengunjung mal berkumpul di sana. Untung saja, toiletnya berada dekat dengan eskalator dan balkon. Aku bisa melihat mereka dari toko diskon di lantai satu.

Saat sedang memperhatikan Ara dan Monet yang berjalan menuju toilet, tiba-tiba ada sekelebat bayangan melayang di plafon mal. Sosok tersebut seperti memakai setelan baju hitam ketat terbungkus hingga kaki. Kepalanya pun juga tertutup kain hitam. Makhluk tersebut melayang turun dari plafon sambil berjoget mengikuti alunan musik di mal. Seluruh tubuhnya pun ikut bergoyang.

"Makhluk apa itu? Kok lucu ya, ngga seram, tumben," pikirku bingung.

Aku pun penasaran dan kemudian naik ke lantai dua dengan eskalator. Ketika aku sampai di ujung eskalator lantai 2, Monet dan Ara hampir sampai di lorong toilet. Ara menunggu di mulut lorong sambil bermain HP, sedangkan Monet berjalan melewati lorong menuju toilet.

Sosok itu terus melayang sambil berjoget ke arah toilet dengan posisi membelakangiku. Aku terus menatapnya, sontak, sosok itu menoleh ke arahku yang masih berada di ujung eskalator lantai dua. Dia menoleh, TANPA menggerakkan badannya. Kepalanya berputar 180 derajat, sedangkan tubuhnya masih membelakangiku.

Saat sosok itu menoleh, wajahnya sangat seram. Dia menyeringai. Tampak giginya yang besar dan bertaring. Matanya tidak berkelopak, dan rambutnya tidak terlihat karena terbungkus kain hitam.

Aku dan makhluk itu berjarak sekitar tujuh meter. Sedangkan Ara, yang berjarak lebih dekat dengan makhluk tersebut, terlihat biasa saja. Sepertinya dia tidak bisa melihatnya. Jika Ara atau Monet melihatnya, pasti mereka sudah berteriak ketakutan. Aku pun sebetulnya takut. Tapi karena sering melihat makhluk tak kasat mata di rumah nenek, aku jadi sedikit terbiasa.

"Ternyata seram juga, aku pikir lucu," pikirku dalam hati.

Meskipun Ara adalah gadis pemberani, aku tetap merasa kasihan jika dia diganggu oleh makhluk tersebut. Jadi, aku putuskan untuk menemaninya. Rupanya, makhluk tersebut langsung menghilang ketika aku menghampiri Ara.

Ara yang sedang bermain game di HP, kaget melihat aku tiba-tiba ada di sampingnya. Aku tidak menceritakan kejadian yang baru kualami. Kami mengobrol, dan saat melihat jam ternyata sudah cukup lama kami menunggu Monet. Kira-kira sudah 15 menit, Monet belum juga keluar dari toilet itu.

Kami pun memutuskan untuk ke toilet dan melihat keadaan Monet. Saat Ara membuka pintu toilet, kami melihat Monet sedang berdiri di balik pintu masuk.

"Ngapain kamu? Kok bukannya keluar, malah berdiri di situ?" Tanya Ara yang kebingungan.

Selama beberapa saat, Monet memandangi kami secara bergantian. Setelah itu, Monet bergegas keluar dan menarik tangan kami. Dia memberi isyarat agar kami cepat pergi dari tempat itu.

Terlihat jelas, Ara tampak kebingungan. Sedangkan aku sudah curiga, pasti ada yang tidak beres.

"Mungkinkah dia diganggu makhluk yang tadi?" pikirku dalam hati.

Sesampainya di luar toilet, Monet berhenti berjalan dan berusaha untuk mulai menjelaskan. Dengan suara tersendat, dia menceritakan kejadian yang dialaminya di toilet itu.

"Pas baru masuk, aku emang agak takut karena sepi banget. Aku sendirian di dalam toilet itu," Monet mulai bercerita. "Jadi aku pastikan untuk masuk ke bilik pertama yang dekat dengan pintu masuk. Supaya pas selesai, aku bisa langsung cepat keluar."

Monet menekankan bahwa dia ingat semua yang ada di toilet itu, mulai dari letak pintu keluar, wastafel, dan juga bilik-biliknya.

"Pertama, aku melihat ada empat bilik di dalam toilet, dua di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Dekat pintu masuk, terdapat bak kecil untuk menyimpan alat kebersihan, seperti sapu, sikat panjang dan cairan pembersih. Nah, aku menggunakan toilet di bilik kiri depan," lanjutnya.

Kemudian, Monet menjelaskan bahwa setelah selesai buang air besar, dia langsung buru-buru keluar bilik. Tapi anehnya, dia tidak bisa menemukan gagang pintu yang menuju keluar toilet.

"Pas keluar dari bilik, aku langsung menuju pintu keluar. Tapi, pintu keluarnya ngga ada! Aku raba-raba temboknya, tapi pintunya ngga ada, HILANG! Padahal, aku yakin pintunya ada di sini. Pas lihat sekeliling pun, aku tetep ngga nemu pintu keluarnya, cuma ada dinding putih aja," ucap Monet sambil sedikit berkaca-kaca.

Monet bercerita, dia mulai merinding ketakutan saat itu. Tiba-tiba, dia mendengar suara laki-laki yang berkata: no way out. Dia melihat kanan kiri, atas bawah, tapi tetap tidak bisa menemukan sumber suara.

"Aku yakin ngga ada orang. Terus, suara itu muncul lagi sampai tiga kali!" lanjutnya. "Aku tambah takut, jadilah aku cuma diam berdiri sambil baca doa. Sampai akhirnya, kalian jemput aku di toilet. Aku lega banget. Terima kasih ya Ara dan Alit."

Monet masih gemetar saat dia menyelesaikan ceritanya. Ara pun langsung mengelus punggungnya.

"Udah tenang aja, sekarang udah aman, ada kita-kita," kata Ara.

"Oh iya, dan benar kan, tembok yang aku raba-raba itu emang tempat pintu keluar. Untung ada kalian. Kalau ngga, aku bisa kejebak di sini," ujar Monet.

Mendengar cerita Monet, aku jadi berpikir, apa mungkin itu ulah hantu yang tadi? Berarti dugaanku benar, hantu tersebut memang mencari sasaran orang yang berada di toilet.

Sejak itulah, aku, Ara, dan Monet, jadi percaya bahwa hantu toilet itu memang ada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!