Di dalam restoran mewah khas Eropa yang ada di pusat Kota Jakarta, dua wanita sedang duduk berhadapan. Keduanya kompak menyantap menu andalan di restoran itu—Gelato khas Itali dan Fried Herring Sandwich khas Swedia.
Mereka adalah Maurena Alexandra dan Elsabila Zaqia, dua sahabat yang sangat dekat sejak di bangku SMA. Mauren adalah model papan atas, sekaligus penata busana yang cukup andal. Sementara Elsa, dia hanya sekretaris direktur.
"Kalau nanti punya banyak uang, aku pengin banget jalan-jalan ke Eropa, menikmati semua kuliner di sana. Pasti seru," ujar Elsa dengan mulut yang penuh.
"Ish, kamu ini, El, jadi cewek nggak ada anggun-anggunnya. Kebiasaan deh bicara dengan mulut yang penuh. Telan dulu lah, nggak ada yang minta kok," omel Mauren.
"Aku, kan, bukan kamu yang dituntut anggun." Elsa mencibir sambil menyuap potongan sandwich.
"Tapi nggak boleh sembarangan juga. Ingat, kamu 'tuh masih dagangan," sahut Mauren dengan diiringi tawa renyah.
Elsa tak menyahut, sekadar menatap paras sahabatnya yang cantik nan molek. Tak heran, sejak dulu Mauren sudah bergelimang harta, tentu saja perawatannya maksimal. Mauren adalah putri tunggal pemilik Victory—perusahaan kosmetik terbesar di Kota Jakarta—perusahaan tempat Elsa bekerja saat ini.
"El, jangan bengong! Sorry, aku hanya bercanda, nggak ada maksud mengingatkanmu sama cowok brengsek itu." Mauren merasa bersalah. Secara tidak langsung dia telah mengulik luka lama.
Akan tetapi, permintaan maaf Mauren tak jua ditanggapi. Elsa justru menunduk sambil menggigit bibir.
"Dia selalu beruntung," batinnya.
Dalam hal apa pun, Elsa memang kalah jauh dengan Mauren, termasuk fisik. Mauren adalah gambaran wanita yang sempurna, sedangkan dirinya hanya cantik berkat polesan mekap.
Dalam hal asmara pula, Mauren jauh lebih beruntung. Wanita itu menikah sejak dua tahun yang lalu. Suaminya adalah Jeevan Biantara—lelaki rupawan yang romantis dan pengertian—pemegang kendali Kantor Victory. Sementara dirinya, berpacaran selama 8 tahun, tetapi berakhir kandas dengan cara yang menyakitkan.
"El, sorry. Niatku cuma bercanda, kamu jangan marah dong." Mauren kembali bicara karena Elsa masih diam.
Elsa mengangkat wajah ketika Mauren menggenggam lengannya. Lantas, dia mengulas senyum sambil mengangguk.
"It's okay. Aku nggak mikirin dia kok, hanya saja ... tadi tiba-tiba ingat pekerjaan," dusta Elsa.
"Yakin?"
"Iya."
"Mas Jeevan ngasih pekerjaan yang berlebihan, ya? Kalau emang iya bilang aja, nanti aku yang ngomong sama dia. Aku nggak mau kalau sahabat baikku dibuat lelah sampai bengong-bengong gitu," ujar Mauren dengan sungguh-sungguh.
"Enggak lah, masih wajar kok. Akhir-akhir ini di kantor memang agak sibuk, maklum mau meluncurkan produk baru." Elsa menjawab sambil tersenyum masam.
"Syukur deh kalau Mas Jeevan nggak menyulitkan kamu. Jadi, aku nggak merasa bersalah udah masukin kamu ke kantorku," ucap Mauren.
Elsa menunduk, menatap sepiring sandwich yang masih separuh. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak nyaman.
Sebelum Mauren dan Elsa melanjutkan perbincangan, tiba-tiba ada wanita dewasa yang datang tanpa permisi.
"Dasar pelakor! Wanita nggak tahu diri kamu!"
Elsa tersentak dan langsung mendongak ketika mendengar teriakan wanita itu. Sambil menggebrak meja, wanita itu menatap nyalang ke arahnya, juga terus menunjuk-nunjuk wajahnya.
"Kamu yang kapan hari jalan sama Pak Jeevan, kan? Sekarang makan bareng istrinya. Kamu sengaja menutupi kebusukanmu dengan pura-pura baik begini, iya?"
Elsa pucat seketika. Dia kehilangan tenaga hingga lemas tak berdaya. Jangankan untuk bangkit dan membalas makian, menelan sisa sandwich di tenggorokan saja ia tak bisa.
"Bu Mauren, Anda jangan terlalu percaya dengannya. Kapan hari saya melihat dia mesra-mesraan dengan Pak Jeevan. Dia menusuk Anda dari belakang, Bu!"
Mauren beranjak dari duduknya, "Anda jangan sembarangan bicara! Dia ini sahabat saya. Saya yang lebih tahu tentangnya."
"Saya berani bersaksi, Bu. Saya adalah owner G'Amoor Salon. Saya akan mengambil kosmetik dari Victory untuk menunjang usaha saya. Pada hari itu saya dan Pak Jeevan membahas kerja sama ini. Dia ... turut hadir di sana. Setelah selesai bicara dengan saya, mereka pergi bersama ke restoran dan kebetulan saya juga makan siang di tempat itu. Saya melihat kemesraan mereka, bahkan tanpa malu dia menggelayut manja di pelukan Pak Jeevan. Ketika saya tegur, mereka langsung pergi begitu saja," wanita itu melontarkan penjelasan panjang seraya mendekati Mauren.
Di sebelahnya, Elsa sangat gemetaran. Dia kehabisan kata untuk membela diri. Perkataan wanita itu, sama sekali tak memberinya celah untuk mempertahankan posisi benar. Dengan kepala yang menunduk, Elsa melirik Mauren, ingin tahu bagaimana reaksi sahabatnya.
Namun, sungguh di luar dugaan. Bukannya menuntut penjelasan kepada Elsa, Mauren justru mematahkan asumsi wanita itu dengan tenang.
"Saya tidak tahu Anda punya masalah apa dengan Elsa. Tapi, alangkah baiknya diselesaikan secara baik, jangan memfitnah seperti ini. Elsa adalah sahabat dekat saya. Saya yakin dia tidak akan melakukan hal sebodoh itu," ujar Mauren.
"Tapi, Bu___"
"Suami saya juga orang yang bermoral. Dia sangat menyayangi saya, jadi tidak mungkin berkhianat, terlebih dengan sahabat saya sendiri. Saya yang lebih mengenal mereka," pungkas Mauren.
Wanita itu mendengkus kesal, lalu menatap Mauren dengan mata yang memicing.
"Anda tidak percaya dengan ucapan saya dan menganggap semua ini fitnah?" tanyanya.
"Maaf, Bu, saya lebih percaya pada sahabat dan suami saya."
"Tidak sedikit kasus perselingkuhan adalah dengan orang terdekat. Jangan menuduh fitnah, saya mengatakan ini karena maksud baik. Saya tidak rela wanita sebaik Anda dibodohi wanita semacam dia." Wanita itu menunjuk Elsa dengan geram.
"Cukup!" bentak Mauren. "Pergi dari sini, saya tidak butuh penjelasan yang tidak masuk akal!" Ia mulai kesal.
"Anda mengusir saya?"
"Iya, karena saya tidak suka dengan siapa pun yang berusaha merusak persahabatan kami," jawab Mauren tanpa takut sedikit pun.
"Baiklah. Jika memang itu pilihan Anda, saya akan pergi sekarang. Saya menyesal sudah berusaha menolong Anda, ternyata sudah menjadi budak cinta. Saya juga menyesal telah menjalin kerja sama dengan Victory. Andai belum tanda tangan, pasti sudah saya batalkan. Saya tidak sudi bekerja sama dengan pezina!" Usai mengucap kalimat pedas, wanita itu pergi dengan langkah cepat.
"El, kamu nggak apa-apa, kan? Jangan didengerin ya omongan ibu-ibu tadi, mungkin dia iri sama kariermu yang bagus, makanya berusaha menebar fitnah." Mauren duduk di sebelah Elsa dan menenangkannya.
Elsa menoleh sekilas, "Hari itu aku dan Pak Jeevan memang makan bersama, kebetulan sudah masuk jam makan siang. Tapi___"
"Aku tahu. Makan bersama itu adalah hal wajar, El, apalagi setelah bekerja di luar kantor. Jangan merasa nggak enak gara-gara kejadian barusan. Aku percaya, kamu dan Mas Jeevan tahu batasan." Mauren merangkul tubuh Elsa. "Jangan dipikirin lagi, ya?" sambungnya.
Elsa mengangguk pelan, "Iya."
"Maafin aku, Ren," sambung Elsa dalam batinnya.
Bersambung....
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, Mauren duduk sendiri di ruang makan sambil menyesap teh hijau yang baru saja diseduh.
Berkali-kali Mauren melirik ponsel, berharap ada telepon atau sekadar chat dari suaminya. Namun, ponsel itu tetap diam. Jeevan tak jua mengirim kabar setelah menelepon tadi sore, yang mengatakan bahwa hari ini akan lembur.
"Ke mana sih dia?" Mauren bergumam sembari melipat tangan di dada. "Benarkah di kantor sangat sibuk? Jadi harus lembur tiap hari. Tapi ... biasanya nggak selarut ini," sambungnya.
Perlahan, ucapan wanita yang mendatanginya tadi siang terngiang dalam ingatan. Mauren berpikir keras, akhir-akhir ini sikap Jeevan memang sedikit berubah. Selain sering lembur sampai larut, suaminya itu juga jarang meminta jatah. Hampir genap satu bulan, Jeevan tak pernah menyinggung hal intim. Padahal, dulu tak pernah absen, kecuali dirinya sedang lelah dan menolak.
"Kalau dipikir-pikir, udah lama juga Mas Jeevan nggak membahas anak. Aneh sih, mengingat dulu dia gencar banget bujuk aku untuk punya anak," ucap Mauren seorang diri.
Sembari menatap ponsel yang masih diam, Mauren mengingat-ingat hal sepele terkait perubahan sikap suaminya. Mulai dari ponsel yang disandi—yang katanya agar tidak dilihat sembarangan oleh rekan kantor, juga keposesifan yang sedikit mengendur.
Dulu, Jeevan sering kesal jika Mauren pulang lebih lambat darinya, apalagi jika tetap sibuk pada akhir pekan. Namun, hal itu tidak berlaku untuk sekarang. Jeevan tak pernah keberatan lagi meski Mauren pulang terlambat atau tetap bekerja pada hari Minggu.
Awalnya, Mauren senang karena suaminya makin pengertian. Harapannya, sang suami memang mendukung karier yang hampir mencapai puncak. Akan tetapi, kini hal itu membuat Mauren gusar. Jangan-jangan memang benar rumah tangganya dimasuki orang ketiga.
Ketika Mauren masih sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba ada suara langkah yang makin mendekat.
"Itu pasti Mas Jeevan." Mauren bergumam sambil beranjak. Lantas, melangkah cepat menuju sumber suara.
Dalam hitungan detik, Mauren sudah melihat Jeevan. Lelaki itu tampak kelelahan, terbukti dari wajahnya yang kusut dan juga pakaian yang berantakan—jas disampirkan di bahu, sedangkan kemeja digulung asal dan dua kancing atasnya terlepas.
"Sayang, kok belum tidur?" tanya Jeevan seraya mengulas senyum masam.
"Nungguin kamu, Mas," jawab Mauren dengan nada manja.
"Kan tadi udah kukasih tahu kalau lembur. Kamu capek loh kalau nungguin aku." Jeevan bicara sambil mengusap lembut rambut Mauren.
"Nggak apa-apa." Mauren tersenyum. "Mau kopi? Kebetulan aku masih minum teh," sambungnya.
"Boleh."
Usai mengiakan tawaran istrinya, Jeevan turut melangkah ke ruang makan. Ia duduk di sana sambil menunggu Mauren menyeduh kopi untuknya.
Jeevan bersandar sambil mengembuskan napas panjang. Dia memikirkan sedikit masalah yang tiba-tiba merumit.
"Ah," dengkus Jeevan.
"Mas, ini kopinya!"
Lamunan Jeevan buyar ketika istrinya datang. Wanita cantik nan anggun yang dinikahi sejak dua tahun lalu, sudah duduk di hadapannya dengan senyum yang mengembang. Ah, Mauren, di sela-sela kesibukan dia tetap menunjukkan perhatian untuknya.
"Terima kasih ya, Sayang."
Belum sempat Mauren menyahut, tiba-tiba ponsel Jeevan bergetar. Baru saja Mauren melirik, Jeevan sudah mengambilnya dengan cepat, sehingga tidak tahu siapa yang menelepon.
"Kok, dimatiin? Siapa yang telpon" tanya Mauren.
"Hanya klien baru, Sayang. Udah kubilang besok aja, tapi tetap ngeyel. Ya udah kumatiin aja, kesel nanggepi yang kayak gini." Jeevan menjawab tenang.
"Oh." Antara percaya dan tidak, tetapi Mauren memilih diam.
"Hmm sangat manis, Sayang. Penatku langsung hilang abis minum kopi buatan kamu," rayu Jeevan.
"Bisa aja kamu, Mas." Mauren tersenyum kaku. Pikirannya masih menerka-nerka siapa gerangan yang menelepon, benar-benar klien atau orang lain.
"Mas!" panggil Mauren setelah hening cukup lama.
"Hmm."
"Aku ada tawaran job di luar kota, kira-kira semingguan. Menurutmu ... harus kuambil apa enggak?" dusta Mauren.
Jeevan menatap sekilas, "Jika itu bisa menunjang keriermu, ambil saja. Aku mendukung apa pun keputusanmu."
"Kamu mau nganter, kan?" tanya Mauren.
Jeevan tersenyum masam, "Nggak bisa, Sayang. Di kantor sangat sibuk, persiapan launching produk baru. Maaf, ya."
Mauren menggigit bibir. Selama ini, Jeevan tidak pernah mengizinkan dirinya pergi ke luar kota tanpa ditemani. Namun, sekarang berbeda. Dengan mudah Jeevan memberikan izin, bahkan sambil tersenyum lebar.
"Kamu benar-benar berubah, Mas," batin Mauren.
________
Pagi-pagi sekali Elsa sudah terjaga. Bukan memasak atau membereskan tempat tidur, melainkan duduk termenung di dekat jendela kamar. Pandangannya lurus ke depan, tampak kosong dan sayu. Entah hal berat apa yang mengganggu pikirannya.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering nyaring. Elsa bergegas bangkit dan mengambil ponsel yang masih tergeletak di ranjang. Lalu, keningnya mengerut setelah membaca nama sang penelepon—Mauren.
"Tumben dia nelpon aku sepagi ini." Elsa mengusap tombol hijau dan menempelkan ponselnya di telinga. "Hallo," ujarnya.
"Hallo, El. Udah bangun, kan?" tanya Mauren dari seberang sana.
"Baru aja. Ada apa, tumben nelpon pagi-pagi?" Elsa balik bertanya.
"Aku mau minta tolong sama kamu," jawab Mauren setelah diam cukup lama.
"Minta tolong apa?"
Kemudian, Mauren menceritakan tentang perubahan sikap Jeevan, sangat rinci, bahkan bagian yang tidak meminta jatah juga diungkapkan secara gamblang.
"Aku jadi curiga. Jangan-jangan ... dia memang ada simpanan di luar sana," ucap Mauren setelah bicara panjang lebar.
Elsa tak langsung menjawab. Dia malah menjauhkan ponselnya sambil menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia lakukan berulang kali, seolah ingin melepas beban yang menyesakkan.
"Menurutmu gimana, El?" tanya Mauren karena Elsa tak jua memberikan tanggapan.
"Belum bisa ambil kesimpulan aku, Ren. Akhir-akhir ini, di kantor emang sibuk banget. Bolak-balik rapat untuk persiapan launching produk baru, belum lagi ngurus kerja sama dengan pihak sana-sini. Kalau sering lembur, itu kayaknya emang soal pekerjaan deh, Ren," jawab Elsa.
"Begitu ya? Di kantor, dia nggak terlihat dekat dengan siapa gitu? Atau mungkin sering keluar atau gimana?"
"Kalau keluar ... ya agak sering sih, Ren. Tapi, itu untuk ngurus kerjaan. Kadang aku juga ikut, tapi ... nggak lihat Pak Jeevan ada ketemu sama siapa gitu," jawab Elsa memberikan penjelasan.
"Mmm, gitu." Mauren diam sejenak. "Tapi, aku kok belum tenang ya, El. Kamu bisa nggak bantuin aku? Tolong selidiki Mas Jeevan dan cari tahu kenapa dia berubah. Beneran karena pekerjaan atau mungkin ... ada hal lain," sambungnya.
"Baiklah, nanti akan kuselidiki. Sekecil apa pun informasi yang kudapat, nanti kukasihtahukan ke kamu," jawab Elsa.
"Terima kasih banyak ya, El. Aku seneng kamu mau bantuin aku. Di kantor cuma kamu orang yang kupercaya. Tahu sendiri, kan, aku jarang ke sana. Semua karyawan pasti mihaknya ke Mas Jeevan."
"Aku yang lebih berterima kasih, Ren. Bantuan ini nggak seberapa jika dibandingkan dengan bantuanmu ke aku." Elsa berucap sambil memejam dan memijit pelipis.
"Aku cuma ngasih jalan aja, El. Sedangkan keberuntungan selanjutnya, itu berkat kecerdasan kamu."
"Selalu begini kamu 'tuh." Elsa tertawa.
Mauren pun turut tertawa. Lantas, dia kembali bicara serius, "Aku beneran berterima kasih, El. Kamu mau bantuin aku, padahal itu sangat menambah kesibukanmu. Nanti kalau udah selesai, aku kasih ganti untuk lelahmu, El."
"Jangan mikir jauh, kayak sama siapa aja. Aku ikhlas kok bantuin kamu. Kita ini sahabat, Ren, kamu nggak usah sungkan," sahut Elsa.
Tak lama kemudian, sambungan telepon berakhir. Namun, Elsa tak langsung beranjak dari tempatnya. Dia masih terpaku sambil menatap layar ponselnya.
"Sepertinya ini bisa kujadikan jalan untuk memperbaiki masalah." Elsa mengulum senyum. "Ah, semoga saja," sambungnya.
Bersambung...
Satu bulan kemudian. Elsa masih setia menjalankan tugasnya—menyelidiki Jeevan. Meski belum ada perkembangan yang berarti, tetapi dia terus berupaya.
Hari ini, dia kembali melaporkan kepergian Jeevan yang hampir setengah hari. Menurut jadwal, Jeevan pergi bersama investor baru. Mereka meninjau lokasi pemasaran yang letaknya cukup jauh dari kantor Victory.
"Gimana, Ren, udah ketemu sama Pak Jeevan?" tanya Elsa ketika menelepon sahabatnya.
"Udah, El. Tapi, dia memang kerja. Barusan banget dia pergi makan bareng investor itu, nggak ada orang lain," jawab Mauren dari seberang sana.
Elsa mengulum senyum, lalu bertanya tentang keputusan Mauren untuk selanjutnya.
"Udahan aja, El. Sepertinya, Mas Jeevan memang nggak nyeleweng. Kamu benar, dia memang sibuk dengan kerjaan. Sedangkan untuk posesifnya yang nggak kayak dulu, mungkin sedang berusaha ngertiin karierku. Dulu, aku juga sih yang nyuruh dia untuk selalu mengerti."
Elsa bernapas lega setelah mendengar jawaban Mauren, memang keputusan seperti itu yang sangat dia nantikan.
"Yakin nggak lanjut lagi?" Elsa berbasa-basi.
"Nggak usah. Cukup segini aja aku udah yakin sama Mas Jeevan. Sebagai ucapan terima kasih, minggu depan aku ajak jalan-jalan. Nanti kutraktir belanja dan juga makan-makan. Oke?"
"Siap, Bos." Elsa turut tertawa ketika Mauren tertawa renyah. Namun, jauh di dalam hatinya ada sekelumit rasa sesak yang amat mengganjal.
Setelah sambungan telepon berakhir, Elsa mengusap wajahnya dengan kasar. Lantas, menggeleng-geleng sambil meyakinkan diri bahwa cintanya tidak salah.
"Tenang, harus tenang. Masalah udah aman, aku nggak boleh mikir yang macem-macem. Ini juga bukan mauku, dia pasti bisa ngerti," batin Elsa.
Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda, Mauren menimang-nimang ponselnya sambil mondar-mandir ke sana kemari.
"Untuk pertama kalinya aku ragu dengan ucapan Elsa," gumam Mauren.
Setelah cukup lama berpikir keras, Mauren menyalakan kembali ponselnya. Dia menghubungi Siska—staf pemasaran di Kantor Victory. Dulu, wanita itu pernah menjadi asistennya selama seminggu. Harapan Mauren, semoga Siska masih mau berpihak padanya.
"Bisa kita bertemu, ada hal penting yang ingin saya bicarakan!" ujar Mauren ketika Siska sudah menerima panggilannya.
"Saya masih bekerja, Bu. Bagaimana kalau nanti sore saja?" jawab Siska.
"Baik."
_____
Tepat pukul 04.00 sore, Mauren bertemu dengan Siska di restoran yang tak jauh dari Kantor Victory. Mereka datang hampir bersamaan, jadi tidak perlu menunggu lama.
"Maaf, Bu, saya baru datang. Belum sempat memesankan minuman untuk Anda," ucap Siska ketika Mauren sudah duduk di kursi.
"Tidak apa-apa, kita bisa pesan sekarang."
Usai memesan minuman, Siska menanyakan perihal maksud pertemuan mereka. Namun, Mauren tak segera menjawab. Dia malah melayangkan pertanyaan untuk Siska.
"Kamu bisa menemui saya sekarang, apa tidak lembur?" tanya Mauren.
"Tidak, Bu. Saya jarang lembur, paling hanya sekali-dua kali dalam sebulan."
Mauren mengernyit, "Apa kantor tidak sibuk?"
"Sibuk, Bu, tapi tidak sampai lembur. Masih bisa kami atasi dengan jam kerja normal," jawab Mauren.
"Apakah seluruh staf tidak ada yang lembur?" Mauren terus bertanya.
"Setahu saya jarang, Bu. Hanya satu-dua saja dan itu tidak setiap hari. Kalau boleh tahu, ada apa ya, Bu?"
"Suami saya sering lembur sampai larut, katanya kantor sangat sibuk. Saya ada tugas untuk kamu, selidiki suami saya dan cari tahu wanita mana yang dekat dengannya," ujar Mauren langsung pada intinya.
Siska gelagapan, bahkan raut wajahnya mendadak pucat.
"Maaf, Bu, kalau soal itu saya tidak berani. Saya tidak mau dipecat karena mengusik ranah pribadinya Pak Jeevan," ucapnya.
"Dipecat? Kamu tidak tahu itu kantor siapa?" Suara Mauren mulai meninggi. Dia makin yakin jika Jeevan menyembunyikan sesuatu darinya.
"Saya tahu kantor itu punya Ibu, tapi___"
"Melihat kegugupanmu, saya tebak kamu tahu apa yang disembunyikan suami saya. Jadi, cepat beri tahu saya informasi apa pun yang kamu punya," pungkas Mauren dengan cepat.
"Maaf, Bu, saya tidak berani." Siska beranjak. "Jika hanya ini yang akan Ibu bahas, maaf saya tidak bisa. Saya permisi, Bu," sambungnya.
Mauren geram, lantas dia berteriak ketika Siska baru saja melangkahkan kakinya.
"Tiga persen saham Victory!"
Siska langsung menghentikan langkah dan menatap Mauren dengan cepat.
Mauren tersenyum miring saat melihat Siska mulai tertarik dengan tawarannya.
"Jika kamu mau memberi tahu saya, maka tiga persen saham Victory akan menjadi milikmu."
Siska gemetaran. Dengan susah payah dia kembali duduk dan mengatur detak jantung yang sempat berantakan. Tiga persen saham Victory adalah sesuatu yang tak pernah dibayangkan. Ah, jangankan tiga, satu saja dia tak berani bermimpi untuk memiliki. Setelah sedikit tenang, Siska mulai bicara dengan terbata-bata.
"Saya tidak akan mengambil imbalan yang sebesar itu. Saya tahu, menutupi kesalahan bukanlah hal baik. Tapi, mau bagaimana lagi, saya hanya orang biasa yang butuh pekerjaan. Bu, untuk mengatakan kebenaran, saya masih tidak bisa. Tapi, saya akan memberikan petunjuk agar Anda bisa melihat sendiri kebenarannya. Nanti malam, silakan Ibu datang ke kantor. Dari yang pernah saya tahu, juga dari yang pernah teman-teman tahu, Pak Jeevan sering menghabiskan waktu di lantai atas. Coba Ibu datang, siapa tahu beruntung dan menemukan jawabannya," terang Siska.
"Kantor? Apa wanita itu juga karyawan kantor?" Mauren tersentak hingga memelotot tajam.
Siska mengangguk, "Setahu saya begitu, Bu."
Mauren mengerjap cepat. Dia tak habis pikir dengan informasi yang baru saja didapat. Secara logika, jika wanita itu karyawan kantor, maka seharusnya Elsa sangat paham. Namun kenyataannya, Elsa sedikit pun tidak tahu.
"Apa dia sudah kompromi sama Mas Jeevan, atau jangan-jangan ... ah, ucapan wanita itu. Tidak mungkin benar, kan?" batin Mauren.
_______
Di atas dinginnya lantai marmer, Mauren berjalan tanpa alas kaki. Dia sengaja melepasnya agar tidak menimbulkan suara ketukan. Dia ingin memergoki suaminya yang masih berada di kantor, terbukti dari mobil yang terparkir di tempatnya.
"Aku sudah kehilangan uang lima juta, aku nggak boleh gagal," batin Mauren sambil terus berjalan.
Beberapa menit lalu, dia menyuap satpam agar tidak memberitahukan kedatangannya kepada Jeevan. Sama seperti Siska, satpam itu juga gelagapan dan tidak mau memberitahukan siapa selingkuhan Jeevan. Entah ancaman seperti apa yang sudah Jeevan lontarkan, hingga seluruh karyawan pro padanya.
"Aku sangat memercayaimu, tapi kamu malah berulah, Mas. Kamu tidak lupa, kan, kalau kantor ini milikku?" batin Mauren dengan penuh emosi.
Tak lama kemudian, Mauren tiba di ruangan Jeevan. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Lantas, Mauren langsung menuju lantai atas, seperti petunjuk Siska.
Setibanya di sana, Mauren belum menemukan tanda-tanda keberadaan seseorang. Suasana sangat hening, bahkan sekadar bisik-bisik pun tidak ada. Namun, Mauren tak menyerah, dia terus mencari ke seluruh penjuru. Sampai akhirnya, dia tiba di ruangan yang paling ujung, ruangan yang dulu menjadi tempat favorit orang tuanya, ruangan yang konon katanya sering dijadikan tempat dinner romantis oleh mereka.
Mauren berjalan makin pelan ketika mendekati ruangan itu, pintunya sedikit terbuka dan itu membuat dada Mauren makin bergemuruh.
Dengan jantung yang makin berdetak cepat, Mauren mendorong pintu dengan sangat pelan, sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun.
Bagaikan petir di antara terik matahari, pemandangan di depan sana membuat Mauren nyaris hilang kendali. Seorang lelaki yang dia yakini adalah Jeevan, sedang duduk sambil memeluk seorang wanita. Tangannya dengan luwes membelai lembut bahu wanita tersebut, seolah dialah sosok yang paling disayangi.
Hanya dalam hitungan detik, emosi Mauren tak bisa dibendung lagi. Dia mendekati Jeevan sambil berteriak keras.
"Mas Jeevan!"
Mendengar teriakan Mauren, dua orang itu bangkit dan menoleh dengan cepat. Mauren sangat terkejut saat mendapati sosok wanita yang sedang bersama suaminya.
"Elsa!"
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!