Aku adalah anak yang terlahir dari keluarga yang bahagia. Bisa di bilang harmonis. Kebahagiaan didalam keluarga kami begitu menyenangkan . Ayahku hanya seorang pembawa becak dayung. Setiap pagi dia harus berjuang mengarungi luasnya jalan yang ia lalui setiap pagi. Panas terik, hujan badai, ia lalui tanpa henti dan tak kenal lelah.
Ayahku memiliki dua orang anak yaitu, aku dan adik perempuanku. Aku adalah anak pertama, dari anak ayah dan ibuku. Badanku yang mungil dan berkulit putih membuat banyak orang begitu menyukaiku. Senyumku yang manis dan tawaku yang ceria membuat aku di senangi banyak teman. Di samping keceriaanku, aku anaknya juga sedikit rewel yang terkadang membuat temanku tidak mau berteman denganku sehingga membuat aku sedih.
Tak ayal kalau aku lebih suka di rumah, apalagi kalau di pagi hari. Setiap pagi ayahku selalu berteriak kepadaku sebelum dia berangkat kerja begitu juga dengan ibuku.
Liyaan! Teriak ayahku.
Aku langsung tersentak dan mau jatuh dari tempat tidur ketika menggerakkan tubuh dan melihat jam dinding. Aku duduk sambil mengucek kedua mata, melihat hari sudah terang. Aku langsung turun dari tempat tidur dengan menyeret kedua kaki. Kedua bola mata pun aku buka dengan lebar sambil memutar badan keluar dari kamar.
Tirai kamar yang terpasang dengan rapi, aku buka dengan mengayunkan tangan ke udara. Berjalan perlahan melihat ayahku yang berteriak memanggilku tadi.
Aku berjalan terus menyusuri setiap sudut rumah untuk mencari suara ayahku yang keras tadi yang kini tak lagi terdengar olehku.
Aku pun berdiri di depan pintu dengan sangat lama, melihat ke sana kemari. Namun,ayahku tidak terlihat olehku. Aku kembali memutarkan badan melihat jam dinding yang tergantung tepat di dekat jendela. Melihat jam yang berdenting dengan cepat, tiba-tiba aku teringat tentang diriku yang sebentar lagi akan masuk sekolah. Sontak tubuh mungilku dengan refleks menarikku mundur ke belakang.
Tubuh mungilku seketika diam,.seperti patung, sementara ingatanku yang lihai berlari mengingat adikku.
Adikku yang menjadi teman bertengkar di rumah, setiap pagi lebih awal ia telah pergi entah, kemana? Ia memang selalu, seperti itu,tak pernah betah di rumah tidak, seperti diriku yang terbiasa di rumah setiap saat.
Lain halnya dengan ayahku yang mendidik kami dengan sangat berbeda. Perbedaan yang sangat mencolok sehingga membuat aku dan adikku tidak pernah akur . Adikku yang usianya sedikit jauh di bawahku terlalu sering dimanja oleh ayahku. Sementara aku tidak sama sekali. Setiap kali, aku ingin dimanja, ayahku selalu mengatakan kalau aku anak pertama. Anak pertama harus jadi contoh untuk adiknya.
Tidak jarang itu menjadi kekecewaan terhadap diriku sendiri.
Mengingat itu di pagi yang cerah ini membuat diriku berada dalam kesepian yang kini menjadi temanku. Aku seorang diri duduk di sudut rumah, masih memakai pakaian tidur sambil menatap ke jendela dan alun-alun rumah kami.
Tiba -tiba mataku sakit dan lalu tertutup. Aku mencoba membukanya perlahan. Aku merasakan, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke dalam mataku. Aku mencoba menggosok kedua mataku dengan tangan hingga mataku berair dan perih.
"Assalamu'alaikum."
Dengan pandangan yang masih tertunduk ke bawah, membuatku mulai tak tenang. Langkah kaki semakin terdengar olehku. Semakin lama, semakin dekat.
"Wa'alaikumussalam."Jawabku. Mengucek mata.
"Kakak lagi apa?" Tanya adikku. Masuk.
"Tidak apa-apa." Jawabku. Mengerjapkan mata.
"Tidak ada apa-apa, tapi kenapa ? Mata kakak merah? kakak nangis, ya? Karena di tinggal sendiri." Tanya adikku penasaran. Melihatku.
"Enggak! Tadi ada yang tiba-tiba masuk." Jawabku. Sedikit menunduk.
Oh! Mengangkat kepalanya, seakan mempercayai apa yang aku sampaikan.
Kemudian adikku masuk ke dalam rumah mencari ibuku dengan terburu-buru. Entah, apa? Yang ingin dia ucapkan kepada ibuku. Kemudian dia menghilang kembali sambil memegang sesuatu.
Aku heran melihat tingkahnya yang tak seperti biasa, sehingga membuatku bertanya di dalam hati. Namun, aku tak mau bertanya kepada adikku. Aku takut kalau adikku nanti marah. Kalau dia marah, aku tak bisa berbuat apa-apa karena dia jauh lebih cerewet dariku.Volume suaraku dengan volume suaranya sangat jauh berbeda. Suara adikku begitu keras sementara aku bagaikan semut.
Aku yang duduk di balik dinding melebarkan pendengaran untuk mendengar suara. Namun, tak ada suara satupun yang aku dengar. Hari ini tak,.seperti hari-hari biasanya, sunyi dan sepi hanya aku dan ibu berdua di rumah.
Aku pun langsung beranjak dari tempat duduk. Berjalan menuju tempat mainan yang biasanya tersusun rapi di dekat lemari pakaian.
Kreeek!
Aku mengambil mainan dan kubuka serta ku bersihkan. Lalu aku bengong seorang diri sambil menyusun mainan, kemudian aku menutup pintu rumah agar tak ada orang aneh yang melihatku seorang diri. Kini hanya jendela setengah tiang yang terbuka.
Permainan ini memang begitu agak rumit. Aku harus pintar-pintar menyusun rumah-rumahannya. Seperti biasa aku menggunakan kotak-kotak bekas.
Tidak berapa lama di tengah-tengah permainan, aku mendengar ada suara orang yang sedang berbicara. Tepat di dekat daun jendela kami. Aku langsung menghentikan permainanku sejenak, berdiri dengan menggunakan kursi untuk melihat. Itu suara siapa? Aku tak mengenali suara itu, apakah itu ayahku atau ibuku?
Aku naik dan melihat tepat disamping jendela, agar tak ada yang melihat aku mengintip.
Bisa gawat ini! Kataku, di dalam hati. Melihat keluar.
Kemudian aku turun dan menyusun mainan secepat mungkin dengan rasa ketakutan, lalu aku memasukkan ke dalam kotak masing-masing.
Kalau baju, pasti baju semua yang di susun di dalam kotak ini. Kataku, didalam hati sambil terburu-buru menyusun satu persatu dengan rapi sampai selesai semua.
Akhirnya, aku selesai! Dengan penasaran aku terus menatap ke jendela.
Setelah sekian lama aku menunggu, aku pun melangkah ke arah jendela dan melihat dengan wajah yang sedih dan hati yang kesal.
Aku kemudian memalingkan pandanganku ke arah lemari. Di mana tempat mainan sudah tersusun rapi.
Hatiku seketika sedih dan menyeret kaki kecilku ke sudut dinding kemudian dengan tatapan kosong aku melihat pintu dan mainan seketika wajah ibuku tiba -tiba terlihat di mataku. Dengan wajahnya yang ketat dan mata yang lebar kalau sudah marah. Tubuh mungilku langsung gemetar, khawatir di wajahku kini terlihat dengan jelas memenuhi ruangan rumah, kerena di dalam rumah yang paling kami takuti adalah ayah. Ia sangat cerewet dan galak. Akan tetapi di samping itu ia sangat penyayang sama anak-anaknya, sangat disiplin dan bijaksana tidak ada satupun kami yang berani membantah,terutama aku. Tetapi itu tidak berlaku untuk adikku, ia begitu manja.
Walaupun demikian ayahku tidak pernah menyentuh tubuh kami di saat marah sekali pun itu dengan tangannya. Apalagi terhadap adikku ia melihat wajah ibuku di wajah adikku.
Terkadang aku menanyakan kepada ayahku. "Ayah, Ayah kenapa tidak pernah memarahi Ana?" Tanyaku ingin tahu. Melihat ayahku.
"Ayah, engga bisa marah pada adikmu." Kata ayahku dengan datar. Melihatku.
Aku yang mendengarnya pada saat itu hanya diam dan memutarkan wajah, melihat adikku yang manis.
"Adikmu masih kecil dan dia harus mendapatkan kasih sayang dengan utuh," kata ayahku penuh penegasan.
Itulah yang di bilang ayahku di telingaku kalau adikku tidak boleh tidak mendapatkan kasih sayang dari nya dan dari ibuku yang utuh.
Ibuku yang sudah pergi untuk berbelanja begitu sangat menyayangi adikku menyayangi adikku. Dia tidak pernah memarahi adikku. Ayahku pernah berkata, bahwa adikku adalah anak yang manis.
Terkadang, aku duduk sendiri di malam hari sambil menatap langit dengan penuh keyakinan, bahwa bintang pun sedang menatapku dengan tersenyum kalau aku adalah anak yang manis juga yang pernah mereka sayang dan mereka timang di dalam pelukan kasih sayangnya yang kini sudah besar.
Itulah yang terbersit di hatiku, ketika aku duduk menatap langit malam yang terang dengan kedipan bintang dan cahaya rembulan yang indah.
.
.
.
Assalamualaikum teman-teman
Ini cerita pertama aku!!!
Salam kenal dari aku jangan lupa beri vote pada cerita aku, ya....😊🙏
Bersambung....
Pagi hari yang cerah dengan kesibukan. Aku harus bangun lebih awal setelah ayahku dan ibuku. Setelah melangkah, aku melihat ayah yang lagi sibuk menyiapkan makanan untuk kami. Ayahku begitu berjibaku dengan semua bahan makanan yang tersedia di atas meja.
Aku yang berdiri di belakangnya melihat dengan lekat. Ayahku begitu bersemangat dan senang terlihat dari gurat wajah yang sengaja ku intip dari samping. Seketika wajah polos yang belum sepenuhnya melihat dunia spontan melengkung menarik bibir Kecil.
"Ayah lagi apa?" Tanyaku. Berdiri di belakangnya.
"Lagi memasak sarapan untuk kalian." Jawab ayahku tersenyum. Berdiri.
"Ayahmu kalau sudah memasak dia engga ingat siapa yang lewat," sambung ibuku membawa piring.
Spontan aku melangkah maju menghampiri ayahku. Wajah yang sepenuhnya belum mengisi dunia tertawa berdiri tegak melihat kesibukannya.
"Ayah tidak kerja?" Tanyaku kembali ingin tahu. Melihat meja yang di susun rapi oleh ibuku.
"Ayahmu kalau berangkat kerja. Pasti sudah selesai masak?!" Ibuku membalik mengambil cuci tangan.
"Sebentar lagi." Jawab ayahku dengan suara datar. Melihatku. "Liyan! Kamu tidak mandi? Jangan coba-coba! Mencuci muka saja, ya Nak," timpal ibuku. Diam melihat ke arah 'ku.
" Ia Ibu." Jawabku. Menunduk, pergi menghilang.
"Setelah itu kita makan bersama, ya!" teriak ayahku.
Wajah ayahku begitu manis melihatku dengan sorot mata yang hangat sehingga membuatku senang. Perlahan aku memutar badan melangkah keluar, mengambil sabun dan handuk yang tergantung di dekat pintu dapur.
Dengan kesadaran yang masih menggantung, aku memaksa membuka kedua bola mata dengan lebar dan melihat jalan yang akan di injak.
Udara pagi yang berhembus dingin kini menemani diriku yang beranjak ke kamar mandi.
Perlahan aku masuk dengan langkah yang di atur. Kedua mata yang belum bersahabat dengan alam, melihat lurus ember-ember yang telah penuh berisi air.
Aku kemudian perlahan membasahi pipi dengan air yang telah bercampur dengan embun. Secepat mungkin aku menyiram tubuh mungil dan segera beranjak.
Bersama dingin pagi yang di selimuti embun, aku mengayunkan kaki menaiki rumah. Perlahan aku berjalan dengan sabun dan handuk yang ada di dalam genggaman.
Udara pagi yang dingin membuat perut kecilku menyanyi sehingga membuat konsentrasi pada diriku hilang. Mendengar nyanyian yang mengusik kenyamanan membuat 'ku bergegas melangkah dengan kencang.
Sesampainya di depan pintu dapur, aku meletakkan sabun di tempatnya dan menggantungkan handuk sambil melirik ayah serta ibuku.
"Ayah, sarapannya sudah selesai?" tanyaku. Menggantung handuk.
"Belum Nak," jawab ayahku .
" Apa kamu sudah lapar?" Tanya ibuku.
"Iya, Ibu." Jawabku dengan pelan. Berjalan.
Setelah masuk, aku melangkah dengan perlahan sambil melihat ayahku yang lagi sibuk. Aku melihat ayahku memasak nasi dengan meletakkan wajan ke atas kompor yang menyala.
"Ayah, itu nasinya buat apa?" tanyaku dengan penasaran. Berdiri.
"Ayah mau memasak nasi goreng. Kamu suka kan, Nak?" sambung ayahku dengan melemparkan pertanyaan kembali.
Tanpa menoleh ke arahku.
Aku berdiri tepat di sampingnya melihatnya menaruh sedikit minyak goreng ke dalam wajan. Kompor yang menyala dengan api sedang mulai memanaskan minyak goreng yang ada di dalam wajan.
"Ayah! Apa Ana suka nasi goreng?" tanyaku ingin tahu. Melihat ayahku.
"Liyan! Adikmu itu suka semua. Asalkan dia kenyang," ucap ibuku dengan senyuman yang menggemaskan sambil mencubit kedua pipiku pelan dengan geram.
"Setahu Ayah dia suka," jawab ayahku. Mengambil nasi sambil menaruh bumbu yang telah tersedia.
Ayahku pun mulai memasukkan nasi ke dalam wajan yang telah panas. Aku melihat ia mulai mengaduk nasi yang telah tercampur dengan bumbu. Ayahku begitu lihai terlihat.
"Liyan! Pergi bangunkan Adikmu!" seru ibuku dengan nada suara datar. "Ini sudah jam berapa?" Lanjutnya. Berjalan mengambil mangkok.
"Iya, Ayah," jawabku dengan pelan. Menghilang dari hadapannya.
Perlahan aku memutar badan melangkah menghampiri kamar kami berdua yang terletak paling depan tepat di dekat pintu. Aku pun menyibak tirai yang terpasang rapi menutupi kamar yang kecil.
Aku berjalan dengan perlahan sambil menahan rasa dingin yang menyelimuti tubuh mungil. Aku langsung menghampiri tempat tidur dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya.
Adikku yang begitu pulas tertidur terlihat, mengurungkan niatku sejenak untuk membangunkannya.
Aku menaruh kembali selimut yang aku tarik dari adikku. Aku mengayun kaki untuk naik ke atas tempat tidur, menjatuhkan tubuh dan bersandar di dinding kamar, melihat adikku yang bernapas dengan keras. Udara dingin yang berhembus dari celah kamar membuat tubuh mungilku sedikit menggigil sehingga aku menarik sehelai kain untuk menutupinya.
Aroma nasi goreng yang di masak oleh ayahku menyeruak memasuki pintu kamar dan menembus lubang hidung yang kecil yang membuat rasa lapar kembali mengguncang.
Secepat mungkin aku menepis selimut dan mengayunkan kaki turun.
"Kak!" Panggil adikku pelan dengan suara parau.
Kaki yang telah melangkah terhenti seketika. "Apa dek?" tanyaku dengan pelan. Memutar badan ke belakang.
"Kakak mau ke mana?" tanya adikku ingin tahu. Bangun.
"Mau ke dapur, kakak sudah lapar," ucapku. Melihatnya.
"Kakak mau makan?" tanya adikku kembali. Duduk. "Siapa yang memasak, Kak?" tanyanya dengan menyelidik. Melihatku.
"Ayah," jawabku . Berjalan.
Setelah itu aku melanjutkan langkah kembali menghampiri ayah dan ibuku sambil menghirup aroma nasi goreng yang membuat nafsu makanku menggelitik perut.
Ayahku terlihat telah menghiasi piring kosong dengan nasi goreng yang lezat. Aku pun mengayun kaki dengan kencang meninggalkan adikku di kamar sendiri dan menghampiri ibuku yang meletakkan di atas meja.
"Ibu! Apa nasi gorengnya sudah di makan?" tanyaku. Berdiri.
"Adikmu mana?" tanya ayahku mengalihkan pertanyaanku.
"Masih di kamar,' jawabku. Melihat ibuku.
"Ayah, 'kan sudah bilang! Bangunkan adikmu!" kata ayahku dengan nada suara sedikit kesal.
"Mas, biarkan saja. Mungkin dia masih ngantuk," sambung ibuku meletakkan gelas.
Berjalan menaruh piring ke meja. "Liyan, kamu dengar tidak! Yang Ayah bilang... ," lanjut ayahku yang membuat ibuku menarik napas. "... bangunkan adikmu!" katanya dengan penuh penekanan. Mendelik.
Melihat ayahku mendelik, aku langsung mengurungkan niat dan mundur selangkah ke belakang memutar badan menoleh ke arah ibuku sekilas.
"Dek, bangun! Kata, "Ayah!" Pintaku. Menarik selimut adikku.
"Ia, Kak!" Adikku duduk. "Ngapain?" tanyanya.
"Makan! Ayah sudah marah." Jawabku dengan pelan. Berdiri.
Mendengar jawabanku, dia langsung turun dari tempat tidur berjalan mengikutiku dengan langkah gontai. Dia berjalan menghampiri ayah dan ibuku.
"Ayah memanggil, aku?!" tanya adikku.
"Kenapa kamu lama bangun?" tanya ayahku.
"Mas, sudahlah! Jangan seperti itu! Ini 'kan masih pagi. Kasihan kalau sepagi ini langsung dimarahi." Ibuku langsung mencium kening adikku.
Melihatnya. "Ayah mau berangkat kerja," lanjutnya. Duduk di kursi. "Liyan! Pergi ambil sarapanmu! Tadi kau bilang! Kau lapar, 'kan?" tanya ayahku. Menyeruput teh.
"Iya, Ayah," jawabku. Berjalan mengambil sarapan yang terletak di atas meja.
"Kakak sudah mandi?" tanya adikku. Berdiri di sampingku. "Kenapa Kakak tadi tidak membangunkan aku?" tanyanya dengan protes. Melihat ibuku yang memeluknya.
"Nanti, kalau Kakakmu! Membangunkan mu! Nanti kamu marah, sayang," sambung ibuku. Merapikan rambut adikku.
Mendengar ucapan ibuku, adikku memutar kepala melihatku dengan sorot mata sendu. Wajah sebalnya pun terlihat saat melihat ke arahku. Degan sinis dia beranjak membawa nasi goreng.
Bersambung.....
.
.
.
Cerita selanjutnya, ini ya teman -teman selamat menikmati ceritanya...!
Beri vote,like dan komentarnya ya teman-teman untuk cerita aku!
😊🙏
Setelah adikku mendapatkan nasi goreng yang lezat. Ia pun duduk dengan wajah sinis. Ia terlihat begitu kesal karena tidak aku bangunin sepertinya, pikirku dalam benakku.
Adikku yang keras kepala dan jutek. Duduk sambil memakan nasi goreng dengan kasar. Sesekali ia mendengus tidak jelas seperti melempar kekesalan, namun entah pada siapa? Aku tidak tahu.
Tubuh mungilku yang dingin kini menatap dengan lekat yang di penuhi amarah. Seakan ia berteriak mengatakan kepadaku, kapan dia akan mendapat kehangatan, walaupun hanya sepiring nasi goreng.
Aku yang begitu tertegun menatap adikku menjelma bak seorang peri. Wajah sinisnya tiba-tiba tersenyum dengan merona.
Aku yang berdiri cukup jauh berjalan sedikit kencang menghampirinya.
"Ana, kamu kenapa?" Tanyaku dengan penasaran. "Apa yang lucu?" Tanyaku kembali ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa, kak!" Jawabnya. Menyuap nasi goreng dengan sedikit kasar. Melirikku kesal. "Kakak ke sana saja! Aku malas dekat-dekat sama kakak." Sambungnya.
Adikku begitu terlihat kesal. Gurat wajahnya terlihat seperti orang yang ingin menerkam sambil mengigit sendok makan dengan kuat berulang kali.
"Ana, kamu kenapa? Kalau ada apa-apa beritahu kakak mm." Ucapku dengan lembut. Duduk.
"Aku tidak apa-apa, kak! Kakak mengerti tidak!" Lanjut adikku.
"Terus kenapa kamu menggigit sendokmu?" Tanya merasa heran mendengar jawaban darinya.
"Emang apa urusan Kakak! Terserah aku mau mengigit sendok atau tidak." Pekik adikku.
"Bukannya maksud Kakak membuat kamu kesal. Kakak cuman heran aja! Engga biasanya kamu seperti ini." Keluhku.
Seketika aku menghampiri adikku yang jutek. Dia terlihat diam sambil mengaduk-aduk nadi gorengnya. Gerutuan kecil terlihat sepertinya dari wajahnya yang ketat.
"Ana kamu kenapa?" Tanyaku ingin tahu.
Setelah tidur siang ayahku beranjak berangkat
kerja.
"Liyan!" Panggil ayahku.
"Ia, Ayah." Jawabku, berlari cepat menghampiri ayahku.
"Di mana adikmu?" Tanya ayahku ingin tahu.
"Main-main Ayah." Jawab ku dengan datar.
"Dari jam berapa?" Tanya ayahku kembali ingin tahu.
"Liyan kurang tahu Ayah." Tandas ku.
Mendengar ucapanku ayahku memandangku dengan nafas yang kasar.
"Kamu ini ya, nak! Setiap saat engga pernah tahu adikmu main-main ke mana?" Sambil mengambil baju kemejanya dari gantungan pakaian.
Aku tak berkutik sedikit pun mendengar apa yang di katakan oleh ayahku.
"Liyan! Kamu itu anak paling besar harus tahu adikmu main-main ke mana? Kamu harus menjaga dia karena kamu anak yang paling besar." Pekik ayahku. Menatap ku.
Wajahku yang cemberut pun tak berani menatap mata ayahku. Ayahku terus berbicara sambil merapikan tikar tempat tidurnya.
Sementara adikku yang paling manja. Dia tak pernah betah di rumah berlama-lama. Dia anaknya hobi bermain. Wataknya yang keras terkadang membuat ayahku harus banyak mengalah. Dia juga anak yang terlalu pemberani makanya, ayahku tak begitu mengkhawatirkannya kalau dia pergi bermain. Di samping itu juga dia anak yang mudah di suruh. Kalau ayahku butuh sesuatu, Ayahku lebih suka menyuruh adikku.
Puk puk puk!
Ayahku yang mau berangkat kerja membersihkan sepatu yang ingin dia pakai.
"Kalian baik-baik di rumah ya,Liyan. Jaga adik mu!" Pinta ayahku. Berdiri di depan pintu sambil berdo'a. Ayahku tidak lupa meninggalkan uang jajan untuk kami.
"Ini kalian bagi dua." Kata ayahku dengan pelan.
Aku yang berada disamping ayahku menerima uang jajan pemberiannya dengan senang hati.
"Horeee! Aku dapat uang jajan." Teriak ku dengan senang sambil lari-lari kecil kegirangan mengelilingi ruang tamu kami yang kecil.
"Mana kak?" Tanya adikku dengan penasaran dan wajah bersinar.
"Kata Ayah kita bagi dua." Tandas ku.
"Hmm!" Dengan wajah cemberut adikku langsung lemas mendengar "bagi dua."
"Ayo kita jajan!" Teriak ku berlari.
Kami pergi ke warung dengan hati yang senang sambil menikmati jajan yang kami beli. Adikku begitu kuat dalam membeli. Dia tak pernah cukup dengan uang yang telah diberi oleh ayah kami, tapi sayang adikku yang manis, dia masih saja sering meminta bagian ku dengan berat hati akhirnya, mau tidak mau aku harus mengalah karena aku ingat nasihat ayahku kalau anak pertama harus mengalah.
Bermain!
Kami yang hanya sekedar membeli kini ikut bermain begitu adikku melihat temannya bermain.
"Wey, kalian main apa? Ikut aku ya?!" Pinta adikku dengan lembut.
"Ia, Ana kemari! Kita main bareng yuk!" Ajak mereka.
Adikku berjalan bersama ku, kini berlari secepat kilat menghampiri temannya dan meninggalkan aku sendiri pulang ke rumah.
Aku engga bisa seperti adikku! Yang boleh bermain meskipun, meminta izin. Adikku tidak pernah di marahi oleh ayahku kalau cedera. Tidak seperti diriku yang selalu di awasi kalau bermain. Aku terkadang kepingin bermain tapi tidak bisa kalau tidak ada izin dari ayahku. Sambil berjalan aku terus bicara seorang diri sesekali melihat ke arah adikku yang bermain dengan lepas.Tawa yang lepas,teman yang banyak, tidak jarang kalau aku terkadang iri padanya.
Aku sendiri lagi di rumah tidak ada satupun yang menjadi temanku di sini. Hanya kursi kosong dan meja makan yang menjadi temanku sembari menatap keluar melihat pepohonan dan rumput yang menari-nari di bawah hembusan angin.
Hahahaha!!!
"Kalian la yang jaga." Seru adikku.
Tawa mereka pun beramai-ramai terdengar sampai ke telingaku karena tempat permainan mereka tak begitu jauh dari rumah kami.
Huhuhuhuhu!!!
Tiba-tiba, aku mendengar ada suara tangisan anak perempuan dari seberang rumah kami.
"Kak!" Panggil adikku.
Aku yang lagi duduk dengan penasaran dan melihat ke sana kemari.
Srrrrrrrr!
Darahku seketika turun dan jantungku lemas melihatnya.
"Darah!" Kataku sambil melihat kaki adikku dari mata kaki sampai ke pahanya. Begitu banyak darah yang menetes ke tanah.
"Kak,saakiiit !" Cetus adikku. Air matanya pun menetes dan tangisannya seketika pecah.
" Ini kenapa dek?" Tanyaku sambil mengilap luka adikku yang mengerikan.
"Kenak pelepah sawit." Cetus adikku.
Kalau sempat ayahku tahu bisa gawat ini. Aku harus bisa membersihkan darahnya sampai tidak menetes lagi. Aku terus berusaha untuk
membersihkan darahnya dengan kain.
"Siapa yang membuat seperti ini?" Tanya ku ingin tahu.
"Temanku kak, yang di dekat rumah kita."Jawab adikku lirih.
"Ia,tapi kenapa bisa jadi kayak gini?" Tanya ku ingin tahu. Menatap adikku.
"Tadi dia minta temani sama aku." Menangis. Ternyata dia mau mengambil pelepah sawit. Waktu aku jongkok aku engga tau rupanya, dia menarik pelepah sawit. Jadi, kenak pahaku. Sudah taunya dia aku menjerit masih terus di tariknya." Sanggah adikku.
Dengan raut wajah sedih campur kesal adikku menceritakannya padaku dengan tangis dan air mata yang menetes tak henti-hentinya. Wajahnya yang biasa ku lihat kini memerah karena menangis dan menahan rasa sakit.
"Makanya lain kali engga usah mau di ajak sama dia bermain, kan jadi, kayak gini kejadiannya. Belum lagi nanti ayah tahu, bagaimana?"
"Jangan bilang sama ayah, nanti aku di marahi."
Pinta adikku. Memohon.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa, ingin memberitahu kepada ayahku aku tak berani, mau di diamkan pun serba salah.
"Ntahla, kakak engga tahu dek." Tolak ku dengan menghembuskan nafas kasar aku pun akhirnya diam saja.
Perjuangan ku akhirnya membuahkan hasil yang baik. Darah yang tadi mengalir kini sudah berhenti.
Akhirnya darahnya berhenti juga untung saja ayahku belum pulang dengan hati yang senang.
Adikku yang menangis kini sudah mulai diam. Air matanya tak terlihat lagi menetes,pipinya yang tadi memerah kini sudah mulai seperti biasa.
Sore menjelang Maghrib!
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam Ayah."
Adikku langsung berlari menghampiri ayahku yang baru saja pulang.
"Ayah bawa apa?" Tanyaku sambil melihat ke arah tangan kanan ayahku yang memegang bungkusan plastik berwarna hitam.
"Bawa kue." Jawab ayahku yang berdiri di depan pintu melangkah masuk ke dalam rumah dengan menggandeng tangan adikku di sebelah kiri.
Ssrrrreeeekkkkk!
Adikku tak sabaran dia pun mulai merobek plastiknya.
"Hm! Yummy." Sambil memakan kuenya dengan lahap.
"Tinggalin yang lain ana!" Teriak ayahku dari kejauhan.
Dia yang lagi asyik makan kue kini aku samperin dengan menanyakan kabar kakinya.
"Dek! Kayak mana kaki mu masih sakit?" Tanyaku ingin tahu.
"Usst! Jangan terlalu keras kak." Menutup bibirku. Nanti ayah dengar." Sambil mengunyah kue.
Aku seketika mengarahkan pandangan ke ayahku yang mau pergi mandi untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib.
"Ayah engga bakalan dengar kak. Ayah kan lagi mandi." Seru adikku. Menatap ku.
"Jadi, nanti kalau sakit makin parah gimana?" Tanyaku kembali.
"Engga, nya itu kak!" Jawab adikku lirih.
Tiba-tiba, aku melihat ayahku berdiri di hadapan kami.
"Sakit apa?" Tanya ayahku menatap kami dengan heran, ayahku memandangi kami satu persatu.
"Eeee...!!!" Dengan terbata-bata kami menatap satu sama lain.
Ayahku semakin menatap kami dengan tajam.
"Kenapa?" Tanya ayahku dengan heran.
"Enggak Ayah!" Kata adikku sambil melirik ke arah ku.
Ayahku memandangi kami berdua sambil memutar badannya dan pergi.
Suara dari dalam kamar!
Allahu Akbar!
"Ayah lagi sholat." Kataku pada adikku sambil menunjuk ke kamar.
"Ia, kak! Kakak lain kali jangan bicara apa-apa. Kalau ayah lagi di rumah. Nanti, kalau ayah tahu pasti jadi ribut."
Aku hanya diam terus memandanginya dengan tatapan yang sedikit kesal.
Aneh! Sudah tahu orang salah di diamkan. Enak sekali dia dan orang tuanya engga tanggung jawab. Sudah dia yang salah dengan kesal aku pun diam saja sambil memandangi adikku yang lagi memakan kue yang di bawa oleh ayah ku tadi.
Adikku memang seperti itu kalau dia ada masalah di luar dengan teman-temannya. Dia pasti engga mau cerita sembarangan. Tapi bukan berarti dia engga mau menceritakan masalahnya. Adikku termasuk anak yang pandai dalam bertindak. Dia tahu mana yang harus di ceritakan, mana yang tidak harus di ceritakan.
Tapi sampai kapan? Dia sanggup menahan sakitnya. Dalam hati aku terus berkata sambil menatap kakinya.
.
.
.
Assalamualaikum
Jumpa lagi ya teman-teman dengan cerita aku selanjutnya...
Mohon beri votenya, like,dan komennya....
Di sini!!!
😊🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!