NovelToon NovelToon

Without You

0. Sinar Temaram

Senja sudah berlalu kini berganti dengan malam yang kelabu, tidak ada yang sepesial dari malam ini. Karna malam ini dan malam sebelumnya, bagiku adalah sama saja tidak ada bedanya.

Namun malam ini tidak biasa seperti malam-malam yang lainnya.

Karna biasanya sekitar pukul 21.45 malam, adalah waktu nya aku untuk menutup Kafe ku aduh ralat maksudnya Kafe milik Abi, namun seperti nya malam ini aku akan pulang terlambat karna Alhamdulillahnya Kafe Abi sangat ramai hari ini.

"Huh, Alhamdulillah ya teh Vidya hari ini Kafe kita laris manis," ujar Dadang salah satu karyawan di Kafe ini yang memang akrab denganku.

"Iya Alhamdulillah. Semuanya berkat rahmat dari Allah," jawabku sambil tersenyum dan dia pun ikut tersenyum.

Aku pun berjalan ke salah satu meja yang sekarang sudah kosong tak ada lagi penghuninya, dan kebetulan dia juga adalah pelanggan terakhir di Kafe malam ini.

Lalu aku pun memutuskan untuk menutup Kafe ini karna sudah larut malam dan badanku pun rasanya sudah lelah.

Namun tak apa semoga lelah ku ini menjadi lillah Aamiin, aku menghampiri setiap meja dan mulai membersihkannya lalu setelah semuanya di pastikan bersih aku pun bersiap untuk pulang ke rumah.

"Nita, kamu liat ponsel Aku gk?" Tanyaku pada Nita yang juga merupakan rekan kerjaku di Kafe Abi, yang memang sudah sangat akrab denganku.

"Kan tadi kamu taruh di dalam saku tas," aku pun segera memeriksa saku tasku dan benar saja ponsel ku ada di saku tas. Huh, aku rasa aku ini benar-benar ceroboh.

"Tuh kan ketemu, masih muda kok udah pikun haha."

Aku hanya meringis mendengar ucapan Nita karna ucapannya tidak sepenuhnya salah karna aku ini memang orang yang ceroboh dan pelupa.

Aku ingat betul cerita Umi, katanya dulu saat aku masih SMA. Saat aku baru di belikan ponsel oleh Abi aku juga lupa menaruh ponselku dimana.

Saat aku cari tidak juga ketemu sampai-sampai aku menangis karna takut di marahi oleh Abi, namun akhirnya Umi lah yang menemukan ponselku.

Ternyata ponselku itu aku taruh di dalam frezer dan akhirnya ponsel ku pun membeku dan rusak, namun Abi tidak marah ia malah tertawa dan menasihatiku agar lebih hati-hati lagi dalam bertindak namun kadang aku masih suka lalai.

Aku menyalahkan ponsel ku dan ternyata ada 30 panggilan tak terjawab dari Abi dan 5 pesan masuk dari Abi juga, lalu ada juga 10 panggilan tak terjawab dari umi dan ada 10 pesan masuk dari umi juga.

Ya Allah sepertinya umi dan abi sangat mengkhawatirkanku, jari ku bergerak menekan fitur bergambar sebuah surat.

Umi ku Bidadariku❤

Assalamu'alaikum Vidyaa jangan lupa sholat dan makan ya, jangan terlalu capek nanti kamu sakit loh dek.

13.30 a.m

Assalamu'alaikum sholehah nya umi😊 kok belum pulang dek? Jangan terlalu larut ya pulang nya, sholatnya juga jangan lupa!

17.54 p.m

Assalamu'alaikum Adek? Kok belum pulang ini udah malem loh dek.

20.15 p.m

Vidya? Kok belum pulang nak?

21.30 p.m

Vidya bales pesan umi dek, umi khawatir sama kamu.

21.50 p.m

Me:

Wa'alaikumussalam, iya umi sayang💙 Alhamdulillah Vidya sudah sholat, Vidya juga sudah makan mi. Maaf ya umi, Vidya baru sempat ngabarin karna tadi pengunjung Kafe lagi ramai jadi Vidya baru bisa buka ponsel, Afwan sangat ya umi. 😔

Aku pun menghela nafas dan beralih membuka pesan dari Abi, namun tiba tiba saja ponsel ku mendadak mati membuat ku mendengus kesal.

"Ya Allah ini ponsel aku lowbat lagi," ujarku seraya mencebikkan bibir ku, sambil menatap ponselku yang kini sudah padam.

"Teh Vidya semuanya sudah selesai. Tinggal nutup Kafe nya doang teh," ujar Dadang yang terlihat sudah lebih bersih dari sebelumnya, ia juga sudah mengganti baju kerjanya dengan baju yang lebih terlihat santai namun tetap sopan.

"Ya sudah kamu sama Nita pulang duluan aja karna yang lainnya juga sudah pada pulang. Urusan menutup Kafe biar aku saja," kataku sambil menatap Dadang yang sepertinya masih terlihat bimbang.

"Tapi gk apa-apa nih teh?" Tanya Dadang lagi sepertinya ia tidak tega meninggalkan ku sendiri.

"Iya dang gk apa apa. Lagian si Vidya kan udah besar," kata Nita menyahut dan aku pun menganggukkan kepalaku sambil tersenyum mencoba meyakinkan Dadang dan akhirnya Dadang pun mengerti.

Dia dan Nita pamit padaku untuk pulang dan aku pun mengizinkannya, lalu sekarang di sinilah aku. Berada di dalam Kafe yang sepi dan sunyi, di bawah sinar lampu yang temaram.

Berhubung malam sudah larut aku segera membereskan barang-barangku, karna aku juga harus segera pulang.

Umi pasti sudah sangat mengkhawatirkan ku begitu pun dengan Abi yang juga pasti sangat khawatir padaku dan aku juga tidak mau membuat Abi yang saat ini sedang berada di luar Kota untuk mengurus bisnisnya menjadi cemas, jadi ku putuskan saja untuk segera bergegas pulang.

Karna jam segini biasanya di sekitar wilayah Kafe ku sangat jarang sekali ada angkutan umum ataupun taksi yang lewat, terpaksa aku harus berjalan terlebih dahulu menuju halte karna memang hanya bis lah alternatif yang bisa aku tumpangi malam ini untuk pulang ke rumah.

Walaupun sebenarnya ini adalah kali ke dua nya aku naik bis, karna sebelumnya aku tidak pernah pulang selarut ini dan biasanya juga aku selalu kebagian jadwal membantu- bantu di Kafe hanya pada siang hari, namun tadi di kampus ada kelas tambahan alhasil aku pun pulang sore jadi aku kebagian bekerja di Kafe pada malam hari. 

Sebenarnya Abi sudah menyuruhku untuk tidak bekerja di Kafe milik nya, namun aku tetap bersikukuh karna aku ingin bekerja dan ingin membantu Abi.

Karna Abi sudah terlalu sibuk dengan bisnis properti dan juga bisnis restorannya yang sudah tersebar hingga ke Mancan Negara.

Meskipun begitu, aku tidak mau berfoya-foya dan menghamburkan uang untuk hal- hal yang tidak berguna.

Lagi pula itu adalah perbuatan yang boros dan Allah tidak menyukai orang yang boros, karna aku juga tau Abi pasti lelah bekerja seharian untuk membiayai kehidupan kami sehari-hari yang memang bisa di bilang sangat lumayan banyak pengeluarannya.

Saat aku sedang berjalan aku harus melewati salah satu gang yang lumayan sepi, ya sebenarnya aku tidak mau melewatinya namun karna memang hanya inilah jalan satu-satu nya menuju halte.

Jadi mau tidak mau aku harus melewatinya, namun sebenarnya aku agak sedikit takut dan tiba- tiba saja retina mata ku tidak sengaja menangkap siluet tubuh seseorang yang sedang berdiri di ujung gang sana.

Membuat rasa takutku semakin menjadi-jadi rasanya aku ingin kembali berbalik ke belakang tapi itu tidak memungkinkan karna aku sebentar lagi akan sampai di halte jadi bagaimana mungkin aku berbalik arah lagi? itu sama saja membuang-buang waktu.

"Bismillah," ujarku lalu dengan langkah mantap aku pun mencoba memberanikan diri untuk terus berjalan, dan aku juga terus-terusan mencoba meyakinkan diriku agar aku tidak merasa takut.

"Heh lo!" Aku pun menghentikan langkahku saat seorang pria yang tadi siluet tubuhnya aku lihat dari kejauhan dan kini dia  sudah berdiri di hadapanku.

Dia menatapku dengan tatapan matanya yang sayu dan juga aroma Alkohol yang menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku.

Membuat nyali ku menjadi ciut aku pun memundurkan langkah, saat ia berjalan mendekat ke arahku.

Ya Allah aku benar-benar sangat ketakutan saat ini, lalu aku melihat tangannya terulur mendekat ke arah wajahku membuat aku mencengkram erat tali tasku dan memejamkan mata.

Tanpa bisa di cegah lagi air mata ku pun turun membasahi pipi dan aku merasakan sebuah tangan yang kasar menyentuh pipiku, Aku terkejut karna aku kira pria itu akan menamparku tapi ia malah menghapus air mata di sudut mataku, yang membuat diriku akhirnya memberanikan membuka mata walau dengan cara perlahan.

Dan saat aku membuka mata, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lalu aku terpaku pada bola matanya yang berwarna coklat yang entah kenapa terlihat sangat indah namun karna sadar itu adalah hal yang tidak baik aku segera memundurkan tubuh dan menjaga jarak dengannya.

"Astagfiruallahaladzim," ucap ku beristigfar sementara pria itu masih saja menatapku dengan tatapannya yang datar.

"Heh, mahluk sok suci ngapain lo malem- malem gini masih berkeliaran? Oh atau jangan-jangan lo ini komplotan ******* ya?" Tuding pria itu dengan berbagai kata-kata yang sangatlah menyakitkan untuk di dengar.

Memangnya apa salahnya jika aku bercadar? Apakah semua wanita bercadar itu *******? Tentu tidak! Kami bukan lah ******* kami menggunakan cadar untuk melindungi diri kami bukan untuk menyakiti orang lain apalagi sampai membunuh.

Karna kami tau bahwa Agama Islam adalah agama perdamaian dan Islam juga sangat mengharamkan pembunuhan dan itu termasuk dosa yang besar.

"Astagfiruallahaladzim kamu tidak boleh fitnah saya seperti itu. Karna fitnah lebih kejam daripada pembunuhan," ujarku sementara dia hanya tersenyum meremehkan.

"Lo nasehatin gue kaya gitu? Kaya lo udah bener aja. Palingan penutup wajah lo itu cuma buat alibi doang buat nutupin aib lo sebagai cewek murahan karna semua cewek itu sama aja. Sama- sama MURAH-"

Plakkk

Tanganku tiba tiba saja secara refleks menampar pipinya karna aku sudah merasa sangat kesal padanya.

"Cukup! Kamu itu tidak kenal siapa saya dan kamu jangan pernah menghina saya sebagai cewek murahan! Karna saya tidak seperti apa yang kamu bilang tadi," ujarku dengan mengebu gebu emosiku tersulut karna pria di hadapanku ini.

Setelah menamparnya aku pun melanjutkan langkahku meninggalkan laki-laki itu yang kini sedang berdiri mematung.

Namun aku tidak perduli yang aku perdulikan saat ini adalah aku harus bisa sampai ke rumah karna aku rasa tubuh dan hati ku harus segera beristirahat.

1. Kenapa Harus Dia?

Setelah kejadian semalam yang sangat menguras emosiku itu.

Kini aku tidak mau lagi membantu di Kafe sampai larut malam lagi, karna aku tidak ingin sampai bertemu dengan pria menyebalkan itu lagi yang hanya membuatku naik darah karna dia benar-benar menjengkelkan.

"Umi, Vidya tidak mau lagi membantu di Kafe sampai larut malam," ujarku pada Umi yang sedang menyiapkan hidangan di meja makan untuk sarapan pagi ini.

"Loh, memangnya kenapa dek?" Tanya Umi sambil menatap ke arahku meminta penjelasan.

"Gk kenapa-napa mi,  Vidya gk mau aja," jawabku.

Ya Allah maafkan Vidya, aku sudah tidak jujur dan menceritakan semuanya pada Umi, bukannya aku tidak ingin menceritakan apa yang aku alami kemarin malam pada Umi. Hanya saja aku tidak ingin Umi merasa cemas dan khawatir padaku.

"Ya sudah, lagipula Umi kan tidak pernah memaksa atau menyuruh Adek untuk bantu-bantu di Kafe. Kan itu kemauan Adek sendiri, kalau kamu merasa tidak nyaman ya sudah tidak usah membantu di Kafe lagi."

"Tidak bukan begitu Umi, Vidya masih mau membantu di Kafe. Hanya saja Vidya tidak mau terlalu malam lagi seperti kemarin, bolehkan mi?" Tanyaku dan Umi pun menganggukkan kepalanya.

Tangannya terulur mengusap lembut kepalaku dengan penuh kasih sayang.

"Ya sudah tidak apa-apa, asalkan Adek harus bisa mengatur waktu untuk mengurus perihal dunia dan akhirat. Agar keduanya seimbang."

Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Umi.

Senyuman perempuan yang paling aku sayangi selama ini, yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dengan tulus dan ikhlas padaku. Dia adalah Umi, bidadari terhebat dalam hidupku dan aku sangat amat menyayanginya.

"Oh iya setelah dari Kafe kamu langsung pulang ke rumah ya, bantu Umi memasak di rumah."

Aku menghentikan pergerakkan tanganku yang tadi sedang mengolesi rotiku dengan coklat, lalu beralih pada Umi yang ternyata sedang menatapku sambil tersenyum.

"Memasak? Memangnya malam ini Umi mau masak banyak?"

"Iya dek, Umi mau masak banyak karna hari ini akan ada tamu spesial yang datang ke rumah kita. Jadi kamu jangan sampai pulang telat ya."

Aku hanya terdiam mendengar penuturan Umi.

Tamu spesial? Siapakah gerangan tamu spesial yang akan datang ke rumah malam ini? Apakah rekan kerjanya Abi ada yang mau datang ya?

"Siapa mi tamunya? Rekan kerja Abi?" Tanyaku dan di sana Umi hanya tersenyum penuh arti.

"Rahasia dong! Makannya nanti malam kamu liat sendiri," ujar Umi yang tidak memberitahuku siapa tamu spesial yang akan datang ke rumah malam ini.

"Ih kok Umi gitu sih? Masa sama ank sendiri mainnya rahasia-rahasiaan," ujarku dengan nada merajuk dan biasanya cara ini sangat ampuh menghadapi Umi saat sifat misteriusnya itu sedang berada dalam mode on.

"Biarin dong terserah Umi hehe."

Ya Salam, Umi ini ya benar-benar membuat aku dilanda  rasa penasaran akut.

"Kamu gk ngampus dek hari ini?" Tanya Umi yang kini sudah duduk dan menyantap roti sama seperti apa yang sedang aku lakukan saat ini.

"Nggak mi, lagian hari ini jadwal ngampus Vidya lagi kosong. Jadi hari ini Vidya mau ke Kafe aja, mau bantu-bantu di sana."

"Oke deh, tapi nanti jangan lupa setelah dari Kafe langsung pulang ya bantuin Umi masak."

Dan aku pun hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.

"Umi, Vidya berangkat dulu ya."

Setelah menyalimi tangan Umi dan tak lupa juga mengucapkan salam, aku pun segera bergegas ke luar dari rumah.

"Neng Vidya ya?" Tanya supir taksi online yang beberapa menit lalu aku pesan dan kini sudah tiba di depan gerbang rumahku.

"Iya pak benar. Langsung jalan aja ya," jawabku setelah mendudukan diri di jok belakang mobil taksi tersebut, setelah itu taksi yang aku tumpangi pun melesat pergi dari depan rumahku menuju Kafe yang merupakan tempat tujuan dari perjalananku.

******

"Terimakasih Pak," kataku sesudah memberikan uang ke pada supir taksi tersebut.

Setelah itu aku pun langsung masuk ke dalam Kafe, di dalam Kafe pengunjung terlihat sangat ramai.

"Arggg sial!" Umpat seorang pemuda yang kini berada di pojok Kafe, pemuda itu terlihat sangat marah.

"Lagian ini Kafe macam apa sih? Masa pelanggan yang pasangan kaya kita gk boleh masuk!" Ujar pemuda itu yang wajahnya tidak bisa terlihat karna dia menggunakan masker, namun yang membuatku bingung adalah si pemuda ini sedaritadi terus mengomel pada Rahman (karyawan di Kafe milik Abi ku juga) yang sepertinya nampak kewalahan menghadapi pemuda itu.

"Ada apa ini?" Tanyaku pada Dadang yang kebetulan sedaritadi berada di dekat Rahman.

"Alhamdulillah Teh Vidya datang, ini loh Teh si Mas nya ini ngeyel banget di bilanginnya," ujar Dadang yang kemudian menceritakan kronologis kejadian yang membuat pemuda itu memarahi Rahman.

"Maaf permisi sebentar Mas, sesuai kebijakkan di Kafe kami ini bahwa tidak boleh membawa pacar atau pasangan yang belum halal lainnya dan jika mau kalian bisa duduk di tempat berbeda. Karna sesuai visi kami yaitu menerapkan syariat islam dalam konsep restoran ini, tapi Masnya gk perlu khawatir kok karna kalian di Kafe kami tapi dalam jarak yang berjauhan," ujarku yang memaparkan peraturan yang memang sudah di terapkan dalam Kafe ini.

"Ck, emang lo kira pas kita lagi makan terus kita bakalan berbuat hal yang nggak-nggak gitu? Jadi orang tuh jangan terlalu fanatik banget. Lo semua sok suci," kata pemuda itu lagi yang membuat diriku beristighfar mendengarnya.

Aku tak heran mendapatkan pelanggan yang seperti itu karna memang sudah banyak pelanggan yang responnya sama seperti pemuda itu, tapi ketika kami memberikan pengertian mereka pun memakluminya dan langsung pergi jika memang mereka tidak suka dengan kebijakkan di Kafe ini.

Tapi pemuda itu? Dia malah tancap gas terus apalagi omongannya itu loh pedes-pedes nyelekit ke hati.

"Gue paling benci sama orang-orang munafik kaya kalian! Cih, sampah," ujar pemuda itu sambil meludah lalu melengang pergi bersama kekasihnya dengan menaiki motor ninja miliknya.

Aku mencoba mengendalikan emosiku, pemuda itu benar-benar sudah menguji kesabaranku.

"Astagfiruallahaladzim. Ada gitu yah orang modelan kaya gitu?" Tanyaku pada diriku sendiri, yang tak habis fikir ada juga jenis orang seperti itu.

"Teh Vidya tumben ke Kafenya pagi-pagi?" Tanya Dadang, aku pun menoleh padanya.

"Iya, aku gk mau lagi bantu di Kafe malem-malem kapok aku Dang."

"Kapok kenapa Teh? Teteh ngeliat dedemit ya semalam?"

Aku terkekeh sebentar karna mendengar pertanyaan Dadang yang ngaco bin aneh.

"Apa sih kamu ini Dang? Haha, bukan karna hantu tapi ini tuh lebih seram dan lebih nyeremin dari hantu."

"Lebih seram dan nyebelin dari hantu? Oh Dadang tau itu pasti Teh Anita kan ya? Dia kan kalau ngomel lebih serem dari hantu," ujar Dadang yang lagi-lagi berhasil membuat diriku tertawa.

"Emang kenapa kok gitu Dang?"

"Ya kan atuh si Teh Anita mah gitu, ngeselin plus nyebelin dia mah. Komplit deh pokoknya."

Aku tertawa sebentar sebelum membalas ucapan Dadang.

"Bukan gara-gara Anita, kamu mah ada-ada aja."

"Terus gara-gara apa Teh?" Tanya Dadang lagi yang masih penasaran.

"Hm gimana ya intinya panjang deh kalau harus di ceritain nya Dang, udah ah ayo masuk ke dapur gk enak sama pelanggan."

"Eh iya Teh, Ya Allah kenappa Dadang jadi kepo gini sih. Ya udah atuh Dadang mau ke dapur dulu," ujar Dadang yang melenggang ke arah dapur begitupun juga denganku, karna kini pengunjung Kafe sudah mulai ramai.

Aku pun mulai membantu-bantu di Kafe, mencoba melupakan sejenak masalah yang terjadi dalam hidupku, yang selalu saja dapat menguji kesabaranku.

2. Salah Paham

Aku menatap langit yang mulai mengelap.

Aku pun menoleh ke arah  jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul 17.30 tidak terasa ternyata sudah sore bahkan sudah hampir menjelang malam karna saking asik nya bekerja hingga aku lupa bahwa kini aku harus pulang.

Aku membuka gawai ku saat sebuah panggilan masuk ke dalam gawai ku, itu panggilan dari Umi dan tanpa fikir panjang lagi, aku pun segera mengangkat telpon dari umi ku tersayang.

"Halo, Assalamu'alaikum Umi?"

Lalu tak lama ada balasan suara dari seberang sana.

"Halo, iya dek Wa'alaikumussalam sayang. Vidya kamu kapan pulang? Umi kan tadi sudah bilang jangan pulang terlalu malam akan ada tamu spesial yang datang malam ini."

"Hehe Iya Umi sayang, sebentar lagi Vidya akan pulang. Tunggu saja ya dan soal tamu spesial itu Vidya usahakan pasti Vidya sampai tepat waktu Insyaallah, jadi umi tidak perlu khawatir lagi ya."

Aku mendengar suara helaan nafas Umi di sebrang sana, ia seperti nya khawatir pada ku dan aku pun tau Umi memang suka begitu.

Dia suka khawatir berlebihan padaku tapi tak apa, aku tau dia seperti itu pasti karna Umi menyayangi diri ku.

"Bukan begitu dek, entah mengapa perasaan Umi merasa tidak enak. Umi mengkhawatirkan diri mu sayang dan Umi merasa tidak tenang sebelum melihat mu langsung."

"Iya sabar Umi, Vidya sebentar lagi pasti tiba di rumah. Sudah dulu ya mi Vidya mau menganti pakaian dulu, sampai jumpa Umi Assalamu'alaikum."

"Ya sudah kalau ada apa-apa hubungi Umi ya, Wa'alaikumussalam."

Aku melihat layar gawai ku, panggilan ku dengan umi sudah berakhir.

Lalu setelah itu aku pun membereskan barang-barang ku dan berjalan ke arah Anita yang sedang mencatatan pesanan, lalu aku pamit pada nya dan juga pada rekan kerja ku yang lainnya.

Seperti biasa untuk pulang, aku harus melewati gang kecil itu agar bisa sampai di halte dengan cepat, kenapa aku tidak naik ojek online saja? Karna entah mengapa aku sangat ingin naik bis saja untuk saat ini.

Aku berjalan di gang tersebut namun aku merasa heran, kenapa gang ini selalu sepi? Ah entahlah aku juga tidak tau pasti alasannnya.

Dan aku berusaha untuk tidak memperdulikannya karna yang saat ini aku perdulikan adalah, aku harus bisa segera sampai rumah sebelum Adzan magrib berkumandang.

Aku menghentikan langkah ku saat aku melihat seseorang berjalan ke arah ku dan aku menyipitkan mata ku mencoba mengamati bahwa orang tersebut seperti tidak asing.

Dari wajah nya saja seperti terlihat tidak asing, aku menatap nya yang terus berjalan ke arah ku yang kini semakin mendekat.

Aku merongoh tas ku untuk menggambil kacamata agar aku bisa melihat dengan jelas.

Namun belum sempat aku menggambil kacamata, sebuah tangan besar sudah mencekal pergelangan tangan ku dan membuat diriku tersentak.

"Kita bertemu lagi cewek sok suci," ujar orang tersebut, membuat ku mengerenyit bingung.

Aku mencoba menatap nya lekat-lekat dan samar samar aku melihat manik mata nya, manik mata kecoklatan yang terlihat menghipnotis dan begitu indah di pandang.

"Kenapa? Lo terpesona sama gue?" Tanya nya sambil memasang senyuman sinisnya.

Aku pun seketika tersadar dan mencoba melepaskan pergelangan tangan ku yang di cengkram begitu kuat oleh pria itu, pria yang sama dengan pria kemarin malam yang sudah menghina diri ku.

Bukannya melepaskan cengramannya di pergelangan tangan ku, pria itu malah semakin maju membuat ku otomatis memundurkan diri.

Namun telak sudah! Aku tak bisa mundur lagi karna punggung ku sudah menyentuh tembok, jadi aku hanya bisa memejamkan mata ku dan berdoa pada Allah semoga aku bisa terbebas dari pria aneh ini.

"Kenapa? Takut? Dasar-"

"Heh?! Kalian lagi ngapain?!"

Aku dan pria itu sama-sama menoleh, lalu kami melihat seorang warga, dia menatap kami berdua dengan tatapan yang sulit di artikan sambil menggelengkan kepala nya.

"Bener-bener anak muda zaman sekarang, kalian berdua mau berbuat mesum di sini ya?!" Ujar warga tersebut lagi, yang membuat ku membulatkan mata.

Apa tadi kata nya? Berbuat mesum? Dengan pria menyebalkan ini? Astagfiruallahaladzim, aku tidak mungkin melakukan hal itu.

Momen ini pun aku pakai untuk melepaskan cengkraman tangan pria itu di pergelangan tangan ku yaitu dengan cara mengigit tangannya dengan kuat.

"Arggg sialan!" Ujar nya mengerang kesakitan.

"Pak saya gk berbuat mesum pak, Demi Allah Pak. Pria aneh ini yang mau nyakitin saya," ujar ku meminta tolong pada  Bapak  tersebut yang tadi baru saja menuduh kami melakukan mesum.

"Dia bohong Pak,dia yang mau ngegoda saya."

Astagfiruallahaladzim, pa-apaan dia ini? Kenapa dia berbohong? Ya Allah tolonglah hamba Mu ini Ya Allah.

"Nggak! Aku gk pernah ngegoda dia Pak jadi tolong percaya saya, saya gk pernah ngegoda dia. Dia bohong! Saya bukan pacar nya ... hiks percaya sama saya pak," ujar ku mencoba meyakinkan bapak tersebut.

"Ah apapun alasan kalian, lebih baik kalian ikut saya ke rumah pak RT. Biar beliau yang memutuskan semuanya di sana," ujar bapak tersebut.

Aku pun memejamkan mata ku, Ya Allah ujian macam apa ini?  Aku tidak berbohong, Aku tidak pernah menggoda nya.

Tak ada pilihan lain, akhirnya aku dan pria menyebalkan itu pun di bawa oleh Bapak itu dan juga bersama beberapa warga yang seperti nya di ajak oleh bapak itu.

Kami berdua di ajak ke rumah pak RT dan sesampai nya di sana Bapak itu menjelaskan kronologis cerita yang sangat amat tidak benar kenyataannya itu.

"Gk nyangka ya, bercadar tapi liar."

"Ck, makannya jangan terlalu fanatik banget jadi orang."

"Mau jadi ninja kali ya? Hahah."

"Sok suci sih jadi orang!"

Aku hanya mampu memejamkan mata ku ketika mendengar suara-suara warga yang terang-terangan memberikan penilaian pada diri ku, ah lebih tepat nya pada cadar yang aku pakai ini.

Aku memang bukan wanita yang solehah seperti ibunda Fatimah Azzahra dan juga Ibunda Khadijah.

Tapi aku selalu berusaha untuk terus memperbaiki diri ku, memangnya apa salah nya bercadar? Lagi pula apa yang di tuduhkan mereka pada ku itu semua tidaklah benar, aku tidak melakukan perbuatan mesum.

"Apa benar kalian melakukan perbuatan mesum?" Tanya pak RT.

Aku pun menggelengkan kepala ku dan mencoba menyangkal namun saat aku ingin menjawab, pria menyebalkan itu malah memotong ucapan ku.

"Tidak pak," ucap nya yang membuat ku agak sedikiti lega.

"Kami tidak berbuat mesum, tapi perempuan ini terus mengoda saya pak."

Apa? Mengoda nya? Ya Allah ... kenapa dia tega memfitnah diri ku lagi? Aku? Mengoda nya? Astagfiruallahaladzim.

Tega sekali dia berbicara begitu pada ku, Ya Allah selamatkanlah aku, Umi, Abi tolong Vidya!

"Tidak pak, saya tidak pernah mengoda diri nya. Dia sudah berbohong Pak, saya tidak mengoda diri nya ... hiks ... hiks ... saya berkata jujur pak jadi percaya lah pada saya," ujar ku mengiba.

Namun para warga semakin mencibir diri ku dan mereka malah menyoraki ku.

Ya Allah aku tidak pernah membayangkan bahwa akan jadi begini, padahal aku hanya ingin pulang ke rumah tepat waktu, hanya itu saja.

"Sudah lah kamu mengaku saja," ujar pria menyebalkan itu yang mulai ikut memojokkan diri ku.

"Tolong berkata jujur pada mereka.

Katakan bahwa yang kamu katakan itu salah," ucap ku memohon pada pria itu.

"Sudah diam! Cepat hubungi orang tua kalian dan suruh datang ke sini, segera!"

Deg! Apa-apaan ini? Menghubungi orang tua? Bagaimana reaksi Umi dan Abi nanti saat tau putri nya sedang di sidang seperti ini oleh warga? Pasti hati Umi dan Abi akan hancur dan aku juga takut Umi penyakit jantung nya bisa kambuh.Tidak aku tidak mau membuat umi sakit.

Adzan Magrib berkumandang, Pak RT menyuruh warga untuk bubar dan beliau juga izin untuk melaksanakan sholat magrib terlebih dahulu.

Dan di sini tinggal kami berempat yaitu: aku, pria menyebalkan itu, dan istri pak RT serta anak nya.

Namun mereka berdua ada di dalam, mengawasi kami dari dalam, sementara kami kini berada di luar.

"Saya punya salah apa pada mu? Sehingga kamu rela berbohong pada semua nya tadi? Aku tidak pernah mengoda mu, bahkan aku saja tidak kenal siapa kamu."

Pria itu tersenyum sinis, ia menatap ku dengan tatapan yang sulit ku jelaskan.

"Aku tidak bisa memberitahu orang tua ku, terlebih pada Umi. Dia tidak boleh tau kalau dan kalau sampai tau penyakit nya bisa kambuh, umi punya riwayat penyakit jantung dan aku tidak mau sampai umi jatuh sakit. Jadi aku mohon mengertilah, aku akan lakukan apapun agar umi tidak terlibat dalam kejadian ini."

"Baiklah, gue akan berkata jujur sama mereka, tapi dengan satu syarat."

Aku menoleh pada nya, dengan tatapan penuh harap.

"Apa syarat nya?" Tanya ku pada nya.

"Lo harus jadi istri gue."

"Apa?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!