Suasana sore yang ramai khas bubaran pabrik membuat jalanan terlihat macet. Bising suara klakson motor dan mobil saling bersahutan, berebut jalanan yang tampak penuh. Rasa lelah setelah seharian bekerja, membuat orang-orang itu ingin segera pulang dan sampai ke rumahnya masing-masing.
Begitupun dengan seorang wanita muda yang baru saja kembali bekerja setelah masa cuti lahirannya usai. Wanita muda itu bernama Nadira Megantari. Dia termasuk salah seorang karyawati pabrik tersebut. Saat ini dirinya tengah menanti kedatangan sang suami yang biasa menjemputnya.
"Mas Danu ke mana, ya? Kenapa sudah sore seperti ini masih belum datang?" tanya Nadira seraya melirik jam kecil yang melingkar di tangan kirinya.
Saat ini waktu sudah hampir menunjukkan pukul 05.00 sore, tetapi suaminya yang bernama Danu Purnama masih belum sampai di tempat biasanya pria itu menunggu. Padahal, Nadira sudah berdiri di sana selama hampir satu jam lamanya. Danu sendiri merupakan pria yang berprofesi sebagai ojek online. Pernikahan Danu dan Nadira sudah berlangsung sekitar lima tahun. Selama pernikahan itu pula, Danu dan Nadira baru dikaruniai seorang anak yang bernama Tiara. Tiara baru berusia dua bulan dan hal itu membuat Nadira sedikit mengkhawatirkan bayinya yang sudah ia tinggalkan terlalu lama.
Wanita yang baru berusia 23 tahun itu lantas merogoh tas kecilnya untuk mengambil ponsel yang ia simpan di sana. Bukan ponsel bagus yang ia miliki, melainkan hanya ponsel jadul yang hanya bisa digunakan untuk telpon dan kirim pesan singkat saja.
Panggilan pertama yang dilakukan Nadira sama sekali tidak dijawab oleh Danu, tapi Nadira kembali melakukan panggilan itu hingga beberapa kali. Namun, Danu tak kunjung menjawabnya.
"Nad, kamu belum pulang?" tanya salah satu teman Nadira yang kebetulan lewat bersama suaminya.
"Belum, Din. Mas Danu masih belum menjemputku!" jawab Nadira.
"Mungkin macet, Nad. Kamu tunggu saja, ya! Aku pulang dulu." Dina berlalu setelah Nadira menganggukan kepalanya.
Nadira kini kembali berdiam diri sambil menoleh ke berbagai arah. Dia berharap bisa melihat keberadaan suaminya diantara banyaknya orang-orang yang masih berdesakkan untuk pulang ke rumah. Meskipun dia yang bubar kerja lebih dulu, nyatanya malah kembali berdesakan dengan para karyawan yang baru saja bubaran kerja lembur.
"Ya Tuhan, Mas Danu ke mana, ya? Aku sudah menunggunya selama satu jam lebih, tapi kenapa dia masih belum datang? Ditelpon pun, tidak dia jawab." Lagi-lagi Nadira menggerutu kesal. Untuk kesekian kalinya, wanita itu kembali menghubungi sang suami. Dia berharap kali ini Danu menjawab panggilan telponnya.
Suara sambungnya itu terdengar di telinga Nadira, tetapi hanya beberapa saat karena di detik selanjutnya, Danu memutuskan sambungan itu dan membuat Nadira geram.
Mas, sebenarnya kamu ke mana?
Aku udah menunggu kamu dari tadi, lho!
Tolong jemput aku sekarang! Kasian Tiara sudah menungguku pulang!
Nadira mencoba untuk kembali mengirimkan pesan pada Danu, ia berharap suaminya itu kali ini mau menjawab panggilan dan membalas pesannya. Namun, harapan Nadira tidak sesuai. Satu jam setelah Nadira mengirimkan pesan, Danu tak kunjung datang, sementara hari sudah mulai beranjak petang.
"Ya Tuhan, ke mana Mas Danu sebenarnya? Kenapa dia tidak memberiku kabar? Belum lagi aku tidak punya uang untuk naik angkot," lirih Nadira sambil menatap uang kertas bergambar Dr.K.H IDHAM CHALID yang ada di genggamannya, hanya itu yang ia miliki.
Uang itu sebenarnya jatah dia jajan hari ini, tapi tidak dia gunakan. Sementara Danu sudah beberapa hari ini juga tidak memberikan uang padanya dengan alasan penghasilan ojek onlinenya ia belikan susu untuk Tiara, sisanya ia berikan pada sang ibu yang menjaga putrinya. Nadira baru bekerja di pabrik itu baru sekitar dua minggu, jadi dia juga belum mempunyai penghasilan dari sana.
Nadira kembali menghubungi Danu, tetapi kali ini ponsel pria yang menjadi suaminya itu sudah dalam keadaan tidak tersambung dan hal itu sukses membuat Nadira merasa kacau. Tubuhnya yang masih belum semua total pasca melahirkan dua bulan lalu, belum lagi dia merasa lelah karena pekerjaan yang sangat berat hari ini di pabrik itu membuatnya sedih sendiri, sementara hari mulai gelap pertanda malam akan tiba.
"Ya Tuhan ... Mas Danu, kenapa kamu tega seperti ini? Kalau memang tidak bisa menjemputku, seharusnya kamu katakan saja." Wanita muda itu bergumam sambil tertunduk lesu meratapi nasibnya yang terasa memberatkan hati. Ditambah lagi dadanya yang semakin terasa sesak karena air ASI yang belum diberikan pada Tiara seharian ini semakin membuatnya kesakitan.
Di tengah-tengah kebingungan Nadira, tiba-tiba ada seorang pria yang datang menghampirinya. Pria itu bernama Raka Arjuna. Dia adalah salah satu atasan Nadira di pabrik.
"Nad, kamu belum pulang? Padahal ini udah sore, lho!" tanya pria itu.
"Belum, Pak. Saya masih menunggu suami," jawab Nadira pada pria itu.
"Oh. Kenapa dia belum menjemputmu? Tumben sekali."
Nadira meringis karena tidak bisa menjawab pertanyaan Raka. Dia sendiri pun merasa kebingungan dengan sikap Danu yang tidak seperti biasanya itu.
"Apa perlu saya antar?" tanyanya lagi.
"Ya?"
Nadira terkejut dengan tawaran pria yang bernama Raka itu. Bagaimana tidak, pria yang begitu disegani oleh para pekerja di gedungnya, sekarang dia justru sedang menawarinya untuk pulang bersama.
"Apa kamu tidak mau saya antar?" ulang Raka lagi.
Nadira segera menggelengkan kepalanya. Selain dia merasa sungkan, dia juga merasa tidak etis jika pulang kerja diantarkan pria lain. Apalagi pria itu merupakan salah satu atasannya.
"Ti–tidak Pak. Bapak tidak perlu repot-repot mengantarkan saya. Terima kasih atas tawarannya, tapi Bapak tidak perlu melakukan hal itu. Saya akan tetap menunggu suami saja," tolak Nadira dengan sedikit gugup.
Penolakan Nadira membuat wajah Raka sedikit berubah. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Raka kembali bersikap seperti biasa. Untuk sesaat, Nadira menyadari perubahan wajah Raka, dia sedikit mengernyit heran.
Apa hanya penglihatanku saja yang aneh? Kenapa Pak Raka terlihat kecewa dengan jawabanku? batin Nadira.
"Ya sudah kalau kamu menolak ajakan saya." Pria itu tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya ijin untuk menemani kamu di sini, ya? Suasana di sini cukup mengkhawatirkan. Saya hanya tidak ingin terjadi sesuatu hal buruk yang menimpa pekerja saya," sambungnya lagi.
Lagi-lagi ucapan Raka membuat Nadira terkejut dan langsung gugup. Wanita itu menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap pria yang sedang duduk di atas motor miliknya.
"B–bapak tidak perlu menemani saya. Saya akan baik-baik saja dan saya juga bisa menjaga diri sendiri. Lagi pula ... saya tidak nyaman karena khawatir akan jadi pembicaraan orang," tolak Nadira secara halus. Dia berusaha untuk tidak menyinggung perasaan pria itu.
"Iya ... mobil yang lalu lalang memang banyak. Tapi tempat kamu berdiri di sini itu cukup sepi. Bagaimana kalau ada yang macam-macam padamu?" tanya Raka sambil melihat sekeliling tempat di mana mereka sedang ada saat ini.
Nadira baru menyadari kalau ruko itu ternyata sudah sepi, orang-orang sudah pulang semua dan perkataan Raka itu benar adanya kalau di sana hanya tinggal mereka berdua.
"Sudah, kamu tidak perlu khawatir. Saya akan tetap menemani kamu di jarak ini. Jadi, orang-orang tidak akan beranggapan macam-macam padamu," putus Raka seraya turun dari motornya dan berjalan ke arah di mana ada tukang jualan kopi. Setelahnya, pria itu duduk di emperan ruko tak jauh dari tempat Nadira berdiri.
Nadira hanya diam saja dan membiarkan pria itu melakukan apa yang ingin dia lakukan. Meskipun merasa tidak nyaman dan risih, tapi dia berusaha untuk tetap tidak peduli. Lagi-lagi pikiran wanita itu tertuju pada Danu, suaminya masih belum menghubungi atau datang menjemputnya.
Ya Tuhan ... Mas Danu, kamu ke mana? batin Nadira miris.
Setengah jam kedua orang itu duduk di sekitaran ruko. Bahkan adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi, tetapi orang yang mereka tunggu masih belum juga datang. Raka menghampiri Nadira, dia melihat mata wanita itu sudah memerah, mungkin menahan kantuk, lelah dan juga kecewa.
"Nad, suami kamu masih belum datang juga, ya?" sapa Raka yang kini sudah berdiri tak jauh di samping Nadira. Mereka berdua sama-sama menatap jalanan yang mulai sepi.
Nadira tidak menjawab pertanyaan dari Raka, dada wanita itu sudah terasa sesak karena menahan kecewa pada suaminya.
Melihat Nadira yang tidak bereaksi atas pertanyaannya, Raka menghela napas panjang. Dia sendiri merasa bingung. Meskipun Nadira bukan siapa-siapanya, tapi dia tidak mungkin meninggalkan wanita yang merupakan salah satu pegawainya itu di tempat sepi seperti ini. Raka pun merogoh sakunya, mungkin ini sedikit tidak sopan, tapi dia juga tidak bisa memaksa Nadira untuk dia antar pulang.
"Maaf sebelumnya, Nad. Ini ...." Raka menyodorkan uang berwarna hijau pada Nadira dan membuat wanita itu menatapnya. "Kamu gunain uang ini dulu kalau kamu menolak untuk saya antar. Ini udah makin malam. Mobil angkot juga sudah mulai sepi," ucapnya lagi.
Nadira tidak langsung menerima uluran uang yang diberikan oleh Raka. Dia merasa tidak enak hati, tetapi juga saat ini dia sedang membutuhkannya.
"Sudah, kamu terima saja, Nad. Kalau kamu merasa terbebani, kamu boleh kembali uang itu kapan aja," kata Raka lagi.
Nadira masih menimbang-nimbang ucapan Raka. Dia juga tidak mungkin kalau harus terus berdiri di sana semalaman karena menunggu suami yang tak kunjung datang.
"Ka–kalau gitu ... sa–saya terima, ya, Pak," ucap Nadira dengan terbata-bata. "Saya akan secepatnya mengembalikan uang ini sama Bapak. Terima kasih sebelumnya."
Raka menjawab ucapan Nadira dengan anggukan.
"Iya, sama-sama."
Setelah uang itu berpindah tangan ke Nadira, Raka berjalan beberapa langkah ke depan, tangannya terulur untuk menghentikan salah satu laju angkutan umum yang masih ada.
Nadira melihat Raka berbicara sesaat dengan sang sopir. Entah apa yang mereka bicarakan, Nadira tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tak lama kemudian Raka kembali menghampiri Nadira.
"Nad, kamu sudah bisa pulang sekarang. Saya sudah menitipkan kamu pada sopir itu. Dia bisa memastikan kalau kamu bisa pulang dengan selamat," ucap Raka.
Nadira masih mematung. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya atas apa yang sudah dilakukan oleh Raka padanya.
"Sudah ... kamu jangan ngerasa sungkan lagi. Sana pulang! Mumpung ada penumpang lain yang searah denganmu." Raka kembali berucap karena Nadira yang masih terdiam.
"I–iya, Pak. Terima kasih banyak karena sudah membantu saya," ucap Nadira sebelum ia menaiki mobil angkutan itu.
"Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan!"
Nadira tersenyum kecil dan menganggukan kepalanya.
"Bapak juga," jawabnya.
Tak lama setelah Nadira masuk ke dalam mobil, angkutan umum itu pun lekas berjalan dan membawa penumpangnya ke arah tujuan mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Nadira tidak henti-hentinya menoleh ke arah kanan kiri jalan, dia berharap bisa melihat suaminya yang mungkin akan menjemputnya meskipun sudah sangat terlambat.
Mas Danu benar-benar tega, dia sama sekali tidak menghubungiku atau memberikanku kabar.
Nadira membatin saat melihat ponselnya yang sepi, tidak ada satu pesan pun masuk dari Danu. Menghela napas panjang, Nadira berusaha tenang. Dia mencoba untuk bersabar dalam menghadapi sikap suaminya yang akhir-akhir ini selalu membuat emosinya terpancing.
Perjalanan yang dilalui mobil itu baru setengahnya, Nadira kembali mendengus pelan saat mobil itu memasuki area SPBU untuk mengisi bahan bakar.
Hah, sepertinya aku harus menunggu lebih lama lagi, batin Nadira sambil meringis saat melihat antrian mobil angkot yang berjejer cukup panjang.
Baru saja Nadira hendak menundukkan kepalanya, tiba-tiba datang suara motor yang tak asing di telinganya. Di sana memang banyak motor dengan jenis yang sama dengan milik Danu, tapi sebagai istri, dia tahu betul bagaimana suara bising kendaraan suaminya itu.
"Mas Danu?" Nadira terperangah, ia tidak mempercayai penglihatannya saat ini.
Tepat di depan sana, Nadira melihat suaminya sedang berboncengan dengan wanita lain yang terlihat begitu dekat. Seketika hatinya memanas. Bagaimana tidak, wanita itu memeluk pinggang Danu dengan erat. Meskipun Danu merupakan tukang ojek, dia tahu persis jika sikap yang ditunjukkan keduanya bukanlah antara pengemudi dan penumpang, tetapi layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Apalagi saat ini Danu tidak sedang menggunakan jaket hijau–nya, hal itu semakin memperkuat dugaan Nadira jika suaminya itu sudah bermain di belakangnya.
"Mas Danu .... Kamu bener-bener keterlaluan!" geram Nadira seraya mengepalkan kedua tangannya.
Sang sopir yang ada di depan Nadira tampak melirik saat mendengar Nadira bergumam, dia juga mengikuti pandangan Nadira pada sepasang kekasih yang ada di atas motor, berada tak jauh dari mobilnya.
"Zaman sekarang jangan terlalu percaya sama laki-laki, Dek. Apalagi tipe-tipe kayak gitu," celetuknya sambil menunjuk motor Danu dengan menggunakan isyarat muka.
Nadira tidak menanggapi ucapan dari sang sopir angkot. Dia langsung menundukkan kepalanya. Daripada mendengar perkataan orang lain, Nadira lebih baik menyelesaikan masalah ini di rumah. Dia akan bertanya sambil menyelidiki apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Danu di belakangnya.
Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya mobil yang ditumpangi oleh Nadira sampai tepat di gang kontrakan. Ternyata di depan pintu rumahnya sudah ada ibu mertua yang sedang menggendong Tiara, putri kecilnya.
"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Nadira sambil mencium tangan ibu mertuanya.
Susan, nama dari mertua Nadira. Wanita paruh baya itu langsung memberikan cucunya pada Nadira begitu saja.
"Wa'alaikum salam. Kenapa kamu lama sekali, hah? Biasanya juga kamu tidak pernah pulang terlambat. Kenapa sekarang malah seperti ini?" cecar Ibu Susan sambil menatap bengis menantunya.
Nadira meringis saat mendengar pertanyaan dari sang ibu mertua, dia tahu kalau Ibu Susan tidak terlalu menyukainya karena dia bukanlah wanita yang terlahir dari keluarga kaya. Namun, dia juga terpaksa merestui putranya menikahi Nadira karena saat itu Danu sangat mencintai Nadira. Belum lagi Nadira yang terlambat hamil, hingga membuatnya menunggu sampai empat tahun lamanya untuk mempunyai cucu dari putra bungsunya.
"Maaf, Bu. Mas Danu tidak menjemputku. Dia juga tidak memberiku kabar apa-apa. Padahal, aku sudah menunggunya selama dua jam lebih. Tapi, dia tidak datang juga," jawab Nadira sambil menundukkan kepalanya.
"Halah ... alasan kamu, Nad. Katakan saja kalau kamu mau main-main dulu di luar sana. Jangan menjadikan keterlambatan Danu sebagai alasan!" kata Ibu Susan sambil mencibir Nadira, jangan lupakan delikan matanya yang tampak jelas jika dia tidak menyukai menantunya itu.
Nadira menggelengkan kepalanya, dia menampik perkataan dari ibu mertuanya. "Tidak, Bu. Aku memang pulang terlambat karena Mas Danu yang tidak menjemputku. Lagi pula ... aku juga tidak berniat main-main."
Nadira berusaha untuk tetap tenang menghadapi Ibu Susan. Lima tahun ia menjadi menantu dari wanita itu, cukup membuat dia terbiasa menghadapi sikap Ibu Susan yang keras dan kasar seperti itu padanya.
"Terus saja berasalan. Apa kamu masih belum cukup membuat putraku sengsara? Gara-gara dia ngotot menikahimu, sekarang hidupnya jadi serampangan seperti ini! Kamu pikir, kamu ini lebih baik darinya sampai-sampai kamu bisa menyalahkan dia sesuka hatimu?" Ibu Susan kembali bertanya tanpa mempedulikan jika menantunya itu masih lelah setelah seharian bekerja.
Nadira menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi ibu mertuanya yang selalu menilai dia negatif. Belum lagi rasa lelah tubuhnya membuat Nadira memilih untuk mengalah dan membiarkan Ibu Susan dengan segala praduganya.
"Ck. Dasar menantu tidak berguna!" bentak Ibu Susan dengan suara tertahan tepat di telinga Nadira.
Setelah kepergian Ibu Susan, Nadira masuk ke dalam rumahnya sambil membawa Tiara yang ia gendong. Rasa lelah serta sakit hati yang baru saja ia terima dari ibu mertuanya itu cukup terobati saat melihat raut wajah Tiara yang tampak menggemaskan.
"Terima kasih, sayang. Kamu menjadi pengobat untuk sakit hati Mama. Maaf karena Mama udah buat Tiara nunggu lama," ucap Nadira sambil mencium dan memeluk putri kecilnya itu.
Nadira menyadari jika Tiara tidak diurus dengan baik oleh mertuanya, hal itu terlihat dari wajah bayi yang tampak kucel. Belum lagi baju yang dikenakannya itu bekas kemarin sore. Tadi pagi Nadira tidak sempat mengganti pakaian Tiara karena terlambat bangun. Jadi, dia berpikir jika ibu mertuanya yang akan memandikan sang anak, tapi ternyata hal itu tidak dilakukan Bu Susan. Meskipun tubuhnya terasa lelah, Nadira segera memasak air hangat untuk mengelap tubuh Tiara. Dia tidak ingin bayi kecilnya itu merasa tidak nyaman saat tidur malam nanti.
Sambil menunggu air mendidih, Nadira bermaksud untuk memasak nasi, perutnya sudah sangat keroncongan karena ia hanya makan siang saat di kantin pabrik tadi siang. Nadira beruntung, Tiara merupakan bayi yang pintar karena tidak harus terus menggendongnya.
"Sayang, tunggu di sini, ya! Mama mau masak nasi dulu," ujar Nadira sebelum ia meninggal Tiara yang sedang bermain dengan dua kakinya yang diangkat-angkat.
Gerakan tangan Nadira terhenti saat ia membuka ember tempat biasa penyimpanan beras. Mata wanita muda itu meredup seketika dengan sesak di dadanya.
"Kenapa kosong begini? Kemarin masih ada berasnya setengah ember lagi," tanya Nadira pelan. Terkejut? Tentu saja. Dia tidak tahu siapa yang sudah tega mengambil beras di rumahnya tanpa ijin darinya.
"Apa Ibu yang udah ngambil beras di sini? Kenapa Ibu tidak mengatakan apapun padaku?"
Tak ada yang bisa Nadira masak untuk malam ini. Uang yang ada di genggamannya tinggal sisa depan ribu lagi. Sementara Danu masih belum bisa ia hubungi. Wanita muda itupun hanya bisa mengganjal perutnya dengan menggunakan air hangat yang ia teguk banyak-banyak. Nadira segera mengelap Tiara dengan air hangat. Lagi-lagi gerakan tangan ibu muda itu terhenti saat melihat memar di punggung dan paha putri kecilnya.
"Ya Tuhan, Sayang ... siapa yang sudah membuat tubuhmu memar-memar seperti ini?" gumam Nadira sambil mengusap permukaan kulit Tiara yang berwarna biru kehijau-hijauan. Hati wanita itu teriris nyeri, dia tidak terima putrinya diperlukan kasar oleh keluarga suaminya. Namun, saat ini untuk marah pun ia tak berani karena Danu malah akan balik memarahinya.
"Kamu yang sabar, ya, sayang. Mama tidak akan tinggal diam kalau kamu terus diperlakukan kasar seperti ini oleh mereka," ujar Nadira sambil mengepalkan tangannya. Dia mencoba untuk menahan sakit, marah, serta kecewa di hatinya.
Setelah selesai memakaikan baju lengkap pada Tiara, ia berniat untuk menemui ibu mertuanya yang tinggal di seberang kontrakannya. Tentu saja untuk menanyakan apa yang sudah mereka lakukan pada putrinya serta menanyakan makanan yang mereka ambil. Hatinya mendadak tidak rela jika mereka masih berani mengambil makanannya setelah melakukan kekerasan pada Tiara.
"Ya Tuhan ... kenapa nasibku seperti ini?" Nadira bergumam lirih sambil memberikan ASI untuk Tiara. Dia hanya berharap bayinya itu tidak kenapa-kenapa karena ASI–nya pasti hambar, dia tidak makan sesuatu sejak pulang kerja tadi.
Setelah memastikan Tiara kenyang mengkonsumsi ASI–nya, Nadira pun segera kembali menggendong bayi itu. Dia tidak punya pilihan lain selain membawa Tiara bersamanya ke rumah Ibu Susan saat malam hari seperti ini.
"Assalamua'laikum!" sapa Nadira saat ia sudah berdiri di depan pintu rumah Ibu Susan.
"Bu ...," panggil Nadira lagi saat Ibu Susan tak kunjung membukakan pintu rumah untuknya.
Nadira mencoba untuk memutar kenop pintu itu, tapi ternyata dikunci dari dalam.
"Lho, Ibu ke mana, ya? Apa dia tidak ada di rumah?" gumam Nadira sambil mencoba mengintip dari balik jendela luar. Ruangan tamu rumah ibu mertuanya tampak sepi meskipun lampu di dalamnya menyala.
Sudah 10 menit sejak Nadira berdiri di teras rumah Ibu Susan, tapi mertuanya itu masih belum juga membukakan pintu. Sementara di luar air langit mulai turun ke bumi dan menghembuskan angin dingin yang cukup kencang untuk bayinya.
"Ya Tuhan ... sebenarnya Ibu ke mana? Biasanya juga dia tidak pernah keluar malam," gumam Nadira seraya membenarkan selimut untuk menutupi tubuh Tiara agar bayinya itu tidak kedinginan.
Setelah hampir 15 menit lamanya Nadira berdiri, akhirnya ia pun memilih pulang ke rumah dengan hati yang hampa. Dia merasa sedikit kecewa dengan ibu mertuanya itu karena sama sekali tidak membukakan pintu untuknya dan lebih memilih berpura-pura tidak mendengar ketukan pintu.
Nadira pulang dengan langkah yang cepat, dia tidak ingin membuat Tiara kehujanan di jalan. Tidak lupa, Nadira juga membelanjakan sisa uang yang dipegangnya untuk membeli setengah liter beras, tidak mungkin jika dia harus menahan perutnya yang kosong lebih lama karena dia sedang menyusui, kasihan Tiara jika rasa ASI–nya hambar.
***
Di sisi lain, Ibu Susan saat ini sedang bersama putri dan menantunya di ruang televisi. Tadi dia memang mendengar suara panggilan dan ketukan pintu yang dilakukan oleh Nadira, tapi dia memilih mengabaikannya.
"Bu, apa Si Beban itu sudah pergi?" tanya Nia, dia adalah kakak ipar Nadira, alias kakaknya Danu.
"Sepertinya sudah, Ni. Tidak mungkin juga dia mau berlama-lama berdiri di luar. Apalagi sekarang sudah turun hujan," jawab Ibu Susan seraya mengintip keluar rumah lewat jendela samping.
"Oh, ya sudahlah ... untuk apa juga kita memikirkan 'Beban' seperti dia, tidak ada gunanya juga."
"Hush, jangan seperti gitu, Ni. Nadira itu adik ipar kamu. Jangan terlalu nyakitin dia. Nanti akan susah kalau kita ada perlu!" ujar Erhan, suami Nia.
"Kenapa kamu malah membela dia, Mas?" Nia tidak terima saat Erhan membela Nadira.
Erhan menggelengkan kepalanya. "Bukan membela dia, sayang. Tapi ... kalau omongan kamu sampai ke telinganya, nanti kita tidak akan bisa bebas ngambil barang-barang milik dia. Kamu mau kalau kita kesusahan karena tidak bisa memanfaatkan dia lagi?"
Pertanyaan Erhan sontak saja membuat sepasang ibu dan anak itu menggeleng langsung.
"Tentu saja tidak, Mas. Mana mau kami harus susah-susah lagi. Untuk mengurus anaknya saja aku sudah membuatku kesal," sahut Nia dengan cepat.
"Ya sudahlah. Yang penting sekarang kita tidak terlalu kesusahan seperti kemarin-kemarin lagi. Toh Si Tiara juga masih kecil. Dia tidak akan mungkin bisa mengadu apa-apa pada ibunya." Ibu Susan ikut menimpali perkataan dari putrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!