Siang hari ini sangat terik. Sinar matahari bagai berada tepat diatas kepala, menyengat kulit hingga rasa terbakar.
Ya Allah, ini masih didunia. Bagaimana bila nanti di Padang Ma'syar? jarak antara manusia dengan matahari hanya sejengkal jemari Innalillahi. Dilara mengeluh dalam hati.
Tak biasanya gadis berperawakan tinggi kurus, lebih tepatnya sedikit ceking melintasi kawasan gudang tua yang sudah lama tidak terpakai. Nuansa horor kerap menyapu bulu kuduk meski siang bolong seperti saat ini kala melintasi tumpukan besi tua nan berkarat.
Ini adalah jalan pintas tercepat menuju rumahnya, daripada harus memutar lebih jauh. Lagipula jalanan beraspal mulus ini lumayan teduh oleh pepohonan dan semak yang menjulang disisi jalan.
Seperti biasa, Dilara akan pulang saat tengah hari usai sekolah. Hanya menunggu surat kelulusan turun saja karena ia telah dinyatakan lulus. Meski surat keramat itu tak begitu penting untuknya sebab belum tahu akan melanjutkan studi kemana, Dila tetap berbangga hati. Sekuat tenaga dia menyesuaikan diri ditengah bullyan serta himpitan atas keterbatasan yang dirinya miliki.
Sekolah menengah Umum untuk penyandang disabilitas seperti Dilara memang membutuhkan perjuangan keras. Tekad kuat serta muka tebal bak kulit gajah.
Kaki kurus Dila masih semangat mengayuh sepeda mini warna ungu pemberian anak Kyai tempat dirinya dan sang Bunda menjemput nafkah.
Tiba-tiba Dila menarik tuas rem sepedanya kencang hingga bunyi ban yang berdecit bergesekan dengan aspal pun terjadi.
Dirinya melihat aksi tindak kejahatan tak jauh dari jangkauan mata bulatnya. Perlahan Dila turun dari sepeda, menepikannya disisi jalan lalu mengendap lebih dekat.
Mungkin gadis berkerudung putih kusam itu terlalu lancang mencampuri urusan orang lain. Dila berjongkok, melepaskan alas kaki sebelah kiri dan melemparkan sepatu usangnya menarget pada kepala seorang pria bersetelan serba hitam. Tengah mengacungkan pistol ke arah pria paruh baya bersimbah darah.
Entah bagian mana yang terluka dari tubuh korban, yang jelas air mukanya terlihat menahan kesakitan yang teramat sangat.
Duk.
Lemparan sepatu butut tepat mengenai kepala sang pria berpistol.
Duk.
Lagi, untuk kedua kalinya pelipis pria itu menjadi sasaran lokasi pendaratan sebuah sepatu terbang. Sehingga membuat sosok seram itu menoleh ke arah Dila, sang coro pengganggu.
Ditatap sedemikian intens oleh pria seram tadi nyatanya tak membuat nyali Dilara menciut. Entah darimana datangnya keberanian itu, matanya dengan cepat memindai ke sekitar.
"Ah, Batu," ucap Dila dalam hati.
Tanpa pikir panjang Dilara memungut banyak batu dibawah kakinya, langsung melemparkan kembali satu persatu batu yang berhasil dia raih kala sang penjahat itu kian dekat.
"Jurus kunyuk melempar buah," gumam Dila, teringat cuplikan tontonan lawas adegan sebuah film.
Melihat raut muka terkejut dari lawannya yang telah bersiap menghalau wajah dari lemparan batu. Penjahat itu pun mengacungkan pistol ke sembarang arah.
"Seraaaaanggg," teriak Dila meski intonasinya kurang jelas.
Tak peduli telapak kakinya lecet akibat tertusuk batu kali yang lancip dari aspal jalanan yang berlubang. Tangan kurus Dilara tetap melempar dengan sekuat tenaga.
Keberanian bocah ceking ternyata mampu membuat pria berpistol itu lari menghindar. Pelipis pria itu nampak berdarah, jika Dila tak salah lihat sebelum pria itu kabur tadi.
Hosh ... hosh ... hosh. Nafas Dilara terengah.
Batu yang masih tersisa dalam genggamannya ia luruhkan tepat didepan pria paruh baya yang masih tersungkur.
Dilara lalu duduk bersimpuh disamping pria itu. Menepuk kaki beliau pelan hingga mata mereka beradu tatap sejenak.
Puk. Puk.
"Anda baik saja?" ujar Dila dengan intonasi kurang tegas. Disertai gerakan jemari sebagai bahasa isyarat. Bahasa keseharian yang tak semua orang mengerti.
"Siapa namamu Nak? dimana rumahmu? ... kamu bisa membantuku menyimpan ini?" Tanya Emery seraya menyodorkan pada Dila, tabung hitam bertali.
Tangan Dila meraih tas selempang yang masih menggantung di bahu. Meraba buku catatan kecil serta pulpen yang tersemat didalamnya. Dua benda itu setia menemani kemanapun Dilara pergi. Ia lalu menuliskan sebuah nama pada lembaran kertas itu lalu ditunjukkan pada pria dihadapannya.
"Dilara," sebut Emery mengeja nama diatas kertas.
Gadis polos itu menganggukkan kepala cepat sembari tersenyum manis.
"Cantik ... aku titip ini, jaga dengan nyawamu, dan akan mengambilnya segera ... karena aku tak tahu, siapa serigala berbulu domba yang masih bersembunyi dalam jajaran management perusahaanku," pinta Emery sambil meringis menahan sakit.
"Aku berhutang nyawa padamu, Dilara ... simpan ini, agar aku mudah mencarimu," Emery menarik gelang Giok hijau dari tangan kirinya, menyerahkannya pada Dila.
Dilara bingung, mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Membuat pria didepannya tersenyum melihat wajah lugu sekaligus mengeluh sakit.
Dila lalu menyobek rok abu usang yang ia kenakan. Bakal tak dipakai lagi, pikirnya.
Tangannya menekan kuat luka di tubuh Emery untuk menghentikan pendarahan pada perut bagian kiri sang korban kejahatan yang tak ia ketahui identitasnya.
"Tuan!" seru sebuah suara seorang pria dari kejauhan.
"Lex, lama sekali," pekik Emery, tak kuasa lagi menahan sakit.
"Maaf, aku kehilangan jejak, beberapa anak buah ku amblas," sesal Rolex sambil berjongkok melihat luka sang majikan.
"Minggir," Rolex menepis bahu Dilara agar ia menyingkir.
Gadis itu hendak melayangkan protes namun kedatangan beberapa pria dengan setelan jas yang sama dengan pria kurus tadi membuat Dilara tak memiliki kesempatan, hingga semakin tersingkir.
Tak ingin ambil pusing, Dila memasukkan gelang giok hijau tadi ke dalam tas lalu mengambil sepatunya yang terlempar kemudian ia pakai lagi. Kakinya sakit akibat berlari di jalan beraspal nan berlubang disertai kerikil tajam tadi.
Dila melangkah perlahan sedikit pincang, tangan kanannya menyelempangkan tabung hitam titipan pria itu ke bahu kiri lalu mengangkat tuas standar yang menyangga sepeda ungu, mengayuhnya kembali meninggalkan segerombolan pria yang masih berkerumun.
"Lex, gadis itu ... aku belum mengucapkan terimakasih padanya," ujar Emery saat teringat pada sosok yang telah hilang.
"Gadis mana Tuan? yang tadi?" tanya Rolex.
"Iya, dia gadis pemberani ... aku hutang nyawa padanya," ungkap Emery.
"Akan aku cari nanti, yang penting anda selamat," jawab Rolex. Sang asisten pribadi kepercayaan anaknya, membawa sang Tuan Besar untuk segera mendapatkan perawatan intensif.
"Siapa berani berulah seperti ini, kalian akan berhadapan denganku dulu," batin Rolex bersumpah.
...***...
Sementara ditempat lainnya.
Seorang pria dengan suara berat mengamuk didalam ruangan mengetahui misi anak buahnya gagal.
Dia melemparkan segala benda yang terdapat diatas mejanya. Raut wajah menyeramkan terukir dengan jelas membuat siapapun yang mengusiknya kali ini dipastikan tak akan lolos dengan mudah.
Brakk.
"Si-alan! lebih dari tiga bulan masa pengintaian kita dan hari ini digagalkan oleh seorang anak ingusan dari kampung?" teriak Akbar sanjaya.
"Maaf Tuan," cicit anak buahnya akut.
"BODOH, TAK BERGUNA!" bentak Akbar pada kedua pria di depannya.
"Ampuni kami Tuan, kami tak mengira akan ada gadis itu, dia sangat berani dan lemparannya tepat mengenai kepalaku meskipun hanya menggunakan batu kali." Elak salah satu pengawal membela diri.
"Baru segitu mengeluh, sekarang kita bagai mulai dari nol lagi ... Ezra Qavi pasti akan lebih waspada setelah insiden yang menimpa ayahnya," Akbar sanjaya menggeram marah.
"Pilihan kalian dua, melenyapkan Emery Qavi dan mengambil cetak biru project pulau kelapa itu atau kalian yang akan lenyap. " Ancam CEO Sanjaya Grup itu serius.
"Akan kami laksanakan, Tuan," jawab kedua pria.
"Jangan sampai lolos, atau nyawa kalian melayang! " tatapan Akbar nyalang.
"PERGILAH! Beri aku hasilnya, SEGERA!" titah sang Bos tak ingin dibantah.
"Siap, Tuan!" seru kedua pria seraya meninggalkan ruangan.
"Tunggu kehancuranmu, Emery ..." lirih sang pimpinan Sanjaya Grup.
.
.
..._____________________________...
EQ Building, Surabaya.
Terjadi ketegangan di ruang kerja sang CEO muda perusahaan jasa architect ternama di negeri ini, Ezra El Qavi.
Pasalnya sang Ayah, Emery Qavi, pendiri kerajaan bisnis keluarga El Qavi dinyatakan hilang kontak saat kembali dari acara pelelangan project.
Mobil sang ayah di jegal sekelompok orang tak dikenal. Menghajar habis beberapa bodyguard yang terbiasa mengawal kemanapun beliau pergi.
Nampaknya kali ini bukan sembarang pasukan elite yang bekerja tapi dia sangat menginginkan sesuatu dari tangan ayahnya. Iya, sebuah project dan siang itu dikabarkan oleh asistennya bahwa Emery Qavi baru saja selesai mengerjakan cetak biru mega proyek sebuah pulau buatan untuk misi pariwisata.
Presentasi lelang kedua sebagai event puncak yang dihadiri oleh para perusahan besar skala nasional akan dilaksanakan esok hari di tempat yang sama.
"Periksa semua CCTV Jhon, aku ga mau kejadian ini terulang lagi," pinta Ezra pada sekretaris pribadinya itu.
Wajahnya masih memerah akibat meledakkan emosi pada semua jajaran management yang terlibat dalam project kali ini. Ezra juga mengamuk saat mengetahui ada penyusup didalam pasukan pengawal yang dia sewa.
"Juga selidiki semua yang terlibat," gemerutuk gigi sang pimpinan El Qavi terdengar jelas oleh Jhonson hingga membuatnya bergidik seram.
"Baik, Bos ... saya permisi," ucap Jhonson undur diri.
"Jhon," panggil Ezra lagi.
"Ya?" Jhonson berhenti dan berbalik badan menghadap Ezra.
"Rolex belum kembali?" tanya sang Bos.
"On the way, Bos ... dia langsung menuju rumah sakit, report terakhir saat Anda itu tadi, anu," ucap Jhon terbata bingung menjelaskan maksudnya agar tak menyinggung perasaan sang Tuan Muda.
"Apa? anu apa?" Ezra bingung atas penjelasan Jhonson.
"Itu Bos, me-nga ... muk," cicit Jhon bergegas pergi.
Braakk.
Jhonson menyebutkan kata itu sembari menutup pintu ruangan bosnya kencang. Berusaha berlindung dibalik pintu bila saja tuan mudanya kembali emosi.
"Hah, selamat," Jhon mengelus dadanya pelan penuh kelegaan hingga sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebaris senyuman tipis.
Teringat akan tugasnya, dia bergegas kembali ke belakang meja, berdampingan dengan sekretaris yang jenisnya abu-abu. Sungguh Jhonson tak mengira, setelah aksi sekretaris genit yang menggoda sang Tuan Muda dan berujung pemecatan. Kenapa si Bos malah memilih pengganti model begini.
Kinerjanya memang bagus, tak banyak bicara namun baik Jhonson maupun Rolex, sangat merasa tidak nyaman bila berdekatan dengannya. Eldo wujudnya namun bisa berubah menjadi Elda bila dia dipancing. Yaps, menyalak dengan tatapan mendamba yang membuat bulu kuduk pria normal sepertinya bangkit. Hiii, Jhonson geli membayangkan.
"Eh nek, Lu merhatiin aja aqiqa, udah mulai naksir ye?" Kerling mata Eldo manja.
"Amit-amit," gumam Jhon berusaha tak menanggapi.
"Si Bos aja ga gue lirik, apalagi macam Lu ... bisa mendadak kurapan eike," sergah Eldo lagi.
"Kerja! ngehalu aja Lu," tukas Jhonson memutar kursinya. Membelakangi Eldo sang sekretaris abu-abu, berusaha fokus pada tugas selanjutnya.
Sementara di ruangan Ezra.
Dia memang lost kontrol tadi, seharusnya bermain cantik. Berpura tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Musuhnya sangat lihai kali ini, namun apalah daya nasi telah bercampur dengan rendang dan kuah gulai sayur nangka, mau tidak mau, harus dia santap agar tuntas tak berbekas meninggalkan noda pada pinggan.
"Aku harus mulai mencari tahu, apakah ini ada hubungannya dengan Akbar Sanjaya, pengusaha real estate terbesar negeri ini," lirih Ezra diatas kursi kebesaran.
"Akbar, setelah kegaduhan yang kau ciptakan pada kasus lelang project milik Agatha Corp beberapa waktu lalu, apakah kini kau menyasar El Qavi sebagai calon mangsamu selanjutnya? coba saja, selama aku masih berdiri, tak akan kubiarkan tanganmu menyentuh keluargaku," Ezra bergumam.
Drrrttt.
Ponsel yang sedari tadi Ezra abaikan tergeletak diatas meja bergetar. Muncul satu nama dilayar gawai pipih series keluaran terbaru, berwarna hitam metalik.
Ezra mengambil benda itu dengan tangan kanannya, menggeser pelan tombol hijau ke arah atas layar.
"Ya Lex, bagaiamana Papa?" tanyanya pada Rolex.
"Aku sudah melakukan pengamanan level 2 Bos, parameter 200 meter dari kamar Tuan besar dan juga memilih team dokter terbaik. Aku telah menelusuri riwayat masing-masing dari mereka dalam perjalanan tadi ... email terlampir Bos, Anda bisa memastikan ulang kembali apakah team yang kupilih semuanya kompeten dan clear ... laporan selesai." Pungkas Rolex.
"Ok, thanks Lex ... akan aku pastikan bahwa semua terbaik, aku menyusulmu segera setelah ini," balas Ezra.
"Siap, Bos," jawab Rolex diujung panggilan.
Ezra meletakkan ponselnya di sisi kanan laptop yang masih menyala diatas meja kerjanya. Memeriksa email sesuai dengan rincian yang Rolex kirimkan, sang asisten pribadinya itu memang bagaikan jam, tak pernah berhenti bekerja pun hasilnya selalu maksimal.
"Tak salah bila namamu Rolex, kau sangat berdetak dalam setiap misimu. Good job," senyum Ezra tersirat saat memandang layar laptopnya, meneliti satu persatu profil team dokter yang dipilih oleh Rolex.
Huft. Terhembus nafas kasar dari mulut dengan bibir tebal berhias kumis tipis itu. Matanya memejam menetralisir rasa panas dan denyutan ringan yang mulai merangsek dikepalanya.
Ezra Qavi memutar kursi kebesarannya menghadap jendela yang sedari tadi ia punggungi. Netra elangnya berpendar ke luasnya angkasa lepas dibalik jendela.
Tidak ada awan yang bergumul siang itu, hingga sang surya pun tak segan melepaskan hawa panas yang menyengat, tidak ada sesuatu pun dibawah sana luput dari sinarnya yang menembus pori kulit.
Membayangkan betapa tinggi kedudukan langit, Ezra berpikir bahwa ujian yang datang seperti ini mungkin akan dia jumpai beberapa kali dimasa depan. Apakah dia telah siap nanti bila sang Ayah betul-betul melepaskan diri dari posisinya?
Dalam lamunannya, ia teringat sesuatu. Urusan pribadinya kali ini mau tidak mau harus segera dia selesaikan agar sosok ular derik yang berwujud wanita seksi nan menggoda itu tak lagi mengusik kesehariannya.
"Aneh, bisa-bisanya aku menikahi wanita sepertinya ... dimana otakku dulu?" sesal Ezra tak lagi berguna.
"Pergilah Cheryl, kejarlah selingkuhanmu ... meski aku belum punya yang baru, mungkin rasanya jauh lebih enak daripada kamu." Ezra tergelak akan kalimatnya, teringat sound medsos dengan ciri khas jogetnya itu menciptakan lirik demikian. Sangat pas baginya dengan situasi yang tengah ia hadapi dan rasa.
"Eldo, bagaimana perkembangan gugatanku?" tanya Ezra dari interkom saat kursi kebesarannya telah ia putar kembali ke posisi semula.
"Nyonya Cheryl keberatan dengan tunjangan yang anda berikan, Pak," terang Eldo atas pertanyaan bosnya.
"Maksudnya kurang?" Ezra menegaskan maksud Eldo.
Gila, lu me-res gue ini namanya. Masih bagus gue kasih tunjangan tiga bulan. Batin Ezra.
"Mungkin, Pak ... beliau berpesan lewat lawyernya bahwa akan negosiasi langsung dengan anda," ucap Eldo lagi.
"Thanks Do," tutup Ezra meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya.
Ting. Notif whatsapp masuk di ponselnya.
"Panjang umur nih uler, udah nyamber aja," rutuk sang duda jengah.
Ezra membaca pelan pesan dari calon mantan istrinya itu. Meski dia mengumpat, namun jarinya mengetik sebaris pesan.
"Kau terima itu, atau tidak sama sekali. Bukan aku yang berkhianat atas pernikahan kita, " balas Ezra telak.
Tak ingin menunggu balasan, Ezra bangkit dan mengambil jas yang tersampir di kursinya lalu melangkah keluar ruangan berniat menuju rumah sakit tempat sang ayah mendapat perawatan akibat insiden hari ini.
"Kalian, tunggu saja pembalasanku," Ezra membatin.
.
.
...__________________________...
Kala Ezra keluar dari ruangan, rupanya tengah terjadi sebuah kericuhan kecil. Eldo dan Jhonson tengah menahan wanita yang sedang ia gugat cerai, berusaha memaksa masuk menemuinya.
"Ezra ... honey, dengarkan aku dulu please," pinta Cheryl dengan sorot mata memohon.
"Bicara saja dengan lawyerku. Aku tak lagi ingin berurusan denganmu," jawab Ezra jengah.
"Ezra! berhenti atau aku akan berteriak jika kau adalah seorang suami yang dingin dan pernah memukulku," Cheryl berseru lantang.
Sreg.
Ezra menghentikan langkahnya, berbalik badan menghampiri wanita yang lengannya di cekal oleh Jhonson.
"Dua tahun mengenalmu lalu memutuskan menikah, dalam kurun waktu satu tahun pernikahan kita, hanya satu kali aku menamparmu. Saat kau pulang ke rumah dalam keadaan mabuk diantar oleh seorang pria, dia menjamah tubuh terbukamu leluasa akibat pakaian kurang bahan yang kau kenakan ... oh, jangan lupakan bahwa kalian ber-cum-bu didepan mataku," bisik sang suami ditelinga wanita yang masih menjadi istrinya itu.
"I-itu aku ... A-ku dalam keadaan tidak sadar." Cheryl mencoba berkilah.
"Mengabaikan laranganku, menuju pub lalu minum, turun ke floor adalah pilihan saat sadar, Cheryl. Siapkan alibimu agar bisa menghalau gugatanku lusa ... jangan ganggu aku lagi, bukankah pacarmu lebih tampan dan kaya dari aku?" Ezra menepuk pipi wanita itu lembut, rasa hati tak tega meski ingin menyakiti fisiknya karena dia pernah mencintai wanita itu.
Dengan tangan mengepal geram, Ezra meninggalkan wanita yang masih meneriakkan namanya. Jemarinya menekan angka didepan lift menuju basement khusus pimpinan dimana mobilnya berada.
"Si-al, nampaknya tak mudah melepaskan diri dari ular itu," keluh Ezra sembari memijat pelipis.
Ting.
Lift terbuka dan kaki panjang terbalut setelan jas mahal itu keluar dari kotak besi menuju mobilnya.
Tangan kiri sang CEO merogoh kunci disaku celana belakang lalu menekan tombol alarm. Porsche boxters metalik silver itupun berbunyi, menyilakan sang empunya masuk kedalam mobil dengan interior custom luxury.
"Bismillah...." Ezra lirih mengucap doa, melajukan mobil sporty meninggalkan gedung miliknya.
...***...
Harapan Hospital.
Tiga puluh menit waktu tempuh dari kantor menuju rumah sakit dimana sang ayah berada tak serta merta membuat duda tampan ini mudah untuk menuju ke sana.
Beberapa pasang mata yang mengenali Ezra El Qavi, meski dia telah berusaha abai pada sekitar tetap saja tak dapat dihindari.
Dengan sopan, Ezra menolak wawancara beberapa awak media dan mengatakan bahwa dia hanya ingin menjenguk seorang kawan nyatanya tak mudah membuat ia lolos. Hingga Rolex datang membantu membebaskan dirinya dari sana.
Kedua pria perlente lalu menggunakan jalur khusus kunjungan vvip menuju lantai lima rumah sakit itu.
"Ayah Anda telah sadar, Bos. Namun sepertinya mengigau, beberapa kali menyebut nama seorang gadis," ucap Rolex.
"Tahu darimana jika itu nama perempuan?" tanya Ezra menduga.
"Dilara, apakah ada pria yang memakai nama itu? yah, mungkin ada apabila saat ayah Anda ditemukan tadi bertemu mahluk sejenis Eldo. Kurasa nama ini adalah milik seorang gadis yang menolong beliau," Rolex menjelaskan panjang lebar.
"Akan kupastikan sendiri jika begitu, kau bisa mulai menyelidiki siapa dia dari sekarang, Lex," pungkas sang Bos bersamaan dengan suara lift yang terbuka.
Rolex melangkah didepan Ezra, membuka pintu vvip kamar pimpinan EQ Building.
"Pa," sapa Ezra saat sang ayah duduk diatas brangkarnya.
"Ezra," lirihnya menahan sakit.
"Pa, maafkan kecerobohan ku. Tadi membereskan dulu kericuhan di kantor. Rupanya kita sudah diincar sejak jauh hari," sesal Ezra yang tak peka.
"Sejak keterlibatan kita dalam mega proyek itu Za," Emery meringis.
"Aku telah memulai penyelidikan di kantor kita. Ku harap bukan orang kepercayaan yang terlibat seperti dugaanku." Ezra menghampiri ranjang ayahnya, melihat berbagai luka tertoreh ditubuh renta itu darahnya kian mendidih.
"Jangan emosi, lawan kita tahu bahwa kamu gegabah karena mengedepankan emosi ... sudah berkali aku katakan belajarlah meredam emosi Za, agar tak mudah terpancing oleh lawan," Emery lirih menasehati putranya.
Nasehat sang ayah ada benarnya juga, meskipun menurutnya telah banyak berubah, tetap saja bagi sang ayah maupun lawan, sosok Ezra telah melekat dengan predikat pemimpin yang temperamental.
"Mana gelang giok milik Papa?" selidik Ezra saat tak mendapati giok warisan leluhur sebagai identitas keluarganya.
"Oh itu, Papa titipkan pada dia agar kau mencarinya Za, gadis yang menolongku, jika tak ada dia entahlah bagaimana nasib ayahmu ini ... bagaimana nasib EQ building serta Ermita adikmu," Emery Qavi menerawang jauh.
"Aku sudah meminta Rolex mencari dan memberikannya imbalan serta mengambil semua yang Papa titipkan padanya," jawab Ezra lugas.
"No Za, bawa dia kemari. Papa ingin bertemu lagi dengannya," pinta sang ayah.
"Mau apalagi sih Pa? biarkan saja, mungkin dia merupakan bagian dari komplotan itu. Kita tidak bisa menerima seseorang masuk begitu saja disaat seperti ini. Banyak nasib karyawan jadi taruhan loh Pa, jika saja media mengetahui bahwa Papa diserang, saham kita bisa turun," Ezra menolak saran ayahnya.
"Tidak, dia bukan bagian dari mereka. Ikuti saja keinginan ayahmu ini, Za," desak Papanya lagi.
"Baiklah, aku akan meminta Rolex membawanya kesini ... aku sudah siapkan parameter bagi Papa, besok jika memungkinkan kita akan pindah ke mansion agar aku lebih tenang." Keputusan Ezra sudah bulat.
"Terserah kamu saja. Bagaimana perceraianmu? sudah selesai?" tanya Emery lagi.
"Baiknya fokus pada kesehatan Papa dulu, aku bisa menangani ini." Ezra menolak ayahnya mencampuri hal pribadi.
Ia lalu mengambil buah kesukaan Papanya diatas meja nakas, mengupas hati-hati sebelum dikonsumsi sebagai bentuk perhatian kecil darinya.
...***...
Sementara di tempat lainnya.
Siang ini Ibu Ruhama melihat anak gadisnya pulang sekolah dengan penampilan mengkhawatirkan. Roknya sobek serta terdapat noda bercak darah disana.
"Dila, kenapa Nak?" tanya Ibu cemas.
"Aku tak apa," ujarnya dengan intonasi kurang tegas, lalu menuliskan dengan lengkap kronologi kejadian yang sebenarnya pada sang Bunda.
"Ya Allah, istirahat dulu. Biar Ibu sendiri yang ke rumah Kyai Said, minggu ini setrikaannya ga begitu banyak. Ada khidmah juga yang bantuin," ujar Ruhama saat akan pergi ke rumah Kyai terpandang guna membantu urusan dapur disana.
"Ikut," Dila menulis lagi sambil tangannya menarik ujung hijab Ibu.
"Ga apa?" tanya Ibu.
Dilara menggeleng kepala perlahan merespon pertanyaan Ibunya. Dia hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat sebisanya dan sedikit mempelajari gerakan bibir lawan bicara agar ia mengerti apa yang disampaikan.
"Ya sudah, Ibu tunggu," ujar Ruhama pada Dila.
Anak gadis itu bersorak riang. Bergegas mengganti pakaiannya, serta tak lupa membawa kitab fathul qorib dalam tas kain yang terlihat usang.
Meski statusnya hanyalah anak dari asisten rumah tangga, namun Dilara tak ingin melewatkan begitu saja kesempatan baik yang diberikan oleh Nyai Syuria bahwa dirinya diizinkan belajar dengan para santri disana.
"Bismillah, jangan lelah belajar ya Nak. Ibu sayang kamu apapun keadaanmu," kecup Ibu di kening anak gadisnya itu.
Kamu cantik Dila, tak sepertiku si gadis perawan tua. Mungkin Tuhan ingin agar dalam kesendirianku dapat mengumpulkan banyak ganjaran dengan merawatmu sebagai bekalku kembali nanti.
Dila, sesungguhnya aku khawatir akan masa depanmu nanti. Putri siapakah kau ini? begitu cantik alami...
Kedua wanita yang baru saja meninggalkan rumah sederhana khas pedesaan, tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengintai mereka.
"Bos, aku menemukannya...." lirih suara pria melaporkan pada seseorang diujung sana lewat ponselnya.
.
.
...___________________________...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!