Cewek berseragam putih biru tampak berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
Kucir yang tegak berdiri serta penuh dengan pita warna-warni bergerak lucu seirama dengan hentakan kakinya.
Cewek yang memiliki nama lengkap Dinda Dwi Aryani itu berlari menuju mamanya yang tengah mengoleskan selai pada roti di meja makan.
Bukan keinginan Dinda untuk dikucir kekanakan seperti itu. Semua ini karena persyaratan MOS yang mengharuskan siswa baru dikucir menurut tanggal lahir.
Dan yang lahir di tanggal 1 seperti Dinda dilarang untuk mengucirnya secara normal jika tak ingin para panitia sendiri yang mengucirnya.
Tentu saja hasilnya akan lebih mengerikan dari kucir rambut Dinda saat ini.
“Dinda hati-hati. Nanti kamu jatuh,” ucap sang mama khawatir.
“Nggak ada waktu, Ma. Dinda udah telat.”
Dinda mencomot roti yang sudah selesai diolesi selai oleh sang mama. Mengunyah potongan pertama roti yang dia gigit dan meminum seteguk susu yang berada di samping piring rotinya.
Setelah mulut penuhnya mulai kosong, Dinda mencium pipi sang mama. “Dinda berangkat dulu, Ma.”
Dinda berlari sambil bersusah payah menghabiskan rotinya sebelum sampai ke pintu depan.
“Jangan lupa bawa helm,” teriak sang mama dari dapur.
Tiba-tiba saja kepala Dinda kembali menyembul untuk mengambil helm. Dinda tersenyum kepada sang mama kemudian kembali menghilang dari balik pintu.
Mama Dinda hanya bisa geleng kepala melihat tingkah anak perempuannya yang pelupa itu.
Bukan sekali dua kali anaknya lupa dengan banyak hal. Tidak peduli Dinda sedang terburu-buru ataupun santai. Pasti ada saja salah satu barangnya yang tertinggal.
Karena itu Dinda terbiasa membuat catatan dalam ponselnya jika dia memiliki acara atau barang yang harus dibawa untuk keesokan harinya.
Karena itu juga kalender pada ponselnya penuh dengan tanda catatan pengingat di setiap tanggalnya.
~oOo~
Dinda tersenyum ke arah seorang cowok yang tengah duduk di atas motor menunggu nya di depan rumah.
Bukan, cowok itu bukan pacar Dinda. Melainkan tetangga sebelah yang memang satu sekolah dengannya, namanya Mas Arya.
Mas Arya satu tingkat di atas Dinda. Karena hari ini pertama kalinya Dinda masuk sekolah, maka Mas Arya dengan senang hati menerima permintaan Tante Diana, mama Dinda untuk mengantar tetangga manisnya itu ke sekolah.
“Lama ya, Mas?” tanya Dinda tersenyum malu kepada Arya.
“Mas sih nggak masalah nunggu, tapi kamunya yang masalah kalau telat. Ayo naik.”
Dinda segera naik ke montor dan memakai helm supaya Arya bisa cepat melajukan motornya.
Ya, ini memang baru jam 6 pagi. Bukannya kesiangan, bahkan terlalu awal bagi Mas Arya untuk berangkat ke sekolah.
Toh juga hari ini Arya masih dalam rangka libur sekolah. Beda hal dengan Dinda yang hari ini wajib mengikuti MOS dan diharuskan berada di sekolah jam 6 tepat.
Sialnya Dinda masih berada di jalanan saat jarum jam menunjuk pukul 6 pagi.
Dinda mengeratkan pegangannya pada pinggang Arya yang dengan amat sangat terpaksa melajukan motornya di atas rata-rata supaya Dinda tidak terlambat.
Bukannya takut, Dinda malah tersenyum di balik punggung Arya. Sebab dia sangat menyukai posisi ini. Dinda senang bisa sedekat ini dengan Arya.
Benar, Dinda memang memiliki perasaan lebih pada cowok berbadan tinggi itu. Dan dia memiliki keinginan untuk menyatakan perasaannya pada Arya saat masuk SMA yang berarti sekarang.
Arya menghentikan montornya tepat di depan gerbang sekolah. Sudah sepi. Dinda benar-benar terlambat. Hela nafas terdengar dari mulut Dinda saat mendapati gerbang yang sudah sepi.
“Aduh sepertinya kamu bakal kena hukum,” ucap Arya prihatin.
“Iya nih Mas.”
“Ya udah, cepetan masuk sana.”
Bukannya bergegas masuk, Dinda masih saja berdiri di tempatnya.
Arya mengerutkan keningnya bingung pada cewek yang sudah dia anggap seperti adiknya itu.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanya Arya bingung melihat Dinda yang tak kunjung masuk ke dalam.
Dinda menggeleng pelan. “Anu–sebenarnya ada yang pengen Dinda omongin sama Mas Arya,” ucap Dinda malu sambil menundukan wajahnya.
Dinda cukup tahu diri kalau dirinya sudah sangat terlambat untuk mengikuti MOS, tapi Dinda tak mempermasalahkan hal itu. Masuk sekarang ataupun nanti hasilnya tetap sama. Dinda akan tetap menerima hukuman karena datang terlambat.
“Udah nanti aja pas pulang sekolah. Kamu masuk aja dulu.”
Dinda mengerucutkan bibirnya kesal mendengar ucapan Arya. Mau bagaimana lagi, Dinda tak bisa membantah Arya.
Arya menerima helm dari Dinda sambil tersenyum hangat. Dan senyum itu juga yang merupakan salah satu alasan Dinda menyukai Arya.
Senyum yang memberikan kesan nyaman pada si penerima.
“Good Luck, ya,” ucap Arya sambil tersenyum sebelum melajukan montornya menjauh dari sekolah.
“Yahh gagal. Padahalkan Dinda mau ngomong kalau Dinda suka sama Mas Arya,” monolog Dinda sedih karena tak bisa menyatakan perasaannya di hari pertama masuk SMA.
“Apa lo bilang? Lo mau nembak Arya?” tanya seseorang di belakang Dinda.
Dinda dibuat terkejut dengan suara itu. Sejak kapan di belakangnya ada orang? Bukannya dari tadi dia hanya sendiri di depan gerbang.
Sontak suara itu berhasil membuat Dinda berbalik. Di depan Dinda tengah berdiri seorang cewek dengan ID card bertuliskan ‘PANITIA’ berwarna biru yang menggantung di lehernya.
Dinda membaca name tag di baju osis kakak kelasnya. Seryl Andraini S, itulah nama yang tertulis di name tag.
“Lo beneran suka sama Arya?” tanya cewek bernama Seryl itu.
Dinda yang bingung harus menjawab jujur atau tidak hanya memilih untuk diam tak menjawab.
“Iya apa nggak? Lo punya mulut, kan?” tanya Seryl galak.
Nyali Dinda dibuat menciut oleh gertakan Seryl, akhirnya Dinda memilih jalan aman dengan cara mengangguk.
Dinda bisa melihat senyum mengejek dari kakak seniornya. Apa maksud dari senyum itu? Apa menurut Seryl, Dinda tak pantas menjadi pacar Mas Arya?
“Cepetan masuk sana. Biar cepet juga lo dihukumnya,” ucap Seryl sambil menyeriangai membuat Dinda bergidik ngeri dibuatnya.
Dinda cukup penasaran dengan hubungan Seryl dan Mas Arya.
Bagaimana bisa cewek itu mengenal Mas Arya? Apa Mas Arya memang populer di sekolah? Atau jangan-jangan Seryl teman sekelasnya Mas Arya.
Dinda hanya bisa menunduk takut saat berjalan di belakang Seryl.
Bukan takut akan di hukum atau takut perasaannya pada Mas Arya terbongkar. Hanya saja Dinda tak ingin Mas Arya tahu bagaimana perasaannya dari orang lain.
Dinda ingin Mas Arya mengetahui tentang perasaannya dari mulutnya sendiri.
“Eh, gue punya cerita lucu ni,” ucap Seryl setelah berada di depan teman-temannya yang berkumpul di pos panitia dekat gerbang sekolah.
Di depan pos telah berada beberapa siswa baru yang sepertinya juga akan di hukum karena terlambat.
“Apaan?” tanya seorang cowok penasaran.
“Ini. Ada anak baru yang katanya mau nembak Arya,” ucap Seryl sambil menunjuk Dinda. Sedangkan yang ditunjuk hanya bisa meundukan kepalanya.
“Serius si Alien suka sama Arya?” tanya cowok bername tage Galih Saputro itu tak percaya.
“Alien?” tanya Seryl bingung.
“Liat tu kucir rambutnya udah persis sama antena dikepalanya Alien,” jelas Galih sambil memainkan rambut Dinda.
Seryl mengangguk paham. “Tanya aja sendiri kalau nggak percaya.”
“Beneran lo suka sama Arya?” tanya Putri salah satu cewek yang juga memakai name tag panitia.
Putri mencondongkan tubuhnya berusaha menatap wajah Dinda yang menunduk.
Lagi-lagi Dinda hanya mengangguk lemah. Ada rasa kesal saat Dinda terus-terusan ditanya dengan pertanyaan yang sama.
Melihat jawaban dari Dinda, berhasil membuat semua panitia manatapnya tak percaya.
Mereka terkejut anak baru macam Dinda sudah berani menyukai kakak kelasnya.
Ya, walaupun memang Arya sangat populer di sekolah, tapi menurut mereka hal yang dilakukan Dinda ini benar-benar terbilang berani.
Apalagi ini baru hari pertama MOS. Mereka tak habis pikir bagaimana bisa Dinda mengenal Arya.
“Kenapa semuanya pada ngumpul di sini? Cepetan bantu yang lain di lapangan,” ucap seorang cowok yang terdengar marah menegur semua panitia yang berada di pos.
“Tunggu deh. Ada hal yang mesti lo denger. Ini ada Alien yang bilang naksir sama lo,” ucap Seryl pada cowok yang baru datang.
Cowok yang awalnya marah itu berjalan mendekati Dinda yang sekarang tengah berada di depannya.
Dinda hanya menunduk sambil menatap kedua kaki yang dia gerakan gusar.
“Beneran lo naksir sama gue?”
Dinda mendongak menatap cowok yang berdiri menjulang tinggi di depannya.
Dia membelalakan matanya mendengar pertanyaan tak masuk akal itu.
Gelengan kepala Dinda berhasil membuat Arya menatap teman-temannya untuk meminta penjelasan.
“Bohong. Semua orang di sini saksinya kalau dia ngaku suka sama lo,” bela Seryl yang segera dibalas anggukan setuju dari yang lain.
Arya menghela nafas panjang. Fia berpikir mungkin adik kelasnya ini malu karena perasaannya terbongkar dengan cara seperti ini.
Tapi seingat Arya, dia tak pernah bertemu dengan adik kelas di depannya ini. Atau jangan-jangan cewek berantena alien itu stalkernya?
“Udah yang lain ke lapangan dulu. Biar dua panitia aja yang ngurus di pos,” putus Arya.
Arya membubarkan mereka, tak ingin masalah kecil seperti cinta-cintaan menghambat jalannya MOS.
“Udah selesai kok. Semua yang baris di depan pos udah selesai dihukum. Tinggal satu orang di depan lo,” balas Seryl.
“Itu bagian lo,” kali ini Galih yang bersuara.
Galih berjalan menuju barisan adik kelas yang masih berjejer di depan pos. Dia membubarkan barisan dan membawa peserta MOS yang terlambat untuk bergabung dengan teman-temannya di lapangan tengah.
“Mas, ini salah paham,” ucap Dinda pada cowok di depannya.
“Mas.. mas.. panggil kak. Lo pikir gue mas-mas tukang ojek.”
“Eh iya, Kak.”
“Udah jujur aja.”
“Dinda jujur kok, Kak. Dinda nggak naksir sama Kakak. Bahkan nama Kakak aja Dinda nggak tahu.”
“Arya. Arya Mahendra,” ucap si cowok sambil menunjukan bed nama pada seragam osisnya.
Aduh. Jadi kakak kelasnya tadi benar-benar salah paham. Bagaimana bisa Dinda tidak kepikiran tentang adanya dua Arya dalam satu sekolah. Bahkan dua nama dalam satu kelas saja sangat lumrah pada saat dia SMP dulu.
“Ikut gue sekarang.”
“Kak, ini semua salah paham.”
“Gue nyuruh lo ikut gue, jadi diem aja nggak usah banyak omong.”
Akhirnya Dinda pasrah mengekor di belakang kakak kelasnya. Ingin sekali Dinda meluruskan kesalahpahaman ini, tapi dia jadi malas mengingat bagaimana respon Kak Arya.
Apa kakak kelasnya ini pikir, dia cowok paling keren di dunia sampai percaya begitu saja saat ada yang bilang ada adik kelas yang suka padanya.
~oOo~
Dinda dituntun sampai di sebuah kelas. Dia duduk di bangku paling depan dalam kelas.
Lima lembar kertas HVS dan sebuah bolpoin tengah berada di atas depan mejanya.
Sedangkan cowok yang bernama Kak Arya itu tengah duduk di bangku sebelah Dinda.
Walaupun berada dalam jarak yang terbilang cukup dekat, matanya tak sedang menatap Dinda.
Kak Arya tengah asyik memainkan ponsel sambil menunggu Dinda menyelesaikan hukumannya.
Kini Dinda tengah berusaha mengisi kertas-kertas itu dengan tulisan ‘SAYA TIDAK AKAN MENCOBA MENYATAKAN CINTA KEPADA KAK ARYA LAGI’.
Sungguh sebenarnya hukuman aneh macam apa ini. Bahkan hukuman itu tak layak diberikan kepadanya.
“Kak, gue bener-bener nggak naksir sama lo. Ini salah paham. Lagian hukuman macam apa ini?” ujar Dinda tak terima.
Arya berhenti memainkan ponsel dan beralih manatap Dinda. Dia memiringkan kepalanya sedikit saat mendengar Dinda sudah berani memanggilnya dengan panggilan ‘lo’. Tapi pada akhirnya Arya merasa masa bodoh dan kembali memainkan ponselnya.
Dinda memberenggut kesal saat tak mendapat respon dari Arya. Hey! Dinda butuh meluruskan kesalahpahaman ini.
“Kak-“
“Masih aja nyangkal. Udah banyak saksinya juga,” potong Arya yang membuat Dinda bertambah kesal.
“Makanya kan gue bilang ini semua itu salah paham,” gertak Dinda. Kesabarannya sudah mencapai batas.
“Dan lagi, ini hukuman macam apa? Gue nggak suka sama lo, jadi nggak seharusnya gue nulis ini.”
Dinda menunjuk kertas-kertas di atas meja dengan wajah kesal.
“Ya kalau gitu ini hukuman karena lo telat. Gampang, kan?"
Oke, Dinda bisa menerima kalau dia dihukum karena terlambat, tapi tidak dengan hukuman tak berkelas seperti sekarang.
“Apa? Mau protes sama hukumannya? Sorry, gue nggak terima protes, " ucap Kak Arya tanpa menatap Dinda.
Dinda terkejut. Apa kakak kelasnya ini jelmaan Edward Cullen yang bisa membaca pikirannya.
Ah, tidak mungkin. Walaupun kakak kelasnya ini tampan. Tapi kulitnya sawo matang, bukannya putih pucat seperti Edward.
Akhirnya Dinda menyerah untuk protes dan menulis setiap huruf dengan tekun karena dia malas berdebat dengan Kak Arya.
Dinda pikir jika dia menerima hukuman tak berbobot itu, maka semuanya akan selesai dan berlalu dengan sendirinya.
Dinda merentangkan tangannya ke depan karena mulai lelah menulis tulisan tak berguna itu.
Dinda juga memutar lehernya sejenak sekedar merenggangkan otot dan tulangnya yang hampir kaku.
“Hey, yang ini kegedean,” tunjuk Kak Arya pada tulisan Dinda.
Dinda mencibilkan bibirnya kesal. Arya melirik Dinda saat bibirnya mengerucut kesal mendengar komentarnya.
“Lo ngapain sih? Harusnya lo bersikap manis sama orang yang lo suka. Nggak dengan masang wajah jelek kayak gitu,” ujar Arya.
Dinda memutar bola matanya jengah. Bukankah dia sudah berulang kali mengatakan bahwa dia tidak menyukai cowok yang sekarang berada di depannya ini.
Semuanya salah paham. Kenapa cowok ini tak percaya padanya dan terus bertingkah menjadi cowok sok kegantengan di sini.
Plak..
Dinda meletakan bolpoin itu keras pada meja dan merenggangkan otot-otot kaku pada bagian tangan dan lehernya.
“Gue udah selesai.”
“Hah.. akhirnya. Gue tahu lo suka sama gue, tapi nggak seharusnya lo nahan gue selama ini,” ujar Arya yang berhenti memainkan ponselnya.
Dinda tak berniat membalas. Bagaimanapun juga kakak kelas akan selalu menang dan penjelasannya selalu tak digubris.
Lagi pula ini masih hari pertama MOS, Dinda tak ingin ditandai oleh kakak kelas dan dipersulit dalam menjalani masa MOS-nya.
Dinda berjalan keluar kelas dan meninggalkan Kak Arya di dalam.
Sungguh, Dinda tak ingin melihat wajah menyebalkan Kak Arya.
“Jangan ke lapangan dulu sebelum gue suruh.”
Mendengar perintah itu Dinda menghentikan langkahnya dan memilih bersandar pada dinding luar kelas.
Arya masih mengecek pekerjaan Dinda. Sebenarnya Arya tak menyetujui hukuman yang menurutnya tak mendidik ini.
Tapi mau bagaimana lagi, ini semua ide dari panita cewek yang disetujui oleh yang lain. Mau tak mau Kak Arya mengiyakannya karena dia juga sedang malas berpikir hanya untuk sebuah hukuman.
Kak Arya sengaja membiarkan Dinda berdiri di luar kelas. Dia berusaha mengerti Dinda yang mungkin saja malu berada dalam satu ruangan dengannya.
“Ayo ke lapangan. "
Dinda menegakan badannya saat mendengar perintah itu.
Dia mengekor di belakang Kak Arya. Sesekali Dinda meninju angin ke arah Kak Arya.
Kak Arya tersenyum geli melihat tingkah Dinda saat mengekor padanya.
Sesampainya di lapangan semua anak yang tengah sibuk melakukan kegiatan MOS mengalihkan pandangannya menuju Kak Arya dan Dinda yang baru datang.
Bahkan para panitia menyoraki keduanya saat berjalan di depan mereka.
Sederet pertanyaan yang menurut Dinda tak masuk akal keluar dari mulut mereka.
Dinda hanya menghiraukan mereka dan ikut masuk ke dalam kelompok yang sudah dipersiapkan untuknya. Sedangkan Kak Arya sibuk menyuruh teman-temannya untuk diam.
Dugaan Dinda meleset. Ternyata semua tak berakhir dengan mudah, bahkan semua ini masih awal.
Saat istirahat berlangsung teman sekelompok Dinda terus-menerus menanyakan hal yang sama. Membuatnya ingin mengumpati dan memaki hari menyebalkan ini.
Sekarang pun namanya melejit begitu cepatnya. Mungkin semua ini karena alasan yang Dinda baru tahu. Kak Arya sangat populer, bahkan di kalangan siswa baru.
Bayangankan, sekarang siapa orang yang mengenal Kak Arya pasti mereka akan mengenal Dinda juga.
Dinda tak keberatan untuk menjadi terkenal, tapi bukan dengan cara seperti ini.
Ingin rasanya Dinda mengambil mikrofon yang dipegang kakak kelasnya di depan dan menyuarakan kepada semua orang di sana bahwa dia tak menyukai Kak Arya. Dinda ingin mengatakan bahwa semua ini salah paham.
Sayangnya Dinda tak memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal itu.
Dinda melirik kesal pada Kak Arya yang terlihat tanpa beban, bahkan sempat tertawa bersama beberapa kakak kelas lainnya yang lewat.
Sedangkan di sini Dinda harus tersiksa dengan pertanyaan konyol yang terus berulang dari teman seangkatannya.
Masalahnya walaupun Dinda sudah mengatakan tidak, tapi tak ada yang percaya padanya.
Lalu apa gunanya mereka bertanya jika tak ada yang mendengarkan jawabannya.
"Lo Dinda, kan? yang naksir Kak Arya?" tanya seorang siswa baru juga.
Pertanyaan itu berhasil membuat beberapa siswa baru di radius satu meter ikut menguping pembicaraan keduanya.
"Gue Dinda, tapi gue nggak suka sama Kak Arya, " jelas Dinda acuh.
Bahkan dia sudah hafal kalimat itu di luar kepalanya.
"Jadi bener ya. "
Sialan. Apa cewek ini tak mendengar baik-baik apa jawabannya. Ingin rasanya Dinda menjambak rambut cewek di depannya ini.
"Kak Arya emang ganteng sih, cuma gue salut sama lo berani terang-terangan naksir dia. Gue denger banyak kakak kelas yang naksir sama dia juga. "
Dinda membuang muka masa bodoh. Dia tak perduli mendengar seberapa popolernya Kak Arya.
Mendengar nama itu di sebut saja Dinda mulai kesal dan jengkel.
"Berkumpul semua sesuai kelompok! " titah kakak kelas yang berada di depan.
Cewek itu pamit pergi untuk bergabung bersama kelompoknya. Meninggalkan Dinda yang bertambah kesal karena kini lebih banyak siswa dari kelompok lain yang bertanya langsung kepadanya.
Sudahlah, Dinda jalani saja hari menyebalkan ini. Iya yakin bahwa harinya tak akan bisa menjadi lebih buruk dari sekarang.
~oOo~
Duduk di kantin yang hampir tak ada orang, itulah yang saat ini Dinda lakukan setelah Mas Arya menelepon untuk menunggunya berlatih basket.
Mas Arya yang dimaksud di sini adalah Mas Arya Dinda, Mas Arya yang benar-benar Dinda sukai.
Beruntung Dinda tak harus menunggu Mas Arya sendirian. Ada beberapa orang yang juga menunggu jemputan.
Dua di antaranya berada satu kelompok dengan Dinda saat outbound tadi dan salah satunya merupakan sepupu dari teman satu kelompoknya.
Mereka berbincang sebentar dan inilah waktu yang tepat. Dinda menceritakan tentang kesalahpahaman yang terjadi padanya.
Mereka bertiga mengangguk mengerti. Dinda bersyukur ketiga orang ini percaya padanya.
Ardi dan Lola pamit duluan karena jemputan mereka sudah tiba. Tinggalah Dinda dan Fany yang masih duduk berdua di kantin.
Tak berselang lama jemputan Fany menyusul. Sekarang Dinda hanya duduk sendirian dengan jus jeruk yang dia minum sedikit demi sedikit sebagai teman menunggunya.
Bahkan jus itu mulai terasa hambar karena esnya yang sudah mencair.
Sebuah pesan dari Mas Arya masuk. Dinda tersenyum saat membaca isi pesan yang mengatakan bahwa latihan basketnya sudah selesai.
Dia berlari menuju lapangan basket yang berada di seberang kantin.
Dinda melihat Maa Arya yang tengah bercanda dengan salah seorang temannya di tim basket.
Teman Mas Arya masih memakai kaos basketnya, sedangkan Mas Arya sendiri sudah berganti baju.
Dinda tak bisa melihat wajah teman Mas Arya itu karena posisi berdiri si cowok yang membelakanginya.
Sambil menunggu Mas Arya selesai berbincang, Dinda lebih memilih melihat sejenak para pemain basket lain yang masih berlatih dengan bergantian memasukan bola ke dalam ring.
Dinda terkesima saat melihat betapa kerennya para pemain basket yang menjulang tinggi itu berhasil mencetak skor.
Tahu begini Dinda memilih menunggu di lapangan basket saja, sekalian cuci mata. Daripada harus menunggu di kantin.
Sedangkan di kantin tadi hanya ada Ardi yang merupakan cowok jadi-jadian. Ya, Ardi sedikit melambai dan juga mas penjaga kantin yang sebenarnya sudah pantas dipanggil Pak.
“Si Alien!” tunjuk seorang cowok pada Dinda.
Dinda merasa tak asing dengan suara menyebalkan itu. Dinda berdoa semoga apa yang dia pikirkan salah.
Sayangnya Dewi Fortuna sedang tak berpihak padanya. Kak Arya, si Arya jadi-jadian tengah berada di samping Mas Arya yang sangat Dinda sukai.
“Alien?” tanya Arya tak mengerti.
“Iya. Alien yang gue ceritain tadi.”
Mati. Apa yang cowok itu ceritakan pada Mas Arya.
“Dia bukan Alien, namanya Dinda,” ujar Mas Arya yang tak suka mendengar temannya mengejek Dinda dengan panggilan aneh.
“Gue balik dulu,” pamit Mas Arya pada temannya.
“Ayo pulang,” ajak Mas Arya menarik tangan Dinda yang masih terdiam di tempatnya.
Mereka sampai diparkiran dengan keduanya yang masih terdiam. Kalau Mas Arya memang dasarnya jarang bicara jika lawan bicaranya tak memulai.
Berbeda dengan Dinda yang akan terus mengoceh lebih dulu tanpa henti.
Dinda naik ke atas montor Arya. Sejak dari lapangan basket tadi sebenarnya Dinda merasa Mas Arya terus mendiamkannya, membuat Dinda tak berani untuk memulai bersuara.
Bahkan saat perjalanan pulang Mas Arya terus berdiam diri. Padahal Dinda penasaran apa yang Kak Arya itu ceritakan pada Mas Arya-nya.
Hah, bahkan Dinda sudah berani menyebut Mas Arya sebagai miliknya.
Padahal rencananya Dinda akan menembak Mas Arya setelah pulang sekolah. Tapi kenapa semuanya jadi serumit ini.
Apa iya Dinda harus menjelaskan sekaligus menyatakan perasaannya pada Mas Arya.
“Jadi, kamu menyukai Arya?” tanya Arya kemudian memulai pembicaraan saat mereka tengah berada di depan rumah Dinda.
“Nggak, Mas. Tadi itu cuma salah paham..”
“Dengar Dinda, Mas nggak masalah kamu suka sama cowok, tapi jangan pacaran dulu. Kamu juga baru lulus SMP, kan?"
"Dan Mas juga nggak setuju kalau kamu sama Arya. Bukannya apa-apa. Arya itu populer di sekolah, takutnya nanti kamu banyak kena masalah dari cewek-cewek yang naksir dia.”
Dinda tersenyum senang mendengar penuturan panjang Mas Arya. Dinda senang karena Arya peduli padanya. Bolehkah Dinda berharap bahwa perasaannya akan terbalas.
“Mas Arya khawatir ya sama Dinda?”
“Iyalah, kamu kan adikku. Mas nggak mau kamu sakit hati gara-gara Arya.”
Hancur sudah harapan Dinda mendengar jawaban dari Mas Arya.
Jadi selama ini Mas Arya hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih.
Semua perhatian Mas Arya hanya sebatas hubungan kakak yang menjaga adiknya. Bodohnya dia yang berharap terlalu tinggi.
“Oiya, kalau di sekolah jangan panggil Mas Arya. Nanti nggak ada yang tahu. Soalnya teman-teman Mas, manggilnya Tama.”
Lengkap sudah penderitaan Dinda. Kenapa juga Tama baru memberitahunya sekarang.
Ya, Kak Arya dengan Mas Arya memang memiliki nama belakang yang berbeda. Kak Arya Mahendra dan Mas Arya Dwi Pratama.
Jadi Mas Arya lebih dipanggil nama belakangnya. Kalau saja Tama memberitahu Dinda lebih awal, mungkin kesalahpahaman ini tak akan terjadi.
Tapi Dinda juga yang bodoh. Mau-maunya mengaku pada Seryl yang menjadi asal mula masalah ini.
Jika tak sedang memakai helm mungkin Dinda sudah menjambak rambutnya sekarang. Melampiaskan kebodohannya yang unlimited ini.
“Kamu kenapa?” tanya Tama khawatir saat melihat Dinda terlihat lesu.
Mas Arya menatap khawatir karena adiknya itu begitu pendiam hari ini.
“Nggak kok, Mas. Dinda cuma capek aja.”
“Ya udah, istirahat sana. MOS-nya baru sehari lho.”
“Iya.”
"Kalau ada apa-apa cerita sama Mas. Misalnya kalau ada kakak kelas yang galak teus ngusilin kamu bilang sama Mas. Mas kenal semua panitia MOS, jadi mas bisa ngomong ke mereka."
Dinda mengangguk paham. Masalahnya ini semua tidak semudah itu. Bagaimana cara Dinda jujur ke Mas Arya jika cowok itu sudah menolaknya tanpa Dinda sempat mengungkapkan perasaannya.
Tama mengusap puncuk kepala Dinda sayang sebelum pamit pergi.
Dinda terus memperhatikan sampai Tama memasukan montornya ke garasi rumah disebelahnya.
Andai saja Tama tak menjelaskan secara gamblang hubungan mereka tadi, mungkin harinya akan menjadi lebih buruk dari ini.
Mungkin jika Dinda menyatakan cinta dan ditolak. Dia tak akan berani bertemu dengan Tama lagi.
Dinda akan merasa canggung di dekat Tama dan ingin mengubur diri hidup-hidup saja.
Masalahnya Dinda tak bisa hanya diam saja. Jika dia hanya diam maka kesalahpahaman semua orang padanya akan terus berlanjut.
Apa iya Dinda harus membiarkan semuanya salah paham. Sudahlah, biarkan saja. Toh berita itu akan menghilang dengan sendirinya.
Daripada Dinda harus menjadi canggung dengan Tama, dia tak mau hal itu terjadi.
Mungkin membiarkan semua orang salah paham jauh lebih baik daripada meluruskannya tapi dengan resiko harus kehilangan Tama.
~oOo~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!