Rintik salju turun di kota Sunfu. Suhu udara rendah membuat seorang gadis menggigil kedinginan. Sambil menatap jemari tangannya yang membiru dia bergumam, "aku lupa membawa sarung tangan."
Ditutupnya sebuah buku novel yang telah dibacanya sampai tuntas tersebut. Gadis itu kemudian menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Sekarang ... tanggal berapa, ya?" gumamnya lagi sambil menatap langit-langit. Ia akhirnya mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Raut wajahnya berubah seketika ketika melihat tanggal yang tertera di layar ponsel.
"22 Desember, hari ibu! Oh, tidak. Aku lupa memesan kuenya." Ia bergegas memasukkan beberapa buku miliknya ke dalam tas, lalu pergi meninggalkan perpustakaan.
Beberapa saat kemudian, gadis berambut hitam panjang itu tiba di depan rumahnya. Dia melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati. Jika salah menginjak kemudian terpeleset, kue yang berada di tangannya mungkin akan jatuh dan hancur.
Namun, ketika sampai di depan pintu rumah dia mendengar suara gaduh dari dalam. Untuk sejenak dia berhenti, mendengarkan apa kiranya yang terjadi di dalam sana.
"Cukup, Yah! Ayah bilang Ayah pergi ke kota Luzen untuk urusan bisnis, tapi apa? Ayah bohong padahal Ayah ajak perempuan selingkuhan Ayah itu liburan di sana!"
"B-bu, dengarkan Ayah dulu! Itu semua tidak benar, Bu! Ayah betulan pergi ke Luzen untuk urusan bisnis. Masalah foto itu, perempuan itu menjebak Ayah, Bu."
Ibu menangis sesenggukan. Hatinya sangat hancur melihat foto suaminya bersama perempuan lain. Ia tak bisa menahan rasa sakitnya lagi.
"Yah ... ayo ... kita cerai saja."
Menetes air mata sang gadis setelah mendengar perkataan ibunya. Ia menunduk lemas dengan kue yang hampir jatuh dari tangannya.
"Tidak, Bu! Jangan katakan itu! Apa ibu tidak memikirkan anak kita Yunza? Dia pasti akan sedih!"
Kue yang dipegang Yunza terjatuh ke lantai, suara yang ditimbulkan membuat kedua orang tuanya terkejut. Mereka lantas menghampiri pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat Yunza di sana.
"Y-yunza sayang, masuklah ke dalam. Kenapa hanya berdiri di depan pintu? Di luar sangat dingin," ucap ibu sambil mengulurkan tangannya, menggapai tangan Yunza untuk mengajaknya masuk.
Akan tetapi, Yunza malah menepis tangan ibunya tersebut. "Apa kalian ... akan bercerai?" tanyanya sambil menunduk.
Ayah dan ibu saling menukar pandangan, lalu kembali menatap putri mereka. "Nak, masuklah. Di luar sangat dingin. Kau bisa sakit nanti." Ayah mengalihkan pembicaraan.
Yunza tak bergerak sedikitpun, namun air matanya terus menetes tanpa henti. Memikirkan keluarganya akan berpisah benar-benar membuat hatinya hancur.
Tak lama dia mengangkat kepalanya lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Tatapannya dipenuhi harapan. "Ayah ... Ibu ... tolong jangan pisah. Yunza tidak mau keluarga kita berantakan!" pintanya.
Mendengar hal itu, ibu malah memalingkan wajahnya. Dia masih diliputi kekecewaan terhadap suaminya. Bahkan hatinya belum sembuh sedikitpun. "Maaf, Yunza." Hanya kalimat itu yang dia ucapkan.
Yunza mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, Yunza pergi dari rumah! Yunza tidak akan pulang sebelum kalian berbaikan!" Dia membalikkan tubuhnya dan perjalan pergi.
"Yunza! Nak!" seru ayah namun ia tak mengejar. Dia lantas menoleh ke arah istrinya. "Bu, Ayah mohon. Ini demi Yunza kita." Pintanya lagi. Namun sekali lagi, ibu hanya membuang muka.
Sampai suara keras di depan sana mengejutkan mereka. Saat itu, mata kepala mereka menyaksikan sendiri bagaimana sebuah mobil hitam melaju sangat cepat di depan rumahnya lalu menabrak Yunza.
"Yunza!" teriak keduanya dengan mata melotot.
Tubuh Yunza terpental ratusan meter dari depan rumahnya. Ia terkapar dengan beberapa tulang patah dan darah yang terus mengalir dari kepalanya.
Dia membuka matanya, yang dilihatnya saat itu hanya keburaman. Suara-suara tak asing terus memanggil namanya, semakin lama semakin pelan sampai ia tak bisa mendengar apapun lagi.
"Ayah ... Ibu ... sakit! Kepala Yunza sakit, semuanya sakit," gumamnya dalam hati. Kemudian matanya tertutup rapat, hanya kegelapan yang menemaninya kini.
Tiba-tiba Yunza merasakan sentuhan hangat di bahunya. "Yunza, bangun! Bangunlah!" Suara itu berulang kali di dengarnya. Semakin lama semakin jelas di telinga.
Yunza perlahan membuka matanya. Sekali lagi, hanya ada kegelapan. "Yunza!" Suara itu terdengar tepat di telinga kanannya, Yunza lantas menoleh.
Namun, sesuatu menghalangi pandangannya. Seperti sebuah kain menutupi wajahnya. Saat Yunza hendak menyingkap kain tersebut, seseorang mencekal tangannya sambil berkata, "jangan dibuka, nanti ayahanda marah."
"Ayah?" tanya Yunza dengan suara lirih pelan.
"Benar. Diam dan patuhlah!"
Yunza pun terdiam dalam keadaan linglung. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi. "Dimana ini? Tempat apa ini?"
"Kedua mempelai saling berhadapan dan memberi salam," ucap seseorang entah siapa.
Kursi roda yang Yunza duduki didorong seseorang hingga menghadap ke suatu arah. "Yunza, tundukkan kepalamu pelan-pelan!" perintah itu kembali terdengar. Yunza menurutinya dan membungkukkan kepalanya.
Sorak sorai kemudian terdengar di telinga Yunza.
"Selamat atas pernikahan tuan putri! Selamat Yang Mulia Kaisar!"
"Tuan putri, selamat atas pernikahan Anda!"
Yunza bingung sekaligus terkejut. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi dia menyibakkan kain yang menutupi wajahnya dan membuat semua orang terkejut.
"Pengantin wanita membuka penutup kepala sebelum waktunya." Orang-orang mulai berbincang, memperbincangkan hal yang sama.
Sebuah tempat yang sangat megah. Banyak sekali orang dengan pakaian yang sangat aneh. "Apa ini?" tanya Yunza yang dilanda kebingungan.
Kemudian seorang wanita muncul dari samping kanannya. "Hey! Jangan buka penutup kepalanya!" omelnya.
Yunza tak mengenalnya. Dia menepis tangan wanita itu yang hendak memakaikan kembali penutup kepala. "Yunza! Jangan mempermalukan ayahanda! Kau boleh membuka penutup kepala jika sudah berhadapan dengan suamimu!" omelnya lagi.
"Suami apa?" Yunza lantas bangkit dari tempat duduknya. Kemudian dia melangkahkan kakinya menuruni tangga kecil dan turun dari aula.
"Dimana ini? Ayah dan ibu, dimana kalian?" Ia bergumam dan bersikap aneh, membuat semua orang terheran dan mulai membicarakannya.
"Cukup!" sentak seorang pria dengan suara lantang. Suaranya begitu nyaring, memenuhi seisi aula dan membuat semua orang ketakutan.
Yunza menoleh ke asal suara dan melihat pria tua duduk di singgah sanah dengan ukiran naga. Pria itu menatap tajam ke arahnya. Namun, tak lama seorang pria muda datang dan berdiri tepat di depan Yunza.
"Ayahanda, tolong maafkan adik Yunza. Ia masih belum sembuh, mohon Ayahanda memakluminya," ujarnya.
Pria yang disebut Kaisar itu menghela napas kasar. Dia melambaikan tangannya sambil berkata, "Han Xi, bawa adikmu kembali ke kamarnya. Panggil tabib untuk memeriksanya juga," tuturnya.
Han Xi membungkukkan tubuhnya dan memberi salam. Setelah itu dia memapah Yunza dan membawanya pergi dari tempat ramai tersebut.
Kaisar menoleh ke arah seorang pria yang sedari tadi hanya diam menyaksikan. Pria itu terlihat gagah dan tampan dengan pakaian pengantin berwarna merah dengan ukiran nada di punggungnya.
"Putriku sedang sedikit tidak enak badan. Aku harap, pangeran Lin Jian dapat memakluminya," ucapnya.
Lin Jian menghadap Kaisar, dia sedikit membungkukkan badannya lalu berkata, "tidak masalah, Yang Mulia. Semoga putri Yunza lekas sembuh."
Sementara itu dalam perjalanan menuju kamar, Yunza bertanya-tanya dalam hatinya. "Apa ini mimpi?" Meski begitu, adegan tersebut sepertinya tak asing.
"Kaisar? Han Xi?" Yunza menghentikan langkah kakinya seketika. Matanya membelak sempurna dengan mulut sedikit menganga.
Han Xi menepuk pundak Yunza. "Ada apa, adik? Apa ada bagian tubuh yang terasa sakit? Jika tidak bisa berjalan, kakak akan gendong sampai ke kamar," ucapnya.
Yunza mengangkat kepalanya lalu bertanya, "di mana ini?"
Mendengar pertanyaan konyol tersebut, Han Xi menanggapinya dengan sebuah tawa. "Ada apa denganmu? Adik, kita berada di tempat tercinta kita. Negara Long."
Yunza amat terkejut mendengar jawaban Han Xi. Saking terkejutnya membuat kepalanya sakit, tak lama kemudian dia kehilangan kesadarannya.
"Yunza!"
Tok! Tok! Tok!
Seorang pria berpakaian serba hitam memasuki sebuah ruangan. Di sana, duduk menunggu pria berparas tampan dengan mata sipit dan hidung mancungnya. Si pria berpakaian hitam menghampirinya lalu memberikan sebuah surat padanya.
"Yang Mulia pangeran Lin Jian, panglima Shin dan pasukannya yang berkhianat telah ditangkap. Sekarang, mereka ditahan di benteng utara. Para petinggi menunggu keputusan Kaisar Hou, dan Kaisar menyerahkan masalah ini kepada Anda."
Lin Jian membaca isi surat dengan sangat teliti. "Apa panglima Shin memiliki seorang anak istri?" tanyanya.
"Beliau memiliki tiga istri dan beberapa anak. Yang ketiga merupakan istri tersayangnya karena telah melahirkan seorang putra," jawab orang itu.
"Kalau begitu tangkap istri ketiga dan anak laki-lakinya. Bunuh tepat di hadapannya. Biarkan semua orang lihat, biarkan semua orang tahu itu konsekuensinya jika berani menghianatiku." Lin Jian mendekatkan surat tersebut pada lilin dan membakarnya seketika.
"Baik, Yang Mulia." Setelah itu dia pergi untuk melaksanakan perintah dari Lin Jian.
Lin Jian menggertakkan gigi sambil mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan mengampuni siapapun yang berani menghianatiku!"
Sementara itu. Di ruang baca, Han Xi duduk dengan beberapa tumpuk buku di atas meja. Jemarinya begitu lihai memainkan kuas, namun pikirannya entah sedang di mana saat ini.
Kemudian teringat perbincangannya dengan ayah Kaisar.
"Aku tidak setuju!" Han Xi beranjak dari tempat duduknya sambil menatap ayah Kaisar yang duduk tepat di depannya.
"Ayahanda, aku tidak setuju jika adik Yunza menikah dengan pangeran negara Hou itu. Ayahanda tahu betul sifat pangeran yang satu itu. Bengis dan kejam!"
"Apa yang kau katakan ada benarnya. Meski begitu, keputusanku tidak akan berubah. Meskipun kita telah memenangkan perang, namun negara Hou belum sepenuhnya berada di tangan kita. Pernikahan itu akan mengikat mereka, dengan begitu---"
"Bukan itu yang aku maksud, Ayahanda. Ini mengenai Yunza! Ayahanda tahu bagaimana polosnya Yunza, sedangkan pangeran Lin Jian itu kebalikannya. Aku khawatir, dengannya adik Yunza---"
"Cukup Shen Han Xi!" Han Xi bungkam seketika.
"Tch, pergilah!" perintahnya pada Han Xi. Han Xi kecewa dengan keputusan ayahnya, dia pun pergi dari tempat itu setelah memberi salam.
Ingatan hari itu usai. Tak henti-hentinya Han Xi merasa bersalah karena tidak bisa membela Yunza. "Mengirimnya pergi ke negara Hou, sama saja dengan mengirimnya ke neraka," gumamnya.
Di kamar Yunza.
"Ssshh!" Yunza meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Ia membuka matanya perlahan dan menatap langit-langit kamar. Tak lama, dia bangkit dan duduk.
Dibawah rasa heran yang masih melanda, rentetan ingatan kecelakaan hari itu mulai bermunculan. "Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Aku ... tidak mungkin mati! Aku tidak mau mati! Tidak!" Ia kemudian menangis sejadi-jadinya.
Tangisan Yunza tersebut terdengar oleh seorang wanita, dia kemudian bergegas masuk. "Nona, Nona baik-baik saja? Ada yang terasa sakit? Nona tunggu sebentar, aku akan panggil tabib."
Yunza tak menghiraukannya. Kemudian dia menghentikan tangisnya dan melihat ke sekitar. Semua sudut ruangan tak luput dari pandangannya satu inch pun.
"Putri bungsu negara Long, Shen Yun Ja. Ini ... tidak mungkin! Bagaimana bisa ... aku masuk ke dalam cerita novel?" batinnya. Apa yang sudah terjadi padanya benar-benar tak bisa dipercaya.
Hari berganti.
Sejak pagi-pagi buta sekali, beberapa pelayan sibuk mengemas barang-barang di kamar Yunza. Kegaduhan itu membuat Yunza bangun dari tidurnya. Dia turun dari ranjang dan menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" tanyanya.
Seorang pelayan menjawab, "kami sedang mengemas pakaian Anda, Nona. Siang nanti, Anda akan pergi dan tinggal bersama suami Anda di negara Hou."
Yunza terdiam. Ia baru mengingat hal itu. "Lin Jian dari negara Hou, seorang pangeran yang kejam dan dingin. Jadi, aku masuk ke dalam cerita dan saat itu tepat pada adegan pernikahan. Kala itu, aku masih kebingungan, jadi tidak membatalkan pernikahan itu. Tapi sekarang, bagaimana? Aku tidak mau tinggal bersama pria seperti itu. Aku harus memikirkan cara untuk pergi darinya!" Yunza melamun.
"Nona!" Seorang pelayan wanita mengejutkannya.
"Nona, ayo. Anda juga harus segera bersiap." Pelayan yang bertugas mendandani Yunza kemudian membawanya untuk mandi, lalu berhias diri.
Menjelang siang, semuanya sudah selesai dikemas. Saat Yunza masih berhias, kakak perempuannya Xiao Lu datang berkunjung. Kedatangannya tak sedikit pun mengejutkan Yunza, ia malah sudah menduga hal itu sebelumnya.
"Adik Yunza, selamat atas pernikahanmu. Tak lama lagi kau akan pergi dan tinggal bersama suamimu, aku turut merasa sedih. Untuk itu, aku membawakan beberapa buku sebagai kenang-kenangan." Salah satu pelayannya meletakkan beberapa buku di meja.
"N-nona pertama ... buku itu---" Segera, Xiao Lu melempar tatapan tajam yang membuat pelayan Yunza bungkam seketika.
Meski sudah mengetahuinya, Yunza merasa penasaran dengan bentuk buku yang dibawa Xiao Lu. Dia pun menoleh sekilas. "Buku dewasa. Dia berniat mempermalukanku seperti di dalam cerita," batin Yunza.
"Adik Yunza, aku tahu kau masih marah padaku karena masalah di danau waktu itu. Tapi itu tidak sepenuhnya salahku. Aku hanya becanda mengenai ikan yang tenggelam, tapi kau langsung loncat begitu saja. Lihatlah ke sini." Xiao Lu memegang dagu Yunza dan menariknya menghadap dirinya.
"Beberapa buku ini juga anggap saja sebagai permintaan maafku. Ya, aku tahu adik tidak bisa membaca dan menulis. Jadi, nanti di sana kau bisa tanya langsung mengenai buku ini pada suamimu," tuturnya sambil tersenyum menyeringai.
Yunza menepis tangan Xiao Lu dengan wajah datar. Tatapan berbeda yang Yunza lempar membuat Xiao Lu terkejut dan diam.
"N-nona pertama. Sebaiknya ... Anda bawa kembali buku-buku itu. Kalau pangeran Han Xi sampai tahu ...." ucap pelayan dengan sedikit ancaman.
Mendengar hal itu membuat Xiao Lu geram. Dia menghampiri pelayan tersebut dan langsung menamparnya keras hingga jatuh tersungkur.
"Lancang! Seorang pelayan berani mengancamku! Apa kau sudah bosan hidup! Penjaga! Seret pelayan rendahan ini dan berikan hukuman cambuk sebanyak 50 kali---"
"Kakak Xiao Lu!" Yunza berdiri di belakang Xiao Lu. "Tolong hentikan. Aku ... aku akan menuruti perkataan kakak tapi jangan hukum pelayan itu," sambungnya.
Xiao Lu tersenyum puas mendengarnya. Dia membalikkan tubuhnya lalu menepuk-nepuk pundak Yunza secara perlahan. "Baiklah, adik yang patuh. Kalau begitu, kakak tidak ganggu lagi. Kau juga jangan terlalu lama berdandan, kasihan semua orang sudah menunggu. Sampai jumpa."
Seperginya Xiao Lu, barulah Yunza dapat bernapas dengan lega. Ia tak bisa mengubah banyak hal, namun setidaknya, pelayan itu tidak mati karena hukuman yang diberikan Xiao Lu.
"Terima kasih, Nona. Tapi buku itu ...." Ia masih memikirkan tentang buku itu.
"Kau tidak perlu khawatirkan itu. Bawa barang-barang itu terlebih dahulu, aku akan segera menyusul setelah selesai berdandan." Yunza membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di depan meja rias.
Dia kembali melamun. "Bagaimana keadaan ayah dan ibu. Mereka pasti sangat sedih atas kematianku."
Barang-barang yang sebelumnya sudah dikemas sudah dinaikkan ke atas kereta. Yunza pergi ke gerbang ditemani beberapa orang yang mengantar kepergiannya.
"Adik Yunza, jaga kesehatan baik-baik di sana, ya. Jangan takut, kakak pertama dan kakak kedua akan melindungimu dari jauh," ucap seorang wanita yang berusia lebih tua dari Yunza.
Wanita itu memiliki wajah cantik dengan rambut sedikit pirang, ia merupakan kakak ipar Yunza, istri dari pangeran pertama.
Mendengar penuturan kakak iparnya, Yunza hanya membalas dengan anggukkan kepala saja.
Tibalah di depan gerbang, beberapa orang turut hadir untuk menyaksikan kepergian tuan putri mereka diantaranya Han Xi, Xiao Lu, dan beberapa orang. Namun, anehnya ayah Kaisar tak terlihat batang hidungnya.
Tetiba Yunza menangkap basah Xiao Lu yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam, namun terlihat lemah dan sendu seperti menyembunyikan sesuatu. "Apa liat-liat?" cecarnya sambil memasang muka galak.
Yunza mengabaikannya, tak lama Han Xi menghampirinya. "Adik Yunza, apa tubuhmu sudah merasa baikan? Jika belum, perjalanan ini ditunda saja beberapa hari ke depan," ucapnya.
Yunza mengalihkan pandangannya pada sebuah kereta kuda. Di dalam sana, duduk Lin Jian yang sudah sedari tadi menunggunya.
"Kakak kedua, terima kasih. Aku baik-baik saja, jangan khawatir." Yunza menoleh ke arah Han Xi dan menatapnya. "Selama aku pergi, aku titip ayahanda, kakak Xiao Lu, juga kakak ipar dan yang lainnya, ya," lanjutnya.
Xiao Lu yang mendengar hal itu lantas membelakkan matanya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Tak hanya Xiao Lu yang merasakannya, Han Xi juga. Ia merasa Yunza yang dihadapannya adalah Yunza yang berbeda.
"Semenjak kejadian tenggelam di danau, Yunza kehilangan keceriaannya. Ia cenderung suka melamun dan duduk seorang diri," batin Han Xi sambil menatap khawatir adik bungsunya.
"Kak Han Xi, kakak ipar, aku pergi dulu."
Yunza berpamitan pada mereka. Sampai akhirnya seorang penjaga dari negara Hou menjemputnya dan membantunya naik ke dalam kereta. Beberapa saat kemudian, kereta pun berjalan pergi.
Yunza duduk di dekat jendela kereta, dia mengintip keluar dan melambaikan tangannya pada mereka.
Xiao Lu mengerutkan dahinya. "Apa-apaan dia! Jangan sok perhatian seperti itu. Itu ... sangat membuatku muak! Menjijikan sekali!" Gumaman kejamnya berbanding terbalik dengan apa yang dirasakannya.
Secepat kilat Xiao Lu membalikkan tubuhnya, menundukkan kepala untuk menutupi fakta bahwa sepasang matanya ternyata berkaca-kaca. Setelah itu dia melangkahkan kaki kembali ke paviliun miliknya.
Dalam perjalanannya, Xiao Lu teringat masa kecil.
Xiao Lu kecil berdiri di samping tempat tidur bayi. Dilihatnya makhluk bertubuh mungil itu sangat lucu. Jemarinya yang lembut terangkat ke udara seakan hendak menggapai sesuatu.
Namun, di samping mereka berdiri beberapa orang dewasa. Mereka menangisi sesuatu yang tak dapat dimengerti oleh anak berusia 4 tahun tersebut.
Xiao Lu melihat sebuah peti. Karena merasa penasaran, dia pun bertanya pada ayahnya, "Ayahanda, mengapa ibunda tidur di dalam kotak kayu itu?" Dengan polos ia menunjuk ke arah kotak kayu di depannya.
Ayah Kaisar tak menjawab pertanyaan Xiao Lu. Dia malah memanggil beberapa pelayan untuk membawa Xiao Lu dan adik Yunza pergi dari tempat itu. Semenjak hari itu, Xiao Lu tidak pernah bertemu dengan ibunya lagi. Hingga beranjak dewasa, dia pun mulai mengerti dengan apa yang sudah terjadi.
Tibalah Xiao Lu di depan kamarnya, ia membuka pintu dan masuk. "Jangan salahkan aku, jika aku begitu membencimu, Yunza!" Kemudian dia menutup pintu kamar dengan sangat keras.
Sementara itu. Di dalam kereta, Yunza dan Lin Jian duduk saling berhadapan. Keheningan tercipta tanpa adanya sepatah dua patah kata yang mereka ucapkan sejak kepergiannya dari istana Long.
Yunza membuka tirai jendela di sampingnya, lalu menekuk tangan dan menyanggah dagunya. "Bagaimana caraku pergi dari sini? Bagaimana pun, aku tidak boleh ikut dengannya. Tidak boleh sampai tinggal bersamanya," gumam Yunza.
Lin Jian sedari tadi menutup matanya dengan memasang wajah datar. "Entah dia tidur atau tidak. Yang pasti, melihatnya saja sudah membuatku takut. Yah~ memang tidak bisa dipungkiri kalau dia memang tampan. Namun, di sisi lain kejam," sambungnya.
Tiba-tiba, roda kereta menginjak sebuah lubang di tanah membuat kereta menjadi tidak seimbang. Yunza yang tak berhati-hati hampir saja jatuh tersungkur ke bawah. Beruntung, Lin Jian menahannya.
Untuk pertama kalinya mereka saling menatap. "Mata merah seperti yang digambarkan dalam cerita. Indah namun mengerikan," batin Yunza.
Suasana menjadi canggung sampai akhirnya mereka saling menjauh dan kembali duduk dengan benar.
"Kenapa kalian membiarkan orang buta ini menjadi kusir kereta!?" Kata-kata tajam keluar dari mulut Lin Jian.
"M-maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak becus, hamba pantas mendapatkan hukuman," ucap kusir kereta tersebut.
"Tch!" Lin Jian mendengus kesal, namun setelah itu dia kembali memejamkan matanya dengan kedua tangan bersidekap di dada.
Perjalanan dari negara Long ke negara Hou berlangsung beberapa hari lamanya. Melewati beberapa kota dan pedesaan, hutan dan ladang-ladang penduduk. Kemudian tibalah mereka di negara Hou, istana Hou Zzi.
Yunza keluar dari dalam kereta. Dia melihat dua orang perempuan berdiri di dekat gerbang istana ditemani beberapa pelayan. Satu perempuan yang sedikit tua memasang senyum sambil menatap kearahnya, satu lagi perempuan muda berwajahkan masam.
"Tidak bisakah kau turun sendiri?" tanya Lin Jian. Ia mengira, Yunza yang terdiam memintanya untuk membantunya turun.
Yunza menunduk dan melihat adanya pijakan yang disediakan untuknya, dia pun segera turun dari kereta tanpa menjawab ucapan Lin Jian. Setelah itu, dia berjalan menghampiri dua perempuan tersebut.
"Kakak ipar Mei An, permaisuri putra mahkota. Ia berbakat, cerdas dan berhati baik. Ia seperti seorang dewi. Sedangkan yang di sampingnya, adik bungsu Shenshen. Ia memiliki paras yang sangat cantik. Namun ... sangat membenci tokoh Yun Ja," gumam Yunza.
Belum tiba di hadapannya, Mei An segera menyambut Yunza. "Adik ipar, selamat datang di negara Hou," ucapnya sambil tersenyum. "Tapi, aku harap kau tidak marah. Ayah Kaisar dan ibunda bukannya tidak ingin menyambutmu, namun mereka sedang sibuk mengurus urusan negara," sambungnya.
Yunza tersenyum. "Tidak apa, kakak ipar. Aku merasa senang, terima kasih sudah menyambutku," ucap Yunza. Rangkaian kalimat yang penuh sopan santun itu membuat mereka tak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.
Shenshen menatap tajam Yunza. "Bukankah dia putri bodoh dari negara Long? Mengapa sekarang malah bersikap seperti itu? Benar-benar wanita dengan tipu muslihat."
Dia kemudian menghampiri Lin Jian. "Kakak, aku sangat merindukanmu," ucap Shenshen sambil bermanja padanya.
Siapa sangka, di depan adik perempuannya Lin Jian bisa tersenyum juga. Dia juga mengelus kepala Shenshen dengan sangat lembut. "Apa kau belajar dengan baik beberapa hari terakhir?" tanyanya.
"Tentu saja. Aku akan rajin belajar dan menjadi wanita terpintar di benua ini. Tidak seperti ... seorang gadis bodoh yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu!" sindirnya pada Yunza.
Yunza menoleh sebentar, lalu membalikkan tubuhnya sambil berkata, "rajin belajar tidak selalu membuat seseorang pintar. Jika Nona berpikir bahwa dengan kepintaran bisa menguasai suatu benua, maka itu sangat keliru. Berbicara mengenai kebodohan, aku jadi teringat sebuah pepatah 'buruk muka cermin dibelah'," balas Yunza sambil tersenyum.
Shenshen membelakkan matanya mendengar balasan Yunza. Ia merasa sangat marah karena penghinaan tersebut.
"Siapa yang kau sebut 'buruk muka cermin dibelah'?" berang Shenshen. Yunza tak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya.
Perdebatan singkat tersebut membuat keadaan menjadi canggung. Mei An yang turut mendengar hal itu merasa tidak enak pada Yunza.
"K-kalian sudah melakukan perjalanan panjang, masuk dan beristirahatlah." Mei An mengalihkan pembicaraan sambil merangkul tangan Yunza.
"Adik Lin Jian, ayo, ajak istrimu beristirahat," sambung Mei An.
Lin Jian melangkahkan kakinya. Namun, alih-alih mengajak Yunza, dia malah berjalan melewatinya. "Banyak urusan yang harus aku selesaikan. Suruh pelayan saja yang mengantar."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!