Seorang gadis berparas cantik tengah berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah panjang yang sudah mulai sepi. Rambutnya yang terurai terlihat indah saat tiupan kecil angin menerpanya.
"Berhenti!" Suara seseorang yang dia kenal menghentikan langkahnya yang ia percepat tadi. Elea memutar badannya sekilas kearah belakang, di saat dia sudah melihat orang yang menyuruhnya untuk berhenti, gadis itu memutar bola matanya, berniat untuk melanjutkan langkahnya dan tidak memperdulikan seseorang yang kini tengah menatapnya tajam.
"Elea! Lo ga denger tadi, Rai nyuruh Lo berhenti." Suara itu mampu membuat Elea menghentikan langkahnya kembali.
"Ada apa sih? Gue buru-buru tau," tanya Elea kesal. Namun Raihan masih menatapnya tajam tanpa berkata apapun.
"Cepetan mau ngomong apa?" Ujar Elea lantang seraya mengangkat dagunya.
"Lo ikut gue ke ruang osis!"
Raihan berjalan memimpin. Sebenarnya Elea malas mengikuti Raihan, karena dia merasa laki-laki itu memanfaatkan kekuasaan untuk terus menindasnya.
Elea duduk di hadapan Raihan dan Bima. Bima menatap sekilas pada Raihan yang duduk di sebelahnya, kemudian kembali menatap Elea seperti yang di lakukan temannya itu.
Elea tidak takut dengan tatapan tajam yang menyudutkannya. Dia pun bersandar di kursi dan menyilangkan kakinya di hadapan kedua laki-laki itu.
"Kalo lo-lo pada nyuruh gue Dateng kesini cuma buat natap gue, gue balik ke kelas. Ga ada gunanya gue lama-lama di sini. Malahan gue jadi enek rasanya." Ujar Elea menyambar tasnya, kemudian bangkit dari duduknya.
"Woy, Lo gak tau kesalahan Lo apa, hah?" Tanya Bima seraya mencegah Elea yang hendak pergi.
"Jelas gue ga tau, lo-lo pada malah diem aja. Kek orang bisu."
Perkataan Elea membuat Bima memanas. Ingin rasanya dia menghajar Elea, hanya saja dia tidak mau, bukan karena takut, tapi karena Elea adalah seorang perempuan.
"Lo tuh ya, kalo bukan cewe udah gue hajar." Ujar Bima menunjuk wajah Elea kesal.
Raihan yang sedari tadi memilih diam, kini bangkit dan menatap Elea datar.
"Lo telat. Hukuman Lo, lari 50 kali keliling lapangan basket."
Sontak saja Elea terkejut, dia mana kuat harus mengelilingi lapangan basket sebanyak itu, satu putaran saja dirinya sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Namun Bima yang sedari tadi sudah kesal di buat oleh Elea, kini tersenyum puas ketika mendengar ucapan dari Raihan, sang ketua osis.
Setelah itu Raihan dan Bima pergi meninggalkan Elea yang masih berdiri di tempat. Elea tidak benar-benar akan menjalani hukuman yang diberikan oleh laki-laki yang menurutnya sangat menyebalkan itu. Dia memilih melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelas. Di sana sudah ada kedua temannya yang tengah menunggunya datang.
"Lo telat lagi, untung Bu Siska belum kesini," ujar Mia yang satu bangku dengan Elea.
"Yaelah, gue telat cuma beberapa menit doang. Itu juga tadi di cegat dulu sama ketua osis sialan." Umpat Elea dengan wajah masam.
"Terus dia ngasih hukuman apa buat Lo?" Tanya Ulfi yang duduk di bangku depan sambil memainkan ponselnya.
"Lari keliling lapangan 50 kali. Tapi gue ga mau, ya kali cape gue," ujar Elea tersenyum puas. Dia merasa puas karena tidak menjalankan hukumannya, masa bodo bagi dirinya.
____
Bel istirahat berbunyi, ketiga gadis itu berjalan menyusuri koridor menuju ke tempat di mana bisa mengisi perutnya sampai kenyang.
"Kalian tunggu sini, biar gue yang pesenin," ujar Mia berlalu menuju antrian bakso langganan.
"Antusias banget sih dia, mentang-mentang ada cowo ganteng."
"Siapa emangnya Fi?" Tanya Elea. Dia tidak tahu saja kalau penjual bakso itu masih muda dan tampan.
"Si Mia lagi gencar ngedeketin anaknya tukang bakso, ganteng sih."
Elea hanya menganggukkan kepalanya. Dia beranjak berniat untuk memesankan minuman untuk merek bertiga, "Lo minumnya kaya biasa kan, Fi?"
"Iya."
Saat Elea tengah mengantri untuk memesan minuman untuk mereka, tiba-tiba saja suara seseorang mengagetkannya, "Bukannya Lo harus keliling lapangan kan?"
Suara Bima begitu lantang terdengar jelas oleh Elea di tengah-tengah hiruk-pikuk suara teman-temannya yang lain. Elea menatap sekilas ke arah samping, dimana Bima tengah berdiri lalu kembali fokus pada pesanannya tanpa menghiraukan ucapan Bima tadi.
Bima kesal di buat Elea. Pasalnya gadis cantik itu selalu mampu membuatnya hilang harga diri. Namun kini dia senang, karena di depan sana Raihan tengah mencegat Elea dengan tatapan tajamnya. Sudah di pastikan Raihan akan menambah hukumannya buat Elea, pikir Bima.
"Lo kenapa ga ngelakuin hukuman Lo?" Tanya Raihan membuat Elea memutar bola matanya.
"Penting banget apa gue ngejalanin hukuman yang ga masuk akal itu? Gue ga ada waktu buat buang-buang waktu ngejalanin hukuman dari Lo, dan ga penting juga buat gue!"
Mendengar jawaban itu, Raihan menghela nafasnya dalam. Dia tahu sifat Elea yang keras kepala. Ingin marah? Tentu tidak, dia tahu Elea, gadis yang kini menatapnya dengan malas itu memiliki sisi lembutnya dan dia akan membuktikannya.
"Heh Elea, Lo tuh ya ga ada takut-takutnya apa, kita ini anggota osis. Kita bisa aja masukin Lo ke buku merah, dan Lo bisa di panggil pak Harto." Ancam Bima membuat Elea menatapnya sinis lalu pergi dari kantin.
Senakal-nakalnya Elea, dia tidak mau jika masuk ke ruang BK dan bertemu pak Harto. Jika itu terjadi, bisa saja kedua orang tuanya mendapat surat panggilan atas ulahnya yang tidak seberapa. Elea hanya tidak ingin membuat orang tuanya bertambah memikul beban karena itu.
Elea berlari mengelilingi lapangan basket, tampak seseorang dengan tatapan datar memperhatikannya dari pinggir lapangan. Keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, Elea masih berusaha berlari dengan tenaga yang kini sudah mulai berkurang. Sesekali ia berhenti untuk mengatur napasnya kembali.
Bruk....
Elea terjatuh sebelum bisa menyelesaikan hukumannya. Seseorang yang sedari tadi memperhatikannya berlari ke arahnya, "Lo ga papa?" Suara itu mampu membuat Elea mengangkat kepalanya yang terasa berat. Dengan pandangan yang kian samar, Elea hendak bersuara dan....
Bruk....
Kini Elea benar-benar terbaring di lapangan, dia pingsan karena kelelahan. Dengan sigap pemuda yang kini berada di sampingnya menggendongnya untuk membawa Elea ke UKS.
Pasang mata menyoroti keduanya. Terlihat semua siswi berbisik saat mereka melewati mereka. Tapi pandangan Raihan masih lurus ke depan, dia tidak memperdulikan gibahan teman-temannya itu.
Setelah pemuda itu membaringkan Elea di kasur kecil di ruangan itu, Raihan menatap Elea dengan tatapan yang berbeda. Nanarnya menyiratkan keteduhan, tidak seperti tadi yang berapi-api.
"Gue janji, gue bakal jagain Lo Ar," gumam Raihan.
_____
"Gila, tadi ka Raihan gendong si Elea, keren banget tau gak sih," ujar salah satu siswi yang tadi melihat Raihan.
"Gue juga jadi pengen pingsan rasanya kalo yang gendong ka Raihan."
"Baik banget ya ka Raihan, padahal si Elea suka nyari gara-gara sama ka Raihan."
"Pokoknya dia itu pacar idaman deh."
Semua siswi heboh dengan kejadian yang mereka lihat tadi. Tidak terkecuali dengan kedua sahabat Elea, Mia dan Ulfi. Mereka berdua bergegas pergi ke UKS, dimana Elea kini beristirahat.
"Ayo Mi, kita harus liat keadaan si Elea." Ajak Ulfi seraya menarik tangan Mia.
Mia dan Ulfi menghampiri Elea yang sudah tersadar namun masih enggan meninggalkan tempat peristirahatannya. Rasa lelah itu masih saja memeluk tubuhnya, termasuk kakinya yang kini ia rasa membengkak.
"El, Lo ga papa kan?" Tanya Mia khawatir, begitupun dengan Ulfi yang menatapnya iba.
"Lo ngapain sih mau-mau aja di suruh lari, udah tau badan Lo ga bisa kalo kecapean." Sambung Ulfi.
"Gue kepaksa. Brengsek emang tuh ketua osis, najis banget gue liat mukanya, sok kegantengan." Umpat Elea yang masih lemah, tapi tidak dengan mulutnya.
Elea berjalan ke parkiran dimana mobilnya berada dengan perlahan. Kakinya terasa sakit dan ngilu.
"Brengsek banget tuh ketos, gue jadi susah jalan." Umpat Elea. Ia tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini berada di depannya dengan senyuman manisnya.
"Perlu bantuan?" Suara itu membuat Elea yang sedari tadi tertunduk memperhatikan kakinya mendongak, melihat kearah sumber suara.
"Kak Gilvin," gumamnya. Senyumnya merekah mengalahkan rasa sakit pada kakinya.
"Gak usah kak, cuma ngilu dikit doang."
"Tapi kamu kaya kesulitan jalan."
Elea di buat terkejut saat pemuda itu berjongkok di depannya, "Ayo!"
Elea tertegun, beberapa kali ia mengedipkan mata. Pemuda yang dia sukai kini mau menggendongnya.
"Ayo...." Suara itu kembali menyadarkannya.
"Emangnya gak papa? Aku berat loh kak," ujar Elea hendak menolak.
"Udah tenang aja, mau seberat apapun kamu, aku pasti bisa gendong."
Dengan mengulum senyum, Elea kini berada di gendongan Gilvin, sang kakak kelas yang juga menjadi idaman para siswi selain Raihan. Baik Raihan maupun Gilvin sama-sama memiliki daya tariknya sendiri. Tapi bagi Elea, Raihan adalah musuh terbesarnya, ketampanan dan berbagai prestasinya tidak terlihat di matanya.
Begitu pula dengan Gilvin yang kini kedua sudut bibirnya menyungging. Dia bisa merasakan detak jantung Elea yang tidak karuan.
"Udah sampe," ujar Gilvin membuat Elea tersadar dari lamunannya.
"Eh?" Elea merasa malu karena sedari tadi mereka sudah sampai di samping mobilnya, sementara dirinya masih saja tidak berniat turun dari gendongan Gilvin.
"Makasih kak, maaf jadi ngerepotin."
"Ga papa El, aku malah seneng kok bisa bantu kamu." Ujarnya seraya tersenyum manis.
Deg...
Terjadi sesuatu di dalam sana. Rasanya gerah, napas Elea sesak. Ingin sekali dirinya berteriak karena bahagia mendengar perkataan Gilvin padanya. Tapi bukan Elea jadinya kalau itu semua terjadi, sebisa mungkin ia mengendalikan lagi dirinya, mengatur lagi napasnya agar bisa normal seperti biasanya. Setelah itu Elea hanya membalas dengan senyuman.
"Aku pergi dulu ya, hati-hati di jalan," ujar Gilvin seraya mengacak-acak poni Elea yang terlihat begitu menggemaskan.
____
Dengan langkah gontai Elea masuk ke dalam kamar. Tubuhnya ia banting pada kasur yang berukuran besar. Matanya kini memandang langit-langit kamar. Rumah sebesar itu hanya ia tempati bersama dua asisten rumah tangga yang sudah mengabdi pada keluarganya selama beberapa tahun.
Elea memejamkan matanya. Ia rindu kebersamaan dirinya bersama kedua orangtuanya. Ia rindu dengan canda tawa mereka yang kini samar di benaknya. Sudah lama sekali mereka bertiga tidak lagi berkumpul bersama, mengingat ayahnya yang sedang berjuang melawan penyakitnya, dan ibunya yang setia menemani ayahnya, namun sesekali menyempatkan untuk pulang melihat keadaanya.
"Pah, Mah, Ara rindu kalian," gumamnya. Tidak terasa air matanya terjatuh perlahan. Ara adalah panggilan untuk Elea dari orang-orang terdekatnya saja. Dan jika di sekolah ia adalah gadis yang terkesan kuat dan arogan, berbeda ketika dirinya berada di rumah, ia akan menjadi gadis yang manis dan rapuh.
Tidak terasa hari semakin gelap dan Elea masih mengenakan seragam sekolahnya. Tubuhnya pun enggan bergerak untuk sekedar mengubah posisi tidurnya karena saking lelahnya.
"Brengsek banget sih tuh ketos, kaki gue beneran gak bisa gerak," ujar Elea seraya memijat-mijat kakinya. Lalu ia pun berusaha beranjak dari kasurnya untuk oergi ke kamar mandi dengan berpegangan pada setiap dinding kamarnya.
____
Pagi sudah menyapa kembali. Elea semakin menarik selimutnya sebelum salah satu asisten rumah tangga membangunkannya. Karena kebiasaan Elea selalu bangun siang, sehingga kedua orang tuanya selalu menitipkan pesan agar sang asisten membangunkan anak semata wayangnya itu.
"Neng El, bangun! Udah siang," ujarnya yang terdengar samar di telinga Elea.
Merasa tidak ada jawaban, sang asisten kembali membangunkannya lagi, "Neng, udah setengah tujuh, ayo bangun nanti telat ke sekolah." Elea hanya menggeliat tidak ada niatan untuk dirinya membuka mata dan meninggalkan tempat yang selalu membuatnya nyaman itu.
Lagi-lagi tidak ada respon dari Elea, sang asisten rumah tangga pergi ke luar kamar, dan kembali dengan satu gelas air putih. Lalu menyipratkannya pada wajah Elea. Gadis itu mengerjap kaget, lalu perlahan membuka matanya dan, "iya, iya aku bangun bi," ujar Elea menutupi wajahnya agar tidak terkena air cipratan itu lagi. Lalu terduduk mengumpulkan nyawanya yang tadi malam berpetualangan entah kemana.
"Sekarang jam berapa bi?" Tanya Elea malas masih dengan mata tertutup.
"Jam setengah tujuh neng," jawabnya berbohong. Itu dilakukan agar Elea segera mandi dan berangkat ke sekolah, jika asisten itu mengatakan yang sebenarnya, bisa saja sekarang Elea masih bergulung dengan selimutnya.
"Apa? Kenapa gak bangunin dari tadi sih," ujar Elea sewot lalu berlari ke kamar mandi.
Sang asisten hanya menggelengkan kepalanya, sudah paham dengan kelakuan anak majikannya itu.
____
Elea berjalan dengan perasaan kesal. Lagi-lagi ia di bohongi oleh asistennya. Tapi ada untungnya juga, akhirnya ia tidak datang terlambat lagi. Kalau sampai terjadi, bisa-bisa kakinya beneran patah karena harus berlari mengelilingi lapangan basket lagi.
"Heh, cewek ganjen!" Suara seseorang menghentikan langkahnya. Tapi Elea tidak menoleh, ia pun melanjutkan lagi langkahnya yang sempat terhenti. Tapi belum juga kakinya melangkah, tiba-tiba rambutnya di tarik oleh seseorang dari arah belakang.
"Lo tuh ya masih kecil udah ganjen," ujar seorang yang membuat Elea sangat marah. Elea tidak berniat menangapinya, karena sudah seperti kebiasaan kakak kelasnya itu mencari gara-gara dengannya. Setelah rambutnya terlepas, ia berniat pergi tanpa ingin tahu maksud Nina.
Lagi-lagi rambutnya ditarik, kali ini sampe dirinya terjatuh.
"Lo jangan kurang ajar sama gue, dengerin kalo orang ngomong!"
"Emangnya Lo orang? Gue ngerasa Lo itu setan yang suka gangguin gue. Makanya gue males sama Lo," ujar Elea santai berusaha menahan rasa kesalnya.
"Ni anak kurang ajar banget Nin," ujar salah satu teman Nina.
"Kasih pelajaran aja dia, songong banget." Ujar salah satu temannya ikut mengompori.
"Emang harus di kasih pelajaran nih anak," ujar Nina membuka tutup botol minum, lalu berniat menyiram wajah Elea.
Byur....
Air dingin itu tepat di wajah Elea. Gadis itu kini terpejam seraya merasakan rasa dingin dari air yang menyentuh permukaan kulit wajahnya. Kali ini amarahnya tidak bisa ia tahan, dengan cepat tangannya sudah menjambak rambut Nina dengan kuat. Sampai gadis itu berjongkok mengikuti gerakan tangan Elea. Lalu merintih kesakitan. Sementara kedua temannya mencoba membantu melepaskan tangan Elea, tapi tidak bisa.
"Gue udah sabar ngadepin Lo, tapi kenapa Lo selalu cari gara-gara sama gue? Lo gak suka gue karena gue cantik? Makanya perawatan!" Elea kini melepaskan rambut kepala Nina dengan kasar, sampai gadis itu jatuh ke lantai.
Bersamaan dengan kejadian itu, Raihan, Bima dan Gilvin datang. Mereka melihat kejadian itu, dimana dua gadis tengah bergulat beradu kekuatan.
"Stop!" Suara itu mengejutkan keduanya. Kejadian ini Nina gunakan untuk mencari simpatik dari para pemuda tampan yang datang menghampiri mereka.
"Lo kenapa gak ada kapoknya sih El," bentak Bima marah. Sementara Gilvin hanya terdiam menatap Elea penuh arti. Sedangkan Raihan, Elea bisa melihat amarahnya dari sorot matanya.
Sambil menangis Nina berkata, "Gue salah apa sih sama Lo El?" Mendengar itu, Elea tersenyum miris. Dia sempat berpikir, jadi apa yang di lakukan oleh Nina untuk membuat image nya buruk lagi. Padahal yang nyari gara-gara duluan jelas saja Nina.
"Iya El, Lo kenapa segitu bencinya sama Nina. Dia lagi jalan tiba-tiba Lo tarik rambutnya." Ujar salah satu teman Nina membuat Elea melotot menatapnya.
"Lo ikut gue!" Ujar Raihan lalu pergi. Elea tidak mau membela diri, percuma saja. Karena dua orang teman Nina berkata sama dengan Nina, dan itu akan membuat anggota osis lebih percaya merek dibandingkan dirinya. Dia pun mengikuti Raihan, Bima dan Gilvin yang sudah terlebih dulu berjalan, tanpa penolakan.
Seperti biasa, Elea dibawa ke ruangan OSIS. Kali ini Raihan masih menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Gadis itu sedikit gelisah dengan tatapan aneh yang di berikan oleh pemuda yang kini tengah duduk sambil menyandarkan punggungnya.
Sementara kedua temannya, Bima dan Gilvin tengah memperhatikan Raihan. Mereka hanya menebak saja dalam hati hukuman apa yang akan di terima oleh Elea kali ini, rasanya hampir semua hukuman sudah gadis itu cicipi, tapi belum saja kapok dan mengulangi kesalahannya kembali.
"Lo mau ngasih gue hukuman ga sih? Kalo cuma bengong gitu, mending gue pergi." Elea tidak mau kalah, ia balik menatap tajam pemuda yang ada di hadapannya.
"Lo sabar dulu napa, dia lagi mikir mau ngasih hukuman apa lagi buat Lo. Rasanya semua hukuman udah Lo cicipi, dan Lo tetep aja ga ada kapoknya," ujar Bima membuat Elea mendengus sebal dan mengalihkan pandangan.
"Coba kamu jelaskan dulu El, kenapa kamu sampe narik rambut Nina," ujar Gilvin.
"Percuma gue jelasin, pasti yang salah tetep gue," jawab Elea ketus. Dia tidak peduli seberapa ketusnya dia dihadapkan Gilvin, karena amarahnya lebih besar daripada rasa sukanya.
"Lo kesini!" Raihan bersuara dan menyuruh Elea beralih ke sampingnya. Gadis itu pun menurut.
"Pegang kuping, angkat satu kaki!" Ujarnya kembali setelah Elea berdiri di sampingnya. Lagi-lagi Elea tidak menolak, dia menurut dan menjalani hukuman yang Raihan berikan. Karena pasti saja jika dirinya menolak, pemuda itu akan mengancamnya melaporkan ke pak Harto, dan dirinya sudah pasti akan dipanggil ke ruang BK.
Bima terkejut melihat sikap Elea yang tenang, pemuda itu tertawa kecil untuk mengejeknya, "tumben nih belatung nangka ga berontak." Sontak saja ucapannya membuat Elea melayangkan tendangannya pada kaki Bima yang telat berdiri di hadapannya.
"Aww...." Bima memegangi kakinya yang terkena tendangan tadi, lumayan sakit sampe ia meringis kesakitan.
"Jangan berisik! Gue lagi fokus," ujar Elea membuat Gilvin tersenyum lalu menghampiri Elea kemudian mengacak rambut depannya, "cewe kuat."
Sontak saja perlakuan Gilvin pada Elea membuat Raihan menautkan kedua alisnya.
"Lo berdiri di sini sampe jam istirahat!" Ujarnya lalu pergi. Sementara Bima mengawasi Elea dengan seksama.
"Woy Elea, tumben Lo diem. Gue khawatir Lo kerasukan setan," ujar Bima lagi-lagi menganggu Elea.
Elea menanggapi ucapan Bima dengan senyum ketusnya, lalu berkata, "Lo diem atau gue pites tuh mulut. Laki lambe banget mulutnya."
____
Bel istirahat berbunyi. Elea selesai menjalani hukuman tanpa berontak. Ia kini kembali ke kelasnya menemui kedua temannya. Dengan langkah gontai, Elea di sambut dengan kehebohan kedua temannya itu.
"El, Lo ga papa kan?" Tanya Ulfi khawatir.
"Si kutu kupret harus di kasih pelajaran sih, gak kapok nyari gara-gara terus," timpal Mia.
Elea tidak menanggapi, dia memilih menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangan di lipat diatas meja sebagai alasnya. Terlalu lelah untuk menanggapi perkataan kedua temannya itu.
"El, Lo dengerin kita kan?" Tanya Mia yang duduk di sebelahnya. Elea tidak bersuara, rupanya ia tertidur saking lelahnya.
"Udah Lo pesenin aja deh Fi, nanti kalo udah ada baru di bangunin ni anak," ujar Mia pada Ulfi.
Tidak lama kemudian, Ulfi datang dengan membawa makanan kesukaan Elea dan pesanan milik Mia dan dirinya.
"El, seblak nih. Mau gak?" Bau seblak yang menggoda mampu membuat Elea mengangkat kepalanya.
"Padahal gue lagi gak pengen makan," ujar Elea sembari menggeser mangkuk yang berisi makanan kesukaannya mendekat. Mia dan Ulfi hanya tersenyum kecil. Mereka sudah tahu betul cara mengembalikan semangat Elea yang mulai padam. Hanya dengan semangkuk seblak dengan level yang sedang ditambah es jeruk sudah cukup membuat seorang Elea kembali ceria.
"Ga pengen makan tapi abis juga tuh seblak," sindir Mia seraya tertawa.
"Gue gak pengen makan karena males pesennya. Tapi, thanks ya untuk seblaknya."
Setelah selesai makan, mereka pergi ke kantin untuk mengembalikan mangkuk kosong, sekalian setelah itu mereka akan mampir ke perpustakaan karena ada sedikit tugas yang harus mereka kerjakan disana.
Tapi langkah mereka terhenti saat hadirnya seseorang yang sepertinya sengaja menunggu kehadiran mereka.
"Elea," panggilnya.
"Ada apa?"
"Kamu gak papa kan? Kaki kamu ga sakit lagi kan?" Tanyanya beruntun.
"Aku gak papa kok kak," jawab Elea.
"Ini buat kamu, biar semangatnya balik lagi." Gilvin memberikan satu bungkus coklat yang ukurannya lumayan besar.
"Ini buat aku?" Tanya Elea yang mendapat anggukan dari pemuda yang kini tersenyum manis padanya, semanis coklat yang di berikan pada Elea.
"Makasih kak, tapi ini..." Ucapannya terhenti saat tiba-tiba pemuda itu mengacak rambut depannya lagi sama seperti tadi pagi saat dirinya berada di ruangan OSIS. Mia dan Ulfi hanya saling pandang melihat perlakuan Gilvin pada teman kesayangannya itu.
"Aku pergi dulu," ujar Gilvin kembali lalu pergi.
"Cie... Cie...." Goda Mia dan Ulfi bersamaan.
"Kayanya ada yang lagi kasmaran nih," sahut Mia.
"Bentar lagi bisa triple date nih kita," sambung Ulfi. Diantara mereka bertiga yang masih jomlo memang hanya Elea. Mia dan Ulfi memiliki pacar tapi beda sekolah. Elea memang tidak berniat untuk pacaran, karena dia sendiri sering kali melihat kedua sahabatnya itu selalu menjadi korban bucin, dan Elea tidak suka itu.
"Udah ah. Cuma coklat doang kok, mungkin dia kasihan aja liat gue tadi pagi pas kena hukuman." Sangkalnya. Tapi Elea sendiri bisa merasakan perlakuan dan tatapan Gilvin padanya yang begitu berbeda terhadap para gadis yang lain.
Mereka bertiga melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
"Tapi El, kalo suatu saat kak Gilvin nembak Lo, Lo gimana?" Tanya Ulfi penasaran.
"Ya gue mati lah," jawab Elea sekenanya.
"Ih bukan gitu, maksud gue dia ngungkapin perasaannya terus minta Lo jadi pacarnya, Lo mau terima gak?"
"Terima aja El, rejeki nomplok dapet cogan kaya kak Gilvin," usul Mia.
"Liat nanti aja. Ganteng juga kalo gak bikin nyaman buat apa." Jawaban Elea membuat Mia dan Ulfi mengangguk bersamaan. Mereka membenarkan jawaban Elea, karena pacar mereka sendiri memang kurang tampan, tapi mampu membuat mereka berdua menjadi bucin setengah mati.
Sepulang sekolah, di parkiran mobil. Kedua teman Elea sudah pulang di jemput pacarnya masing-masing. Kini tinggal Elea yang berjalan menghampiri mobilnya. Tapi ia di kejutkan dengan keadaan, kini ban mobilnya kempes semua.
"Sialan! Pasti ada orang yang sengaja kan? Keluar Lo! Sini lawan gue, jangan jadi pengecut!" Bentak Elea entah kepada siapa. Di parkiran begitu sunyi, karena beberapa siswa sudah pergi meninggalkan parkiran. Hanya ada beberapa mobil yang kini terparkir.
Elea duduk bersandar pada mobilnya. Ia lelah amat sangat lelah. Setiap hari ada saja orang nyari masalah dengannya.
"Apa aku pindah sekolah aja," batinnya.
Tiba-tiba sebuah helm melayang di depan wajahnya, "Ayo, gue anter Lo pulang."
Dengan tatapan tajam, Elea bangkit dari duduknya, "lo kan yang sengaja ngempesin ban mobil gue?"
Pemuda itu terdiam menatap Elea datar. Tanpa bersuara ia pun memasangkan helm ke kepala Elea.
"Apaan sih? Gue gak mau naik motor sama Lo," tolak Elea seraya melepaskan lagi helm dari kepalanya.
"Lo mau sampe kapan disini? Yang lain udah pada pulang," ujar Raihan dengan sabar.
"Gue bisa naik taksi."
Elea memang sangat keras kepala. Tidak ingin berdebat panjang, Raihan pun pergi meninggalkan Elea sendiri. Namun, belum sepenuhnya meninggalkan parkiran mobil langkahnya terhenti karena suara seseorang yang memanggilnya.
"Ketos!" Suara itu begitu lantang terdengar jelas di telinga Raihan. Kemudian pemuda itu memutar badan dan mendapati Elea tengah menghampirinya.
"Gue ikut pulang bareng Lo," ujarnya lirih. Elea tidak berani menatap Raihan, ia sangat malu terhadap pemuda itu karena tadi sudah menolak ajakannya. Dan kini baterai hp-nya habis memaksa dirinya untuk ikut pulang bersama pemuda itu.
"Makanya jangan sok jual mahal. Lo butuh gue juga kan?" Sindir Raihan seraya memberikan helm untuk Elea. Sementara gadis itu mencebikan bibirnya, ia tidak lagi menanggapi ucapan Raihan karena takut jika pemuda itu meninggalkan dirinya sendirian di parkiran mobil yang sudah begitu sepi.
Elea begitu tertegun saat dirinya kini sudah sampai di depan rumahnya, alasannya karena sebelumnya ia tidak pernah memberitahu Raihan soal alamat rumahnya ataupun sekedar menunjukan arah. Tapi pemuda itu bisa tahu dimana ia tinggal, itu yang membuat Elea terkejut bukan main. Elea turun dari motor besar Raihan perlahan. Menatap pemuda itu yang tengah menunggu dirinya mengembalikan helm miliknya. Elea berusaha membuka pengait pada helm itu, namun ia tidak bisa membukanya. Elea menatap sekilas pada Raihan yang kini tersenyum kecil, entah itu sebagai ejekan atau apa Elea tidak tahu. Tapi Elea risih melihat senyuman itu. Dia pun memutar badan membelakangi Raihan, namun tetap saja ia tidak mampu melepaskannya. Lalu tiba-tiba pemuda itu memutar badannya kembali sejajar dengan dirinya.
"Lo tuh kalo gak bisa buka, kan bisa minta tolong gue. Apa susahnya sih?" Ujar Raihan seraya membantu Elea melepaskan pengaitnya. Elea beberapa kali berkedip, jantungnya berdebar, napasnya ia sengaja hentikan. Melihat wajah Raihan secara dekat membuat dirinya mematung, ia tidak mampu bergerak sedikitpun. Seperti tahu apa yang tengah Elea rasakan, pemuda itu seperti sengaja memperlambat gerakannya.
"Lo tuh cantik banget kalo diem gini Ar." Ujar Raihan membuat kedua pipi Elea merah jambu.
Lagi-lagi Elea tidak mampu menjawab. Wajah pemuda itu sengaja dibuat semakin dekat dengan wajahnya.
Merasa puas telah membuat Elea terdiam, Raihan melepaskan helm yang di kenakan Elea. "Besok mau gue jemput gak?" Tanyanya enteng seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan gadis itu.
"Ga perlu, gue bisa numpang mobil temen-temen gue," jawab Elea ketus. Mendengar jawaban dari Elea, Raihan pun segera melesat menjauh dari pekarangan rumah itu. Lalu Elea teringat, ia belum sempat mengucapkan terima kasih pada Raihan yang sudah mengantarkannya pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!