Malam ini, seorang wanita sedang duduk melamun di sebuah bar bersama beberapa temannya. Ia datang untuk memenuhi undangan pesta ulang tahun salah seorang kenalan yang kebetulan adalah pemilik bar tersebut.
Namanya Valerie, gadis berusia dua puluh lima tahun itu bekerja sebagai seorang instruktur senam dan yoga. Ia tidak terlalu menyukai bar, namun karena undangan berasal dari salah seorang kenalan yang sudah sering mengikuti kelas senamnya, Valerie merasa tidak enak hati untuk menolak.
"Jangan melamun, V. Kau membuat minuman mahal di tanganmu merasa tersia-siakan," tegur salah seorang teman. Karena sejak duduk, Valerie hanya menggoyangkan gelas berisi minuman beralkohol di tangannya tanpa ingin meneguk setetes pun.
"Aku tidak pernah minum minuman seperti ini. Bisakah aku memesan minuman lain?" tanya Valerie.
"Ah, kau ini. Minum sesekali tidak akan membuatmu sekarat. Aku tahu kau bergaya hidup sehat, tapi kau akan menyesal karena ini adalah wine mahal yang diimpor langsung dari Jerman."
Valerie terdiam, ia memperhatikan sekelilingnya. Sebuah bar tiga lantai yang dibagi menjadi kelas biasa, bisnis dan VIP ini membuat Valerie merasa sesak. Ia tidak terbiasa berada di tempat seperti ini, Valerie lebih menyukai menghabiskan waktu di tempat gym daripada di keramaian tidak bermanfaat.
Berkali-kali Valerie menghela napas panjang, di samping kanan dan kirinya, teman-teman Valerie sudah asik meneguk wine di tangan mereka.
Semakin lama merasa semakin tidak nyaman, wanita itu akhirnya memutuskan untuk berpamitan pada penyelenggara pesta yang mulai mabuk. Ia menyisir keramaian dan berjalan ke pintu keluar.
"Ah, aku suka udara segar," gumamnya pelan. Ia berjalan santai menuju area parkir sambil memainkan ponselnya.
Namun tiba-tiba, seorang laki-laki mabuk memeluk tubuhnya dari belakang.
"Lisa," gumam laki-laki itu dengan suara serak.
Seketika Valerie tersentak kaget, refleks ia memberontak. Ia berbalik cepat dan menendang keras laki-laki itu tepat sasaran, tepat di tempat paling menyakitkan. Tidak hanya itu, Vallerie juga sekuat tenaga membanting tubuh laki-laki itu melewati punggungnya hingga laki-laki itu terbaring tak berdaya di atas tanah.
Laki-laki itu langsung mengerang kesakitan. Aroma alkohol sangat menyengat membuat Valerie tersadar, jika laki-laki itu tidak sengaja memeluknya karena mabuk dan berpikir jika dirinya adalah nama wanita yang disebut oleh laki-laki di hadapannya.
Hanya berselang beberapa detik, laki-laki itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana ini, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Valerie panik. Ia melihat sekelilingnya. Tidak terlihat siapapun di sekitarnya.
Suasana sepi di tempat parkir membuat Valerie bersikap agresif, terlebih ia sedang berada di area bar yang pasti dikunjungi oleh banyak laki-laki kurang ajar. Hal itu membuat wanita dua puluh lima tahun itu waspada dan menjaga diri lebih hati-hati.
"Ah, bagaimana ini?"
Valerie menghentakkan kaki di atas tanah dengan kesal. Ia menggaruk kepalanya, lalu berjongkok untuk memastikan keadaan laki-laki yang tengah tidak sadarkan diri.
"Dia tidak mati, kan?" batin Valerie bertanya. Ia meletakkan jari telunjuk di depan hidung laki-laki itu dan masih merasakan hangat napasnya.
"Apa aku menendangnya terlalu keras? Apa aku harus mengecek keadaan anunya?" Valerie melirik bagian resleting celana laki-laki itu sambil meringis bingung.
"Ah, tidak. Dia pasti hanya terlalu mabuk!" serunya untuk menenangkan diri.
Merasa tidak ada yang melihat kejadian ini, Valerie bergegas lari menuju tempat sepeda motornya terparkir. Saat hendak menyalakan mesin, pikiran tidak tega menghantuinya.
"Ah, ini akan menjadi sebuah kejahatan jika aku meninggalkannya begitu saja," gumamnya.
Dengan perasaan tidak karuan, Valerie menelepon taksi dan memanggil security yang berjaga di depan bar untuk membantunya mengangkat tubuh laki-laki yang tengah pingsan.
Valerie mengirim laki-laki itu ke rumah sakit dan menyusulnya.
🖤🖤🖤
Sesampainya di rumah sakit, rupanya laki-laki itu telah sadar. Ia mengerang kesakitan sambil menunjukkan pada dokter di mana letak rasa sakit yang membuatnya tidak tahan.
Melihat hal itu, Valerie hanya bisa menggigit jari. Ia pasti akan di tuntut jika terjadi hal serius pada laki-laki yang berbaring di atas ranjang rumah sakit.
Selama dokter menangani pasiennya, Valerie meninggalkan kartu nama di resepsionis rumah sakit. Ia bergegas pulang karena hari sudah malam dan ia akan mendapatkan masalah jika pemilik kos tahu bahwa ia pulang tengah malam.
Valerie sampai di rumah kosnya tepat pukul dua belas malam, saat hendak memarkirkan motornya, seorang ibu-ibu paruh baya sedang menggenggam kunci gembok sambil menatapnya sinis.
"Maaf, Bu. Ada urusan tiba-tiba," ucap Valerie sebelum sang pemilik kos melontarkan pertanyaan padanya.
"Peraturan tinggal di sini harus pulang sebelum pukul sebelas malam. Jika keberatan, kau bisa cari rumah kos lain," tegas ibu pemilik kos.
"Maaf, Bu." Valerie hanya bisa mengangguk sopan dan berlalu masuk ke dalam rumah.
Rumah kos ini cukup luas, hanya terdiri dari tiga kamar dan dilengkapi dengan ruang tamu, dapur, serta ruang menonton televisi. Kamar mandi ada di setiap kamar, dan dua kamar lainnya di huni oleh mahasiswi yang kebetulan menempuh pendidikan di kampus terdekat.
Meskipun pemilik rumah cukup menyebalkan, Valerie betah tinggal di sini karena hanya ini rumah kos yang cukup bagus namun dengan harga murah. Meski Valerie mampu menyewa rumah yang lebih besar, namun ia tidak melakukannya karena takut merasa kesepian, terlebih ia tidak suka menghambur-hamburkan uang.
***
Pagi-pagi sekali saat Valerie baru saja terbangun dari mimpi indahnya, puluhan panggilan tak terjawab sudah menghiasi layar ponselnya.
Valerie menarik napas dalam-dalam dengan mood yang sudah rusak. Penelepon itu pasti keluarga dari laki-laki yang ia antar ke rumah sakit semalam, atau bisa jadi penelepon itu adalah laki-laki itu sendiri.
Hari ini Valerie tidak memiliki jadwal kegiatan apapun, namun ia memiliki janji untuk bertemu orang penting setelah jam makan siang. Seharusnya ia hanya berniat datang ke tempat gym untuk mengisi kegiatan paginya, namun insiden semalam membuat ia harus kembali ke rumah sakit untuk meluruskan semua kesalahpahaman yang terjadi.
Setelah mandi dan membereskan kamarnya, Valerie keluar dari kamar. Rumah terlihat sepi dan dua penghuni lainnya sudah pergi. Valerie menuju tempat sepeda motornya terparkir. Ia menenteng helm dan mengenakannya sebagai pelindung kepala.
Motor sport berwarna hitam yang Valerie beli dari tabungan yang ia kumpulkan dari hasil keringatnya selama beberapa tahun menjadi instruktur senam, adalah wujud memanjakan diri dan memberi penghargaan pada dirinya sendiri karena telah berjuang selama ini.
Wanita itu sudah terbiasa hidup mandiri. Valerie tidak pernah ingin merepotkan orang-orang terdekatnya, meskipun dalam sekali ucap ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, Valerie tidak pernah melakukannya, ia lebih memilih berusaha dengan caranya.
Motor melaju kencang membelah jalanan yang ramai. Sepanjang perjalanan, Valerie sudah resah karena khawatir. Ia khawatir jika terjadi sesuatu yang serius pada laki-laki yang ia tendang dan banting semalam.
Sesampainya di rumah sakit, Valerie memarkir motor dan memperbaiki rambut pirang panjangnya setelah diterpa angin kencang saat perjalanan.
Meski hanya dalam balutan celana jeans panjang dan kaos crop serta jaket denim, Valerie tampil cantik mempesona, membuat sebagian besar orang yang melihat mengira bahwa ia adalah seorang super model.
"Dengan Nona Valerie?" tanya seorang laki-laki berpakaian rapi dengan rambut cepak.
"Ya, saya Valerie."
"Baik, silahkan ikut saya." Laki-laki itu memimpin jalan dan Valerie mengikutinya sampai ke sebuah ruang perawatan VIP.
🖤🖤🖤
Di ruang perawatan tersebut, ada dua orang berdiri di depan seorang pasien yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Mereka tampak mengobrol sebelum Valerie datang dan menjadi pusat perhatian.
"Noah?" sapa Valerie saat mengenali salah satu laki-laki yang tengah menunggunya.
"V, sepertinya kau dalam masalah," jawab laki-laki tampan yang dipanggil Noah. Ia adalah seorang anggota polisi muda yang kebetulan mengenal Valerie, karena ibu Noah adalah salah satu anggota sosialita yang sering datang mengikuti kelas senam Valerie.
"Max, wanita itu pelakunya?" tanya laki-laki di samping Noah. Laki-laki itu berwajah tampan, dengan rambut rapi, setelan jas formal dan gaya bicaranya, ia terlihat seperti orang penting.
"Aku tidak begitu ingat wajahnya, Bos. Aku hanya ingat saat dia menendang dan membanting tubuhku," jawab Max, laki-laki yang berbaring di atas tempat tidur. "Bos, tidak perlu membesarkan masalah, ini pasti hanya kesalahpahaman," lanjutnya.
"Tidak, Max. Dia melakukan penganiayaan sekaligus perbuatan tidak menyenangkan padamu. Dia harus bertanggungjawab!"
"Penganiayaan?Apa kau tidak tahu bahwa laki-laki ini yang memelukku tiba-tiba? Mana mungkin aku berbuat seperti itu jika dia tidak melakukan hal buruk padaku terlebih dahulu!" Valerie membantah.
"Aku tidak ingat apapun," lirih Max dengan pelan. Semalam ia sedang dalam pengaruh alkohol, dan hal itu membuatnya kesulitan mengingat karena kesadarannya menurun.
"Tenang, V. Jelaskan pelan-pelan." Noah berusaha menenangkan.
"Noah, bagaimana bisa aku tenang. Dia yang lebih dulu memelukku, aku bersikap kasar karena aku panik!" seru Valerie kesal.
Terlihat dengan jelas bahwa Noah tidak mampu memberi pembelaan padanya. Terlebih Valerie tidak memiliki bukti bahwa ia melakukan tindakan itu karena sebuah alasan.
"Noah, Max butuh istirahat. Selesaikan itu di kantor polisi," ucap laki-laki di samping Noah.
"Brian, bagaimana jika kalian menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Aku paham keadaan Max, tapi ...." Noah berusaha membela Valerie, namun laki-laki bernama Brian tampak tidak peduli.
"Meskipun kalian saling kenal, bukan berarti kau bisa melindungi pelaku penganiayaan, Noah. Aku tidak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!"
"Bertanggungjawab?" Valerie melotot.
"Sudahlah, V. Ayo bicara di luar," ajak Noah. Ia memegang lengan Valerie dan memaksanya keluar dari ruang perawatan itu. Berdebat dengan Brian tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.
"Noah, aku tidak bersalah!" protes Valerie di luar ruangan.
"Kau sudah makan?" tanya Noah.
"Seseorang terus meneleponku sampai aku lupa sarapanku."
"Baiklah, kita bicara sembil makan."
Noah mengatakan pada rekan anggota polisi yang mengikutinya untuk kembali ke kantor polisi lebih dulu, sementara ia mengajak Valerie keluar dari rumah sakit untuk mencari restoran.
Mereka berdua berjalan kaki, datang ke sebuah restoran yang berada tepat di sebrang jalan di depan rumah sakit.
"Mau pesan apa?" tanya Noah.
"Selera makanku sudah hilang."
"Baiklah, aku saja yang pesan."
Valerie duduk dengan gelisah, berkali-kali ia tampak menghela napas panjang sambil memainkan jarinya di atas meja. Noah melihat kebingungan wanita itu, namun ia tidak bisa membantu lebih banyak karena urusan Valerie bukan dengan orang sembarangan.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Noah.
"Semalam, aku datang ke bar untuk pesta ulang tahun seseorang. Aku pulang lebih awal karena merasa tidak nyaman, jadi saat itu aku sendirian. Di tempat parkir, laki-laki mabuk itu memelukku secara tiba-tiba. Refleks aku menendang kemudian membanting tubuhnya."
"Aku tidak menendangnya terlalu keras, hanya sedikit keras. Dia pasti baik-baik saja, kan?" tanya balik Valerie.
"Itu tendangan yang keras, V. Sangat keras!" seru Noah.
"Tidak, aku menendangnya pelan-pelan," bantah Valerie sambil meringis menggigit jari.
"Semalaman, Max mengalami kram perut dan mual muntah parah. Apa kau tidak tahu bahwa yang kau tendang adalah pusat rasa sakit seorang laki-laki?"
"Aku hanya menendang itunya, kenapa bisa sakit perut dan mual muntah?" Valerie balik bertanya.
"Rasa sakit dari tendangan itu menjalar ke rongga perut melalui saraf. Juga memberikan efek mual dan muntah. Tendangan keras di area itu mengakibatkan rasa sakit luar biasa, rasanya seperti tiga tulang patah secara bersamaan!" jelas Noah.
"Penjelasanmu terdengar cukup mengerikan," gumam Valerie.
"Bahu kanan Max juga mengalami pembengkakan, siang ini dia baru akan menjalani rontgen karena dokter menduga ada tulang yang retak atau bahkan patah," terang Brian lagi.
"Separah itu?" Valerie berucap lirih.
"Hmm, separah itu." Noah mengangguk memastikan.
🖤🖤🖤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!