Tias menatap tajam penuh kebencian pada gadis berseragam putih abu abu yang tengah menangis di dalam pelukan mamanya.
Mereka bersaudara tetapi entah kenapa gadis berseragam putih abu itu selalu menuduhnya seakan akan tidak ada ikatan darah diantara mereka.
Tias yang baru pulang dari kuliahnya dan tiba tiba saja terkena masalah hanya karena gadis berseragam putih abu itu yang mengadu kepada mamanya. Padahal penyebab permasalahannya saja ia tidak tahu.
" Tadi kak Tias maki Via di depan teman teman Via yang lain. Banyak orang juga di sana yang ngeliatin Via. Via malu diejekkin dan dibilang bilang sama banyak orang. Katanya Via kurang ajar dan nggak tahu malu." Via mengadu disela tangisnya.
Mamanya yang mendengar aduan itu segera menatap marah pada Tias. " Kamu dapat ajaran nggak sopan kayak gitu dari mana ?! Mama nggak pernah ngajarin kamu kurang ajar kayak gitu di depan umum !"
Tias mengerti sekarang jalur permasalahannya sekarang. Adiknya itu pasti sedang mengarang cerita agar orang tuanya kembali memarahinya setelah berhasil mencuri kartu kreditnya kemarin.
" Tias kamu bisu ?! Jawab kalau mama tanya ! Kamu masih punya mulut kan ?!"
Tanpa sadar Tias menganggukkan kepalanya yang menyebabkan mamanya bertambah marah atas perlakuan tidak sopannya barusan.
" Kamu memang kurang ajar ! Percuma mama sekolahkan kamu tinggi tinggi kalau akhirnya kamu nggak terdidik kayak gini !"
Tias mengepalkan tangannya menahan diri untuk tidak membentak ataupun mengeluarkan kata kata kasar untuk wanita yang telah melahirkannya itu. Jangan sampai ia menyakiti wanita itu atau surganya akan tergores karena perbuatannya sendiri.
" Tias !"
PLAK !
Tias mengusap darah di ujung bibirnya akibat tamparan kencang dari papanya yang baru saja datang.
Kali ini apalagi masalahnya ?.
Tias bahkan tidak merasa melakukan kesalahan apapun tetapi selalu menjadi bahan sasaran pada akhirnya.
" Lihat itu !" papanya melemparkan sebuah kertas yang berisi tagihan Bank atas nama kartu kreditnya.
Tias melihatnya lalu melirik sinis pada Via yang masih menangis di dalam pelukan mamanya.
" Kamu apakan uang sebanyak itu hah ?!"
Tias menatap papanya yang melotot marah kepadanya. " Aku nggak tahu apa apa."
PLAK !
" Kamu masih nggak mau ngaku setelah menghabiskan uang enam puluh juta minggu ini ?! Kamu kira itu jumlah yang sedikit ?! Dasar anak nggak tahu terima kasih ! Masih untung kamu papa sekolahkan. Kalau tidak ? Mau jadi apa kamu tanpa papa !"
Tias tersenyum tipis sembari memandang sendu lantai rumahnya. Dijawab salah tidak dijawab pun juga salah. Sebenarnya Tias ini harus bagaimana lagi ? Tidak mungkinkan ia mengakui kesalahan yang tidak diperbuat olehnya ?.
" Aku bener bener nggak tahu tentang itu pa."
PLAK !
" Dasar pembohong !"
Tias tersenyum miris. Tiga kali, tiga kali papanya sudah menamparnya hanya karena kesalahan yang tidak diakuinya.
" Terus gimana ? Aku harus ngakui kesalahan yang selama ini nggak aku perbuat gitu ?"
" Kamu !"
" Apa ?! Papa mau nampar aku lagi ? Tampar sekarang ! Aku udah muak harus ngalah terus kayak gini. Aku udah bilang bukan aku yang pakai uang itu. Aku nggak pernah punya waktu hanya buat sekedar senang senang menghabiskan uang papa !"
Ini adalah batas akhir dari kesabarannya. Sekaligus keberanian pertamanya untuk mengeluarkan suara melawan papanya.
" Oh, jadi kamu sudah merasa hebat karena tidak menghabiskan uang papa ?! Baik, pergi kamu dari rumah ini ! Papa ingin tahu bisa jadi apa kamu tanpa harta papa !"
Deg !
Setetes air mata jatuh dari manik indahnya. Namun Tias cepat cepat menghapusnya. Papanya tega mengusirnya tanpa berpikir panjang hanya karena uang enam puluh juta itu. Padahal mamanya dan Via sering menghabiskan uang ratusan juta untuk berbelanja tetapi papanya hanya diam saja.
Tias menatap mamanya dengan harapan mamanya mau membelanya. Tapi setelah cukup lama menunggu mamanya hanya diam saja.
Lihat, betapa pilih kasihnya mereka. Andai saja Via yang ada diposisinya mungkin orang tuanya sudah sibuk meminta maaf dengan wajah sedih mereka.
Tias mengambil KTP dan kartu vaksinnya dari dalam dompet. Lalu mengambil kunci motor bersama handphonenya dari dalam tas kuliahnya. Setelah itu Tias berjalan menghampiri papanya dan meletakkan dompet, kunci motor, beserta handphonenya ke lantai.
" Ini harta papa, semoga papa bisa dapat penerus yang lebih bisa diandalkan dari pada aku. Jaga kesehatan papa." Tias berjalan cepat menuju kamarnya.
Tias menangis tanpa suara dengan tangan memegang pipinya yang terasa panas dan juga kebas. Pasti saat ini pipinya sudah memerah bengkak. Tias mengambil ijazah dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam tas yang sering dibawanya saat kuliah. Lalu mengambil dua pasang baju yang pernah dibelinya sendiri saat Tias diam diam bekerja part time di Cafe milik temannya dulu.
Tias mendekati tempat tidurnya dan mengambil uang tabungannya yang ia simpan di dalam bantal. Matanya memandangi kamarnya dengan seksama sebelum beranjak pergi sambil menggendong tas kuliahnya.
Tiba tiba saja perutnya berbunyi nyaring. Tias baru sadar kalau ia belum makan dari pagi. Biarkan sajalah, nanti kalau uangnya cukup Tias akan cari makanan di pinggir jalan.
" Non, non Tias."
Tias berhenti berjalan dan melihat bik Sumi yang berlari mengejarnya dari dalam gerbang rumahnya.
" Non Tias mau kemana ? Bik Sumi ikut ya non. Bik Sumi janji nggak akan nyusahin non Tias nanti di jalan." pinta bik Sumi yang menangis sambil menggenggam tangan Tias.
Tias menggeleng lalu mengusap air mata bik Sumi yang tidak mau berhenti. " Tias mau belajar mandiri. Bik Sumi di sini aja jagain mama sama papa. Nanti kalau Tias udah berhasil Tias bakalan pulang kok ke rumah."
Mendengar itu bik Sumi tambah menangis kencang. Tias memakluminya karena sejak ia bayi bik Sumi yang mengasuhnya dan selalu memperhatikannya layaknya seperti anak sendiri.
" Kalau gitu non bawa tabungan bik Sumi aja ya ? Dan ini makanan yang bik Sumi ambil buru buru dari dapur karena mau ikut non Tias tadi."
Tias mengambil makanan yang diberikan bik Sumi kepadanya tapi tidak dengan uang tabungannya. " Tias udah punya sendiri kok bik. Udah ya Tias pergi dulu, bik Sumi jaga kesehatan dan juga jangan sering begadang karena nungguin Tias nanti. Tias pergi dulu assalammualaikum."
" Wa'alaikum salam. Non Tias..."
" Bik Sumi." Tias menggelengkan kepalanya meminta bik Sumi untuk berhenti berbicara.
Tias berbalik beranjak pergi. Matanya menatap makanan yang dibungkus plastik hitam di tangannya. Bahkan orang lain lebih sayang kepadanya dibandingkan orang tuanya sendiri. Tias memandang jalan di depannya. Ia menghela napas mengingat uang tabungannya yang sudah tinggal sedikit.
" Ya Allah, semoga aku bisa sampai ke sana tanpa mengalami masalah apapun." ucapnya berdoa.
Jreng ! Jreng !
Sela maafkanlah aku
Telah sakiti hatimu
Maafkan diriku
Tak bisa jaga cintaku
Seli maafkanlah aku
Telah mengkhianatimu
Maafkan diriku
Tak bisa setia padamu
Kuatkanlah dirimu sayang
Sabarkanlah hatimu sayang
Sela tolong dengar dengarkan aku
Seli juga tolong dengarkan aku
Sesungguhnya aku punya kekasih selain kamu
Maaf maaf kumembagi cintaku
Maaf maaf bila semua kumadu
Maaf bila nanti kau jadi mantanku
.
Tias menggenggam erat tali tasnya. Ia memandang ragu sekumpulan pemuda yang sedang bernyanyi di pos ronda itu. Tias ingin bertanya tapi takut kalau seandainya mereka sekumpulan pemuda nakal yang sering menggoda perempuan.
Tetapi kalau tidak bertanya Tias tidak tahu di mana rumah neneknya berada. Tias menggigit bibir bawahnya ragu lalu berjalan mendekati para pemuda itu. Semoga mereka bukan orang jahat karena Tias tidak tahu cara membela diri.
" Permisi."
Para pemuda yang sedang asik bernyanyi itu langsung berhenti. Mereka menoleh melihat Tias yang berdiri menatap mereka.
" Iya mbak ada apa ?"
Tias yang mendengar pertanyaan positif dari salah satu para pemuda itu langsung menghela napas lega. Sepertinya mereka cukup baik juga. " Saya mau numpang tanya kak. Rumahnya nenek Ruwi dimana ya ?"
" Mbak ini siapanya nenek Ruwi memangnya ?" tanya pemuda yang lain.
" Saya cucunya."
Langsung saja para pemuda itu bersorak entah karena apa. Mereka terlihat membenarkan pakaian dan rambut mereka sebelum beranjak berdiri.
" Ooh, mbak ini cucunya nenek Ruwi yang dari kota itu kan ?"
Tias mengangguk meski terlihat bingung melihat tingkah para pemuda itu yang terlihat sangat antusias.
" Mari mbak biar kami antar."
" Terima kasih." Tias tersenyum sopan dan memandang para pemuda itu. Ternyata mereka masih memakai baju koko dan sarung. Tias melihat jam di pergelangan tangannya, jam tujuh lebih lima menit. Berarti mereka baru selesai sholat magrib.
" Sama sama mbak, tapi kalau boleh tahu kami ingin tahu namanya. Em.., semacam kenalan gitu. Tapi kalau mbaknya nggak keberatan sih."
Tias tersenyum menanggapi pemuda berpeci hitam di sebelahnya. " Nama saya Tias salam kenal ya."
" Nama saya Hilman mbak." ucap pemuda berpeci itu.
Pemuda lainnya langsung menarik Hilman mundur ke belakang dan berebut jalan di samping Tias.
" Mbak nama saya Rahmat."
" Saya Dion mbak."
" Kalau saya Ilham mbak."
" Saya Rendi mbak."
" Nama saya Diki mbak."
" Nah, kalau saya Reno mbak."
Tias tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. " Salam kenal semuanya, tapi kalau bisa tolong jangan panggil saya mbak ya."
" Oke, gampang itu Tias." balas Dion.
" Nah, ini rumah nenek Ruwi." ucap Hilman.
" Terima kasih ya udah ngantar sampai sini."
Tujuh pemuda itu tersenyum sambil menatap Tias malu malu. Mereka terlihat salah tingkah mendengar ucapan terima kasih dari Tias.
Tias berjalan mengetuk pintu rumah neneknya. " Assalammualaikum ! Nek, nenek !"
" Tunggu sebentar !"
Tias berhenti mengetuk pintu dan menunggu neneknya membuka pintu. Merasa banyak bayangan di bawah kakinya. Tias menoleh ke belakang dan melihat tujuh pemuda yang baru saja berkenalan dengannya belum juga pergi. Mereka malah tersenyum seakan sedang menunggunya. Tias kira mereka sudah pergi setelah mengantarnya tadi.
" Wa alaikum salam. Sia..., masya Allah Tias !" Ruwi menangis dan langsung memeluk Tias di depannya. Ia tak menyangka cucunya datang menemuinya setelah lima belas tahun lamanya.
" Kamu datang sama siapa nak ? Papa sama mama kamu mana ? Terus adik kamu si Via kok nggak ada ?" tanya Ruwi dengan pandangan mencari keberadaan anak, cucu, dan menantunya.
" Nek, Tias datang sendirian kesini. Tias tadi juga diantar sama mereka." Tias menunjuk tujuh pemuda yang masih betah berdiri di belakangnya.
Ruwi melihat arah tunjukkan Tias kemudian tersenyum ramah. " Terima kasih ya udah ngantar cucu nenek."
" Sama sama nek, lagian nenek kayak sama siapa aja bilang terima kasih." ucap Reno.
Ruwi tertawa mendengar itu. " Ya udah kalau gitu kalian ayo masuk ke dalam sambil nunggu waktu sholat Isha. Nenek tadi buat banyak kue."
" Wah, kue ! Ayo nek kita nggak bakalan sungkan kok kalau tentang makanan." ucap Rahmat.
" Si Rahmat kalau tentang makanan bawaannya malu maluin aja." ucap Rendi yang mendapatkan tatapan setuju dari temannya yang lain. Padahal mereka mau menjaga image di depan Tias. Tapi Rahmat malah menghancurkan harapan mereka hanya karena makanan.
" Bukan teman aku itu."
" Aku pun apalagi."
" Aku merasa melupakan sesuatu tapi apapun itu temanku hanya lima."
" Kalian kok gitu sih ?!" Rahmat menatap kesal teman temannya.
" Udah jangan pada berantem. Ayo kita masuk ke dalam aja." Ruwi mencoba menengahi perdebatan itu sebelum menjadi semakin ramai. Apalagi cucunya baru saja datang dari perjalan jauh.
" Kalian nenek tunggu di dalam ya." lanjut Ruwi sebelum menggandeng tangan Tias masuk ke dalam rumah. Kasihan cucunya itu yang terus berdiri di depan pintu.
Tias memandang rumah neneknya yang cukup besar. Meski tidak bertingkat seperti rumah orang tuanya tetapi rumah neneknya ini bisa dibilang besar untuk ukuran orang yang tinggal di kampung.
Rasanya sudah sangat lama Tias tidak mengunjungi rumah ini. Rumah yang menjadi kenangan masa kecilnya bersama pamannya dan juga neneknya. Teman teman masa kecil yang sering mengerjainya dengan keong sawah saat mereka mencari belut. Sekarang apa mereka masih di sini atau sudah pindah ke kota untuk bekerja. Tias ingin melihat teman temannya lagi walaupun ia sudah tidak mengingat bagaimana wajah mereka sekarang.
" Tias malam ini kamu tidur sama nenek dulu ya ? Soalnya kamar lain belum diberesin. Nggak mungkin nenek beresin kamar malam malam kayak gini. Apalagi kita sedang ada tamu."
" Nggak apa apa kok nek. Tias malah seneng bisa tidur bareng nenek lagi."
Ruwi memeluk Tias sekali lagi dengan mata berkaca kaca menahan tangis. " Entah apa yang sedang kamu alami sekarang sampai datang jauh jauh ke sini. Nenek akan selalu ada buat kamu Tias. Nenek seneng kamu datang ke tempat nenek."
Tias membalas pelukan neneknya. Rasanya hangat dan nyaman. Tias tidak salah memilih untuk bernaung ke tempat neneknya berada. Kenapa tidak dari dulu saja Tias memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama neneknya.
" Sekarang kamu bersihin badan dulu terus kita makan. Nenek yakin kamu belum makan dari tadi." Ruwi melepaskan pelukannya dan mengusap pipi Tias yang terlihat pucat.
" Kok nenek tahu ?" tanya Tias.
" Tahulah orang perut kamu bunyi terus dari tadi. Mana mungkin nenek nggak tahu, kenceng lagi bunyinya." jawab Ruwi yang tertawa pelan.
Tias mengulum bibirnya merasa malu. Jangan jangan sepanjang jalan tadi orang orang juga mendengar suara bunyi perutnya yang lapar ?.
Aduh, malunya Tias sekarang !.
Setelah mandi kilat Tias keluar dari kamar neneknya menemui para pemuda yang sudah membantunya. Jujur saja Tias tadi sempat merasa takut mereka akan berbuat jahat kepadanya. Namun setelah sampai di rumah neneknya Tias merasa sangat lega. Mereka bahkan menungguinya sampai pintu rumah neneknya terbuka.
Kalau dilihat lihat lagi mereka sepertinya sangat dekat dengan neneknya. Seakan mereka sudah kenal sejak lama. Tidak heran sih, neneknya kan guru ngaji di kampung ini. Pasti banyak pemuda pemudi di sini yang mengenal neneknya.
Ngomong ngomong tentang guru ngaji. Tias melihat cara berpakaiannya yang telah berubah. Tidak ada jilbab dan pakaian tertutupnya lagi seperti saat kecilnya dulu. Meskipun pakaiannya sekarang tidak bisa dikatakan terbuka. Tetapi cara berpakaiannya saat ini tidak mencerminkan cucu seorang guru ngaji yang terkenal di kampung.
Tias menggigit bibir bawahnya memikirkan apakah ia harus merubah cara berpakaiannya seperti dulu lagi atau tidak. Tapi..., Tias ingin berjilbab kembali karena niatnya untuk Allah. Bukan karena merasa malu ataupun untuk dipandang baik oleh orang lain.
Mungkin untuk sekarang biarkan saja penampilannya seperti ini asalkan itu tidak terlalu terbuka. Lagi pula Tias tidak pernah memakai pakaian lebih dari di atas lutut atau pakaian yang menampakkan bahu dan punggungnya. Bahkan sekarang Tias hanya memakai kaos lengan panjang hitam yang digulung sampai ke siku dengan celana panjang training abu abu. Lihatkan, pakaian yang dipakainya saat ini tidak terbuka. Malah sekarang terlihat seperti gembel menurutnya.
Tias menghentikan langkah dan melihat ke ruang tamu dimana tujuh pemuda sedang tertawa bersama neneknya. Apa ia harus memasang wajah ramah kepada para pemuda yang menolongnya itu. Atau mengucapkan kata kata manis sambil sok akrab dengan mereka ?.
Kenapa jadinya ia bingung sendiri ? Tias tidak bisa memperlihatkan sifat aslinya di sini. Karena hanya tempat ini tempat terakhirnya pulang.
" Tias ngapain kamu berdiri di situ terus ? Ayo sini gabung biar nenek kenalkan kamu sama pemuda pemuda ini." Ruwi yang melihat cucunya hanya berdiri diam menjadi melambaikan tangannya. Mengajak Tias bergabung dan berbicara di ruang tamu bersamanya.
Melihat itu Tias berusaha tersenyum lalu berjalan mendekat. Padahal perutnya sudah sangat lapar tapi neneknya malah menyuruhnya untuk bergabung. Kalau begini ceritanya kapan Tias makan. Ia sudah sangat lapar sampai rasanya perutnya bisa dimasukkan lima piring nasi sekaligus.
" Nah, ini cucu nenek namanya Tias. Kalian sudah kenal belum ?" tanya Ruwi pada para pemuda yang sudah membantu cucunya.
" Sudah nek tapi kalau dekat belum." jawab Ilham.
Ruwi tersenyum mendengarnya. " Kalian kalau lihat yang bening maunya modus terus ya."
" Itu wajar nek, namanya usaha sama calon." celetuk Rahmat.
" Calon apa nih ? Calon itukan banyak artinya." Ruwi menatap geli ketujuh pemuda di depannya. Lalu mengedipkan sebelah matanya menggoda Tias yang masih terus diam menyimak. Ada rasa salut saat melihat cucunya yang tidak tersipu malu khas gadis perawan bila berhadapan dengan banyak para pemuda yang menggodanya.
" Bismillah calon jodoh nek." jawab Rendi yang langsung mendapatkan sorakan dari teman temannya.
" Si Rendi kalau ngomong kayak udah bisa aja. Padahal makan aja masih numpang orang tua." ucap Doni.
Rendi meraup wajah Doni dengan telapak tangannya. " Kalau ngomong asal keluar."
Tias yang memperhatikan sejak tadi pura pura ikut tertawa. Meski pelan tapi setidaknya ia bisa terlihat ikut masuk ke dalam suasana ini.
" Nah, Tias lihat itu. Udah banyak yang daftar jadi calon." ucap Ruwi dengan nada meledek
Tias yang masih terlihat biasa saja.
Tias hanya mengangguk sekilas dan tersenyum menatap Rendi dan teman temannya. " Insya allah ya, berdoa aja."
Jawabannya itu tentu mendapatkan banyak sorakan bahagia. Mereka bahkan ada yang merapikan penampilan dan tersenyum menatapnya. Dalam hati Tias tertawa geli melihatnya. Ternyata pemuda kampung lucu juga kalau dilihat lihat lagi. Mereka ramah dan tidak merasa canggung serta apa adanya.
" Tias bisa tukeran nomor telpon atau WhatsApp nya nggak ?" tanya Doni tanpa malu malu.
" Oalah ! Ngelunjak koe Don Don !" Rahmat memukul punggung Rahmat.
Doni meliriknya sinis. " Iri bilang nggak usah pakai kekerasan."
Kali ini Tias benar benar tertawa. Namun di tengah tawanya ia merasa sepasang mata yang terus memandangnya sejak tadi. Tias menoleh menatap balik dan melihat siapa yang memandangnya. Alis Tias terangkat sebelah dengan pandangan bertanya saat melihat Hilman yang memandangnya tanpa bersuara.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Barulah Tias mengalihkan pandangannya lebih dulu dari Hilman. Sepertinya dari tujuh pemuda itu Hilman yang terlihat paling pendiam dan kalem.
Tias menjadi kasihan kepadanya. Apa pemuda itu tidak merasa tertekan mendapatkan teman teman yang memiliki sikap bertolak belakang dengan dia.
" Tias ini masih SMA, Mahasiswi, atau udah kerja ?" tanya Dion yang baru selesai menikmati sepiring kue.
" Aku masih mahasiswi." jawab Tias.
" Wah, iyakah ? Jurusan apa ?" tanya Rendi.
Tias mengangguk sekilas. "Jurusan bisnis."
" Waduh udah cantik pintar bisnis lagi. Sabilah jodoh idaman ini." ucap Rahmat.
" Tapi aku nggak bisa masak. Aku juga nggak bisa nimba air pakai kerekan. " balas Tias.
" Kalau itu nggak papa. Kan bisa pakai ART, Tias tenang aja yang penting Rahmat punya banyak uang." Rahmat berucap dengan percaya diri.
" Cih, banyak uang dari mana ? Banyak anak ayam iya." cibir Doni dengan pandangan siap menghujat.
" Nggak apa apalah. Anak ayam kan bisa jadi duit juga yang penting nggak minta duit orang tua." jawab Rahmat.
" Ehem ! Kalau kalian gimana ? Masih sekolah atau udah kerja ?" tanya Tias yang tidak mau mendengarkan perdebatan Doni dan Rahmat.
" Kalau kami kuliah sekaligus kerja Yas." jawab Dion.
Tias menatap Dion dan berdecak kagum. " Wah, hebat banget ! Aku jarang ngeliat cowok mau kuliah sambil kerja."
" Kalau di sini hampir rata rata kayak gitu. Kalau mau sekolah ya usaha sendiri." Dion tersenyum menatap Tias.
" Aduh.., bakalan susah ini nyaingin orang hebat kayak kalian." ucap Tias yang merasa rendah diri.
" Orang hebat dari mananya Tias ? Kami aja masih numpang orang tua." kali ini Rendi ikut berbicara.
" Bagiku orang yang bisa membagi waktu adalah orang hebat. Ya.., kayak kalian gini. Kalian bisa membagi waktu antara kerja dan juga kuliah. Itu namanya hebat, iyakan nek ?" Tias menoleh meminta pendapat pada neneknya.
Ruwi tersenyum bangga dan memberikan dua jempolnya sebagai apresiasi. " Siapa dulu dong, murid nenek !"
" Murid nenek ?" tanya Tias.
" Iya mereka itu murid nenek. Nenek juga yang ngajarin mereka baca tulis pas kecil dulu." jawab Ruwi yang membuat Tias mengerti dan tidak bingung lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!