"Siena!" Keenan berseru dari atas motor yang ia kendarai. Di tangan kanannya memegang sebuket bunga, dengan senyum merekah di bibirnya ketika melihat Siena keluar dari ruang wisuda dan berjalan menuju ke arahnya.
"Keenan!" Siena berseru lalu berlari memeluk pria yang telah menjadi sahabatnya sejak kecil. Tubuh Keenan yang tinggi tegap membuat Siena harus sedikit berjengkit untuk memeluk sahabatnya itu. "Kau bawa apa?" tanya Siena melepas pelukannya lalu merebut bunga di tangan Keenan.
"harum sekali," ucap Siena menghirup aroma bunga itu lalu tertawa menatap Keenan. Kedekatan Siena dan Keenan banyak yang mengira kalau mereka sepasang kekasih.
"Bagaimana kalau kita rayakan kelulusanmu dengan makan malam?" Keenan mengangkat kedua alisnya. "Aku yang traktir kamu."
"Hm..baiklah, tapi aku harus pulang dulu ke panti," jawab Siena. Bagi Keenan untuk mentraktir Siena dan anak anak panti sangatlah mudah. Karena ia terlahir dari keluarga yang berada.
"Tentu saja boleh, ayok!" Keenan mengambil helm lalu ia pasangkan di kepala Siena. "Ada apa?" Keenan menoleh ke arah belakang, berusaha mencari tahu yang membuat perhatian Siena tiba tiba teralihkan.
"Sebentar!" Siena langsung berlari menghampiri seorang kakek yang hendak menyebrang jalan raya. Keenan menautkan dua alisnya memperhatikan Siena yang menarik tubuh si kakek ke belakang.
"Kakek tidak apa apa?" tanya Siena memeluk tubuh si kakek erat. Kakek itu tersenyum menatap wajah Siena.
"Terima kasih, Nak."
"Syukurlah kakek tidak apa apa," Siena menatap mobil yang berlalu di depannya hampir saja menabrak si kakek.
"Namamu siapa Nak? dan di mana kau tinggal?" tanya si Kakek.
"Namaku Siena kek, dan aku tinggal di panti asuhan Kasih Bunda di kota ini," jawab Siena tersenyum. Si kakek menganggukkan kepala, ia tahu di mana letak panti itu.
"Kakek mau kemana? mau ku antar pulang?" tanya Siena lagi. Kakek itu menggelengkan kepala.
"Tidak perlu Nak, nanti kakek di jemput cucu kakek di sana." Kakek itu menunjuk ke seberang jalan.
"Kalau begitu, aku antarkan Kakek ke sana ya?" Siena langsung menggandeng lengan si kakek tanpa menunggu jawaban. Sesampainya di seberang jalan, si kakek tidak berhenti mengucapkan terima kasih. Lalu Siena kembali menyebrang jalan menghampiri Keenan yang sedari tadi memperhatikan dan kagum atas sikap kepedulian Siena.
"Kau manis sekali Si.." ucap Keenan menatap Siena penuh rasa kagum.
"Semua orang juga akan melakukan hal yang sama..udah ah jangan lebay," celoteh Siena.
"Oke, kita berangkat!" Keenan kembali memasangkan helm di kepala Siena. Siena mengangguk lalu Keenan naik ke atas motor menunggu Siena naik dan duduk dengan benar di atas motor. "Pegang yang erat."
"Baiklah..aku sudah tahu..kau pasti mau ngebut." Siena tertawa dan memeluk erat pinggang Keenan.
***
Keenan tertawa terbahak bahak saat melihat wajah Siena yang cemberut, "ayo cepat masuk ke dalam." Keenan mengacak rambut Siena yang semakin berantakan. Lalu Siena dan Keenan berjalan memasuki halaman panti asuhan. Siena mempersilahkan Keenan untuk duduk di kursi teras panti asuhan.
Keenan menarik napas panjang saat Siena masuk ke dalam rumah panti asuhan. Ia menatap sekitar taman melihat beberapa anak laki laki dan perempuan berusia lima sampai tujuh tahun tengah bermain bola dengan riang gembira. Kepolosan wajah mereka tidak menyiratkan ada kesedihan di wajahnya. Anak anak itu masih polos belum mengerti mengapa mereka ada di sini. Keenan jadi teringat akan cerita pemilik panti asuhan saat pertama kali menemukan Siena di depan pintu saat tengah malam. Menurut ketetangan pemilik panti, dia masih bisa melihat seorang wanita yang meletakkan Siena di depan pintu panti asuhan.
"Apa salah mereka..apa salah Siena?" gumam Keenan.
"Keenan! kau melamun?!" Keenan berjengkit kaget saat Siena menepuk bahunya dengan keras, ia menoleh ke arah Siena yang sudah berganti pakaian. "Ayo kita berangkat."
Keenan menggaruk rambutnya yang tak gatal dengan tertawa kecil, lalu ia berdiri dan merekapun berjalan menuju halaman.
"Kita makan di mana?" tanya Siena sembari memasang helm di kepalanya.
"Aku ajak kau makan ayam bakar kesukaanmu." Siena menganggukkan kepala, lalu ia naik ke atas motor dan duduk dengan benar, mereka pun langsung berangkat.
Sesampainya mereka di tempat Mas Karyo tempat ayam bakar kesukaan Siena, Keenan langsung memesan dua porsi lalu mereka memilih tempat duduk.
"Aku tidak memberikanmu hadiah..hadiahnya di sini makan gratis," ucap Keenan. Siena memainkan ke dua alisnya menatap Keenan.
"Tidak apa apa, hadiah ini lebih baik..aku bisa pesan banyak juga kan buat anak anak di panti?" celetuk Siena tertawa lebar.
Keenan menepuk keningnya sendiri, "kau memiliki selera yang aneh, wanita biasa suka di ajak jalan atau di berikan hadiah yang lebih berkesan," jawab Keenan.
"Oh..jadi semua mantanmu suka coklat atau perhiasan begitu?" goda Siena. Keenan langsung melebarkan matanya dan mencubit gemas hidung Siena.
"Awas kau ya!" Siena tertawa kecil sambil mendekap mulutnya.
"Silahkan mbak..mas.." Mas Karyo meletakkan dua porsi ayam bakar di hadapan Siena dan Keenan.
"Mas! di bungkusin 30 porsi ya!" seru Siena menatap wajah Mas Karyo. Mas Karyo menganggukkan kepala lalu berlalu dari hadapan mereka berdua. Keenan menggelengkan kepala tangannya mengambil ayam di wadah. Siena tertawa kencang melihat Keenan.
"Siena.." Siena menoleh menatap Keenan.
"Ada apa?" tanya Siena.
Keenan menarik napas dalam dalam lalu ia berkata, aku akan pergi ke Jepang dua hari kedepan."
Siena berhenti mengunyah, "kau meninggalkanku untuk selamanya?" tanya Siena.
Keenan menepuk keningnya sendiri, "ya ampun," Keenan menggelengkan kepala, tangannya terulur mencubit hidung Siena dengan gemas. "Tentu saja tidak..paling lama satu tahun..kau bisa menungguku selama itu bukan?" Siena tertawa kecil kembali mengunyah makanan.
"Tentu saja, aku pasti menunggumu!"
Keenan terhenyak, menatap lekat wajah Siena, 'sebenarnya dia menungguku sebagai apa?' ucap Keenan dalam hati.
Siena menatap jengah Keenan yang tengah bengong, "kau ini! lagi mikirin apa sih?!"
"Ah..tidak apa apa," jawab Keenan tersenyum tipis. "Sebelum aku pergi, aku punya hadiah untukmu..tapi nanti bukan sekarang."
Siena menganggukkan kepala, "baiklah..kasih kabar aku terus ya..meskipun kita jauhan."
Keenan menganggukkan kepala, ada rasa berat hati meninggalkan sahabat yang ia sayangi. Tapi pekerjaannya tidak bisa ia tinggalkan. Ia bercita cita ingin membantu renovasi rumah panti asuhan tempat Siena tinggal dan membelikan Siena rumah. Tapi cita cita Keenan belum pernah ia utarakan pada Siena.
Waktu terus berlalu, mereka telah menghabiskan ayam bakarnya, mereka masih duduk dan menunggu pesanannya selesai.
"Mas..Mbak..pesanannya sudah selesai," ucap Mas Karyo. Siena dan Keenan berdiri lalu ia membayar semua ayam bakar yang telah di pesan. Setelah selesai Keenan mengantarkan Siena pulang dan membawakan oleh oleh untuk adik adik Siena di panti asuhan.
Sejak Siena menyelamatkan nyawa si Kakek dari mobil yang hendak menabraknya, sang kakek yang mengenakan pakaian adat Jawa duduk di halte menunggu cucunya menjemput. Kebiasaan Kakek itu setiap hari akan mengunjungi Panti Jompo untuk berbagi. Sejak pertemuannya dengan Siena, kakek tidak berhenti memikirkan Siena.
"Anak itu cantik juga memiliki empati..hmm..rasanya aku sudah menemukan calon istri yang baik buat Reegan cucuku," gumam si kakek tersenyum.
"Kakek!"
Suara seseorang dari arah samping membuyarkan lamunan si kakek, kakek itu menoleh menatap ke arah cucunya yang tengah berjalan memdekat bersama seorang wanita muda bergelayut manja di lengan cucunya yang bernama Reegan. Sementara di tangan wanita itu menentang beberapa kantong belanjaan.
"Dari mana saja? kakek dari tadi menunggumu?" tanya Kakek, menatap tak suka pada wanita yang bergelayut manja.
"Maafkan aku Kek..aku mengantarkan dulu Maria belanja pakaian," jawab Reegan tersenyum sembari melirik ke arah Maria.
"Maria, apa kau tidak bisa belanja sendiri? kerjaanmu hanya hamburkan uang ayahmu saja," kata kakek tersenyum miring menatap Maria.
'Itu bukan urusan Kakek," sungut Maria.
"Sudahlah Kek..jangan bicara seperti itu..nanti jantung kakek kumat," ucap Reegan berjalan mendekati kakek lalu memegang lengannya. "Kita pulang sekarang."
"Iya Kek, nggak baik buat kesehatan ngomel terus," timpal Siska ketus. Kakek menatap jengah Maria. Ia sama sekali tidak suka kalau cucunya dekat dengan gadis di hadapannya yang menurut kakek boros dan manja.
Kemudian mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Reegan membuka pintu mobil untuk kakeknya duduk di belakang, sementara ia sendiri dan Maria duduk di depan.
****
Sesampaianya di halaman rumah nya yang megah, kakek langsung keluar dari pintu mobil tanpa menunggu di bukakan oleh cucunya, ia melangkah memasuki rumah di susul Reegan dan Maria berjalan di belakang.
"Alya! Albert!" seru kakek matanya tengadah menatap ke lantai dua rumahnya, ia memanggil putri dan menantunya.
"Ada apa Pak? kok teriak teriak?" ucap Alya menuruni anak tangga bersama suaminya Albert yang berasal dari Belanda. Sementara Alya sendiri asli dari Jawa, putri dari kakek Hardi Suryadiningrat.
"Lihat putramu!" Kakek Hardi menunjuk ke arah Reegan dan Maria yang berdiri di belakang Kakek. Alya dan Albert mengerutkan dahi menatap mereka berdua.
"Ada apa dengan mereka?" tanya Albert.
"Apa kau tidak bisa mendidik bagaimana caranya memiliki rasa empati terhadap orang yang sudah tua?" jawab Kek Hardi kesal.
"Apa yang?"
"Dia lebih mengutamakan mengantar gadis manja ini, dari pada Kakeknya yang sudah tua dan membiarkanku menunggu di pinggir jalan!" potong Kakek Hardi. Alya hanya menghela napas dalam, lalu berjalan mendekati Kakek Hardi.
"Namanya anak muda ya begitu, Pak," jawab Alya.
Kakek Hardi mengerutkan dahi menatap Alya, "apa kau bilang? apa Bapak mengajarkanmu seperti itu Nduk?" tanya Kakek Hardi sedih mendengar jawaban Alya.
"Pak.."
"Cukup!" potong Kakek Hardi, ia merasa kecewa.
"Ayolah Kek..Kakek terlalu berlebihan," Reegan berjalan mendekati Kakek Hardi yang tertunduk dan merangkul bahunya. "Lebih baik Kakek istirahat."
"Benar apa kata Reegan, sebaiknya Bapak ndak perlu ikut campur..nanti penyakit Bapak kumat," protes Alya.
Kakek Hardi tengadahkan wajah, ia mengangguk anggukkan kepala menatap satu persatu anggota keluarganya, "baik kalau begitu..Kakek akan membuat keputusan jika mau kalian seperti itu," ucap Kakek menatap tajam ke arah Alya dan Albert. "Bapak punya calon istri yang baik buat Reegan, dan Bapak mau..Reegan menikahi gadis itu. Tapi..jika kalian menolak..maka..jangan harap Bapak akan mewariskan seluruh harta kekayaanku pada kalian. Lebih baik, semua harta yang Bapak miliki akan Bapak berikan pada yayasan yatim piatu." Alya, Albert terutama Reegan dan Siska terkejut mendengar pernyataan Kakek Hardi.
"Kakek! Kakek tidak bisa seenaknya mengatur hidupku!" ucap Reegan menaikkan satu level nada bicaranya.
"Pak..Bapak jangan begitu," kata Alya.
"Suka tidak suka..kalian ikuti mauku..jika tidak? terserah," jawab Kakek Hardi lalu ngeloyor memasuki kamar pribadinya.
"Kakek!" seru Reegan menatap punggung Kakeknya lalu beralih menatap Alya. "Ma..aku tidak mau di jodohkan, memangnya sekarang jaman siti nurbaya?" Alya mengusap lengan Reegan untuk menenangkannya.
"Kamu tenang Nak..Mama akan bicarakan lagi dengan Kakek nanti," jawab Alya. "Sekarang kalian iatirahat, biar Mama yang bicara sama Kakekmu." Reegan mengangguk, lalu ia melirik ke arah Maria dan mengajaknya ke balkon.
"Papa setuju dengan keputusan Bapak," ucap Albert. Alya melotot ke arah suaminya.
"Kau ini bicara apa? bukannya belain anaknya," sungut Alya. Lalu ia balik badan melangkah menuju kamar pribadi Kakek Hardi. Langkahnya terhenti di depan pintu, lalu ia mengetuk pintu dan membukanya perlahan.
"Pak.." sapa Alya. Kakek Hardi menoleh ke arah Alya yang berjalan mendekatinya lalu duduk di kursi.
"Bapak sudah tidak mau mendengar apa apa lagi, keputusan Bapak sudah tidak bisa di ganggu gugat," kata Kakek cuek tanpa melihat wajah Alya.
Alya menarik napas dalam, "tapi Pak..kita harus tahu dulu bibit, bobot dan bebetnya Pak..jangan asal saja," jawab Alya.
Kakek Hardi tersenyum tipis, ia berdiri lalu mengambil kaca mata yang ada di atas meja samping tempat tidur, "kau jangan menilai seseorang dari luar, apa kau bisa menjamin Siska itu baik untuk Reegan?" ucap Kakek sembari memakai kaca mata, lalu kembali duduk di kursi. "Buktinya apa? gadis itu lebih suka hura hura dan tidak tahu sopan santun."
"Tapi Pak..Maria itu anak orang terpandang," kata Alya lagi.
"Cukup..keputusanku tidak akan berubah, sebaiknya kau keluar..Bapak mau istirahat.."
Alya mendengus kasar, ia berdiri dengan hati yang dongkol, lalu ia berlalu meninggalkan kakek Hardi sendirian di kamarnya.
"Kalian benar benar keterlaluan dan harus di kasih pelajaran," gumam Kakek Hardi.
***
Sementara itu, Siena tengah mempersiapkan persyaratan untuk melamar pekerjaan. Setelah lulus kuliah, Siena berniat untuk segera mencari pekerjaan supaya bisa membantu adik adiknya di panti.
"Siena.." sapa Bu Silvi, pemilik panti asuhan.
Siena menoleh ke arah pintu, ia tersenyum saat melihat Bu Silvi berdiri di depan pintu, "Bu..masuk," ucap Siena. Bu Silvi berjalan mendekati Siena lalu duduk di lantai bersama Siena.
"Kau sedang apa Nak?" tanya Bu Silvi menatap kertas dan foto Siena yang berserakan di lantai.
"Oh..ini Bu..aku hendak melamar pekerjaan besok," jawab Siena memasukkan file lamaran ke dalam amplop. Bu Silvi tersenyum, ia mengusap lembut rambut Siena.
"Semoga lancar, dan Ibu do'a kan kau dapat pekerjaan yang sesuai keinginanmu, Nak," kata Bu Silvi. Siena menoleh ke arah Bu Silvi lalu memeluknya.
"Amin..terima kasih, Bu," jawab Siena.
Bu Silvi tersenyum, balas memeluk erat Siena. Matanya menatap lurus ke arah jendela kamar yang terbuka.
Siena melepas pelukannya, ia menatap kedua bola mata Bu Silvi yang berkaca kaca, "Ibu kenapa?" tanya Siena.
"Ah, tidak apa apa," jawab Bu Silvi sambil mengucek kedua bola matanya. "Ibu kelilipan..ya sudah..kau teruskan pekerjaanmu, biar Ibu siapkan makan malam buat kalian semua," kata Bu Silvi langsung berdiri dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan.
Siena mengerutkan dahi menatap kepergian Bu Silvi, "seperti ada yang di sembunyikan Ibu dari aku," gumam Siena.
"Sore ini, Keenan mengajakku pergi ke tempat Mas Karyo," ucap Siena duduk di kursi meja makan. Bu Silvi melirik sesaat, lalu kembali memasak oseng oseng tempe.
"Pulangnya jangan terlalu malam, kita malan bersama anak anak," kata Bu Silvi.
Siena mengangguk sambil mencicipi goreng pisang, "tidak Bu, aku pulang cepet," jawab Siena lalu berdiri menghampiri Bu Silvi. "Aku pergi dulu ya Bu." Siena mengulurkan tangan dan mencium tangan Bu Silvi. Kemudian ia berjalan ke luar rumah.
"Siena!" seru Keenan saat melihat Siena keluar dari rumah.
"Keenan?" ucap Siena, lalu ia menghampiri Keenan yang duduk di atas motor. "Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Siena tersenyum.
Keenan turun dari atas motor, lalu ia letakkan helmnya, "sejak kau belum di lahirkan," celoteh Keenan. Lalu ia tertawa terbahak bahak saat melihat Siena cemberut. "Dari tadi Si.." ucap Keenan mencubit gemas hidung Siena.
Sejenak Siena diam, "bagaimana? jadi tidak?" tanya Siena. Keenan mengusap kasar rambutnya sesaat.
"Sory Si..aku tidak jadi pergi, jadi..makannya batal dan hadiahnya juga batal dong," goda Keenan.
Siena tangannya terulur menyentuh dada Keenan, membuat Keenan menautkan kedua alisnya menatap tangan Siena yang menempel di dadanya, "a..apa yang..?"
"Plok!" Siena menepuk dada Keenan keras lalu tertawa kencang, "bagus dong kau tak jadi pergi..jadi aku bisa tiap hari di traktir kamu." Keenan menatap Siena jengah, dia sudah berpikir yang tidak tidak. Untung saja ucapannya tidak dia lanjutkan.
"Halah malah bengong!" tepuk Siena ke dada Keenan lagi, membuat Keenan malu sendiri. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau makan di sini bersama kami semua?" tanya Siena.
Keenan menganggukkan kepala, "tentu saja mau." Kemudian mereka berjalan bersama memasuki rumah langsung menuju dapur. Bu Silvi menoleh ke arah mereka berdua.
"Kalian tidak jadi pergi?" tanya Bu Silvi.
"Tidak Bu, Keenan tidak jadi pergi Ke Luar Negeri," jawab Siena duduk di kursi, sementara Keenan menyalami Bu Silvi lalu ikut duduk di kursi.
"Kalau begitu..Nak Keenan makan malam di sini saja," ucap Bu Silvi meletakkan oseng oseng tempe di atas meja. Siena berdiri lalu membantu Bu Silvi menyiapkan makan malam.
"Terima kasih Bu..jadi merepotkan," kata Keenan tertawa kecil.
"Ah tidak juga Nak."
Tak lama mereka selesai menyiapkan makan malam, Bu Silvi memanggil semua anak anak panti untuk makan bersama. Mereka duduk manis di kursi masing masing lalu berdo'a sebelum makan. Dengan teratur dan tenang mereka pun menikmati santapan makan malam. Keenan memperhatikan anak anak semua, ada rasa haru juga sedih. Tidak semua anak seberuntung dirinya yang memiliki orang tua dan jaminan hidup layak.
"Nak Keenan kok bengong? tidak enak ya makanannya," tanya Bu Silvi menatap ke arah Keenan yang tengah bengong.
Keenan mengerjapkan mata, ia jadi salah tingkah ketahuan Bu Silvi tengah melamun, "ti..tidak Bu..enak kok," jawab Keenan tersenyum lalu menundukkan kepala kembali menikmati makanannya. Ada rasa nyeri di hati Keenan saat ia mengingat di rumahnya ada banyak makanan yang Mamanya sajikan untuk dia sendiri.
'Mulai besok, aku harus giat bekerja dan mengumpulkan uang dari keringatku sendiri untuk membantu anak anak' ucap Keenan dalam hati. Meskipun ia anak tunggal dari orang berada namun Keenan memiliki prinsip untuk tidak menggantungkan segalanya pada orang tua, ia harus mandiri. Dan Keenan sendiri terinspirasi oleh kehadiran Siena sahabatnya sejak kecil.
***
Selesai makan Siena dan Keenan sempat berbincang sebentar, karena sudah malam Keenan pun berpamitan pulang pada Bu Silvi.
"Jangan kapok ya makan di sini," kata Bu Silvi menepuk lengan Keenan.
Keenan tersenyum, "tidak Bu.." jawabnya sambil menyalami tangan Bu Silvi. "Bu..Siena..aku pulang dulu ya." Siena dan Bu Silvi menganggukkan kepala.
"Hati hati di jalan," kata Siena. Keenan melirik sesaat lalu ia melangkahkan kakinya menuju halaman. Siena melambaikan tangan saat Keenan meninggalkan panti.
"Siena..Ibu mau bicara sebentar sama kamu," kata Bu Silvi setelah Keenan pergi. Siena menganggukkan kepala, lalu mereka berjalan dan duduk di teras.
"Ada apa, Bu?" tanya Siena.
Bu Silvi menarik napas dalam dalam, lalu ia menundukkan kepala sesaat, "ada yang harus kamu ketahui, berhubung kamu paling besar di antara adik adikmu," jawab Bu Silvi.
Siena mengangguk, lalu ia menggeser kursi untuk lebih dekat dengan Bu Silvi, "iya Bu."
"Jadi begini.." Bu Silvi menarik napas panjang. "Panti asuhan ini berdiri di atas tanah milik keluarga Hardi Suryadiningrat," Siena menganggukkan kepala. "Kemarin pagi, Ibu mendapatkan pemberitahuan kalau tanah ini akan di jual dan mereka akan membongkar panti ini, Nak."
"Benarkah Bu?" Siena terkejut. "Lalu? apakah tidak ada uang pengganti atau kita di berikan waktu oleh mereka?" tanya Siena. Bu Silvi menggelengkan kepala.
Siena menundukkan kepala, "terus bagaimana, Bu.." ucap Siena pelan.
"Ibu tidak tahu, Nak," jawab Bu Silvi.
Siena tengadahkan wajahnya menatap Bu Silvi, "kapan mereka akan datang lagj ke sini Bu?" tanya Siena.
"Lusa," kata Bu Silvi. Siena terdiam sesaat, ia coba mencari solusi untuk masalah yang sedang di hadapinya.
"Ibu tenang saja, biar nanti aku yang bicara pada mereka. Siapa tahu mereka punga rasa empati pada kita."
"Amin," ucap Bu Silvi.
"Besok aku akan melamar kerja, Bu.." Siena menyentuh tangan Bu Silvi yang ada di atas meja.
"Semoga urusanmu lancar, Nak." Bu Silvi tersenyum menatap Siena, tangannya menepuk nepuk tangan Siena. Siena menganggukkan kepala, bibirnya tersenyum tipis menatap ke arah Bu Silvi. "Sudah malam, sebaiknya kau istirahat biar tidak kesiangan." Siena menganggukkan kepala. Lalu Bu Silvi berdiri melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Sementara Siena duduk termenung di kursi teras rumah.
'Aku harus bicara pada pemilik tanah ini. Kalau tidak..di mana kami tinggal?' ucap Siena dalam hati.
Perasaan nyeri menyeruak di dalam sanubarinya memenuhi rongga dada menyesakkan ruang batin. Ada perasaan iri menjalar di hatinya mengapa ia harus mengalami hidup seperti ini? Terbersit pertanyaan di benaknya. Siapa orang tuanya? mengapa mereka membuangnya, seolah olah tidak menginginkannya ada, tapi mengapa ia harus di lahirkan kalau memang tidak di inginkan?
"Aahhkk" teriak Siena pelan.
Di hari terakhir dan yang tak berujung, suara langkah kaki tak lagi bergema, menyusut bersama sang waktu yang tak pernah mau menunggu kesepakatan dari ketidakberartian diri.
'Mungkin suatu hari nanti, saat pijakan terakhir aku akan mengerti. Hubungan sosial tak lebih omong kosong. Hingga ke dua orangtuaku tak menginginkanku. Kepura puraan yang elegan, kebohongan yang begitu berisi, seakan hidup yang kujalani wajar dan semestinya..ahh..' Siena mendesah atas apa yang tidak ia mengerti mengapa ia ada di panti asuhan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!