Malik yang telah menyelesaikan kuliahnya, bekerja sebagai seorang guru di salah satu sekolah dasar. Rezekinya dimudahkan, Malik lulus tes kepegawaian negeri saat pertama kali mendaftar. Dia diterima di sekolah yang berada di luar kota sehingga dia harus merantau dan pulang kampung saat libur mengajar saja.
Malik terkenal sebagai guru muda yang ramah dan tampan. Meski begitu, dia belum menikah dan tidak pernah terdengar memiliki kekasih maupun calon istri. Di tempatnya mengajar beberapa guru yang lebih senior sering menjodohkannya dengan beberapa guru perempuan yang sepantaran dengannya, tapi Malik selalu menolaknya dengan alasan dia masih ingin bekerja dahulu.
Di suatu malam setelah mengoreksi tugas siswanya, Malik memainkan ponselnya, membuka media sosial untuk sekedar melepas penat. Setelah menggulir dan membaca beberapa postingan dia melihat akun yang direkomendasi untuk diikuti. Ada salah satu nama akun yang sangat tidak asing baginya, bahkan dalam beberapa waktu dia memikirkannya. Salma Aziza itu lah nama akun tersebut, Malik menekan layar ponselnya tepat di kata ‘ikuti’.
‘’’’’
“Halo, Assalamu'alaikum kak”. Terdengar suara Sarah, adik Malik dari telepon.
“Wassalamu'alaikum dek, kamu di mana?”
“Aku di rumah teman kak, lagi belajar kelompok.”
“Kaka sudah mengirimkan uang, jangan lupa segera tarik uangnya dan kasih ke Ibu ya”. Pinta Malik pada adiknya.
“Oke kak”.
“Bagaimana kabar Ibu?”
“Alhamdulillah sehat dan aku pun juga sehat. Kalau kakak?”
“Alhamdulillah kakak juga, kamu jaga Ibu ya jangan menyusahkan haha”.
“Baiklah, kakak juga jaga diri”
“….”
Panggilan pun berakhir.
Malik selalu menghubungi adiknya setelah menerima gaji dan mengirimkan uang. Dia anak sulung dari dua bersaudara dan menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal lima tahun yang lalu. Karena kepintarannya di sekolah, dari bangku SMA dia sudah bekerja sebagai guru les privat membantu adik-adik SMP memahami suatu pelajaran. Begitu pun dengan kuliah, dia mendapat beasiswa penuh sehingga bekerja hanya untuk membantu Ibunya.
Dengan nilai akademisnya selama sekolah, Malik sesungguhnya bisa berkuliah di jurusan mana pun. Namun karena kecintaannya terhadap pendidikan dan anak-anak, dia memilih berkuliah di jurusan pendidikan profesi guru sekolah dasar, meski pun seperti yang kita ketahui pendapatan seorang guru tidak begitu memuaskan. Malik berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu tiga setengah tahun dan lulus dengan pujian (Cumlaude).
‘’’’’
Sudah beberapa hari setelah Malik mengikuti akun media sosial Salma yang merupakan adik kelasnya saat sekolah dasar dulu di kampung, Malik tidak diikuti balik dan tidak mendapat tanggapan apapun. Malik mengirim pesan, berpikir Salma tidak mengenalnya.
“Salma ini Malik, ikuti balik ya hehe”. Malik mengirim pesan pada akun Salma.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada terlihat pesan balasan dari Salma, Malik pun berhenti memainkan ponselnya dan memutuskan untuk tidur karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
‘’’’’
Keesokan harinya setelah salat subuh, Malik sibuk di dapur di rumah dinas yang ditinggalinya seorang diri untuk menyiapkan sarapannya. Dia biasa sarapan dengan nasi putih dan ikan goreng. Sembari menunggu nasi matang, dia menyerap kopi sambil mengecek ponselnya. “Kenapa?”. Malik membatin saat melihat pesannya yang dari tadi malam belum dibaca Salma. Dia berpikir, mungkin akun Salma sudah tidak aktif atau Salma sedang sibuk dengan kuliahnya.
Salma sedang menempuh kuliah kedokteran semester akhir. Salma merupakan siswa yang pintar dan selalu mendapat peringkat pertama sejak kelas satu sekolah dasar hingga SMA. Itulah yang membuatnya mudah untuk masuk jurusan kedokteran dengan beasiswa. Meski orang tuanya terpandang dan terkenal ‘berduit’ di kampung tempatnya tinggal, dulu Salma tetap berusaha mendapatkan beasiswa dan dia berhasil.
Tidak jauh berbeda dengan Malik, Salma juga memiliki kepintaran akademis dan rupa yang menawan. Di kampung mereka yang ekonomi penduduknya rendah (sebagian penduduk bekerja sebagai petani), pendidikan masih dianggap kurang penting dan Malik memecahkan rekor sebagai sarjana pertama yang diperkiraan akan disusul Salma.
Salma yang sibuk dengan kuliah dan praktek keilmuannya tidak seperti mahasiswi kebanyakannya yang sering nongkrong dan mengikuti budaya seperti ‘pacaran’. Dia hanya keluar jika ada keperluan saja dan selalu memakai jilbabnya.
Salma seorang wanita muda yang cantik yang disempurnakan dengan jilbabnya dan ramah terhadap siapa pun hingga banyak orang yang menyukainya. Beberapa mahasiswa baik itu seangkatan atau pun kaka tingkatnya menyatakan perasaan padanya. Namun, entah bagaimana, Salma merasa tidak yakin yang akhirnya tidak bisa menerimanya.
‘’’’’
Meski sudah di rumah dan tadi siang dia berkuliah penuh dari pagi, Salma harus tetap belajar untuk menghadapi ujian praktek minggu depan.
“Kak, makan dulu.” Terdengar suara Gani dari balik pintu.
Salma yang awalnya berniat melanjutkan belajarnya setelah salat magrib harus gagal karena diminta untuk makan bersama keluarganya yang dia patut untuk syukuri karena masih lengkap, ada Ibu, Bapa dan Gani adiknya.
Selesai makan dan berbincang beberapa pembicaraan santai, Salma segera beranjak untuk membereskan alat makan dan mencucinya. Meski terbilang sibuk, dia tetap harus melakukannya karena merupakan anak perempuan satu-satunya dan Ibunya sudah memasak. Sangat tidak pantas jikalau dia hanya makan saja tanpa membantu apapun.
Sebelum tidur, meski merasa sangat lelah malam ini, Salma mengambil ponselnya membuka media sosial yang sudah lama tidak dilakukannya. Dia melihat ada tanda pesan masuk di akunnya dan segera membukanya. “Malik” Salma bergumam.
Salma jelas mengingat seseorang yang bernama ‘Malik’. Walau sudah lama tidak bertemu dan hanya melihatnya beberapa kali itu pun dari kejauhan, tanpa alasan tertentu dia teringat Malik yang merupakan kakak kelasnya dulu yang pernah dia sukai. Salma merasa jantungnya berdetak lebih cepat setelah mengetahui Malik mengirim pesan padanya. “Mungkin dia hanya ingin berteman.” Pikir Salma tak ingin melanjutkan fantasinya yang memikirkan hal lain.
‘’’’’
Dulu saat Salma duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, ada seorang siswa baru yang masuk ke sekolahnya. Siswa itu bernama Beni. Beni cukup pintar di kelas, di semester pertama dia mendapat peringkat lima dari dua puluh siswa, menggeser posisi Dani yang sebelumnya hampir tidak tergantikan.
Beberapa minggu setelah Beni masuk sebagai siswa baru di sekolah Salma, dia berpacaran dengan kakak kelas yang bernama Elsa. Sebelum kedatangannya, siswa di sekolah mereka tidak ada yang berpacaran, di sini Beni sebagai pioneer.
Salma yang memiliki paras yang cantik sebenarnya juga sempat di dekati Beni, namun Salma nampak tidak memberikan tanggapan yang diharapkan. Hingga Beni bertemu Elsa yang juga cantik sebagai orang pertama yang menerimanya.
Secara fisik, Beni tidak setampan Malik, tapi gayanya yang keren dengan rambut disisir dan ditata berponi yang disingkap di balik telinga, kadang-kadang jatuh hampir menutupi matanya memberikan tampilan yang cukup untuk menaklukan hati siswi sekolah dasar. Gaya rambut seperti ini hanya cocok untuknya. Dulu ada seorang siswa yang mengikuti gayanya, namun terlihat aneh. Akhirnya siswa itu kembali dengan gaya rambut seperti sebelumnya.
Selain merupakan kakak kelas, Elsa juga tetangga Salma. Mereka sering pergi sekolah bersama dan berteman sejak kecil. Di kelas, Beni sering menanyakan tentang Elsa pada Salma. Saat hubungan Elsa dan Beni berlangsung, Salma juga jadi lebih dekat dengan Beni. Banyak siswa lain berpikir bahwa Salma memiliki hubungan dengan Beni, namun dia segera menggubris dan menjelaskan kebenarannya.
Di kelas, Beni tiba-tiba duduk di sebelah Salma yang sedang fokus membaca buku pelajaran.
“Salma." Beni membuyarkan fokus Salma.
“Ada apa Ben, masalah Elsa nanti ya.” Salma tetap melihat bukunya.
“Bukan itu.”
“Hah?.” Salma melihat Beni.
“Aku dengar dari Elsa, Malik suka sama kamu cie cie.”
“Apa sih.”. Salma memilih kembali melihat bukunya.
“Kamu cocok sama dia, sama-sama pintar, sama-sama ganteng dan cantik.” Beni mulai mengelabui.
Salma tak menjawab.
“Ayo pikirkan, masalah nantinya aku yang urus.”
“Oke, pikirkan lah!”. Lanjut Beni memerintah.
Salma tetap memperhatikan bukunya.
‘’’’’
Saat pulang sekolah karena rumah mereka tak begitu jauh dari sekolah, Salma dan Elsa berjalan bersama seperti biasanya.
“Sal.”
“Iya.” Salma menoleh untuk melihat Elsa.
“Beni ada bilang ke kamu tentang Malik.”
“Ada.”
“Bagaimana? Aku rasa mustahil perempuan tak menyukainya. Aku pun begitu sebelum ada Beni haha.”
“Sal, hal yang harus kamu syukuri dia bukan hanya ganteng, tapi juga pintar kenapa kamu tidak menyukainya juga coba.” Lanjut Elsa.
“Aku tak bilang tidak menyukainya.” Salma bergumam pelan, namun didengar Elsa yang tepat di sampingnya.
“Tuh kan benar.” Elsa menepuk pundak Salma.
Salma segera mengusap pundaknya yang kena pukul meski sebenarnya tidak terasa sakit.
“Oke, besok aku bilang ke Beni, biar dia yang urus, cie cie.” Lanjut Elsa yang segera menjauh memasuki halaman rumahnya.
‘’’’’
Di sore hari, Elsa datang ke rumah Salma bermaksud mengajak bermain. Namun Salma menolak dengan alasan sedang tidak enak badan. Salma sebenarnya dalam keadaan sehat hanya saja malu jika bertemu Malik saat bermain. Dia memilih untuk tetap di rumah.
Di jendela rumahnya, dia melihat Beni bermain bersama temannya di depan rumah Elsa yang berada tepat di seberang rumahnya. Di situ dia tak melihat Malik. Dia pun mendekati Beni karena merasa ada yang perlu ditanyakan. Salma keluar rumah.
“Eh katanya tadi sakit.” Elsa setengah berteriak.
Salma hanya tersenyum sembari sedikit mengeluarkan suara batuk-batuk.
“Beni.”. Salma memanggil Beni.
“Iya.” Beni berhenti bermain dan menghampiri Salma.
Salma mengajaknya sedikit menjauh dari teman-teman yang lain. Di lain tempat Elsa nampak memperhatikan dan senyum-senyum sendiri berpikir bahwa ini tentang Malik.
“Beni apa yang akan kamu lakukan?” Salma bertanya.
“Hah?” Beni terlihat bingung.
Salma hanya diam.
“Oh Malik, jadi kamu juga menyukainya?.” Lanjut Beni yang nampaknya belum diberitahu Elsa.
“Iya, kalau aku juga menyukainya apa yang kamu lakukan?”. Salma bertanya lagi.
“Aku akan memberitahunya.” Jawab Beni sembari tersenyum.
“Oh, jadi aku harus melakukan apa?”
“Ya kamu tunggu saja, besok aku akan bicara padanya apa dia mau kalian berpacaran juga seperti kami hehe.”
“Okeh, tapi kamu jangan bilang ke siapa-siapa ya, ini rahasia.” Salma sedikit merendahkan suaranya.
“Baik.” Beni kembali bermain bersama teman-temannya.
‘’’’’
Di sekolah, saat istirahat Beni yang seperti biasa ke kelas enam untuk melihat Elsa, juga memperhatikan Malik dan berpikir untuk menanyakan hal kemarin. Sama halnya seperti Salma, di waktu istirahat Malik juga terlihat sedang asyik membaca buku. “Mereka memang cocok” Pikir Beni. Setelah beberapa saat, Malik terlihat berdiri dan keluar kelas. Beni pun mengikutinya. Saat sudah berada di luar kelas, Beni memanggilnya.
“Malik.”
Malik berbalik dan mendapati Beni yang memanggilnya.
“Ada yang mau aku bicarakan”.
“Boleh, apa ya?”
“Aku dengar kamu suka sama Salma, kemarin Salma memberitahuku kalau dia juga menyukaimu.” Beni merendahkan suaranya sembari menahan senyumnya.
“Hah?.”
Malik mengingat kejadian tiga hari yang lalu, saat dia berdiri di depan kelas, dia melihat ke arah Salma yang sedang bermain bersama teman-temannya di halaman sekolah.
“Hei.” Elsa mengagetkannya.
Malik terkejut dan mengalihkan pandangannya ke arah Elsa.
“Begitu amat, apa karena kamu menyukainya?.” Elsa sembari menunjuk Salma.
“Haha.” Malik hanya tertawa, lalu masuk ke kelas.
“…..”
Malik berpikir Beni mengatakan ini pasti karena Elsa yang mengada-ngada.
“Dasar.” Malik tersenyum sinis, lalu ingin beranjak pergi.
“Salma juga suka kamu, bagaimana kalau kalian pacaran?”
“Apa?.” Malik menghentikan langkahnya dan kembali menghadap Beni.
“Salma juga suka sama kamu. Bagaimana kamu mau pacaran dengannya?.” Beni kembali dengan lebih meyakinkan.
Satu tangannya memegang kepala, Malik tak begitu percaya dengan kalimat yang baru didengarnya. Selang beberapa saat, Malik menarik Beni dan mengajaknya duduk di tepi halaman sekolah.
“Memangnya apa bedanya pacaran atau tidak?”. Malik terlihat serius.
“Kalau pacaran kamu bisa bilang ‘ini pacarku’ jadi kamu bisa meminta yang lain untuk menjaga jarak dengannya, kamu bisa nganterin dia pulang hmm dan kalau kamu berani kamu juga bisa memegang tangannya.” Beni menjelaskan sembari memegang tangan Malik.
Malik segera melepaskan tangan Beni.
“Oh, kalau pacaran ada kemungkinan akan berpisah?”
“Kalau kalian tidak cocok atau tidak saling menyukai lagi, ya kalian berhenti aja pacaran, masih mungkin sekali berpisah.”
“Dan kamu tahu tidak? Kalau setelah kamu berhenti pacaran misalkan dengan Salma, maka dia akan jadi mantan kamu.” Beni melanjutkan.
“Mantan? Kaya presiden aja ada mantan.”
“Iya begitu..”
“Kalau sudah jadi mantan, apa yang akan terjadi? Maksudku apakah kami tetap bisa berteman?” Malik kembali bertanya.
“Kalau aku sih yang sudah punya dua mantan tidak lah, aku dan mantan-mantan ku di sekolah ku dulu sudah tidak berteman lagi, meski tidak bisa dibilang musuh tapi setahuku kamu tidak bisa berhubungan baik lagi dengan mantan kamu setelah putus.” Beni menjelaskan layaknya pakar cinta yang sudah berpengalaman, dia menjelaskan dengan bahasa yang tidak sebanding dengan usianya yang bahkan belum remaja.
Malik terlihat sedang berpikir. Sebenarnya dia sungguh menyukai Salma, namun mendengar tentang mantan dia tidak ingin Salma menjadi mantannya.
“Sepertinya aku tidak bisa.” Malik bungkam setelah beberapa saat.
“Hah?”
“Aku tidak mau pacaran sama Salma.”
“Kenapa? Dia cantik, pintar dan..”
“Bilang ke Salma aku juga menyukainya tapi aku terlalu malu kalau harus berpacaran.” Malik bangkit dari duduknya dan berlalu pergi.
“Hei!” Beni mencoba menghentikan Malik.
Malik mengabaikan Beni dan tetap melanjutkan langkahnya.
‘’’’’
Sepulang sekolah, saat Salma dan Elsa berjalan beriringan, Beni datang menyusul mereka.
“Eh Beni. Bukannya rumah kamu ke arah sana, kenapa mengikuti kami?.” Elsa terkejut melihat Beni berada tak jauh di belakangnya.
“Salma,,Malik.” Ucap Beni dengan nafasnya yang masih tersengal.
“Kamu habis lari?” Tanya Elsa lagi.
Beni mengangguk.
“Malik Sal.”
“Iya bagaimana? Kamu sudah bilang ke dia?” Salma terlihat bersemangat, namun di sisi lain dia juga merasa gugup.
“Dia tidak mau.”
“Hah, masa sih?”. Elsa tak percaya.
“Iya, katanya dia malu.”
“Malu?.” Elsa membelalakkan matanya.
“Begini ya Salma, tadi dia begitu setelah cukup lama berpikir lalu setelah bicara dia bilang bahwa dia benar menyukaimu tapi malu untuk berpacaran.” Beni mengatakan apa yang diminta Malik.
Elsa masih terlihat belum menerima alasan Malik tak mau berpacaran dengan Salma. Malu? Meski suka tapi tak mau berpacaran karena malu?, menurutnya itu bukan alasan yang masuk akal. Berbeda dengan Salma, dia terlihat tenang dan tak menanyakan apa pun lagi pada Beni mengenai Malik.
Seperti itu lah kisah percintaan masa kecil Salma dan Malik. Tidak ada hubungan yang terjalin di antara mereka. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat, mereka bersekolah bermain dan lulus jenjang sekolah dasar.
Malik yang lulus lebih dahulu memilih sekolah menengah pertama di pinggir kota. Setiap pagi dia mengayuh sepeda dari kampung menuju sekolahnya.
Lain halnya dengan Salma, setahun setelah Malik, dia memilih bersekolah di luar kota di tempat pamannya tinggal. Salma pulang kampung saat libur sekolah saja.
‘’’’’
Setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya Salma memilih untuk membalas pesan Malik, “Oke sudah”. Lalu segera mengikuti balik akun Malik.
Tidak berapa lama, masuk pesan balasan dari Malik berupa emoticon jempol dan senyum. Salma membuka pesan itu dan melihatnya dengan tersenyum, namun tidak membalasnya lagi.
‘’’’’
Di tengah kesibukan Malik bekerja menjadi seorang guru dan Salma sedang menyiapkan tugas akhir kuliahnya selalu menyempatkan waktu untuk membuka sosial media mereka masing-masing. Jika Malik mengirimkan sesuatu di laman sosial medianya maka tak sekali pun Salma luput untuk memberikan like begitu pula sebaliknya. Meski tidak ada interaksi berbalas pesan tapi tanpa mereka sadari melihat dan dilihat sesuatu yang dikirimkan menjadi hal yang mereka tunggu.
Salma kembali ke kampung setelah lulus sekolah menengah. Meski kuliah di kota dan menempuh jarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya menuju kampus, dia memilih untuk pulang pergi.
‘’’’’
Setelah Salma menyelesaikan ujian praktek, Nanda teman kuliahnya mengajak makan sembari bersantai di sebuah kafe. Salma pun mengiyakan karena merasa tak enak hati karena sering menolak ajakan temannya yang meminta keluar terlebih hanya untuk bersantai. Sesampainya di kafe, mereka memilih menu dan setelah beberapa saat mereka pun menikmati menu yang mereka pesan.
“Bagaimana kakak kelas yang kamu ceritakan waktu itu. Apa dia ada mengirim pesan lagi padamu?” Nanda sembari mengaduk minumannya.
“Malik?”
Nanda mengangguk. “Memang ada yang lain?.” Nanda melihat Salma dengan tatapan meledek.
“Hmm, Bagaimana mengirim pesan. Dia aja tak punya nomorku.”
“Aduh Sal, kamu terlalu pintar sih, maksudku mengirim pesan di media sosial setelah minta ikuti balik kemarin itu.” Nanda merasa geram.
“Tidak ada.” Balas Salma singkat dan memaksa senyumnya.
“Ya ampun.”
“Eh apa kamu tak kepikiran untuk mengirim pesan padanya lebih dulu?” Lanjut Nanda
Salma melihat temannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!