NovelToon NovelToon

SUAMIKU CACAT MENTAL

Bab.1. Anak Bodoh

Psuttt

Psuttt

Psuttt

"Ayah...ampun Yah. Sakit! hiks," Ardan berteriak kesakitan saat sebilah rotan mencambuk habis betis kecil anak berusia 15 tahun itu.

"Dasar anak bodoh! apa kamu tidak bisa seperti adikmu? sejak SD dia selalu mendapat juara pertama. Kamu bahkan tidak bisa masuk 10 besar. Tolol kamu!" hardik Suban.

"Ampun Yah. Ardan janji akan giat belajar lagi. Hiks...." Ardan nangis sesegukkan.

"Kalau kamu pintar. Kamu pasti akan banyak teman. Kalau kamu pintar, kamu pasti akan sukses. Kalau kamu sukses, kamu akan dihargai orang. Kalau kamu di hargai, istrimu nggak akan kabur," perkataan pria parubaya itu sudah merambat kemana-mana.

"Sejak dini Ayah sudah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar kalian bisa sekolah yang tinggi, biarpun Ayah cuma punya toko sembako. Ayah tidak mau kalian mengalami nasib sama seperti ayah. Ngerti kamu!"

"Nge-Ngerti Yah. Hiks...."

"Cengeng kamu! nangis aja bisanya. Ayah tidak mau tahu, semester depan kamu harus dapat ranking. Minimal masuk dalam 10 besar," ucap Suban.

Suban kemudian keluar dari kamar putranya yang memiliki ranjang susun. Ardan yang tidur di ranjang bawah, membuat dirinya tenggelam dalam selimut sembari terisak. Sementara Suban yang sudah melampiaskan amarahnya menoleh kebalik tembok, karena dia bisa melihat bayangan Abian dari pantulan tembok.

Suban mendekat kearah Abian, dan menarik telinga putra bungsunya itu.

"Awww...sakit Yah," kaki Abian terjengkit-jengkit, agar dirinya bisa menuruti arah tarikkan itu.

"Kebiasan suka nguping. Sana olesi kaki kakak kamu dengan salf. Kalau kamu sudah mendengar, itu artinya kamu harus mempertahankan prestasi kamu. Awas saja kalau nilaimu sampai turun," ucap Suban.

"Iya Yah. A-Apa tidak ada hadiah untukku?" tanya Abian dengan keberanian seadanya.

Suban menatap putranya itu dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Yang membuat Abian jadi ketakutan.

"Ka-Kalau tidak ada tidak apa-apa. A-Aku akan olesi kaki kakak dengan salf," sambung Abian yang kemudian akan melangkah pergi.

"Apa yang kamu inginkan?" tanya Suban.

Langkah Abian terhenti. Tanpa Suban tahu dia menerbitkan senyum dibalik punggungnya. Namun senyum itu bergegas dia simpan, karena dia takut keinginannya tidak tercapai.

"Ta-Tapi aku takut Ayah tidak punya uang. Walaupun sebenarnya aku sudah lama menginginkannya," ucap Abian.

"Katakan saja sebelum Ayah berubah pikiran," ucap Suban.

"A-Aku ingin sepeda Yah. Sekolahku dan kakak lumayan jauh kalau berjalan kaki. Kadang sering telat belajar, mungkin itu juga penyebab kakak tidak konsen belajar." Jawab Abian yang kemudian tertunduk.

Bukan tanpa alasan Abian menginginkan sepeda itu. Selain karena sekolah yang dia tempuh hampir mencapai 2 KM, Abian juga tidak tega pada Ardan yang setelah kakinya mengalami penyiksaan tetap saja harus sekolah keesokkan harinya.

"Ka-Kalau Ayah tidak punya uang, sepedanya tidak mesti baru kok Yah. Yang bekas pakai juga tidak apa-apa," sambung Abian. Remaja yang baru duduk kelas 1 SMP itu berusaha mencapai keinginannya.

"Baiklah. Tapi ingat! jaga prestasimu. Ayah ingin kalian jadi orang sukses," ujar Suban.

"Makasih Yah," senyum anak itu akhirnya terbit juga dan memperlihatkan gigi-giginya yang putih.

"Pergilah. Olesi kaki kakak kamu dengan salf!" ucap Suban yang kemudian dianggukki oleh Abian.

Abian kemudian mengambil Salf yang dia letakkan dilemari. Salf langganan yang biasa dia oleskan jika kaki Ardan kembali memar setiap 6 bulan sekali. Dan pekerjaan mengoles salf itu sudah dia lakukan sejak dirinya kelas satu SD.

Tap

Tap

Tap

Suara tangis Ardan langsung mereda, saat anak itu mendengar suara derap langkah kaki adiknya. Anak itu tidak ingin memperlihatkan rasa sedih dan rasa sakitnya pada sang adik, meskipun tanpa Ardan tahu Abian selalu menyaksikan penyiksaan itu dari awal hingga akhir

"Kakak. Aku...."

Brapppp

Ardan membuka selimut, dan tersenyum kearah Abian.

"Biar kakak sendiri yang mengoleskannya," ujar Ardan sembari meraih botol salf dari tangan Abian.

Dapat Abian lihat mata Ardan sudah membengkak, karena terlalu banyak menangis.

"Stttttt," Ardan terlihat memejamkan matanya, karena salf itu begitu perih saat menyentuh luka memar di kakinya. Lebih tepatnya bukan hanya memar, tapi kulitnya sedikit terkelupas.

"Biar aku bantu kak, biar cepat selesai," ujar Abian.

"Tidak perlu. Biar kakak sendiri saja. Kamu pergilah belajar, nanti kamu dimarahi ayah. Jangan sampai kamu merasakan rotan keramat itu, kamu nggak akan sanggup," ujar Ardan.

"Apa yang mau dipelajari, kita baru selesai semesteran. Dua tahun 6 bulan lagi kita akan selesai sekolah. Kakak kuliah, sedangkan aku masuk SMA. Tinggal sedikit lagi, penderitaan kakak akan berakhir," ucap Abian.

"Husssttt...jangan keras-keras, nanti Ayah dengar," ujar Ardan sembari meletakkan jari ditelunjuknya diatas bibir.

"Dia nggak akan dengar. Hitller versi modern itu mungkin tengah mencarikan sepeda bekas untukku," ujar Abian sembari mengoleskan salf dengan perlahan.

"Sepeda? dalam rangka apa? sejak SD kita selalu berjalan kaki, tidak pernah dia mau membelikan kita sepeda," tanya Ardan.

"Aku minta padanya." Jawab Abian.

"Ap-Apa? minta pada Ayah? kenapa kamu lakukan itu? kamu tahu sendiri kalau dia tidak mungkin memberikan sesuatu dengan cuma-cuma," tanya Ardan khawatir.

"Tentu saja. Dia ingin nilaiku selalu bagus, dan aku kembali menjadi juara kelas. Tidak minta hadiahpun dia menginginkan itu kan? dari pada tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik minta saja." Jawab Abian dengan senyum kemenangan.

Pukkk

Pukkk

"Kakak akui kamu pintar dan bernyali besar," ucap Ardan.

"Sekarang kita sudah punya satu harta. Kita bisa sekolah dengan sepeda itu. Kita tidak perlu capek jalan lagi. Nanti kalau kakak sudah kuliah, aku akan minta hadiah lain lagi," ujar Abian.

"Jangan ngelunjak. Aku nggak mau kamu bernasib sama sepertiku. Lagipula apa yang ingin kamu minta?" tanya Ardan.

"Motor." Jawab Abian.

"Ckk...gila kamu. Lain kali mungkin bukan rotan yang akan bersarang di kali, tapi alat pemotong rumput Ayah yang akan nancep," ujar Ardan.

Abian membantu Ardan untuk tidur tengkurap. Karena setelah kaki bengkak itu diolesi salf, posisi tidur yang paling enak adalah tengkurap. Karena menurut Ardan itu akan mengurangi rasa nyerinya.

"Aku sudah tidak sabar ingin bersepeda bareng kakak saat masuk sekolah nanti," ujar Abian dari atas ranjang, sementara Ardan tengkurap di ranjang bawah.

"Kakak juga. Tapi bagaimana cara kita mengayuh sepeda? kita kan nggak pernah belajar bersepeda," tanya Ardan.

"Diam-Diam saat disekolah aku selalu meminjam sepeda temanku. Dia selalu mengajari aku bersepeda. Kakak tenang saja, aku sudah bisa kok." Jawab Abian.

"Itu bagus. Nanti kamu ajarkan kakak bersepeda ya!" ucap Ardan

" Pasti." Jawab Abian.

Abian dan Ardan tertidur lelap, sampai sebuah ketukan dikamar mereka membuat keduanya terjaga. Tidak perlu ditanyakan siapa yang mengetuk, karena di rumah itu mereka hanya tinggal bertiga. Sementara ibu mereka sudah lari dengan pria lain sejak Suban mengalami kebangkrutan.

Bab.2. Berselingkuh

"Habis sudah! aku benar-benar bangkrut sekarang," Suban *******-***** rambutnya.

Pria pemilik depot kayu terbesar, dan pemilik toko bangunan terbesar di kota Tanggerang itu tampak frustasi. Pasalnya semua bahan bangunan, dan juga puluhan kubik kayu miliknya habis dijarah maling. Selain tidak memiliki satpam penjaga, keteledoran yang Suban lakukan adalah dengan tidak memasang Cctv pada toko dan depot kayunya itu.

"Kok bisa sih mas? kok bisa pas banget kejadiannya? sewaktu kita liburan. Rasanya ada yang ndak beres. Ini pasti ada sangkut pautnya dengan karyawan sampeyan. Ndak mungkin bisa sampai habis begitu barang-barangnya, kalau ndak malingnya santai," tanya Supinah.

"Ya aku mesti nuduh siapa? nggak ada bukti, kalau karyawanku yang melakukan semua itu. Lagi pula karyawanku itu nggak cuma satu, ada 16 orang. Mana tahu siapa yang melakukan pencurian itu?" ucap Suban.

"Pasti mereka semua bersekongkol mas. Sampeyan ojo meneng wae toh mas. Ndang cepet lapor polisi. Biar polisi yang usut," ujar Supinah.

"Daripada melibatkan polisi tapi nggak ada bukti, mending kamu jual dulu semua perhiasanmu buat modal lagi. Kali ini kita harus memasang semua Cctv disetiap sudut toko dan depot," ucap Suban.

"Yo emoh aku mas. Nanti setelah terjual, bangkrut lagi. Terus kita jadi gembel? sampeyan aja itung-itungannya ndak pas. Cari karyawan ndak becus. Pokok'e aku ndak mau perhiasanku dijual mas," Supinah menolak mentah-mentah permintaan Suban.

"Ya kalau depot dan toko bangunan nggak jalan lagi, kita makan apa Pin? nggak ada salahnya kamu bantu suami dulu. Lagian perhiasan itu juga hasil dari toko dan depot," ucap Suban.

"Jadi sampeyan ngungkit mas?" tanya Supinah dengan nafas naik turun.

"Bukan ngungkit. Tapi harusnya kamu bisa pengertian, kalau saat ini suamimu lagi butuh dukungan. Nggak cuma dukungan omongan, tapi juga dukungan materi." Jawab Suban.

"Pokok'e sekali emoh tetap emoh," ujar Supinah sembari pergi dari toko bangunan.

Abian dan Ardan yang mengintip pertengkaran itu hanya bisa saling berpegangan tangan. Mereka paling hafal dengan perangai kedua orang tuanya yang keras. Meski usia Ardan dan Abian hanya berbeda 3 tahun, tapi mereka selalu akur dan sangat dekat.

"Enak aja mau jual perhiasanku. Apa dia pikir selama ini aku cuma jadi istri diam saja di rumah? pria gila cari duit seperti dia, mana tahu apa yang dibutuhkan wong wadon," Supinah mengemasi beberapa pakaiannya kedalam koper.

"Ya mas?" tanya Supinah sembari menempelkan ponsel ke telinganya.

"Iya. Sudah selesai, kamu tunggu di depan ya!" ujar Supinah yang kembali menjawab ucapan pria diseberang telpon.

Supinah kemudian mengakhiri percakapan itu dan bergegas menyeret kopernya.

"Ibu mau kemana?" tanya Ardan.

Ardan dan Abian memang pulang lebih dulu, karena jarak rumah dan toko hanya berjarak satu kilometer jika ditempuh berjalan kaki.

"Kalian baik-baik tinggal sama ayah kalian. Ibu ndak bisa lagi ngurus kalian berdua. Ibu mau pergi jauh." Jawab Supinah tanpa mempertimbangkan mental anak-anaknya. Padahal saat itu Ardian baru berumur 9 tahun, sementara Abian baru berumur 6 tahun.

"Ibu jangan pergi Bu. Kalau Ibu pergi aku sama adek bagaimana?" tanya Ardan.

"Kamu itu anak laki-laki. Jangan cengeng! harus bisa ngurus diri sendiri dan ngurus adik kamu." Jawab Supinah yang kemudian melenggang pergi.

"Bu. Jangan pergi Bu! Abian janji nggak nakal lagi, Abian janji akan nurut sama ibu. Ibu jangan pergi! hiks...." Abian menarik-narik tangan Supinah, namun pada akhirnya tubuh kecil itu terpental akibat dorongan dari tangan Supinah.

Ardan menghampiri Abian, dan dua kakak beradik itu menangis berjama'ah. Namun baru saja Supinah akan beranjak beberapa langkah, Suban tiba-tiba pulang dan heran saat mendengar suara tangisan kedua anaknya.

"Ada apa ini?" tanya Suban.

"Mulai hari ini urus anak-anak. Nanti surat cerai aku yang urus." Jawab Supinah, yang kemudian melenggang pergi.

Tap

Suban mencekal tangan Supinah, hingga tubuh kecil wanita itu berpaling pada suaminya.

"Jangan gila kamu. Jangan mentang-mentang aku sudah bangkrut, terus kamu mau kabur gitu aja. Ingat anak-anak, ini cobaan buat rumah tangga kita. Eling kamu!" ucap Suban.

"Aku ndak perduli mas. Asal sampeyan tahu ya mas, aku ndak bisa hidup kere sama kamu. Aku masih muda, masih cantik. Aku ndak bisa hidup sama kamu yang bodoh dalam bisnis. Aku lebih milih sama dia," Supinah menunjuk kearah mobil sedan yang terparkir tidak jauh dari rumahnya.

"Kamu tenang saja. Aku ndak akan nuntut harta gono gini dari kamu. Jatah rumah ini aku berikan untuk Ardan dan Abian," sambung Supinah.

"Nggak! kamu nggak bisa ninggali aku dalam keadaan seperti ini Pin," Supinah tidak perduli dengan teriakkan Suban. Wanita itu membuka pintu mobil setelah memasukkan koper. Suban yang syok langsung tersadar, saat melihat mobil itu sudah menjauh.

Brukkk

Suban menjatuhkan lututnya ke tanah. Pria itu menangis, karena tidak menyangka sang istri sudah kabur dengan pria lain. Sejak hari itu Suban lebih banyak diam. Dia benar-benar terpuruk, dan juga tidak mengurus Ardan Abian dengan baik.

Ardan terkadang membeli makanan dari luar seadanya, dengan uang hasil memecahkan celengan ayam yang dia simpan selama bertahun-tahun. Ardan dan Abian tidak berani bersuara, karena takut melihat Suban yang sudah mirip seorang tahanan. Semua anak rambut diwajah pria itu dia biarkan tumbuh subur.

"A-Ayah. Abian demam," ujar Ardan dengan suara sedikit bergetar. Namun tak ada respon apapun dari pria berusia 34 tahun itu.

Ardan tidak berani berkata apa-apa lagi. Dia lebih memilih mengambil air sebaskom, dan mencari handuk kecil untuk mengompres dahi Abian.

"I-Ibu....," tubuh Abian menggigil kedinginan sembari memanggil-manggil ibunya. Ardan hanya bisa menangisi keadaan adiknya itu.

*****

Srakkk

Srakkk

Srakkk

Ardan mencuci pakaiannya dan pakaian Abian. Mau tak mau dia harus melakukan itu, karena mereka sudah tidak mempunyai pakaian bersih lagi. Suban yang hendak buang hajat, melihat apa yang dilakukan putranya itu sejenak namun akhirnya tidak dia perdulikan lagi. Setelah selesai ke kamar mandi, Suban memperingatkan Ardan.

"Kalau semua pakaian sudah kering, segera masukkan kedalam tas saja. Kita akan pindah setelah rumah ini laku," ujar Suban.

"Iya Yah." Jawab Ardan.

Ingin rasanya dia bertanya mereka akan pindah kemana, tapi Ardan tidak memiliki keberanian.

"Kita mau pindah kak?" tanya Abian yang ternyata mendengar ucapan Suban.

"Ya." Jawab Ardan.

"Kemana?" tanya Abian.

Ardan hanya mengedikkan bahunya tanda tidak tahu.

"Sudah tidak pusing lagi?" tanya Ardan.

"Sedikit. Ibu nggak pulang kak?" Anak berusia 6 tahun itu masih sangat berharap Supinah pulang dan mengurus mereka.

"Tidak usah mengingat yang tidak pantas diingat. Kita anak laki-laki, kita pasti bisa ngurus diri sendiri." Jawab Ardan.

"Ada dia dan nggak ada dia sama saja. Dia nggak pernah manjain kita," sambung Ardan sembari membilas pakaian yang dia cuci.

"Biar aku bantu kak," ucap Abian.

"Tidak usah. Kamu tiduran saja, biar cepat sembuh. Kalau sembuh kita bisa berkemas sama-sama," ujar Ardan yang membuat kepala Abian mengangguk.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Ardan kembali masuk kedalam rumah. Untuk meringankan pekerjaannya, Ardan mencicil mengemasi barang-barang di rumahnya

Bab.3. Pindah

"Kak. Rumahnya kecil sekali? bagusan rumah kita yang lama," bisik Abian.

Ardan meletakkan jari telunjuk didepan bibirnya. Ardan sangat takut kalau Suban mendengar ucapan Abian.

"Sekarang ibu kalian sudah nggak sama kita lagi. Jadi ayah harap kalian bisa mengurus diri kalian masing-masing. Tugas Ayah mencari uang, sementara tugas kalian mengurus rumah dan belajar," ucap Suban.

"Sebentar lagi tempat tidur kalian akan sampai. Segera rapikan pakaian kalian kedalam lemari," sambung Suban.

Suban pergi keluar rumah yang kedua anaknya pun tidak tahu kemana.

"Kak. Kalau kita pindah, apa sekolah kita juga akan dipindahkan?" tanya Abian.

"Sepertinya begitu. Pokoknya jangan banyak bicara. Kamu tahu sendiri ayah tidak suka dibantah. Sekarang lebih baik keluarkan pakaianmu dari dalam kardus, dan susun dilemari." Jawab Ardan.

"Aku tidak bisa melakukannya. Nanti semuanya terjatuh dan tidak rapi," ujar Abian.

"Ya sudah bantu kakak mengeluarkan semuanya saja, biar kakak yang akan menyusunnya," ucap Ardan.

"Aku lapar," ujar Abian.

"Kita akan makan setelah Ayah datang. Kakak tidak punya uang lagi buat beli makanan," ujar Ardan.

Bibir Abian cemberut. Bukannya membantu Ardan menyusun pakaian, dia malah duduk di kursi plastik usang sembari memangku dagunya dengan tangan. Ardan tidak memarahi adiknya itu, dia membiarkannya saja. Karena memang sifat Ardan lembut dan penyayang. Sementara meski berusia lebih muda, Abian memiliki watak yang keras dan kritis.

"Sepertinya tempat tidur kita sudah datang," ujar Ardan saat melihat sebuah mobil pickup datang di depan rumah.

Ranjang susun terbuat dari besi, bukan barang baru bagi mereka. Itu tempat tidur yang dipindahkan dari rumah lama. Tidak hanya ranjang besi itu, sebuah kasur busa berukuran besar milik ayah merekapun juga datang bersama tempat tidur mereka.

"Makasih Om," ucap Ardan saat semua barang mereka sudah diturunkan.

Sementara di tempat berbeda Suban tengah mencari-cari lokasi yang pas untuk menyewa ruko sederhana. Dengan hasil penjualan sisa barang di depot kayu dan toko bangunan, dan juga uang penjualan rumah. Suban memutuskan untuk membuka usaha berjualan sembako yang lumayan besar. Setelah menemukan tempat yang pas, Suban mulai membeli barang-barang di toko grosir. Untuk menunjang sarana usahanya, Suban juga membeli sebuah mobil pickup bekas pakai.

Suban pulang ke rumah saat waktu menunjukkan pukul 4 sore. Ardan yang melihat kedatangan Suban, memberanikan diri meminta uang untuk membeli makanan. Minimal dia tidak mendengar lagi rengekkan dari Abian yang kelaparan.

"A-Ayah. Boleh minta uang buat beli nasi? Abian sakit perut karena lapar. Kami cuma makan tadi pagi dengan mie instan," tanya Ardan dengan jantung yang berdegup.

Suban yang melupakan hal itu segera mengeluarkan uang dari dompetnya. Uang senilai 15 ribu yang membuat mata Ardan berbinar.

"Beli makanan yang mengenyangkan. Ayah baru merintis usaha, jadi kalian harus belajar berhemat. Ayah tidak memperbolehkan kalian jajan, kalau ingin jajan berusaha sendiri," ucap Suban.

"Iya Yah." Jawab Ardan.

Ardan segera berbalik badan setelah meraih uang dari tangan Suban. Setelah itu dia pergi membeli nasi bungkus di warteg dan beberapa gorengan.

"Bian. Bangun! kamu mau makan tidak?" tanya Ardan setengah berbisik.

Mendengar kata-kata makanan, Abian lansung beranjak dari tempat tidur. Satu nasi bungkus, dikeroyok dua orang. Untunglah Ardan membeli gorengan, karena dia tahu nasi itu tidak akan cukup untuk mereka yang benar-benar kelaparan.

"Ekkkkk...aammm," Abian bersendawa cukup keras.

"Kakak mintak duit sama ayah?" tanya Abian.

"Ya. Aku takut kamu pingsan, soalnya wajahmu sudah pucat." Jawab Ardan sembari bersandar di ranjang besi miliknya.

"Ada ibu memang sedikit lenih baik, meskipun kita juga sering di omeli. Tapi nggak ada ibu jauh lebih parah, kita harus berusaha mati-matian buat ngisi perut. Terus kita harus bagaimana kak?" tanya Abian.

"Katanya Ayah sedang merintis usaha. Mungkin kita susah hanya sementara. Tunggu sampai usaha ayah berjalan, kita pasti nggak akan susah lagi." Jawab Ardan.

"Usaha apa?" tanya Abian.

"Tidak tahu." Jawab Ardan.

"Usaha sembako. Kalian tidak perlu tahu seperti apa cara Ayah mencari uang. Tugas kalian hanya belajar. Pokoknya mulai semester depan Ayah nggak mau melihat nilai kalian kecil. Ayah ingin kalian mendapat juara pertama di kelas,"

Ardan dan Abian terkejut, karena Suban mendengar percakapan mereka.

"Ta-Tapi Yah. Itu mana mungkin. Mendapat juara pertama sangat sulit," ucap Ardan yang langsung mendapat pelototan mata dari Suban.

"Nggak ada yang nggak mungkin. Kalian sama-sama makan nasi. Kalau orang lain bisa, kalian juga bisa. Ayah nggak mau mendengar alasan. Minimal kalian harus masuk 10 besar," ujar Suban yang membuat Ardan dan Abian terdiam.

Suban kemudian keluar dari kamar putra-putranya itu, yang meninggalkan tingkat stres yang tinggi untuk anak-anaknya.

Satu minggu telah berlalu, kini usaha yang Suban rintis mulai berjalan dan sedikit-sedikit membuahkan hasil. Seminggu pertama Ardan dan Abian membantu Suban menunggu toko yang cukup ramai pengunjung. Setelahnya Suban merekrut dua orang Karyawan untuk membantunya di toko.

Sebagai pria normal, Suban tentu membutuhkan sentuhan seorang wanita. Karena trauma dengan pernikahan, Suban lebih memilih berhubungan dengan menyewa jasa wanita penghibur. Dan yang membuat Ardan dan Abian tidak suka adalah, Suban sering membawa wanita asing ke rumah.

"Apa sih yang mereka kerjakan di kamar? dia kan bukan ibu kita?" tanya Abian.

"Husssttt, lebih baik kita belajar saja," ucap Ardan.

"Bosan belajar. Dikamar sebelah juga berisik. Lebih baik kita pergi main saja," ujar Abian.

"Pergilah. Tapi jangan lama-lama, nanti ketahuan Ayah," ucap Ardan.

Namun tujuan Abian bukanlah bermain keluar, dia lebih memilih pergi ke toko Ayahnya dan mencuri uang ditoko itu nyaris setiap hari.

"Aku selalu melihat Ayah memberikan uang pada wanita itu setiap keluar dari kamar. Enak saja! sementara aku dan kakak seperti pengemis kalau minta uang sama dia," batin Abian.

"Bian? kamu kenapa disini? Ayah kan menyuruhmu belajar, bukan bantuin Ayah di toko," tanya Suban.

"Tadi sudah belajar. Tapi Ayah yang mengacaukan otakku." Jawab Abian dengan berani.

"Kenapa otakmu bisa kacau? jangan mencari-cari alasan. Awas saja kalau kamu tidak mendapat juara pertama semester nanti," tanya Suban.

"Ayah sama tante itu sangat berisik dikamar sebelah. Sebenarnya Ayah sama tante itu lagi main apa? terus setelah main, tante itu Ayah berikan uang. Kalau berisik, aku dan kak Ardan jadi terganggu belajarnya. Itulah kenapa Bian kesini, bantuin jaga toko." Jawab Abian.

Suban melirik kearah dua karyawannya yang berpura-pura tidak mendengar. Dan sejak hari itu pula Suban tidak pernah membawa wanita asing ke kamarnya, meskipun dia masih melakukannya di luar rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!