NovelToon NovelToon

Thank You Captain

Congratulation Abang!

..."Wilayahnya manusia itu hanya ada pada harapan dan usaha saja. Selebihnya Allah yang akan menentukan. Maka dari itu, jangan lupa untuk melibatkan Allah dalam setiap urusan kita. Agar hasilnya nanti tidak mengecewakan, pun jika tidak sesuai, maka kita akan lebih mudah menerima. Karena sudah yakin bahwa takdir Allah pasti yang terbaik."...

...Thank You Captain...

...Karya Alfia Ramadhani...

"Congratulation Abang." Zia bertepuk tangan saat melihat abangnya maju ke depan untuk menerima penghargaan.

Hari ini adalah hari wisuda Arfan di Internasional Pilot Academy. Setelah 3 tahun menempuh pendidikan, hari ini ia resmi lulus dari salah satu sekolah penerbangan terbaik di Indonesia. Mimpinya sedari kecil sudah terwujud, sejak berusia sepuluh tahun, ia sudah mengagumi profesi yang sudah Babanya jalani sejak muda. Sejak itu juga Arfan banyak bertanya pada Azril, Babanya, terkait dengan persiapan apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang pilot.

Selanjutnya yang menjadi panutannya adalah Om Ariq, kakak Ummanya yang berprofesi sebagai TNI AD, walaupun begitu Om Ariq sering menceritakan tentang pengalamannya menaiki pesawat tempur dan membantu pengangkutan menggunakan pesawat angkut TNI AU. Hingga disitulah muncul ketertarikan Arfan untuk menjadi pilot pesawat tempur TNI AU. Dengan begitu, ia bisa mengikuti jejak Baba dan Omnya secara bersamaan.

Alhasil, dengan izin Allah dan restu Umma Babanya, kini Arfan sudah menyelesaikan pendidikannya. Tinggal menunggu kabar baik dari pihak maskapai, apakah ia diterima atau tidak menjadi bagian dari pilot di maskapai tersebut.

"Arfan Rafassya Al-Ghifari, putra dari Captain Azril Al-Ghifari dinyatakan sebagai lulusan terbaik angkatan 6 Internasional Pilot Academy," seiring dengan suara yang menggema di lapangan pagi hari ini, sambutan tepuk tangan dari para hadirin terdengar riuh.

Yang dimaksud segera maju, Arfan mengambil ancang-ancang untuk baris berbaris menuju ke tengah lapangan. Ia disambut oleh Komandan Komando Pendidikan Angkatan Udara, Marsda TNI Andika. Dan juga beberapa jajarannya yang sudah membawa tropi, sertifikat, dan lencana wings.

"Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku Komandan Komando Pendidikan Angkatan Udara, mempersilahkan kepada yang terhormat Captain Azril Al-Ghifari untuk menyematkan lencana wings pada putra kebanggaannya, Ananda Arfan Rafassya Al-Ghifari," ujar Marsda TNI.

Azril yang sedang asyik memperhatikan Arfan dari kejauhan tiba-tiba kaget saat dipanggil oleh Marsda TNI Andika. Ia benar-benar tak menyangka, bisa diberikan kesempatan berharga ini. Bagaimana tidak, sebagai seorang ayah dan Captain pilot, tentunya ia sangat bangga kepada Arfan, putranya. Namun yang lebih membanggakan lagi, ia diberikan kesempatan untuk menyematkan lencana wings kepadanya, yang bahkan tidak semua orang bisa melakukan.

Tak berbeda dengan Azril, sang ayah. Arfan pun juga sama bangganya. Dihari kelulusan yang sudah ia nantikan, tiba-tiba mendapatkan sebuah kejutan berharga lagi. Secara ekslusif, sang ayah sebagai Captain Pilot panutannya sejak kecil, pada hari ini diberi kesempatan untuk menyematkan lencana wings untuknya. Mungkin kesempatan ini hanya ia seorang diri yang bisa merasakan.

Azril maju kedepan, memberikan hormat kepada Marsda TNI Andika. Kemudian ia mengambil lencana wings pada baki dan menyematkannya di jas kiri Arfan. Semua orang dapat menyaksikan senyum bahagia Arfan saat lencana itu sudah benar-benar tersemat padanya. Ditambah tepukan tangan Azril pada pundak kiri Arfan, disana juga terlihat senyum kebanggaan seorang ayah atas keberhasilan putranya.

"Congratulation putra kebanggan Baba. Sukses untuk nanti berkarir di dunia penerbangan ya nak. Tunjukkan pada semua orang, bahwa putra kebanggaan Captain Azril bisa menjadi pilot terhebat dari semua yang terhebat." Azril menepuk pundak kiri Arfan.

Dibarisan kursi kedua, senyum bangga dua orang wanita berhijab juga tertangkap netra Arfan. Dia adalah Azifa, Ummanya dan Azia, adik perempuannya. Dua wanita itu tampak memberikan tepuk tangan kebanggaan mereka untuk Arfan. Arfan juga melemparkan senyuman tanda terimakasihnya.

"Umma, ini benar-benar double kejutan yang gak terduga buat abang," ujar Zia pada ummanya.

"Iya sayang, Abang Arfan mungkin satu-satunya orang yang beruntung bisa disematkan lencana wings oleh Captain Pilot panutannya sejak kecil, yaitu Baba." Umma meraih tangan Zia.

Serangkaian acara wisuda sudah dilakukan, kini saatnya pembacaan do'a yang dipimpin oleh Arfan. Pasalnya selama Arfan belajar di sini, ia selalu disebut sebagai yang paling alim. Hal itu karena Arfan tak pernah melewatkan sholat lima waktu, mengaji, dan juga puasa sunnah. Padahal sebenarnya itu bukan ukuran seseorang dinyatakan alim atau tidak, karena pada dasarnya itu semua memang seharusnya dilakukan oleh umat muslim. Arfan hanya melakukan sebagaimana yang ia lakukan setiap harinya, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran dari Umma Babanya sejak kecil.

Beberapa teman Arfan juga sampai kagum padanya, bahkan dari mereka juga ada yang mengikuti kebiasaan itu. Arfan malah semakin senang, jadi sekarang ia memiliki banyak teman untuk beribadah bersama-sama. Dan apa yang diajarkan oleh umma dan babanya tak hanya ia manfaatkan sendiri, tapi juga teman-temannya.

Acara wisuda sudah resmi selesai, kini lapangan dipenuhi dengan para keluarga yang menghampiri putra-putra mereka. Termasuk Arfan, kini ia sedang berkumpul bersama keluarganya.

"Congratulation Abang, umma bangga banget sama abang." Azifa memeluk putra sulungnya itu. Air mata haru juga sudah tak bisa ia tahan, rasa bangga dan bahagia bercampur menjadi satu disana.

"Terimakasih Umma, Abang bisa seperti ini sekarang karena do'a dari Umma, Baba, juga Zia," begitupun dengan Azifa, air mata Arfan juga lolos dari sudut netranya.

"Ba, terimakasih ya. Abang bener-bener seneng banget, tadi baba sudah sematkan lencana wings untuk Abang. Thank you Captain panutanku." Arfan beralih memeluk Babanya.

"You're welcome nak, kita disini selalu mendoakan Abang agar bisa menjadi captain pilot terbaik sejagad raya," Azril membalas pelukan putra kebanggaannya.

"Dek, abang juga berterimakasih karena selama ini Zia selalu support Abang." Kini Arfan beralih memeluk adiknya.

"Sama-sama, we love you Abang," ujar Zia.

"Love you more, 'usratiy,"

"Yaudah, yuk foto-foto, Zia sudah bawa kameranya." Zia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya.

Setelah itu mereka berswafoto bersama, mulai dari foto keluarga, foto resmi, sampai foto-foto bermacam gaya. Bagi Zia yang senang sekali dengan foto, ini adalah kesempatan yang harus diabadikan. Karena ini tak akan terulang untuk yang kedua kalinya. Jadi harus dimaksimalkan sebanyak mungkin.

"Arfan," suara dari Om Ariq terdengar.

"Om Ariq, aunty Fidya." Zia yang malah berlari menghampiri mereka.

"Congratulation Abang, Om sama Aunty bangga banget sama kamu." Om Ariq memeluk keponakannya.

"Makasih Om, Aunty. Tapi Arfan minta maaf soalnya belum bisa jadi kayak impian Om sama Baba, pilot TNI AU," Arfan tampak lesu.

"Gapapa Arfan, yang namanya manusia itu kuasanya hanya bisa berharap, selebihnya Allah yang menentukan."

"Bener nak, yang penting Arfan sudah berusaha semaksimal mungkin. Baba, Umma, Om dan semuanya jadi saksi perjuangan kamu," Azril ikut menimpali.

"Berarti rezeki abang memang bukan disana, jadi abang harus menerima ya." Umma mengelus lengan putranya.

"Gini loh Arfan, Aunty pernah denger dari Om, katanya semua pilot itu adalah cadangan pilot TNI AU, iya kan Mas?" Aunty Fidya mengalihkan pandangan pada Om Ariq.

"Iya bener, jadi sewaktu-waktu para pilot bisa saja dibutuhkan dalam membantu misi TNI AU, entah itu untuk pesawat tempur, angkut, atau helikopter. Jadi Abang harus siap-siap," ujar Om Ariq untuk mengembalikan semangat keponakannya.

"MasyaAllah, semoga Arfan diberikan kesempatan untuk itu," harap Arfan sungguh-sungguh.

Arfan tersenyum lega, orang-orang disekitarnya memang positif vibes. Mereka selalu mempunyai solusi dari semua permasalahan yang Arfan lewati. Termasuk kejadian 3 tahun lalu yang membuatnya down saat dinyatakan tidak diterima dalam seleksi menjadi bagian dari pilot TNI AU. Padahal itu adalah impian terbesar Arfan selain ingin menjadi pilot komersial. Namun karena dukungan dari orang-orang sekitarnya, ia bisa kembali bangkit dan semangat untuk menempuh pendidikan hingga saat ini bisa lulus menjadi lulusan terbaik.

Memang benar, wilayahnya manusia itu hanya ada pada harapan dan usaha saja. Selebihnya Allah yang akan menentukan, apakah hasilnya sesuai atau tidak dengan keinginan kita. Maka dari itu, sebaiknya dalam berusaha agar kita selalu melibatkan Allah. Mengapa? Supaya ketika nanti hasilnya tak sesuai dengan harapan, kita bisa lekas menerimanya dengan lapang dada. Karena kita percaya, bahwa Allah tau yang terbaik untuk hambanya.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216).

"Ya Allah, terimakasih sudah menganugerahi hamba keluarga yang sempurna," gumam Arfan dalam hatinya.

Mereka melanjutkan perbincangan di sebuah gazebo yang ada di sekitar lapangan. Beruntungnya ada penjual es dan camilan yang bisa menemani obrolan santai mereka. Banyak yang mereka bicarakan, mulai dari hal yang penting sampai tidak terlalu penting. Arfan juga menyempatkan waktu untuk video call dengan nenek kakek dan oma opanya, biar bagaimanapun mereka juga harus merasakan kebahagiaan yang cucunya rasakan sekarang.

"Zia gimana kuliahnya sayang?" Tanya Aunty Fidya.

"Alhamdulillah lancar aunty, cuma ya gitu tugasnya seabrek, bikin pusing. Zia ngerasa tua, karena starpack-nya sekarang sudah freshcare, antangin, minyak kayu putih, koyo, bahkan balsem. Serasa jadi remaja jompo," keluh Zia mengundang kekehan keluarganya yang lain.

"Sabar Dek, sabar." Arfan merangkul adiknya.

"Alhamdulillah, disyukuri aja ya sayang. Dibalik banyaknya keluhan kamu itu, mungkin juga banyak yang menginginkan di posisi kamu sekarang. Kak Asyifa juga gitu kok. Syukurnya di asrama banyak temen, coba kalau tinggal sama Om dan Aunty di rumah dinas, dijamin gaada temennya," yang lain terkekeh.

"Jadi sekarang Kak Nchip gak ikut karena di asrama ya Aunty." Nchip adalah panggilan sayang Zia untuk Kakak sepupunya, anak dari Om Ariq dan Aunty Fidya.

"Iya Zi, katanya lagi banyak tugas."

"Tuh Dek, dengerin makanya kamu di asrama aja biar banyak temen," bujuk Arfan.

"Loh memang gak mau Zia?" Tanya Aunty Fidya.

"Sama sekali nggak mau Kak, katanya mau nemenin aku kalau babanya lagi terbang, apalagi berhari-hari," jawab Umma.

"Anak Umma banget ya Zi." Aunty Fidya mencubit pipi Zia.

"Yaudah, Om sama Aunty harus segera ke kantor sekarang, soalnya harus ikut rapat persit Aunty-nya nak," pamit Om Ariq.

"Oke, Om Aunty, hati-hati dijalan ya." Arfan dan Zia mencium punggung tangan keduanya. Begitupun dengan Azril dan Azifa.

"Kalau gitu kakak pamit Zif, Ril. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Kemudian Om Ariq dan Aunty Fidya berlalu dari hadapan mereka.

Hari sudah semakin siang, udara juga semakin panas. Sudah sejak satu jam yang lalu mereka meninggalkan tempat wisuda, saat ini sedang berada di masjid untuk menunaikan sholat dzhuru. Kebetulan masjid terletak tak jauh dari tempat itu. Selesai sholat dzuhur, mereka memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran Jepang, sesuai permintaan Arfan.

Setelah satu jam perjalanan dari masjid tadi, kini mereka sudah sampai di restoran Jepang yang dimaksud. Tadi, baba dan umma memberikan kebebasan pada Arfan untuk meminta apa yang dia mau, karena hari ini adalah hari spesialnya. Tak ingin egois dengan dirinya sendiri, maka Arfan meminta agar mereka makan bersama-sama di restoran Jepang langganannya selama berada di kota ini.

Sejak Arfan turun dan memasuki restoran, semua mata tampak tertuju padanya. Awalnya Arfan kebingungan, namun akhirnya ia sadar. Mungkin karena dirinya masih memakai jas pilot, jadi orang-orang memperhatikan. Arfan memilih tak menggubris, karena jujur ia sendiri tak punya pakaian lain. Baju-baju yang ada di asrama semuanya masih ada di tempat laundry. Jadi tak ada pilihan lain, ia tetap memakai seragam pilotnya.

"Ganteng."

"Wah keren."

"MasyaAllah pilot."

Kira-kira begitulah suara yang terdengar di telinga Zia saat ini. Seketika itu juga terlintas sebuah ide dalam pikirannya. Zia yang awalnya berada jauh dibelakang abangnya tiba-tiba berlari dan menggandeng tangan Arfan. Dan berjalan beriringan dengannya sembari senyum-senyum sendiri.

"Yah, tapi sudah pacar," kecewa mereka saat melihat Zia tiba-tiba menggandeng tangan Arfan.

"Eh, itu pacarnya ya," sahut yang lain.

"Sudah dikenalin ke orang tuanya juga," mereka semakin patah hati.

Terdengar juga riuh kekecewaan dari para wanita yang memuji-muji Arfan tadi. Zia tersenyum kegirangan dan semakin memperat pegangannya pada Arfan.

Sebenarnya Arfan juga bingung dengan tingkah aneh adiknya yang tiba-tiba menggandeng tangannya dan senyum-senyum tidak jelas. Saat mencoba bertanya, Zia hanya membalas dengan kedipan mata. Terpaksa ia ikuti saja kemauan adiknya.

"Zia kenapa?" Azifa ikut heran dengan tingkah putrinya.

"Ngerjain Mbak-Mbak disana," ia terkekeh dengan suara pelan.

"Emang kenapa?" Tanya Azril.

"Jadi, tadi itu mereka muji-muji Abang gitu Ba. Yaudah Zia kerjain aja, dengan nempel-nempel ke Abang. Terus mereka pada kecewa, dikira Zia pacarnya," jelas Zia pelan dan hal itu mengundang tawa Baba, Umma, dan Abangnya.

"Sayang, kamu mau makan apa?" Ujar Arfan bersikap manis pada Zia.

"Aku mau sushi yang," Zia yang mengerti maksud abangnya ikut melancarkan aksi.

Semakin jelas terdengar kekecewaan para wanita yang tak berada jauh dari tempat mereka sekarang. Alhasil keduanya terkekeh merasa berhasil.

"Kalian itu ada-ada aja ya," Azifa dan Azril geleng-geleng kepala dengan sandiwara mereka.

Beberapa menit kemudian waitress datang dengan membawa makanan yang sudah Azril pesan tadi, saat anak-anaknya sedang melancarkan sandiwara mereka. Pasalnya tadi di mobil Arfan dan Zia sudah menyebutkan apa yang mereka inginkan, jadi Azril sudah tau harus memesan apa.

"Abang, ayo suap-suapan, kita kan pacaran." Zia menepuk pundak abangnya.

"Siap, kamu yang suapin abang dulu," Arfan tersenyum licik.

"Aaaa sayang."

"Hmm, makasih sayang. Sushinya enak banget."

"Mas, liat anak-anak Mas Azril," Azifa terkekeh geli.

"Anak kamu juga sayang, biarlah mereka berkreasi. Asalkan jangan sampai pacaran beneran, kalau nggak Baba coret dari kartu keluarga," ujar Azril.

"Kalem Ba, insyaAllah Abang sama Zia ngga akan sekali-kali melakukan perbuatan mendekati zina itu," ujar Arfan meyakinkan.

"Bagus, anak-anak Umma sama Baba kalau udah ada rasa ketertarikan sama lawan jenis langsung bilang sama kita, nanti kita cari solusinya sama-sama. Dengan menikah misalnya," timpal Azifa.

"Abang itu Umma, katanya kagum sama se-." Mulut Zia dibekap oleh abangnya.

"Abang?" Azifa seperti akan mengintrogasi.

"Nggak Umma, nggak usah dengerin Zia. Dia anaknya memang asal ceplas-ceplos," Arfan mencoba meyakinkan ummanya.

"Baru aja Umma bilang,"

"Yaudah Umma, nanti abang ceritain di rumah," kalau sudah tampak raut kekecewaan di wajah Umanya, Arfan tidak bisa berbuat apa-apa selain jujur.

"Sekarang lanjutin makannya, biar kita bisa cepet pulang," titah Azril menengahi istri dan anaknya.

****

Hari sudah malam, perjalanan dari Bandung ke Jakarta selama dua jam sudah dilewati. Saat ini mereka sudah sampai dirumah, tentunya dengan barang-barang Arfan yang diangkut dari asrama.

Saat ini ia dan Babanya sedang mengangkat-angkat barang-barang itu. Sementara Zia sedang membantu Umma untuk menyiapkan makan malam.

Tepat saat barang terakhir selesai diangkut, masakan untuk makan malam sudah tersaji di meja makan. Arfan dan Baba yang sudah kelaparan segera menuju dapur saat mencium aroma-aroma masakan Umma. Seperti biasa, disaat seperti ini Azifa harus mengeluarkan jurus marahnya, bagaimana tidak, disaat kelaparan seperti ini pasti keduanya langsung menyomot makanan yang ada, tanpa menunggu yang lain.

"Baba, Arfan, coba liat adiknya masih siapin piring, jangan asal nyomot dulu ya," awalnya kalem, namun lama kelamaan emosi juga.

Setelah semuanya siap, barulah makan malam dimulai. Ditengah-tengah makan malam, tiba-tiba Azifa teringat akan ucapan Zia siang tadi di restoran. Dan janji Arfan yang katanya akan menceritakan setelah sampai rumah. Namun melihat saat ini masih makan malam, Azifa menunda sampai selesai makan malam.

"Ekhm, jadi Abang lagi naksir siapa?" tanya Umma tiba-tiba.

"Uhuk..uhuk.."

Nasihat Orang Tua

..."Perempuan itu bukan jemuran yang bisa seenaknya digantung tanpa tahu kapan akan diangkat. Tapi ia adalah berlian dalam kaca, untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang tak main-main"...

...Thank You Captain...

...Karya Alfia Ramadhani...

"Ekhm, jadi Abang lagi naksir siapa?"

"Uhuk..uhuk." Arfan yang sedang minum tiba-tiba tersedak karena pertanyaan spontan Ummanya.

"Sayang, Arfan lagi minum loh." Azril menoleh kepada Azifa. Sementara yang dimaksud hanya senyum-senyum menampakkan deretan gigi putihnya.

"Jujur aja bang, kasihan Umma sama Baba udah penasaran banget tuh," ujar Zia terkekeh.

Sontak saja gadis itu mendapat tatapan tajam dari kedua orang tuanya. Zia tak berhenti terkekeh, akhirnya ia memilih untuk menghindar dengan dalih membereskan piring dan gelas kotor.

Suasana di meja makan masih hening, tampak Arfan sedari tadi masih memegang gelas minumnya. Sementara umma dan baba tampak santai menghabiskan makanannya. Tak tahan dengan suasana canggung seperti ini, akhirnya Arfan memutuskan untuk berbicara.

"Umma, Baba," ujar Arfan lirih.

"Iya Abang." balas Azifa sembari meletakkan sendok dan garpunya.

"S-sebenernya Abang memang lagi menaruh perasaan sama seseorang. Tapi-," Arfan menghela napasnya,"Abang belum yakin," tampak raut wajah Arfan sedikit lebih lega.

"Sebaiknya jangan terlalu lama di pendam, nggak baik juga. Tapi kalau Abang belum yakin, satu-satunya cara adalah sholat istikharah." Umma meraih tangan putranya.

"Iya Umma, Abang sudah ikhtiarkan sholat istikharah, tapi belum dapat jawabannya. Sebenarnya Abang memang akan kasih tau Baba sama Umma kalau sudah yakin, tapi doi udah bocorin dulu, dasar." Arfan memberikan tatapan tajam pada Zia.

"Abang sayang, Zia minta maaf ya. Soalnya Zia keceplosan." Zia mendekat ke abangnya.

"Dasar adek tukang keceplosan," ujar Arfan. Zia tampak terkekeh.

"Berarti Umma sama Baba ngga boleh tanya-tanya lebih lanjut?"

"Besok aja ya Umma, Abang ngantuk," Arfan seakan menghindar. Ia buru-buru naik ke lantai atas.

"Yaudah biarin aja, kasih dia kesempatan dulu," Azril meyakinkan istrinya. Azifa mengangguk setuju.

Azifa dibantu Zia mulai membereskan semua perlengkapan dapur sisa makan malam kali ini. Prinsipnya sejak masih gadis memang begitu, Azifa tidak akan tenang jika belum membersihkan peralatan dapur sebelum tidur. Alhasil ia selalu biasakan hal ini pada Zia, maka dari itu sekarang Zia sebelas dua belas dengan Ummanya.

Setelah semua perlengkapan selesai dicuci dan dirapikan, kini saatnya istirahat. Zia sudah lebih dulu masuk kamar, menyisakan Azifa yang masih menemani suaminya menikmati teh hangat. Azifa memandangi wajah Azril, sudah 22 tahun lamanya ia hidup bersama dengan Azril. Laki-laki yang pernah membuatnya hancur kala musibah pesawat waktu itu. Namun saat ini Azifa sangat bersyukur karena ia masih bisa hidup bersama dengan Azril, sampai sekarang putra putri mereka sudah sebesar ini.

"Umma." Azril mencubit pipi Azifa.

"Eh, iya Ba," Azifa tersadar dari lamunannya.

"Kenapa merhatiin Mas kayak gitu sayang? Mas salting loh ini." Azril membelai pipi Azifa.

"Nggak, aku ngga nyangka aja. Kita udah sama-sama selama 22 tahun ya Mas kita sama-sama kayak gini. Bahkan sekarang anak-anak kita sudah sebesar ini," jawabnya meraih tangan sang suami.

"Iya sayang, Mas juga nggak nyangka. Kayaknya baru kemarin nemenin bumil ngidam bubur ayam tiap hari," Azril menggoda istrinya. Pasalnya di kehamilan Arfan dan Zia, bubur ayam selalu menjadi primadona ngidam Azifa yang tak pernah terlewatkan.

"Sama roti boy," ujar keduanya bersamaan, diiringi dengan suara tawa.

"Mas peluk." Azifa menghamburkan dirinya di dada bidang Azril.

Salah satu hal yang membuat langgeng kedua pasangan ini adalah sikap mereka yang tetap romantis sampai saat ini, bahkan saat ini anak-anak mereka sudah besar. Dan yang tak kalah penting juga saling keterbukaan satu sama lain, sejak kejadian salah paham waktu itu, baik Azril maupun Azifa bertekad untuk saling terbuka satu sama lain dalam hal apapun itu.

Dan yang tak kalah penting adalah kerjasama mereka dalam mendidik Arfan dan Zia. Mendidik dan membesarkan anak pahalanya memang besar, namun itu juga bukan tugas yang mudah. Oleh karena itu, kerjasama keduanya dalam mendidik anak-anaknya bisa dikatakan berhasil. Termasuk dalam mendidik sesuai dengan nilai-nilai agama.

Sampai saat ini, Arfan dan Zia mempunyai bekal ilmu agama yang cukup dari kedua orangtuanya. Bahkan sejak kecil Azifa dan Azril juga mengajarkan hafalan Al-Quran kepada mereka. Alhasil saat ini keduanya bisa melihat anak-anak mereka tumbuh sebagai pribadi yang paham agama.

"Terimakasih ya sayang, karena kesabaran dan kerja keras kamu, sekarang anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang sholeh dan sholeha." Azril mengelus puncak kepala Azifa yang tertutup hijab.

"Mas Azril juga, kita ini ibarat mengemudikan pesawat Mas. Tanpa seorang Captain, maka pesawat nggak akan bisa terbang. Pun tanpa kopilot, pesawat tidak akan terbang sempurna. Begitupun aku tanpa Mas Azril, aku juga belum tentu bisa mendidik mereka. Jadi ini semua berkat kerjasama kita, tentunya dengan doa orang tua juga ridho Allah."

"Ekhm, pasangan teruwuw sepanjang masa."

Tiba-tiba Arfan muncul dengan membawa botol tupperware, sepertinya ia akan mengisinya dengan air galon. Namun saat melewati meja makan, netranya menangkap keromantisan Baba dan Ummanya, dan percayalah ini bukan pemandangan yang pertama kali Arfan lihat. Arfan hanya bisa geleng-geleng kepala dan pura-pura tidak melihat. Di sisi lain ia juga ikut bahagia dengan kebahagiaan Baba dan Ummanya walaupun rasanya ingin terbang ke mars.

"Abang," ujar Azril dan Azifa bersamaan, mereka berdua terlihat menahan malu.

"Abang merem, Abang nggak liat." Arfan memalingkan wajah kemudian memejamkan matanya dan segera naik kembali ke lantai atas.

Arfan tampak ngos-ngosan sampai di lantai atas. Ia disambut oleh Zia yang tampak aneh melihatnya. Adiknya itu sedang berdiri tepat di depan kamarnya, tangannya menyendekap, persis seperti ibu kos yang akan menarik biaya bulanan.

"Kenapa Bang?" Tanya Zia.

"Nggak kuat liat keuwuan Baba sama Umma. Yaudah minggir Abang ngantuk." Arfan menerobos Zia hingga gadis itu terjatuh ke lantai.

"Dasar Abang nggak ada akhlak, main dorong-dorong aja. Sakit tau," ujar Zia sembari berusaha bangkit.

"Sorry, sorry, yaudah sana keluar. Abang mau tidur Zia sayang," Arfan sudah memposisikan dirinya di atas kasur.

"Dasar jomblo ngebet nikah, awas besok pasti diintrogasi sama Umma Baba." Zia menutup pintu kamar abangnya.

Ceklek.

"Woi, ngapa di kunci," teriak Arfan dari dal kamar.

"Rasain, biar besok nggak bisa kabur lagi dari Umma Baba," ujar Zia terkekeh.

"Ziaaa, tega banget sama Abang. Awas nggak Abang jajanin lagi kamu," ujar Arfan mengancam. Tak ada jawaban dari Zia, gadis itu memang sudah masuk ke kamarnya.

*****

Sayup-sayup mata Arfan mulai terbuka, tangannya mengerjap-ngerjap mencari benda pipih yang semalam membantunya untuk tidur. Tak kunjung menemukan, akhirnya Arfan memaksakan diri untuk bangun. Tampak netranya menelusuri ke seluruh bagian kasur, namun hasilnya nihil.

"Cari ini?" Tiba-tiba sebuah tangan muncul memegang benda yang ia cari.

"Eh kok bisa sama Umma." Arfan meraih ponsel yang ada di tangan Ummanya.

"Abang, biasakan kalau tidur handphonenya letakkan di nakas. Ngga baik tidur dekat handphone," ujar Azifa.

"Iya Umma maaf, semalem Abang nggak bisa tidur, jadi setel murrotal," Arfan menatap perempuan cantik bermukenah itu.

"Yaudah, ayo tahajjud. Baba sama Zia sudah dibawah." Azifa bangkit meninggalkan putranya.

"Siap Umma," balas Arfan. Kemudian laki-laki itu segera bersiap-siap.

Salah satu kebiasaan yang selalu Azifa dan Azril ajarkan kepada putra-putrinya adalah sholat tahajjud. Bahkan sejak usia mereka lima tahun, mereka sudah sering ikut umma dan babanya, walaupun masih belum terlalu mengerti. Namun saat usianya sudah tujuh tahun, Azifa dan Azril sudah benar-benar menanamkan ini pada mereka.

"Shodaqallahul'adziim"

Rangkaian ibadah pagi hari ini diakhiri dengan tilawah bersama. Biasanya jika Azril sedang libur, ia akan menyempatkan untuk bicara dari hati ke hati dengan keluarganya. Termasuk hari ini, semalam ia dan Azifa sudah merencanakannya.

"Abang, jadi gimana nak. Masih belum mau cerita?" Azifa memulai pembicaraan.

"Umma, Abang kan belum tau diterima atau nggak lamarannya," jawab Arfan.

"Abang?" Semua yang ada disana terperanjat kaget.

"Jadi Abang sudah ngelamar anak orang tanpa sepengetahuan kita?" Azril mempertegas pertanyaannya.

Bukannya menjawab, Arfan malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Umma, Baba, dan Zia semakin kebingungan.

"Bukan itu Umma, maksudnya lamaran buat jadi pilot di maskapai A," ujar Arfan.

"Ya Allah, Abang bikin kita deg-degan aja," Azifa mengelus dadanya lega.

"Kalau untuk masalah itu Umma sama Baba paham. Tapi yang jadi pertanyaan kita, perempuan yang kamu maksud itu siapa?"

Deg.

Arfan semakin dibuat dag dig dug dengan pertanyaan Ummanya. Ia bingung, apakah sudah sekarang waktunya ia memberitahu semuanya? Tentang perempuan yang ia temui beberapa bulan yang lalu di Bandung. Perempuan yang membuatnya merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Hanya karena sebuah ucapan.

"Terimakasih"

Suara itu kembali mengusik pikiran Arfan. Bayang-bayang tentang perempuan itu memenuhi isi kepalanya. Arfan menunduk, berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang hanya karena mengingat perempuan itu.

"Abang?" Azifa memastikan keadaan putranya.

"Arfan belum tau namanya Umma."  Seketika semua mata menatapnya, seakan masih mencoba mencerna apa yang Arfan ucapkan baru saja.

"Loh terus gimana Bang?" Tanya Zia.

"Ya Abang emang belum tau siapa namanya," jawab Arfan santai.

"Terus Zia kemarin dapet cerita gimana dari Abang?" Tanya Azifa pada putrinya.

"Abang cuma bilang lagi naksir sama seseorang Umma, udah gitu aja. Aku tanya lebih lanjut eh malah ngancem-ngancem yaudah," jawab Zia apa adanya.

Arfan terkekeh dengan raut kekecewaan dari mereka yang ada di depannya. Jujur saja, semalam Arfan menghindar karena memang ia belum siap menjelaskan. Pasalnya ia benar-benar tidak tahu siapa perempuan itu, bahkan wajahnya saja masih samar ia lihat. Walaupun tadi bayang-bayang wajah perempuan itu berputar-putar di benaknya, itupun juga belum jelas.

"Abang akan cari perempuan itu ke Bandung," ujar Arfan yakin.

"Lah, sampe segitunya Bang?" Tanya Zia tak percaya.

"Abang, sini dengerin Umma." Azifa meraih tangan putranya.

"Memangnya Abang sudah yakin ingin menikah?"

"Pernikahan itu bukan main-main nak, hanya sekali seumur hidup. Jadi memang perlu persiapan lahir batin. Bukan hanya karena kita menyukai seseorang, kita menikah. Abang juga harus pastikan alasan kenapa Abang ingin menikah dengan dia. Abang juga harus meyakinkan diri lagi. Jangan sampai jauh-jauh datang ke Bandung, terus bertemu orangnya, tiba-tiba abang jadi nggak yakin." Azifa menghela napasnya.

"Pokoknya Umma nggak mau kalau  Abang sampai ngegantung anak orang, Umma sama Baba nggak ridho. Ingat, perempuan itu bukan jemuran yang bisa seenaknya digantung tanpa tahu kapan akan diangkat.  Tapi ia adalah berlian dalam kaca, untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang tak main-main," jelas Azifa tegas.

"I-iya Umma, Abang janji nggak akan ngelakuin itu. T-tapi, istikharah Abang selalu memberi petunjuk untuk Abang datang ke Bandung," ujar Arfan gugup.

Azifa menatap lekat kedua netra putranya, ia dapat melihat jelas raut keseriusan disana. Mungkin memang seharusnya ia mengizinkan Arfan untuk pergi ke Bandung, mencari separuh agamanya. Bukan, bukannya Azifa ingin mengatur-atur Arfan. Dia hanya ingin yang terbaik untuk putranya, sama seperti waktu itu, saat Ayah dan Bunda hendak mencarikan jodoh untuknya.

Azifa beralih menatap Azril, suaminya. Sedari tadi laki-laki itu hanya diam dan memperhatikan obrolan mereka. Azril tersenyum, mengisyaratkan kesetujuannya pada ucapan Azifa tadi. Namun ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi sejak tadi rasanya tak ada kesempatan untuk berbicara.

"Abang, carilah perempuan itu. Jika nanti abang sudah menemukan. Pastikan abang melihat Umma dalam dirinya," ujar Azril.

Tak terkecuali Arfan, Azifa dan Zia juga bingung dengan ucapan Azril. Sebenarnya apa maksudnya, apa nanti harus ada kemiripan antara wajah wanita itu dengan Ummanya?

"Siapa perempuan terbaik yang Abang cintai saat ini?" Tanya Azril.

"Umma," jawab Arfan.

"Kenapa Umma?"Azril balik bertanya.

"Abang nggak punya alasan untuk nggak mencintai Umma. Perempuan yang sudah mengorbankan hidup dan matinya untuk melahirkan Abang. Perempuan yang merawat dan mendidik Arfan sampai saat ini. Perempuan yang selalu ada untuk segala keluh kesah Abang. Dan perempuan yang di kakinya ada Syurga untuk Abang raih. Uhibbuki fillah Umma sayang," jawab Arfan haru.

"Pastikan anak-anak Abang nanti akan menjawab seperti itu tentang ibunya," ujar Azril.

Arfan mengangguk, ia paham dengan maksud babanya. Ternyata baba bukan meminta Arfan menemukan perempuan yang fisiknya mirip dengan umma. Melainkan sifat dan hatinya, yang dengan itu menjadi alasan bagi Arfan untuk mencintainya.

Arfan beranjak dan memeluk Ummanya. Perempuan yang sampai kapanpun selalu menjadi nomer satu dalam hidupnya. Azifa membalas pelukan putranya. Ia benar-benar tidak menyangka, saat ini sudah detik-detik ia akan melepaskan putranya untuk hidup berumah tangga. Sekarang ia mengerti bagaimana beratnya ayah dan bunda dulu, walaupun sebenarnya mereka tidak menampakkan, melainkan menjadi orang yang paling bersemangat.

"Ubibbuka fillah Arfan sayang," kalimat itu Azifa bisikkan di telinga Arfan.

"Pergilah ke Bandung, doa Baba dan Umma senantiasa mengiringi Abang." Azifa melonggarkan pelukannya.

Arfan tersenyum dan mengangguk, kini ia beralih memeluk Babanya. Laki-laki yang selalu menjadi panutan dan hero dalam hidupnya. Laki-laki yang menjadi bagian penting dalam hidupnya, termasuk kesuksesannya saat ini. Arfan selalu belajar dari Babanya, bagaimana menjadi seorang suami yang baik untuk Ummanya. Bagaimana cara memuliakan perempuan, seperti Baba memuliakan Umma. Bagaimana caranya menjadi seorang pilot yang handal, bukan hanya soal menerbangkan pesawat, tapi mengantarkan penumpang dengan selamat.

Arfan sudah mendengar penuturan dari Umma, tentang kejadian 19 tahun lalu yang menimpa babanya. Tentang pendaratan darurat pesawat yang Azril kemudikan. Yang membuat Arfan salut, disaat itu yang babanya pentingkan adalah keselamatan para penumpang. Tak peduli dirinya terombang-ambing di sungai sampai orang-orang baik menolongnya. Hingga akhirnya Azril bisa mendapatkan penghargaan atas kerja kerasnya menyelamatkan penumpang.

"Baba akan selalu menjadi panutan Abang."

"Apa-apa yang baik dari Baba, silahkan Abang ambil. Yang buruk, jadikan pembelajaran saja ya nak." Azril menepuk pundak putranya.

"Semangat."

"Semangat '45."

Sad Boy

..."Berharap kepada manusia itu sumber kekecewaan, sedangkan pada Allah tidak"...

...Thank You Captain...

...Karya Alfia Ramadhani...

"Bandung, I am coming," ujar Arfan saat baru pertama kali menapakkan kakinya di kota kembang ini.

"I will find you soon, calon jodoh" ujar Arfan dan kakinya mulai melangkah ke suatu tempat yang sudah menjadi tujuan utamanya datang ke sini.

Jalanan Bandung kali ini relatif ramai lancar, rasanya orang-orang sudah sampai di tempat kerjanya masing-masing, jadi tak ada lagi dari mereka yang memenuhi jalanan. Arfan memilih untuk berjalan kaki, karena cuaca pagi menjelang siang ini tak terlalu panas. Tak lupa masker dan kacamata ia kenakan, gayanya sudah persis seperti para idol, sayangnya tidak ada yang mengawal.

Jalanan yang Arfan lewati cukup aestethic, tapi lagi-lagi ia tidak ada teman untuk diminta memotretnya. Padahal kamera DSLR turunan dari Babanya selalu ia bawa kemana-mana. Masih ingat kan, kamera yang selalu Azril dan Azifa pakai untuk berfoto-foto dengan Rendy sang fotografer handalnya? Ya, itulah kamera Arfan saat ini, kata Baba disini banyak sekali kenangan dengan Ummanya. Jadi alangkah lebih baiknya jika Arfan juga menumpuk kenangannya disini, untuk dilihat di kemudian hari.

"Dasar jomblo, sini gue fotoin," tiba-tiba tangan seseorang mendarat di pundak Arfan.

"Astaghfirullah, siapa Lo," ujar Arfan kaget.

"Astaghfirullah sepupu nggak tau diri, masa liat yang begini kayak liat setan," balasnya.

"Lo yang nggak tau diri, ngagetin orang aja. Gue kira copet, dasar adik kecil," ujar Arfan tertawa terbahak-bahak.

"Jangan panggil saya adik kecil, nama saya Razi," ujarnya mengikuti gaya kartun shiva yang selalu mereka tonton bersama waktu kecil.

"Yaudah, gua nggak ada waktu. Jangan nongol-nongol lagi." Arfan segera bergegas, namun ternyata Razi ikut mengejar.

"Woi, perlu gua bawa ke THT?"

"Yaelah Bang, santai dong. Kalau nggak disuruh Ammah Azifa gue juga nggak akan cari kerjaan ngikuti Lo," Razi menghalangi langkah sepupunya.

"Ya Allah Umma, kenapa harus dia."

"Gua ini anak TNI Bang, jadi bisa ngelindungin lo dari mara bahaya atau ancaman SARA," ujar Razi.

Arfan hanya melongo, sepupunya yang satu ini memang aneh.

"Stop diem, kalau mau ikut ada syaratnya. Pertama, diem. Kedua, diem. Ketiga, diem. Intinya jangan berisik!" Arfan membiarkan langkahnya diikuti sepupu anehnya itu.

Mereka tidak berjalan beriringan, melainkan depan belakang. Arfan sudah seperti idol yang diikuti oleh seorang bodyguardnya dibelakang, tapi sayangnya hanya satu. Sementara Razi pasrah berjalan, ia hanya ingin memenuhi amanah ammah dan om nya agar menemani abang sepupunya itu. Bahkan sampai saat ini Razi belum tau apa tujuan Arfan yang sebenarnya. Tapi ia malas bertanya lebih lanjut, abang sepupunya itu sedang galak-galaknya.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di MRT, Arfan masuk begitu saja. Sedangkan Razi masih diam di tempat, ia merogoh sakunya. Benda yang ia cari tak kunjung ditemukan, ah sial, Razi tidak membawanya. Dari awal memang tak pernah terpikirkan olehnya untuk membawa kartu MRT. Lalu bagaimana ini? Sedangkan Arfan terus saja berjalan tapi menoleh kebelakang sedikitpun.

"Masuk." Seseorang menyodorkan kartu MRT.

"Alhamdulillah, Abang gua masih peduli." Razi menerima kartu itu.

"Berisik, yaudah cepet." Arfan menarik tangan sepupunya.

"Bang, gue ada salah apa sih. Please jangan galak-galak, gua beneran takut." Arfan bergidik ngeri.

"Gue nggak mau lo ikut," tegas Arfan.

"Tapi kan ini amanah dari Ammah Bang. Takutnya Abang kenapa-kenapa,"

"Gue bisa jaga diri. Sekarang gue udah pesenin lo tiket, pergi sana. Biar gue urusin urusan gue sendiri." Arfan berlalu meninggalkan Razi yang tampak kebingungan.

Jujur saja, sebenarnya Arfan punya alasan untuk ini. Ia tidak mau nantinya Razi ikut susah jika bersamanya. Apalagi Arfan sendiri belum bisa memastikan siapa perempuan itu. Ia hanya tidak mau menyusahkan orang lain, apalagi ini adalah masalah pribadinya. Arfan ingin mereka nantinya ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan, tanpa harus ikut pusing dan bingung.

Agar tak terus mengganjal dalam pikirannya, Arfan memutuskan untuk mengirimkan pesan permintaan maaf dan penjelasan akan sikapnya ini pada Razi. Arfan juga mengatakan agar Razi tidak perlu menyampaikan apapun tentang ini pada Umma dan Babanya. Jika tidak, Arfan takut Razi akan diomeli oleh Baba dan Ummanya.

Orang-orang berdesakan untuk masuk ke MRT, sementara Arfan yang berada di tengah-tengah ikut terombang-ambing, jujur ini membuatnya pusing. Tak ingin terus larut dalam kerumunan ini, akhirnya Arfan memutuskan menepi dulu, tak peduli apakah nanti ia mendapatkan tempat duduk atau tidak, yang terpenting sekarang ia selamat.

"Maaf ini kertasnya jatuh." Seseorang menyodorkan kertas berwarna biru pada Arfan.

"Oh iya, terima-." Saat Arfan akan mendongak, di depannya sudah tidak ada siapa-siapa.

Netranya menelusuri ke seluruh sudut, namun hasilnya nihil. Tampak orang-orang didepannya sibuk berlalu-lalang dengan urusannya masing-masing. Lalu siapa yang memberikan kertas itu? Tunggu, bahkan Arfan tidak tahu kertas apa yang ada di genggamannya sekarang.

Perlahan Arfan mulai membuka kertas biru itu. Sontak ia terkejut saat melihat fotonya di tempel disana. Arfan menempelkan jari telunjuk di dahinya, laki-laki itu sedang berpikir. Sedetik kemudian ia ingat, foto itu diambil 3 tahun yang lalu saat ia akan masuk sekolah penerbangan.

"Ck, ganteng juga gue dulu," Arfan memuji dirinya sendiri.

Pandangan Arfan mulai fokus pada tulisan rapi di kertas itu. Bibirnya juga bergumam, tanda ia sedang membaca isinya. Arfan tau, itu adalah tulisan Ummanya. Tapi untuk apa Umma menulis ini. Dan kapan Umma memberikan ini padanya. Ah, rasanya Arfan harus membaca dulu untuk tau itu semua.

"Umma," gumam Arfan lirih.

Netranya masih fokus kepada tulisan yang baru saja ia baca. Seketika terbesit keraguan dalam benak Arfan. Keraguan akan tujuannya datang ke Bandung untuk mencari seseorang yang membuat hatinya merasakan jatuh cinta. Tiba-tiba Arfan ragu dengan perasaan itu, apa benar itu yang dinamakan jatuh cinta? Atau hanya getaran biasa karena gugup?

"Ya Allah." Arfan mengusapkan kedua tangannya pada wajah.

"Ah, bagaimana ini?" Lagi-lagi Arfan mengusap wajahnya kasar.

"Mas, maaf MRT nya sudah mau berangkat," ujar seseorang disampingnya.

"Astaghfirullah, terimakasih Pak." Setelah mengucapkan terimakasih Arfan segera bergegas masuk ke MRT.

Dan benar saja, di dalam MRT Arfan tidak mendapatkan tempat duduk. Ia terpaksa berdiri dan menyandarkan badannya. Pikirannya masih berkecamuk dengan keraguan-keraguan tadi. Surat dari ummanya benar-benar membuat mata Arfan terbuka. Apa jangan-jangan ini hanya nafsu belaka? Nafsu akan perasaan yang ia pikir adalah jatuh cinta. Sehingga ia datang kesini untuk mencari perempuan itu. Ya Allah, berikanlah Arfan petunjuk.

Lima belas menit kemudian, Arfan menginjakkan kakinya di stasiun. Ia berjalan menyusuri area stasiun hingga menemukan pintu keluar. Setelah itu ada tukang becak menawarinya tumpangan, seketika itu Azril bersedia. Lagi pula pikirannya sedang tidak baik-baik saja, bisa-bisa ia berjalan sambil melamun.

"Mau kemana Mas?" Tanya tukang becak itu.

"Teras Cikapundung Pak," jawab Arfan.

Tukang becak itu mengayuh becaknya menuju Teras Cikapundung, salah satu tempat wisata di Bandung. Di sana terdapat jembatan merah. Ya, di sanalah tempat Arfan menemukan perempuan yang ia maksud. Perempuan berwajah samar yang mengucapkan terimakasih saat Arfan mengambilkan brosnya yang jatuh.

Saat tukang becak memberitahu bahwa tujuan sudah dekat, saat itu juga Arfan merasakan degupan jantungnya berdetak lebih kencang. Bersamaan dengan itu, hatinya berharap perempuan yang ia temui seminggu yang lalu itu kembali ia temukan hari ini.

"Ini Pak." Arfan memberikan lembaran uang 50 ribuan pada tukang becak.

"Maaf Mas, terlalu banyak." Tukang becak itu hendak mengembalikan uang yang Arfan berikan.

"Ambil aja Pak, saya ikhlas. Permisi." Arfan buru-buru beranjak meninggalkan tukang becak yang tampak kegirangan itu.

Suasana Teras Cikapundung siang ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang berlalu-lalang, mungkin mereka adalah para karyawan kantor yang sedang menikmati jam-jam istirahat.

Arfan terus berjalan menuju jembatan merah yang sudah tampak di depan matanya. Tapi, perasaannya berubah menjadi kecewa, pasalnya disana tidak ada siapapun. Termasuk perempuan yang sedang ia cari. Namun Arfan tak menyerah, walau berat ia tetap melangkahkan kakinya. Arfan selalu berpikir positif, bisa saja tiba-tiba seseorang itu datang.

Arfan menyandarkan tubuhnya di jembatan merah sambil menikmati udara segar Teras Cikapundung yang dipenuhi pohon-pohon besar. Kemudian ia beralih memperhatikan sungai di bawah jembatan itu. Airnya memang tidak cukup jernih, namun alirannya mampu membuat Arfan tenang. Ia memejamkan mata, berharap dengan ini bisa merilekskan pikirannya lagi.

Arfan memperhatikan pantulan dirinya di sungai, tapi tiba-tiba muncul pantulan yang lain, tepat disampingnya. Pantulan yang sama persis dengan posisinya, tunggu siapa dia. Arfan menggosok-gosok matanya, memastikan bahwa indra penglihatannya tidak salah menangkap. Dan hasilnya masih sama, Arfan melihat bayangan itu.

"Allah kembali mempertemukan kita," suara lembut itu tertangkap oleh telinga Arfan.

Arfan mengangkat kepalanya, ia harus memastikan siapa orang disampingnya. Suara lembutnya benar-benar menggetarkan hati Arfan, suara itu benar-benar tidak asing di telinganya. Tapi suara siapa itu? Dimana Arfan pernah mendengarnya? Jujur, ia juga tidak tahu.

"Kk-kamu?"

Arfan menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa disampingnya. Lagi-lagi Arfan menggosok-gosok matanya, kali ini ia berharap penglihatannya salah. Ia berharap seseorang itu masih ada disampingnya. Namun hasilnya nihil, Arfan tidak melihatnya. Netranya masih mencoba menelusuri ke sekitarnya.

"Hei, dimana perempuan tadi?" Arfan benar-benar kebingungan, ia masih mencoba mencari-cari perempuan tadi. Ia berjalan dari tempatnya sekarang sampai ujung jembatan, namun hasilnya tetap nihil.

"Mas, ada apa?" Seorang laki-laki menghampiri Arfan.

"Dimana perempuan yang tadi berada di samping saya?" Arfan bertanya balik.

"Perempuan?" Laki-laki itu tampak kebingungan.

"Iya perempuan yang ada di samping saya," ujar Arfan mempertegas.

"Saya sudah dari tadi berada disini, tapi tidak ada siapapun di samping anda," ujar laki-laki itu. Sontak Arfan terkejut, bagaimana mungkin tidak ada siapapun, jelas-jelas ia mendengar ucapan perempuan itu tadi.

"Astaghfirullah," Arfan menempelkan kedua tangannya menutup wajah.

Ternyata sedari tadi ia hanya berhalusinasi, pasalnya tidak ada siapapun disini. Arfan tak hentinya beristighfar, harapannya terlalu berlebihan, sampai-sampai pikirannya berhalusinasi. Bersamaan dengan itu harapannya seakan runtuh, baru saja Arfan merasakan kebahagiaan, tapi sayangnya itu hanya halusinasinya.

"Sayang, ini minumannya."

"MasyaAllah, terimakasih istriku tersayang."

Deg

"Apa dia bilang, istriku tersayang?"

Bukan, bukan karena Arfan terbawa perasaan saat melihat adegan romantis di depannya. Tapi, ada satu hal yang membuatnya teringat akan kejadian sekilas waktu itu. Arfan masih memperhatikan sepasang kekasih di depannya, lebih tepatnya memperhatikan jaket yang dikenakan perempuan yang tak lain adalah istri laki-laki tadi.

"Blazernya mirip sekali," gumam Arfan.

Entah ini sebuah kebetulan atau apa, yang jelas Arfan tidak salah lagi. Blazer yang dikenakan perempuan di depannya sangat mirip dengan blazer perempuan yang ia tolong saat itu. Blazer berwarna abu-abu muda yang ia lihat sekilas dari perempuan itu.

Arfan tak bisa menepis pikirannya, walaupun ia tahu mungkin saja ini hanya kebetulan, pasalnya seringkali banyak orang menggunakan pakaian yang sama. Tapi entah mengapa ia benar-benar yakin jika perempuan di depannya saat ini adalah perempuan yang ia temui seminggu yang lalu di tempat yang sama, jembatan tempatnya berdiri sekarang. Hanya saja, ternyata perempuan itu sudah menikah.

Rasanya seperti ada ribuan bom menghantam tubuhnya, hatinya benar-benar sakit sekarang. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, seseorang yang membuat hatinya tergetar, ternyata sudah menjadi milik orang lain. Mungkin jika Arfan perempuan, pasti ia sudah menangis sejadi-jadinya. Tapi saat ini dirinya tidak ingin menangis, hanya ingin segera pergi dari sini. Bersama kekecewaan yang ia ciptakan sendiri.

"Ya Allah, ternyata seperti ini sakitnya berharap kepada manusia. Ampuni hamba ya Allah," Arfan menjatuhkan dirinya ke kursi taman, ia menunduk dan membiarkan tangannya menutupi wajah kekecewaan dan penyesalannya saat ini.

Mungkin ini balasan dari Allah karena ia terlalu berharap kepada manusia. Ia memang meminta petunjuk Tuhannya dengan beristikharah, tapi tidak bisa dipungkiri, harapannya lebih besar daripada petunjuk yang Allah berikan untuknya.

"Abang tau nggak sumber kekecewaan terbesar itu apa?" Arfan menggeleng.

"Berharap kepada manusia," ujar Umma.

Seketika Arfan teringat ucapan ummanya waktu itu. Saat ini Arfan benar-benar merasakan. Harapannya yang terlalu besar pada perempuan itu mengantarkannya pada kekecewaan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Jika bisa memutar waktu kembali, lebih baik ia tak pernah bertemu dan merasakan suatu getaran yang ia yakini sebagai getaran cinta.

Lama termenung, Arfan mengangkat kepalanya dan merilekskan ke kanan dan ke kiri. Ternyata di depannya sudah banyak orang berlalu-lalang, tempat ini sudah mulai ramai dikunjungi banyak orang. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang tadi saat melihat kondisi Arfan. Tapi Arfan tak peduli, mungkin mereka akan merasakan yang sama saat berada di posisinya sekarang.

Allahuakbar.. Allahuakbar

Suara adzan dzuhur mulai terdengar, seketika Arfan segera bangkit dan bergegas memenuhi panggilan Allah. Rupanya masjid berada tak jauh dari sini, karena suara adzan begitu nyaring terdengar. Arfan menelusuri jalan keluar dan berjalan beberapa menit hingga ia sampai di masjid. Dengan segera ia menuju ke tempat wudhu, karena sebentar lagi sholat akan dimulai.

Selesai wudhu, Arfan masuk pada barisan orang-orang yang sudah merapatkan shaf. Imam sudah memulai gerakan takbir, Arfan mengikutinya hingga semua rangkaian shalat selesai. Banyak tipe-tipe manusia saat setelah imam melakukan salam. Ada yang buru-buru bergegas, mungkin ini kebanyakan para pekerja kantoran yang dituntut untuk segera masuk kembali, tapi ada juga yang hanya sekedar ingin cepat-cepat pulang. Ada yang tetap khusyu' mengikuti dzikir dan doa yang dipimpin oleh imam. Dan kini Arfan berada di tipe yang kedua. Sejak kecil, Arfan selalu diajak babanya ke masjid komplek. Namun Arfan selalu mendapati babanya tak bersegera pulang, bahkan saat yang lain sudah beranjak.

"Ba, ayo pulang. Itu Om sama Pakde sudah banyak yang pulang," rengek Arfan kecil pada babanya, Azril.

"Arfan, sebentar lagi ya nak," ujar babanya.

Tak ada pilihan lain, Arfan kecil terpaksa menuruti titah babanya. Lagi pula ini masjid, setaunya kalau berada di tempat ini dilarang berisik. Jadi Arfan berusaha sabar, saat selesai nanti Arfan akan menanyakan ini pada babanya.

"Jadi kenapa Baba tadi nggak pulang cepet-cepet kayak Om dan Pakde yang lain?" Tanya Arfan pada babanya, saat ini mereka sedang duduk-duduk di teras masjid.

"Abang, jadi setelah sholat itu waktu mustajab bagi seorang hamba untuk berdo'a," jawab baba.

"Mustajab itu apa Ba?"

"Waktu mustajab itu adalah waktu-waktu dikabulkannya doa. Salah satu waktu itu ada saat selesai sholat fardhu. Sunnah yang lain juga berdzikir, jadi selesai sholat lebih baik kita jangan buru-buru beranjak, tapi berdzikir dan berdo'a dulu. Gitu nak," jelas Baba. Arfan kecil mengangguk tanda paham.

"MasyaAllah, nanti Abang ngga akan ngerengek lagi deh Ba. Arfan mau berdoa banyak-banyak sama Allah." Azril mencubit pipi putranya gemas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!