"Cantik, mana minumnya lagi? Tuangin dong Honey bunnyku!"
Rezky meneguk cepat minuman berwarna orange dengan soda yang menyembur ke atas. Tentu bukan minuman berkadar alkohol tinggi, hanya alkohol rendah dengan perasa jeruk. Rezky masih tahu kalau minum-minuman yang memabukkan itu dilarang oleh bang Rhoma, seorang penyanyi yang sering ia dengar lagunya di kamar sang ayah, bisa membuat otak tak bekerja sempurna menurut sang bintang.
Rezky yang sering nonton Film barat memang masih butuh kewarasan otaknya, ia masih ingat beberapa cerita yang ditontonnya. Seorang lelaki dengan banyak uang sepertinya akan dibuat mabuk dan tiba-tiba bangun di pagi hari dengan wanita tanpa busana. Selanjutnya wanita itu akan mengaku hamil anaknya dan Rezky terpaksa harus menikahinya. Rezky memang masih belum siap punya anak, terlebih menambah istri. Dipaksa menikah dengan satu istri saja Rezky sudah merasa pusing, sungguh tak terbayang jikalau ada dua makhluk yang akan menginterogasinya selalu, Rezky bisa kejang dibuatnya.
"Eitz, kamu ngapain Cantik, kok buka-buka kancing kemeja aku? Ini masih sore lho. Jangan ya!" Rezky dengan sigap mengancingkan lagi kancing kemejanya, baru setelahnya ia meletakkan lagi lengan ke bahu snag wanita yang duduk di samping yang baru dipacarinya selama satu minggu tersebut.
"Habis kamu ngelamun terus sih, Sayang! Kamu jangan ngelamun dong, sini lihat aku aja!" Dia Bella, dengan sangat agresif merangkum rahang Rezky. Bella baru saja ingin mendekatkan bibirnya, namun tiba-tiba sebuah suara menggagalkan niat Bella.
"Bro Rezky ... Lo di sini? Siapa nih cewek? Baru lagi ya?" Tyo temannya sejak SMA mendekat dan terus menepuk pundak Rezky. Rezky menggedikkan bahu, ia tak suka perilaku Tyo, tapi Tyo tak peka. Alhasil Rezky hanya mendengus napas kasar saja.
"Iya lah baru, masa gak ganti-ganti. Bosen dong!" jawab Rezky dengan santainya.
"Dasar lo! Ibu negara emang gak marah tuh?" tanya Tyo sambil menarik sepasang alisnya ke atas. Keduanya santai saja membicarakan istri Rezky padahal ada Bella. Bella yang sudah tau dirinya hanya rekan enak-enak Rezky saja terlihat berkali menyesap minuman di gelas, berpura tidak mendengar.
"Please deh nggak usah ngomongin yang di rumah sekarang!"
"Oh oke-oke!" Tyo mengangguk paham maksud sang sahabat.
"Eh Rez, lo jalan sama nih cewek emang lo udah bisa ngelupain Nesa?"
"What? Ne-sa?" Rezky mematung tiba-tiba. Sesak menguasai hatinya seolah jantungnya lupa cara berdetak. Ia menghela napas panjang berusaha menetralkan emosi yang seketika tak stabil.
"Yuk kita pergi!" Rezky seketika menarik kasar lengan Bella menjauh dari suasana kafe yang mulai padat di jam yang semakin malam. Rezky memang selalu merasa resah saat mendengar nama wanita masa lalunya itu.
"Rez ... Rez ... lo mau ke mana? Rez!" Rezky tak ingin mendengar apa pun, ia berlalu begitu saja dengan cepat meninggalkan Tyo yang mematung.
Rez ... Rez ... nyatanya hati lo masih punya Nesa.
.....🕷️🕷️.....
Rezky menghempaskan kening ke dashboard setibanya di mobil. Ia mengabaikan Bella yang terus menanyakan yang terjadi. Bella bingung Rezky seketika tak asik, seolah begitu rapuh dan sedih.
"Sayang ... kamu kenapa sih? Kamu jangan cuekin aku dong, Yang! Kamu bisa cerita sama aku kenapa kamu tiba-tiba begini." Bella mendekat dan merangkul bahu Rezky, jemarinya tak henti mengusap-usap kepala Rezky.
"Bell, please jangan deket-deket aku dulu, oke! Mood aku nggak bagus, nanti malah nyakitin kamu!" kata Rezky yang seketika tadi tercekam pilu.
"Gpp, aku siap kok disakitin," kata Bella menganggap ucapan Rezky candaan saja.
"Bell, stop nggak! Kamu nggak denger ucapan aku sih!" Rezky menghempas jemari Bella yang terus mengusap paha bagian atasnya.
Rezky mengangkat kepala dari Dashboard, ia merentangkan tangannya melewati tubuh Bella menggapai handle pintu. "Kamu ke luar gih!"
"Kamu ngusir aku, Sayang!"
"Terserah pendapat kamu. Nih buat kamu, cukup kan untuk naik taxi?" Rezky menyodorkan uang lembaran merah sebanyak tiga lembar yang sontak mengubah raut memberengut Bella menjadi sebuah senyuman.
"Oke makasih, Sayang. Besok kita ketemu lagi kan, Yang?" tanya Bella setelahnya dengan antusias, tak sabar mendapat jawaban Rezky.
"Gak tau!" Rezky dengan kuat menarik handle pintu dan menutup pintu dengan kuat. Bella yang masih fokus menatap wajah Rezki dibuat kaget, ia spontan mundur ke belakang dan tak tahu ada lubang alhasil tubuhnya terjungkal ke belakang.
"Ihh sebel! Sebel! Apa lo liat-liat!" decak Bella membelalakkan mata pada beberapa orang yang tersenyum melihat kondisi bokongnya yang basah. Tak jauh dari lobang memang ada genangan air sisa hujan tadi sore, tubuh Bella terjungkal dan sialnya bokong indah itu mendarat tepat di dalam kubangan air.
"Rezky Rese'! Ngapain juga sih lo pake nyuruh gue turun di sini! Sebel! Sebel!" Bella masih saja bergumam sambil menyetop taxi yang lewat. Beberapa taxi memang berhenti, tapi melihat bokong Bella yang basah mereka urung dan akhirnya kembali menjauh. Jok mereka memang berbahan bludru yang tidak bisa cuma di lap jika kena basah. Basahnya pun bukan basah biasa, basah hingga air genangan itu menetes pula di rok pendek Bella.
.....🕷️🕷️.....
Rezky sudah sampai di rumah. Dengan langkah cepat ia langsung masuk kamar. Ia tak mengindahkan Dian yang sedang sholat tahajud. Ia langsung saja merebahkan diri di ranjang, Rezky memiringkan tubuh ke kanan dan mengatur napasnya. Rezky masih saja terdiam, hingga bayangan Nesa yang meninggalkannya tanpa kabar memenuhi otak, bongkahan sesak langsung menyergapnya dengan kuat.
"Mas sudah pulang?" Kalimat Dian mengaburkan angan Rezky. Rezky seketika bangkit, duduk bersandar head board. Ia menatap wanita berbulu mata lentik yang sudah mendampinginya selama dua tahun, tapi sayangnya tak juga bisa menggantikan posisi Nesa di hatinya.
"Mas ... Mas kenapa bengong? Aku buatin teh, ya? Atau kopi? Atau mas mau makan dulu? A-tau mau mandi? Aku siapkan air hangat ya? Mas ... Mas? Kok bengong aja, sih?" kata Dian melambaikan jemari di depan wajah Rezky. Dian memang begitu antusias karena tak biasanya Rezky pulang di bawah jam 12 malam. Jam saat ini memang menunjukkan pukul 23:58 alias jam 12 kurang dua menit. Biasanya Rezky pulang selalu di atas jam satu malam.
Kok Mas Rezky gak jawab, sih? Yauda aku buatin teh aja.
Dian baru saja ingin beranjak, tapi jemari Rezky mencengkram lengannya cukup kuat. "Jangan ke mana-mana! Gue mau elo!" Dian tercekat antara bahagia dan sedih. Ia sangat tahu Rezky sedang membutuhkan penyaluran hasratnya saja. Dian tau selama ini ia hanya cinta sendirian. Hatinya sakit, terlebih ia tahu Rezky memiliki beberapa wanita di belakangnya. Hal menyakitkan yang ia telan sendiri sebab satu alasan, Cinta.
Sebelum perjodohan terjadi, Dian memang sudah lama memperhatikan Rezky. Siapa yang tak kenal Rezky, pria begajulan yang memiliki paras rupawan dan karir mapan. Bahkan hanya melihat bahunya di kejauhan saja hati setiap wanita sudah meleleh, seperti halnya hati Dian. Oleh karenanya, Dian begitu bahagia saat pak Saeful bertandang ke rumahnya, pak Saeful nyatanya memilih Dian sebagai kandidat utama menantunya.
"Ma-ss?"
Tanpa izin Dian, Rezky sudah melancarkan inginnya. Keduanya pun bercinta tanpa pemanasan. Rezky hanya berpikir kesenangannya saja, merilex otaknya, tanpa memikirkan rasa sakit yang dirasa oleh Dian. Rezky langsung membuang karet pengaman yang sudah berisi benihnya ke sembarang arah setelahnya, Rezky sungguh tak ingin anak dari Dian. Rezki pun langsung membalik badan dan tidur memunggungi Dian.
Rezky tak menyadari air mata dari sesungguhnya bidadarinya mengalir. Hati Dian sesak, ia juga ingin mendengar ucapan cinta, luapan terima kasih, sentuhan sayang setelah berhubungan, tapi ia nyatanya tak mendapat itu. Dian menarik napas panjang dan membuangnya. Ia berusaha memejamkan mata, berharap malam menyapu kepedihannya seperti malam-malamnya yang lain.
______________
🕷️Semoga suka, wajib komen ya❤️
🕷️Karya ini mengikuti even rumah tangga dengan #Suami Tak Berguna, jadi sudah bisa dibayangkan isinya😤
Sayup Kokok ayam jantan mulai terdengar bersamaan lantunan sholawat dari mushola tak jauh dari rumah minimalis Rezky dan Dian. Dian seperti biasa memiliki alarm sendiri di tubuhnya yang membuat ia bangun dengan sendirinya.
Dian baru saja hendak bangun, tapi lengan kekar Rezky menghimpit perutnya, susah bergerak. Dian berusaha menyingkirkan, namun bukannya terlepas justru lengan Resky semakin kuat mengunci tubuhnya.
"Nes, jangan pergi Nes!" lirih kata ke luar dari bibir Rezky. Rezky yang sedang terbuai mimpi memang setengah sadar merasakan orang di sampingnya mau pergi. Ia spontan saja memeluk sambil menyebut nama Nesa.
Dian menatap wajah Rezky dan gerak bibirnya. Jelas-jelas ia tak salah dengar. Ia memasukkan hal positif di otaknya, mengenai nama wanita lain yang disebut suaminya itu mungkin nama salah satu teman Rezky saja. Walau Dian sadar segalanya absurd.
Itu pasti nama salah satu pacar Mas Rezky di belakang aku.
Dian menahan perih hatinya. Dian memang tak pernah tahu cerita kelam Rezky. Ia hanya tahu Rezky dengan berbagai cara hidup yang semaunya seperti yang dilontarkan Saeful bapaknya Rezky saat menanyakan kesanggupannya mendampingi Rezky.
Flashback
"Pak Saeful sungguh mau menjodohkan Rezky dengan Dian anak semata wayang saya?" tanya Rustam yang bekerja sebagai sopir ayahnya Rezky.
"Saya sudah datang, masa nggak sungguh-sungguh sih. Saya sangat serius Pak Rustam, apa bapak bersedia bermenantukan Rezky anak saya itu?" kata Saeful setelah ia menyeruput habis kopi buatan Dian yang pas dengan seleranya.
"Sa-ya____
Tidak seperti sebelumnya, Rustam agak ragu kini. Ia terdiam beberapa saat tidak menyelesaikan kalimatnya, menggantung seperti jemuran kering belum diangkat. Saeful sungguh semakin penasaran dengan jawaban bapaknya Dian alias sopir pribadinya itu. Saeful masih menunggu kalimat Rustam selanjutnya dengan wajah serius, tapi tiba-tiba ia tersenyum melihat Dian yang ayu datang dari dapur membawa secangkir kopi lagi untuknya, Saeful pun spontan tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya. Satu kalimat di hati Saeful, 'Dian benar-benar menantu idaman.'
Aku saja gara-gara kopi anaknya Rustam bisa meleleh, gimana Rezky. Benar-benar Dian ini pas untuk Rezky.
"Pak Rustam, jadi bagaimana?" kata Saeful lagi setelahnya melihat Rustam belum juga bicara. Sambil menunggu jawaban Rustam, Saeful kembali menyeruput kopi, kali ini ia minum sedikit demi sedikit agar tak cepat habis.
"I-tu, i-ni, hemm____
"Gimana, Pak?" lugas Saeful kini sedikit mengintiminasi.
"Bo-leh sa-ya bicara sama Di-an du-lu, Pak?" Kalimat yang begitu sulit terucap itu akhirnya lolos dari bibir Rustam. Agaknya seperti tanda-tanda penolakan dan Saeful menangkap hal tersebut.
"Tentu boleh. Silahkan Silahkan!" kata Saeful sambil memperhatikan setiap gerak Rustam dan Dian.
Rustam menarik lengan Dian, ia baru saja mau mengajak Dian ke dalam, tapi panggilan Saeful atas Dian membuat langkah keduanya terhenti.
"Dian!"
"Pak Saeful panggil Dian?" ucap Dian dengan polosnya. Dian memang baru berusia 20 tahun dan anak rumahan saja, tak suka aneh-aneh. Aktifitas Dian hanya kursus menjahit dan mengajar ngaji di TPQ milik Ustazah Dedeh setiap sore.
"Dian ke sini sebentar, deh!" pinta Saeful. Dian yang santun dan penurut mendekat.
"Bapak dengar kamu punya cita-cita jadi guru, ya?"
"I-ya, Pak."
"Begini, nanti kalau Dian sudah nikah sama Rezky, Bapak janji akan menguliahkan Dian di fakultas pendidikan. Dian bisa ngambil jurusan yang Dian suka, PGTK atau PGSD juga boleh. Dian suka mengajar, 'kan? Bapak janji akan dukung cita-cita Dian. Menjadi pendidik itu luar biasa. Bapak akan bangga punya menantu seorang guru."
"Tapi Dian lebih suka Pendidikan Bahasa dan Sastra," ucap Dian spontan.
"Wah, itu justru lebih bagus, Dian bisa ngajar TK, SD, SMP, bahkan SMA. Gak terbatas. Ilmu bahasa juga penting buat para penulis, pengamat, penerjemah, banyak deh yang bisa Dian kembangin," imbuh Saeful penuh semangat.
"Terima kasih banyak, Pak," kata Dian akhirnya dengan wajah semringah. Saeful tersenyum karena target sepertinya akan masuk sasaran. Saeful mendongak pura-pura melihat bingkai foto masa kecil Dian yang sedang tengkurap dan polos berada di atas meja yang dilapisi taplak bermotif batik, padahal ia sedang melirik Rustam yang panik menggaruk belakang kepalanya.
"Oh, astagfirullah. Bapak sampai lupa, kamu tadi mau berbincang sama bapakmu, kan? Ayo lanjutkan!" Dian menghampiri Rustam, Rustam seperti sebelumnya sangat semangat mau berbincang sama Dian, ia menarik kuat lengan Dian dan membawanya masuk ke kamar tidur Dian.
"Kamu nggak usah gak enakan sama pak Saeful, Di. Bapak paham kok sama pemikiran kamu, Rezky itu bukan calon imam yang baik. Jadi gpp kalau kamu nolak dia!"
Dian menatap lekat wajah Rustam bingung. "Kok Bapak udah berasumsi aja, Dian kan belum jawab," ucap Dian enteng dan apa adanya.
"Lho memang kita nggak sependapat? kamu mau jadi istrinya Rezky yang suka main perempuan itu, yang selalu pulang larut dan hampir pagi. Satu lagi, dia nggak pernah terlihat ada di mushola. Mungkin juga dia nggak pernah sholat!"
"Bapak kok ngomongnya begitu? Kali aja mas Rezky sholatnya di rumah," sergah Dian.
"Kamu mulai bela lelaki begajulan itu, Di? Dian, ingat! Empat hal yang harus jadi kriteria mencari pasangan hidup, paras, harta, nasab dan agama. Rezky gak memenuhi kriteria dalam aspek agama Di, padahal itu aspek yang paling penting! Kalau dia tahu agama, hidup kamu bakalan tenang, dia nggak akan menyakiti kamu sekali pun kamu gak sesuai dengan harapannya, ia bisa membimbing dan menjadi contoh untukmu dan anak-anakmu. Intinya bahagia dunia akhirat deh. Sekarang kamu pikir-pikir dulu ucapan Bapak! Kamu butuh waktu berapa lama berpikir, satu jam, dua jam, sehari, dua hari atau sebulan biar bapak selidiki dulu si Rezky itu, gimana? Kamu nggak usah khawatir, bapak akan bicara sama pak Saeful kalau kamu masih butuh waktu mengenal Rezky. Yuk ke luar!"
"Dih Bapak, Dian kan belum jawab, kok kita udah mau ke luar."
"Oh iya, jadi kamu butuh berpikir berapa lama, Di?" tanya Rustam lagi dengan wajah serius.
"Dian gak butuh waktu, Pak. Dian yakin mau jadi istri mas Rezky!"
"Di, kok?"
"Serius, Pak!"
"Kamu gak dengar ucapan Bapak tadi, dia nggak akan bisa jadi imam kamu, Dian! Hidup kamu akan merana jadi istri si Rezky itu, tertekan."
"Bapak kok berdo'a buruk untuk Dian?"
"Astagfirullah, bukan begitu maksud Bapak, hanya saja Bapak mau kamu berpikir ulang, Dian!" kata Rustam meralat ucapannya. Sangking takutnya Dian kukuh atas keputusannya, Rustam tak sadar berucap buruk mengenai masa depan Dian yang merana.
"Tunggu, jangan-jangan kamu setuju karena mau dikuliahin sama pak Saeful, ya?"
"Ihh Bapak, enggak lah! intinya Dian sudah yakin, Pak. Kata ustazah Dedeh semakin berat ujian yang kita hadapi dalam hidup, balasan pahalanya juga semakin besar. Dian juga yakin mas Rezky sebetulnya baik, Dian pernah lihat dia ngasih uang ke pengemis di jalan. Kalaupun dia nggak baik, nanti Dian yang akan usaha memperbaiki sifatnya."
"Tapi Dii___
Rustam tercekat dengan pemikiran Dian, satu sisi hatinya membenarkan, tapi sisi yang lain bergejolak kuat tak ingin anaknya menikah dengan Rezky.
Di luar, Saeful yang diam-diam mendekatkan telinganya ke bibir pintu terus tersenyum.
Alhamdulillah aku bakalan terbebas dari dosanya Rezky, aku yakin Dian bisa membimbing Rezky. Permudah segalanya ya Allah.
.....🕷️🕷️.....
Tangisan ke luar dari sudut mata Dian. Kini ia tak bisa sedikit pun mengeluh dengan Bapaknya. Bapaknya sudah mewanti sejak awal mengenai Rezky, tapi Dian saat itu berkeras mau dijadiin istrinya Rezky. Kini ia harus menelan pil pahit itu dalam-dalam, berharap pil itu akan menjadi obat dan suatu saat ia benar-benar bisa merubah Rezky. Rezky juga bisa melihat dirinya utuh sebagai istri dan bukan sebagai pelampiasan hasratnya saja.
_______________
🕷️Terima kasih yang sudah menunjukkan jejak komen. Big hug😘😘❤️
"Mas ... Mas Rezky ...." Dian berulang kali memanggil Rezky yang masih tertidur pulas padahal matahari sudah mulai meninggi, jam sepuluh.
"Mas ... bangun, Mas! Ma-ss ...." Karena Rezky tidak juga bangun, akhirnya Dian mendekat. Dian mengucap bismillah sebelum akhirnya meletakkan jemari ke bahu Rezky. Dian memang terlihat berlebihan, sudah menikah 2 tahun tapi menyentuh bahu suaminya saja Dian agak takut, apalagi kondisi Rezky lagi tidur pulas begini.
Dian trauma. Pernah suatu ketika Dian dimarahi habis-habisan karena membangunkan Rezky dengan menepuk bahunya. Pasalnya saat itu Rezky baru pulang jam lima pagi dan Dian terpaksa membangunkan Rezky jam tujuhnya. Bukan tanpa alasan, saat itu pak RT setempat datang mau ngajak Rezky kerja bakti. Pagi itu Rezky dengan berbagai alasan menolak pinta pak RT. Setelah pak RT pergi, Rezky menumpahkan kemarahannya pada Dian yang tidak bisa mencari alasan di depan pak RT dan malah membangunkannya saat lagi mimpi ketemu Nesa.
Puk Puk
Puk Puk
Dian berulang kali menepuk bahu Rezky akhirnya.
"Akhhhh ... apa sih ganggu aja!" gusar Rezky hanya mengubah posisi tubuhnya dan tidur lagi.
"Mas ... bangun Mas!"
Rezky dengar suara Dian membangunkannya, tapi ia mengabaikannya. Dian bertambah bingung. Belum lama tadi Pak Saeful menelepon, akan ada rapat di pabrik jam sebelas dan ia meminta Dian menyampaikan kalau Rezky harus datang.
Dian mengucap bismillah lagi, ia tepuk lagi bahu Rezky tiga kali yang membuat akhirnya Rezky membuka mata.
"Apa sih, Di? Lo ganggu gue tidur aja! Apa! Apa? Butuh uang?" Belum lagi Dian menjawab Rezky sudah meraih dompet di atas nacash. Uang merah lima lembar langsung dilemparnya ke tubuh Dian.
"Tuh, cukup nggak? Udah gue mau tidur lagi, awas lo bangunin gue lagi! Hari ini gue gak ke pabrik, semua aman, gue mau tidur aja seharian!" kata Rezky.
"Mas, tapi ini bukan masalah uang!" Dian baca bismillah lagi, dia menggoyangkan bahu Rezki.
"Kamu tuh, Di! Maunya apa sih? Maaf kalau untuk nganter lo kuliah gue nggak sudi!"
"Bukan! Aku juga gak mau dianter Mas!" Kalimat itu spontan saja, Rezky memang hobi naik motor gede sambil ngebut dan Dian udah gemetar aja membayangkan dibonceng Rezky naik motor, Dian takut gak selamat sampai tujuan. Kalau kemarin sih gpp, motor Rezky lagi di bengkel dan dia beraktivitas naik mobil, tapi pagi tadi orang bengkel sudah nganter motornya Rezky. Bisa dipastikan kalau Rezky akan menjalani aktivitas pakai motor gedenya itu.
"Lo mulai berani sama gue, ngapain lo ngomong begitu? Kayak anti banget gue anter!" Mata Rezky membulat dan Dian takut. Dalam hati Dian bingung juga.
Bukannya Mas Rezky yang kayaknya anti nganter aku, kalau aku sih alasannya jelas karena motor mautnya itu. Tapi dia? Ihh lagi pula ngapain juga mas Rezky marah kalau aku ngomong kayak tadi. Harusnya pas dong, dia nggak mau nganter dan aku nggak mau dianter. Wahh, salah paham lagi kayaknya deh. Sabar ... Sabar Dian!
"Bukan begitu maksud Dian, Ma-ss ... Mas salah paham," kata Dian dengan nada manja.
"Sok imut lo! Jijik gue denger lo ngomong kayak barusan! Yaudah bilang ngapain lo bangunin gue!"
"Tadi ayah telpon. Kata ayah Mas diminta ikut rapat jam sebelas di Pabrik ayah."
"What? Rapat? Jam sebelas?" Dian mengangguk.
Rezky melirik jam sudah jam setengah 11. "Astaga Dian! Ngapain lo nggak ngomong ini dari tadi sih! Awas aja kalau gue sampe telat! Semua gara-gara lo!" Rezky dengan cepat mengangkat tubuhnya dan masuk ke kamar mandi.
Dian mendengus napas. Kata-kata Rezky sungguh semaunya saja, jelas-jelas dia yang sulit dibangunkan, tapi dia juga yang disalahkan.
Dian menuju lemari, menyiapkan pakaian yang mau dipakai Rezky. Dian mengambil pakaiannya juga, mau siap-siap ke kampus. Dian ada kelas jam sebelas, gara-gara dari tadi bingung cara bangunin Rezky, dia jadi lupa bersiap.
Dian merasa harus buru-buru bersiap, mengganti gamis rumahannya dengan gamis warna denim yang baru diambil dari lemari. Dian baru selesai melepas pakaiannya saat Rezky ke luar dari kamar mandi.
"Astaga Dian! Ngapain lo ganti baju di sini, sih! Ternoda kan mata gue!" Rezki buru-buru mengambil pakaiannya, mengalihkan tatapannya dari tubuh putih Dian yang mulus tanpa panu, kudis dan penyakit kulit lain. Ia memilih memunggungi Dian.
Duh Dii, gue akui tubuh lo bagus, coba aja lo Nesa.
"Ternoda itu kalau yang dilihat belum halal, Dian kan halal buat Mas Rezky." Dian berucap sambil memasukkan gamis melewati kepalanya.
"Pake acara ceramah lagi lo! Buruan gih pindah sana ke kamar mandi!"
"Gak mau, udah nanggung, Dian juga buru-buru. Gara-gara Mas nih Dian jadi terlambat!"
"Dih kok jadi lo yang nyalahin gue!" Kemeja sudah terpasang sempurna, Rezky mulai memasukkan kaki ke lubang celana, sementara Dian duduk di depan meja rias, menggunakan hijab.
"Duh mata Dian sekarang yang ternoda nih, Mas sengaja ya pakai celananya di lama-lamain biar dilihat Dian?"
"Kepedean lo, Di!" Rezky membalik tubuh menghadap lemari.
"Masih kelihatan tuh, Mas! Kalau sengaja bilang aja!" Dian tampak senang menggoda Rezky. Entah mengapa saat itu Dian sangat senang melihat wajah gusar Rezky.
Kenapa aku puas gini ngeledekin mas Rezky, aku seneng lihat wajah gusarnya. Kayaknya aku harus ganti main set nih, nggak dapat hati mas Rezky, aku akan buat kemarahan mas Rezky mood booster aku. Ya, begitu aja.
"Astaga!" decak Rezky baru menyadari di lemari ada kaca yang memantulkan dirinya ke cermin meja rias Dian.
"Mulut lo bisa diem gak! Makin lama 'kan!"
Dian terus tersenyum melihat Rezky yang salah tingkah.
"Mas, Dian berangkat duluan, ya!" Dian meletakkan tas ke bahu dan beranjak. Waktu memang sudah jam sebelas kurang 10, Dian yakin pasti ia akan terlambat, tapi ia berangkat saja.
"Ya, sono!" kata Rezky tanpa melirik sedikit pun Dian. Suami yang satu ini santai saja membiarkan istrinya ke luar sendiri. Rezky yakin Dian akan selalu aman saja. Dengan gamis longgar, jilbab dilebarkan menutupi dada, juga wajah tanpa riasan, Rezky sangat yakin tidak akan ada yang ingin mengganggu Dian. Di mata Rezky, Dian memang gadis biasa saja, gak cantik, gak secantik Nesa tepatnya.
"Mas ada yang lupa!"
"Hahh?" Rezky kaget melihat Dian berbalik lagi dan kini menghampirinya.
"Salim dulu, Mas!" Dian menjulurkan tangan. Rezky melihat sekilas wajah polos dan tulus Dian. Ia memberi tangannya setelahnya.
"Mas Rezky ati-ati, ya! Jangan ngebut, gpp telat. Keselamatan Mas penting buat Dian. Nanti bilang aja sama ayah kalau semua karena Dian lupa bangunin Mas!"
Rezky mematung. Ia membenarkan kalau wanita yang sering ia anggap bocah lantaran lebih muda darinya tiga tahun itu memang wanita baik.
_______________
🕷️Happy reading❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!