“Hey!” seseorang menepuk pundak Ayumi sangat keras.
Gadis yang sedang duduk di meja dengan semangkuk mie di hadapannya itu menoleh.
“Una.” Katanya sambil mendegus pelan, juga kedua bola mata yang mendelik.
Una hanya tersenyum, kemudian dia duduk di samping Ayu, meletakan sepiring makan siangnya.
“Mienya jangan di aduk-aduk melulu! Di makan ... nanti kalo keburu ngembang Nggak enak!” katanya seraya menepuk lengan Ayu, lalu menyantap makan siangnya dengan riang.
Sementara Ayu masih diam dengan pikiran yang melayang entah kemana.
“Ayumi Kirana!” Una Kembali membuyarkan lamunan teman kerjanya itu.
“Apaan sih Una! Udah makan aja, … jangan ngagetin aku terus.” Sergah Ayu sembari memukul bahu Una.
Una hanya terkekeh, sikap temannya beberapa hari terakhir ini memang terlihat sedikit berbeda, dia lebih banyak diam dan tidak seceria biasanya.
“Makanya kalau lagi di deketin tuh agak baikan sedikit jadi cewek!” sindir Una kepada Ayumi.
Ayumi mencebikan sudut bibirnya, dan mulai memakan mie kuahnya yang mulai terasa dingin.
“Udah nggak di kejar lagi nyesel! Dikasih tahu ngeyel sih. Patah hati yang kedua kalinya kan!?” sindirnya lagi hingga membuat Ayumi menoleh dan menatap Una dengan sorot mata tajam.
“Temennya di semangatin kenapa sih! Ini dari kemarin malah di sudutin melulu.” Ucap Ayumi pelan.
“Nah kan, … dia ngaku sendiri kalau lagi patah hati!” Una terkekeh pelan. “Kemarin nggak mau ngaku kalau lagi mikirin si tato kepala Ular.” Sambungnya lagi.
Ayumi mengalihkan pandangannya Kembali, mulai makan sampai semangkuk mie miliknya tandas tanpa sisa.
“jadi, … gimana sekarang?” tanya Una, lalu dia menyesap es jeruk milik Ayumi.
“Kebiasaan!” Ayumi menarik gelas es jeruk miliknya, dan menyesapnya sampai habis dengan segera.
Sementara Una hanya tertawa melihat Ayumi kesal. Gadis itu memang benar-benar tidak pernah marah meski dia terus menggoda dan menguji kesabaranya.
“Pak Randy udah nggak pernah kirim pesan manis, romantis dan penuh cinta lagi sama kamu?” kini Una terlihat serius.
Ayumi diam, dia menundukan kepalanya.
“Mungkin dia lelah setiap dia kirim pesan Cuma aku read doang.” Jawab Ayumi pelan.
Gadis itu terlihat sangat menyesal.
Una menghela nafasnya kencang, lalu merangkul Pundak Ayumi dan memeluknya erat.
“Terus setelah Pak Randy nggak kirim pesan lagi, … gimana perasaan kamu? Bahagia? lega?” Una menyindir.
Ayumi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hape aku jadi sepi banget! Aih, … kok jadi nyesel kaya gini sih. Mau kirim pesan duluan gengsi, tapi kalo nggak … kok aku kangen yah kata-kata nyeleneh dia tapi romantis.” Ayu memekik pelan.
Setelah itu dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, menyembunyikan wajah yang memerah akibat mengingat pesan-pesan romantis yang beberapa Minggu terakhir selalu Randy kirimkan.
“Kalau udah kaya gini mau gimana dong? Pak Randy udah nggak pernah kesini lagi.”
Ayu menjawab dengan gelengan kepala lagi.
“Lagian kemarin aku lihat dia sama Dokter cewek yang temennya itu lho. Mungkin itu juga alasannya, Na! dia udah dapet yang lebih dari segala hal. Lebih cantik sama lebih setara sama dia, di bandingkan aku yang Cuma seorang office girl. Itupun aku masuk kerja karna ada orang dalem.” Ayumi murung, dia tampak sedang mengungkapkan rasa kekecawaannya.
Una mengulum senyumnya, lalu memberi tepukan pelan di bahu Ayumi.
“Dokter itu kan kerja di bawah naungan Pak Raga juga, bisa jadi mereka hanya kebetulan sedang bersama saja, … lagian kamu liat mereka dimana deh?”
“Haah!” Ayumi menghela nafasnya, dia berusaha menghalau rasa sesak yang terus menguasai diri.
Ayu menatap wajah Una yang saat ini duduk di sampingnya dengan wajah sendu.
“Jangan bahaslah! Dada aku sesak kalau inget itu. Mereka terlihat sangat dekat, tidak seperti rekan kerja pada umumnya.” Ucap Ayumi kemudian dia bangkit.
Una diam, menengadahkan pandangan saat Ayumi berdiri di sampingnya.
“Ayok, jam istirahat sudah hampir selesai. Kita harus cepat agar Bu Tara tidak mengomel lagi!” tukas Ayu yang langsung di jawab anggukan oleh temannya itu.
Una meraih lengan Ayumi, dia mengandengnya dengan erat, kemudian meninggalkan area kantin tempat mereka bekerja.
“Aneh bukan? Bu balqis sangat baik, tapi justru para pegawainya yang besikap lebih angkuh.” Una berbisik.
“Memang sudah hukum alam. Atasan akan lebih berkuasa, … dan tidak jarang mereka menindas orang-orang seperti kita hanya karena mereka merasa berada di atas kita.” Jawab Ayu sambil terus berjalan.
“Yups, … dan terkadang aku lelah dengan pekerjaan ini! Selain fisik, mental kita juga di tekan habis-habisan.” Keluh Una.
Ayumi menoleh, kemudian tersenyum.
“Bersabarlah sampai kita mempunyai uang tabungan yang cukup. Setelah itu kita kuliah, lanjutkan Pendidikan dan cari pekerjaan yang lebih baik dari sekarang.” Katanya seraya menepuk tangan Una.
“Aku setuju dengan usulan mu.” Jawab Una sambil tersenyum.
***
Ayumi memutar kunci pintu kamar kostnya beberapa kali, menekan handle pintu dan mendorongnya perlahan kemudian masuk.
Dia menutup pintu itu Kembali, berjalan kearah tempat tidur berukuran kecil dan menghempaskan tubuhnya keatas sana.
Brugh!
Tubuhnya berbaring telengtang, menatap langit-langit kamar kostnya yang berukuran kecil.
“Kenapa semakin hari terasa semakin melelahkan!” ucap Ayu dengan suara pelan.
Ruangan yang terlihat nyaman. Rapih dan tidak terlalu di penuhi barang-barang. Tentu saja, tempat itu hanya dia jadikan tempat melepas penat setelah berjibaku di kerja, dan gadis itu akan pulang kerumah orang tuanya saat libur kerja tiba.
Perjalanan dari rumahya memang sedikit memakan waktu, sampai sang ibu mengusulkan agar putri bungsunya menyewa sebuah kamar kost di dekat tempat kerjanya.
Cukup lama Ayu berdiam diri dengan segala pikiran yang terus berputar di kepalanya. Akhirnya dia Kembali meraih tote bag, dan membawa ponsel miliknya keluar dari sana.
Ayu menekan tombol power, mencari salah satu aplikasi dan melihat beberapa pesan yang Randy kirimkan beberapa minggu lalu.
[Ternyata hanya saya yang tertarik dan memiliki perasaan kepada mu. Sementara kamu tidak, saya sudah salah faham atas sikap ramah mu kepada saya. Maaf sudah sering mengirimkan pesan tidak penting akhir-akhir ini. Setelah ini saya tidak akan melakukannya, karena saya tahu ini akan sangat mengganggu. Tentu aku sangat mengganggu mu bukan? Sampai kau tidak berniat membalas pesan dari saya, terlebih kini kau lebih sering menghidar, padahal setelah cukup dekat kita suka berbicang bersama, kini semuanya berbeda. Dan itu karena diri ku, sekali lagi maaf telah mengganggu dengan banyak pesan tidak penting yang pernah saya kirim kan.]
Itulah pesan terakhir yang Randy kirimkan untuknya. Seorang pria tampan yang memiliki kasta satu tingkat lebih tinggi diatasnya.
“Kumohon kirimkan aku satu pesan saja! Dan Aku janji akan membalas dengan segera. Jangan diam kumohon, sekarang aku merasa kesepian.” Katanya pelan dengan rasa sesak yang terus menjalar di dalam dada.
Ayumi menahan nafasnya, dengan kedua bola mata yang membulat sempurna saat melihat nomor Randy dalam keadaan online.
“Apa anda tidak berniat mengirimkan pesan.” Ayumi bermonolog, dengan debaran di dada yang terus meningkat.
Dia terus menatap layar ponselnya penuh harap. Namun helaan nafas penuh kekecewaan terdengar saat kontak Randy Kembali offline.
“Tidak apa-apa Ayumi. Mungkin nanti malam, besok pagi, atau kalau tidak lusa Pak Randy akan Kembali menghubungi mu.” Dia tersenyum, berusaha membuat hatinya senang.
Meski sudah jelas dia tidak akan melakukan itu. Tentu, isi pesan terakhirnya sudah sangat jelas bukan? bahwa pria itu tidak akan lagi mengganggu nya.
Sekitar satu jam Ayumi berdiam diri. Akhirnya dia bangkit, dan berjalan gontai kedalam kamar mandi untuk segera membersihkan diri, setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan yang cukup melelahkan.
Pintu kamar mandi itu tertutup rapat, dan tidak lama setelahnya suara gemercik air mulai terdengar, di selingi suara Ayumi yang bersenandung pelan.
Sekitar dua puluh menit Ayu berada di dalam sana, akhirnya dia keluar. Berbalut handuk dengan keadaan yang terlihat segar.
Dia berjalan keraha lemari plastik, tempat dimana beberapa pasang baju tersimpan disana, karena dia tidak terlalu banyak membawa barang saat keluar dari rumah kedua orang tuanya.
Toh hanya pergi bekerja, dan bukan sedang melarikan diri dari Ali dan Tutih, apalagi dari kenyataan, pikirnya.
“Ayumi?” Seseorang terdengar memanggil, diselingi suara ketukan pintu yang terdengar cukup kencang.
Gadis yang sedang memilah pakaian untuk di kenakannya pun menoleh.
“Sebentar.” Katanya, lalu menarik satu kaos hitam polos dan legging Panjang dengan warna senada.
Dengan segera dia memakai pakaiannya, kemudian menggulung rambut dengan handuk dan berjalan kearah pintu.
Trek, … klek!!
Ayumi menarik pintu kamar kostnya sampai terbuka sedikit.
“Tumben kesini. Biasanya kalau di ajakin aja bilangnya cape!” sindir Ayu sembari menatap Una yang saat ini berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Una hanya tersenyum, kemudian menggerakan alisnya keatas dan kebawah.
“Cari makan yuk. Telor sama mie terus bosen.” Dia tampak mengeluh.
Ayu mengangguk, dia membuka pintu kamar kostnya semakin lebar, mempersilahkan Una untuk masuk kedalam ruangan kecil yang sedang di tempatinya itu.
Una duduk di tepi Kasur tidur yang di gelar di bawah lantai, memperhatikan Ayumi yang sedang mengusak rambut basahnya di depan kaca yang menggantung berukuran sedang.
“Keburu gelap Ay!” Protes Una sambil terus mempehatikan Ayumi.
Gadis itu menoleh, lalu memutar kedua bola matanya.
“Mau nyari makan apa?” dia menggantung handuk miliknya, lalu berjalan kearah Una setelah merapihkan rambut Panjang itu terlebih dahulu.
Ayumi meraih ponselnya, menekan tombol power hingga membuat layar benda pipih itu menyala.
Sepertinya dia tidak akan mengirim pesan lagi kepada mu Ayumi. Batinnya berbicara penuh kekecewaan.
Saat Randy benar-benar tak lagi mengirimkan pesan kepada dirinya.
Una melirik sekilas, kemudian Kembali mengalihkan pandangan saat Ayu juga mulai melihat kearahnya.
“Ada uang berapa? Jadi mau keluar nyari makan apa?” Ayu bangkit.
Dia berjalan kearah gantungan baju dan membawa jaket denim miliknya.
“Nasi kucing?” Una berusul dengan semangat. “Uang aku sisa lima puluh ribu, padahal gajian masih sepuluh hari lagi.” Dia tertawa kencang.
“Yasudah, ayok kita cari nasi kucing di dekat sini.” Kata Ayumi.
Dua gadis itu segera bergegas, berjalan keluar dari ruangan kecil itu untuk mencari sebuah makanan dengan harga yang bisa dibilang cukup terjangkau.
***
Langit sudah berubah menjadi gelap, hilir angin berhembus terasa cukup kencang, menemani kedua gadis belia yang sedang berjalan menyusuri trotoar pada hampir pukul tujuh malam.
“Nggak ada!” Ayumi menatap Una sekilas, kemudian Kembali memandang lurus kedepan.
Una menggaruk pelipisnya perlahan.
“Padahal kita sudah jalan sejauh ini.” Keluah Ayumi.
Una menghentikan langkahnya.
“Jadi, … mau bagaimana? Mau balik lagi?” tanya Una.
Ayumi menghela nafasnya pelan, dia memejamkan mata beberapa detik, dan kembali membukanya.
“Kita sudah jalan sejauh ini? Terus kembali dengan tangan kosong? Sementara perut aku udah keroncongan lho!” Ayumi berujar.
Dia terlihat sedikit kecewa.
“Mau lanjut? Kita sudah mau sampai di dekat halte kantor lho! Yakin di daerah sana nggak bakalan ada yang jualan kek begitu. Kawasan elit Ay!” Una berujar.
“Lihat saja dulu! Siapa tahu ada orang kaya gabut, terus jualan nasi kucing, kan kita nggak tahu.” Ayumi kembali melanjutkan langkah kakinya.
Una hanya menurut, dia ikut berjalan cepat, berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Ayumi.
Keduanya berjalan semakin jauh, dan sampailah di Kawasan perkantoran tempat mereka bekerja setiap harinya. Pandangan Ayumi beralih, menatap sosok Wanita renta yang sedang duduk di kursi haltet sendirian.
“Kenapa berhenti?” Una bertanya.
“Kaya kenal sama Ibunya! Tapi siapa yah?” Ayumi berbisik.
Una menatap Wanita paruh baya itu sekilas, lalu kembali menatap Ayumi. Sampai sorot mata keduanya bertemu.
“Coba samperin. Kasian, … siapa tahu dia lagi tersesat!” Una berbisik.
Ayumi menatap wajah temannya lekat-lekat.
“Yang benar saja. Mana mungkin tersesat di kota, … tersesat itu di hutan!” pekik Ayumi sembari melangkahkan kaki.
Wanita itu menoleh, saat merasa seseorang berjalan mendekat kearahnya.
Dia tersenyum.
“Sendirian Bu?” Ayumi menyapa dengan senyum manisnya.
Wanita itu mengangguk, seraya tersenyum membalas senyuman kedua gadis cantik yang kini datang menghampirinya.
Seperti pernah bertemu! Tapi dimana yah. Batin Wanita itu berbicara.
Dia menatap Ayumi dengan seksama. Bahkan membuat sang gadis salah tingkah karena di tatap dengan sedemikian rupa.
“Emm, … apa Ibu membutuhkan bantuan kami? Malam-malam sendirian di halte begini tidak baik. Terlebih ini kota besar, dan … banyak preman yang akan datang dengan niat buruk mereka, saya juga pernah di palak dulu!” Ayumi merancau.
Sementara Wanita itu hanya tersenyum.
“Kalian ini gadis baik yang baru saya temui, di saat semuanya acuh, justru kalianlah yang mendekat. Tapi tidak apa-apa, kalian tidak usah khawatir. Saya mempunyai anak laki-laki yang hobi bakuhantam, … preman itu akan habis jika dia mengetahui ibunya sedang di perlakukan tidak baik.” Ungkapnya sembari tersenyum bangga.
“Jadi, … tidak apa-apa kalau kami tinggalkan? Disini? Sendirian?” cecar Una.
Wanita itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Kami duluan Bu, kalau ada apa-apa teriak saja!” Ayu berpesan.
“Sebenarnya yang harus berhati-hati itu kalian. Anak gadis keluar di malam hari, dan hanya berdua.”
Ayumi tertawa pelan.
“Kami sudah biasa Bu.” Ayumi menepuk bahu Una, memberi isyarat agar dia juga segera berpamitan.
Una sedikit membungkukan tubuhnya.
“Mari Bu. Kami lanjut nyari nasi kucing lagi!” Una berujar.
Setelah itu mereka berdua segera bergegas, berjalan cepat dengan Ayumi yang berjalan terlebih dulu memegangi lengan Una cukup kencang.
“Beli nasi kucingnya nggak usah di sebut juga.” Cicit Ayumi dengan perasaan malu dan sedikit kesal.
“Ish keceplosan.” Rengek Una dengan suara tak kalah pelan.
***
Mobil SUV silver milik Randy mulai melamban, kemudian menepi dan segera berhenti saat dia sampai di sebuah halte tempat bus yang selalu ibunya tumpangi berhenti.
“Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa aku bawa pulang, jadi maaf jika Ibu menunggu sedikit lama.” Ucapnya pada sosok Wanita yang saat ini sedang duduk menengadahkan pandangan kearahnya.
Dia meraih sebuah tas besar yang terletak di samping ibunya.
“Ibu baru saja sampai. Tadi di temani dua gadis cantik, yang satunya Ibu berasa kenal. Tapi tidak tahu siapa!” Wanita itu berjalan mengikuti Randy.
“Oh yah? Lalu kemana mereka?” Randy menoleh, melihat ibunya yang berjalan pelan.
“Sudah pergi, katanya mau cari nasi kucing.” Dia menjawab, kemudian naik dan duduk di kursi samping kemudi.
Randy tersenyum.
“Baiklah ayok kita pulang, maaf membuat ibu menunggu.” Randy tersenyum.
“Hemmm, … padahal Ibu bisa naik bus sekali lagi! Tapi kamu melarangnya, Ibu merasa tidak enak karena selalu membuat mu sulit saat akan berkunjung kesini.”
Randy hanya mengulum senyum, lalu menutup pintu mobilnya setelah merasa ibunya duduk dengan nyaman.
Pria tinggi bertubuh kekar itu berjalan cepat memutari mobil, masuk dan segera menutup pintu mobilnya rapat-rapat.
Randy memutar setir mobilnya, menatap sekitar dan langsung memacu kendaraan roda empat setelah merasa aman dengan kecepatan sedang meninggalkan halte tersebut.
Keesokan harinya saat jam sudah menunjukan pukul 06:45 Wib.
Ayumi menatap dirinya dari pantulan kaca. Merapihkan seragam kerjanya, juga tak lupa mengikat rambut hitam yang kini sudah semakin memanjang.
Setelah itu dia beralih pada sebuah rak kecil, membukanya perlahan dan membawa sebuah botol parfume, lalu menyemprotkan beberapa kali.
Aroma manis dan segar menyugar indera penciumannya.
"Baik, ayok kita berangkat." Ucapnya sembari menunjuk dirinya yang ada di dalam pantulan kaca, kemudian tersenyum.
Gadis itu meraih tasnya, lalu melangkahkan kaki kearah pintu untuk segera memulai aktivitas yang selalu dia lakukan setiap harinya, bekerja sebagai office girl di salah satu perusahaan yang bisa di bilang cukup besar.
Klek!
Ayumi keluar, memakai flatshoes lalu menarik pintu kamarnya sampai tertutup rapat dan tak lupa menguncinya.
"Tumben baru mau berangkat? biasanya pagi-pagi banget!" Suara bariton itu tiba-tiba saja terdengar.
Ayumi menoleh kearah suara, kemudian dia tersenyum ramah.
"Iya Mas." Sahut Ayu.
"Kenapa? kerjaannya udah semakin enak yah?!"
Ayu mengulum senyum, dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Datang terlalu pagi juga nggak enak, Mas. Toh gajinya sama saja!" Gadis itu berujar. "Kalau begitu saya jalan dulu, mari Mas Gani." Katanya lagi, dan segera beranjak pergi setelah berpamitan terlebih dahulu, pada pria yang menempati kamar yang berada persis di samping kamarnnya.
***
Suasana jalanan sudah terlihat begitu ramai. Maklum saja, hampir sebagian besar orang-orang yang hidup di Ibu Kota tercinta ini memulai aktivitasnya.
Sama halnya dengan Ayumi, gadis yang sedang merangkak untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Dia berangkat saat cahaya matahari masih terasa lembut, dan pulang saat cahaya matahari mulai meredup.
Ayumi terus berjalan cepat, melewati beberapa keramaian pada pagi hari ini. Keringatnya mulai bercucuran, nafasnya juga terdengar tersenggal-senggal, berusaha mengejar waktu yang mungkin sebentar lagi jam masuk kerjanya akan tiba.
"Selamat pagi Pak?" Sapa Ayumi kepada seorang security, saat dia tiba di lobby utama tempatnya bekerja.
"Tumben datang siang Neng."
"Niatnya jalan kaki mau irit Pak." Ayumi tersenyum samar. "Masih ada waktu kok, sepuluh menit lagi, Pak!" Sambungnya lagi.
Setelah itu Ayumi kembali melangkahkan kakinya setengah berlari, berusaha menjangkau pintu lift yang hampir saja tertutup, tapi kembali terbuka saat se-sosok tangan kekar terulur.
Tiba-tiba saja langkah Ayumi terhenti, dia tertegun saat mendapati sosok pria yang berada di dalam lift sana.
"Masuklah Ayumi." Ucap seorang pria dengan bayi laki-laki tampan yang berada diatas gendongannya.
Ayumi tersenyum samar, menganggukan kepala, kemudian masuk kedalam sana.
"Terimakasih." Ayumi berucap dengan suara pelan.
Dia mundur, hingga posisinya kini berdiri bersisian dengan Balqis juga seorang perempuan dengan seragam baby sitter.
Suasana di dalam sana cukup hening, hampir semua orang diam, dan hanya celoteh si tampan Bara yang terdengar beberapa kali.
Ting!
Suara itu terdengar, saat kotak besi itu berhenti, dan tidak lama pintu lift pun terbuka.
"Saya duluan. Bu, ... Pak, ... Mbak." Pamit Ayumu seraya membungkukan sedikit tubuhnya.
Raga menganggukan kepala.
"Emm, ... Ayumi? boleh minta kopi pahit sama teh manis hangat dua yah." Pinta Balqis.
Ayumi tersenyum sembari menganggukan kepala.
"Yang saya jangan terlalu manis." Sambung Balqis lagi.
"Iya Bu, saya buatkan dulu."
Ayumi langsung berlari kearah pantry, meninggalkan Raga, Balqis dan pengasuh putra mereka begitu saja.
Entah kenapa jantungnya terus berpacu. Berdebar dengan sangat kencang, padahal yang dia temui Raga, bukan Randy. Si Asisten tampan yang mulai memenuhi segala isi kepala dan pikirannya.
Ayumi membuka loker miliknya,! memasukan tas dan segera membuatkan minuman yang Balqis minta.
***
"Bara sini sama Mami, Nak. Papinya mau berangkat kerja dulu." Wanita itu tersenyum kearah putranya.
"Nanti dulu." Raga menjauhkan putranya dari jangkauan Balqis sang istri.
Balqis memutar bola mata, lalu menghela nafasnya kencang. Sementara pria itu, pergi begitu saja, duduk di sofa dan kembali bermain dengan Bara, yang saat ini berusia 6 bulan.
"Raga ..."
Belum selesai Balqis berbicara, pria itu sudah menoleh dan memberinya tatapan tajam.
"Aih! baiklah Papi sayang, biarkan Bara bersama Aku dan Santi." Balqis melihat pengasuh putranya yang kini duduk di luar dari celah pintu yang terbuka sedikit lebar.
Dia berjalan mendekat, kemudian duduk di samping Raga dan berusaha meraih bayi mungil dan tampan kesayangan nya.
"Sayang!" Raga menatap Balqis penuh permohonan.
"Nanti bertemu lagi Papi! sekarang berangkat kerja dulu."
Bayi itu tersenyum kearah ayahnya, sampai membuat perasaan Raga semakin tak mau meninggalkan istri dan putra kecilnya itu.
"Kenapa kalian ini suka sekali berjauhan dengan ku. Sementara aku tidak bisa, aku akan selalu merindukan kalian!" Dia merengek-rengek, persis seperti anak kecil yang sedang meminta coklat kepala ibunya.
Balqis terkekeh.
"Nanti Randy akan menggerutu lagi! kamu terlalu mengandalkan dia akhir-akhir ini, sementara pekerjaannya juga sudah sangat banyak."
Raga menghelas nafas.
Tok tok tok!
Seketika pandangan keduanya tertuju pada pintu ruangan yang terbuka.
Dan disanalah Ayumi, berdiri seraya memegangi nampan dengan senyuman lembut seperti biasa.
"Kopi dan teh nya Bu." Ucap Ayumi pelan.
Balqis membalas senyuman hangat Ayumi, menggerakan tangan, mengisyaratkan agar gadis itu segera masuk.
Ayu melangkah perlahan, berjongkok dan meletakan satu cangkir di hadapan Balqis, dan satu cangkirnya lagi di hadapan Raga.
"Terimakasih, Ayumi." Kata Balqis.
"Sudah pekerjaan saya Bu! kalau begitu saya pamit, jika ada sesuatu panggil saja.'
Balqis dan suaminya menganggukan kepala.
"Cara kerjanya bagus, dia baik, sopan." Raga memuji.
"Ya, ... lalu?"
"Berikanlah pekerjaan yang lebih baik lagi. Sepertinya dia bisa di jadikan sebagai sekretaris nya Nior, kamu tahu? akhir-akhir ini dia juga sibuk, dan sepertinya butuh pendamping." Raga mengusulkan.
Balqis mengangguk-anggukan kepalanya, meraih cangkir teh manis hangat, dan menyesapnya pelahan.
"Sebenernya aku agak takut dalam hal ini. Pasti ada beberapa pekerjaan yang protes! ya, ... aku akui jika kinerja Ayumi sangat bangus, tapi ada beberapa office girl yang bekerja lebih dulu dari dia." Jelas Balqis.
"Ya kalau begitu bisa kamu pertimbangkan bukan?"
"Mungkin, jika Junior meminta seorang sekretaris, ... aku akan mempertimbangkan, tapi biarkan seperti ini, sepertinya dia juga tidak terlalu kewalahan."
"Dan dimana dia sekarang?" Raga mencari keberadaan adik ipar dari istrinya.
"Masih di rumahnya mungkin." Ujar Balqis santai.
"Kamu tahu? Randy selalu ada di kantor saat aku datang."
Balqis menatap suaminya.
"Maksud kamu apa?"
"Ya, ... jangan mentang-mentang dia itu suami dari adik mu, sampai membiarkan dia lalai dalam pekerjaannya." Ucapan itu terdengar menyindir.
Balqis menghela nafasnya.
"Mungkin jika bukan sifat manja Eca yang membuat Nior selalu kesiangan, aku akan memarahinya. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana anak itu sekarang! dia bahkan menangis saat Junior berangkat kerja, setelah hamil sifatnya jadi aneh tahu."
Raga diam, tapi bibirnya tersenyum saat melihat Bara yang sudah kembali terlelap diatas pangkuan ibunya.
"Dia memang seperti itu bukan?" Balqis ikut tertawa saat melihat ekspresi menggemaskan putranya.
Raga mengangguk.
"Dia menjadikan obrolan kita sebagai cerita pengantar tidur." Katanya yang langsung mendapat anggukan pelan dari istrinya.
"Baik, kalau begitu habiskan kopinya. Dan setelah itu kamu harus bekerja."
Raga mengulum senyum, mencondongkan tubuh dan meraih pipi Balqis untuk ia kecup lembut seperti yang selalu dia lakukan.
"Iya iya, kau sangat cerewet yah!" gumam Raga, yang sontak membuat perempuan itu tertawa geli.
.
.
...Haih, ... manis sekali mereka ini yah :)...
...Ah iya, jangan lupa like, komen, vote dan hadiahnya ygy....
...~Cuyung kalian~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!