Suara tangisan bayi terdengar begitu keras, Dinda, terus menggendong bayinya, menenangkannya, menepuk-nepuk punggungnya berharap bayinya akan berhenti menangis.
Namun tangisan bayinya tidak berhenti dan semakin meninggi. Dinda, berlari menuju kamarnya ingin membuatkan susu untuk bayinya namun, saat di lihat kotak susu itu kosong tanpa isi. Dinda, sedih susu bayinya habis sedangkan dirinya tak punya uang sama sekali.
Bahkan di saat seperti ini suaminya tidak ada di rumah. Dinda, kembali menepuk-nepuk punggung bayinya berharap tangisannya kali ini akan berhenti tetapi tidak sama sekali. Bayinya terus menangis semakin keras membuat Dinda, bingung harus melakukan apa.
"Sayang, berhentilah menangis nanti setelah papa pulang kita beli susunya Nak." Akhirnya dengan perlahan Dinda bisa menenangkan bayinya, setelahnya Dinda, pun menidurkan Syena, putri kecilnya.
Dinda, mengambil gawai miliknya menggerakan jarinya untuk mencari nama my husband dalam kontaknya. Dinda, menghubungi suaminya berulang kali namun tetap tidak ada jawaban.
"Ck, kemana Mas Rey."
Dinda, berdecak kesal saat di butuhkan seperti ini suaminya tidak bisa di andalkan. Bahkan di hubungi saja tidak bisa.
[Sayang, kapan kamu pulang? Bisakah kamu transfer uang 200 ribu saja. Aku butuh untuk membeli susu Syena.]
Send My Husband
Satu pesan ia kirimkan pada Rey, suaminya. Tiga puluh menit lamanya pesan itu baru dapat balasan. Dinda sudah menunggu dengan gelisah, melihat Syena, yang sudah terbangun dan kembali menangis karena haus dan lapar.
My Husband
[Maaf, sayang aku belum punya uang kamu tahu, kan aku belum gajihan. Kamu pinjam saja dulu pada tetangga biar nantiku ganti.]
Mata Dinda, terbelalak saat membaca pesan dari suaminya. Tiga puluh menit dia menunggu tapi jawaban apa yang dia dapatkan, sangat tidak memuaskan. Dinda, berdecak kesal hingga berteriak untuk melampiaskan amarahnya.
Dinda, menangis sejadi-jadinya rasa kesalnya pada suami tidak bisa ia tahan lagi. Selama setahun menikah Rey, tidak pernah memperhatikannya setiap kali meminta uang dia selalu bilang tidak ada, tidak punya. Bahkan uang gaji nya saja hanya memberikan 25% untuk kebutuhannya sehari-hari dan juga keperluan Syena.
Padahal sebelum menikah Rey, begitu royal dan selalu memperhatikannya. Hampir setiap minggu Rey, selalu memberikan barang-barang berharga untuknya.
"Kamu kenapa sih Rey, susah sekali jika aku meminta uang." Dinda, begitu kesal hingga tak ada jalan lain selain meminjam uang pada tetangganya.
****
"Sayang kamu sedang chat_an sama siapa sih?" tanya seorang wanita yang bergelayut manja pada seorang pria yang kini sedang sibuk membalas pesan istrinya.
"Biasa, dari kantor," jawab pria itu tak lain adalah Rey.
"Yank, mau tas itu beliin ya."
"Berapa?"
"Cuma dua juta."
"Ya udah ambil saja."
"Makasih sayang."
Rey, merogoh kartu debitnya, dengan mudahnya dia memberikan uang dua juta hanya untuk membelikan sebuah tas untuk kekasihnya itu. Sedangkan Dinda, dia harus menahan malu untuk meminjam uang pada tetangganya.
"Ada apa lagi Dinda, pinjam uang lagi?"
"Iya Karin, sebenarnya aku tidak enak terus meminjam uang padamu tapi … aku butuh banget uang itu Rin, untuk membeli susu Syena." Dinda terlihat memohon dan memelas pada tetangga sekaligus temannya itu.
"Bukannya aku tidak ingin meminjamkan tapi aku aneh saja, dimana suamimu apa dia tidak memberimu uang? Ini untuk kesekian kalinya kamu meminjam uang kemarin saja 500 ribu belum kamu bayar sekarang kamu mau minjam lagi."
"Aku mohon Karin, untuk terakhir kali. Nanti aku akan bilang pada Rey, untuk membayarnya."
Karin, hanya bisa menghela nafas tidak di berikan tapi kasihan melihat Dinda, dengan wajah memelas dan memohon membuat Karin, tak tega melihatnya.
"Berapa yang kamu butuhkan?"
"Dua ratus ribu saja Karin."
Karin, merogoh saku celananya lalu mengambil dua lembar uang seratus ribuan. Lalu di berikannya kepada Dinda.
"Ini ku pinjamkan."
"Makasih Karin, secepatnya akan aku ganti sama yang kemarin."
"Iya, cepat pergi belikan susu untuk Syena."
"Makasih ya Karin, aku pergi dulu." Dengan wajah bahagia Dinda, pergi berlari untuk membawa Syena, sebelum nantinya pergi ke mini market.
"Kasihan Dinda, sebenarnya si Rey, kasih dia uang gak sih!" Karin, geleng-geleng kepala.
****
"Sayang aku minta uang 700 ribu." Pinta Dinda pada Rey, yang tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Suami baru pulang bukannya di buatkan teh atau di tawarin makan malah minta uang." Rey, terlihat kesal saat dirinya lelah Dinda, sudah meminta uang saja padanya.
Dinda, yang kesal langsung pergi lalu kembali dengan membawa segelas air putih. "Tidak ada teh tidak ada makanan, yang ada hanya air putih saja." Kata Dinda, yang menahan kekesalan.
"Kamu tidak masak? Apa teh saja tidak punya?" Rey, kesal karena merasa Dinda, tidak memperhatikannya padahal Dinda, lebih kesal dan pusing mendengar tangisan Syena, sejak pagi karena kehabisan susu.
"Kamu tuli atau memang tidak mengerti. Bukankah dari kemarin aku sudah bilang aku sudah tidak punya uang. Dan saat aku meminta uang untuk membeli susu Syena saja kamu tidak kasih."
"Dinda kamu harus lebih menghemat jangan boros masa uang lima juta aku kasih sudah habis."
Dinda, hanya tersenyum hambar seraya berdecak kesal. Rey, memang memberikan uang sebesar lima juta tapi untuk kebutuhan sehari-hari, keperluannya dan keperluan Syena. Dan itu harus cukup sampa satu bulan lamanya.
"Kamu bilang aku tidak bisa menghemat uang! Gajih kamu saja lebih dari itu dan kamu hanya memberikanku lima juta dan aku tidak pernah mengeluh atau meminta lebih. Aku tetap berusaha untuk mengatur uang itu untuk keperluan kita semua. Tadi saja aku sudah meminjam pada Karin, aku sudah malu terus meminjam uang padanya. Sekarang aku minta ganti untuk membayar pada Karin." Dengan tegas Dinda, meminta uang pada Rey, untuk membayar hutang pada Karin. Dengan malasnya Rey, merogoh saku celananya lalu mengambil uang 200 ribu yang di berikan pada Dinda.
"700 ribu Mas." Dinda, menolak dan meminta uang 700 ribu, karena sebesar itulah hutang Dinda pada Karin.
"700 ribu!" Rey, terhenyak merasa terkejut karena Dinda, meminta uang yang lebih besar. "Bukannya tadi kamu minta 200 ribu kenapa jadi 700?" sambung Rey.
"Kamu lupa dengan hutangku yang kemarin lalu, kamu yang berjanji akan membayarnya tapi kamu tidak pernah kasih. Dan tadi pagi kamu menyuruhku untuk meminjam lagi ya pasti nambahlah Mas dan totalnya 700 ribu."
Dengan terpaksa Rey, mengambil uang seratus ribu lima lembar. Yang sangat di sayangkan jika di berikan pada Dinda. Namun, Dinda, dengan cepat mengambil uang itu dari tangan Rey, sebelum Rey, berubah pikiran.
"Terima kasih sayang," kata Dinda, setelah mengambil uang itu.
"Sama-sama," jawab Rey, lembut.
"Aku titip Syena, sebentar dia sedang tidur aku akan pergi ke rumah Karin, untuk memberikan uang ini." Rey, pun mengangguk Dinda, pun melangkah pergi.
Ting
Suara notifikasi pesan dalam gawainya. Rey, pun membuka pesan itu dengan gugup dan gerak-gerik yang mencurigakan. Takut jika Dinda, melihat pesan itu.
Boneka Bear
[Sayang, aku cocok banget, kan pakai tas ini? Thank you aku yang pertama kali mendapat tas ini. Dari teman-temanku yang lain aku jadi makin cinta sama kamu ❤]
Balas:
[Sama-sama sayang, aku akan berikan apa pun untukmu. Love you to ❤]
Send Boneka Bear
Rey, tersenyum-senyum setelah mendapat pesan dari kontak yang di berikan nama Boneka Bear.
Brukk,
Dalam seketika Rey, menjadi gugup dan salah tingkah setelah mendengar suara bantingan pintu yang keras dan langsung memasukan kembali gawainya pada saku celananya.
"Sayang," seru Dinda yang baru kembali.
"I-iya sayang," jawab Rey, gugup
"Kamu kenapa sayang? Kok gugup gitu?" tanya Dinda, curiga melihat tubuh Rey, yang gemetar.
"Tidak apa-apa sayang. Tadi aku dapat telepon dari kantor, biasalah perusahaan tempatku bekerja kini sedang ada masalah, makannya gajihku saja sering di tunda bahkan belum di bayar. Makanya aku selalu minta kamu untuk menghemat bukan karena aku pelit tapi inilah alasannya." Rey, berbohong.
"Ini aku dapat makanan dari mba Karin, kamu pasti lapar, kan! Aku siapkan dulu ya." Dinda, berjalan ke arah meja makan sengaja mengabaikan ucapan Rey, karena tidak ingin berdebat lagi.
"Kamu sudah makan sayang?" tanya Rey, membuat Dinda, kesal. Jangankan makan sepanjang hari Dinda, berjalan kesana kemari untuk meminjam uang hanya untuk membeli susu Syena, Dinda sudah tidak peduli lagi dengan perutnya yang lapar.
"Kamu makan saja duluan, aku mau lihat Syena, dulu."
"Ya," jawab Rey, yang langsung mengambil sesendok nasi dan sayur sup hangat untuk dia makan.
"Mm … lezat sekali, padahal tadi aku sudah makan di restoran tapi melihat sup yang lezat begini aku jadi lapar lagi," gumam Rey, yang dengan lahapnya memakan sup itu.
"Sayang! Kamu habiskan semuanya?" tanya Dinda, yang terkejut melihat makanan yang tadi dia bawa sudah habis tak tersisa.
"Sup ya enak sayang," jawab Rey, tanpa rasa bersalah. "Aku ke kamar dulu ya sayang." Rey, berlalu pergi meninggalkan piring kotor dan semangkuk sup yang tersisa satu potong kentang dan wortol saja.
Tanpa terasa mata Dinda, kembali berembun tubuhnya terduduk lemah menatap sisa sup itu. Rasa kesal, amarah, dan lapar menjadi satu. Rey, benar-benar tidak peduli padanya Dinda, yang sedari tadi menahan lapar kini harus menahannya sampai pagi karena suaminya yang tidak peka.
"Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Dasar suami tidak berguna, tidak peka," umpat Dinda kesal yang di barengi air mata yang jatuh membasahi pipinya.
Di pagi hari Dinda, harus bisa membagi tenaganya yang sibuk mengurus Syena, menyiapkan sarapan untuk Rey. Sedangkan Rey, hanya duduk manis seraya memainkan gawainya tanpa ingin membantu Dinda, sama sekali.
"Sayang bisakah kamu gendong Syena, sebentar. Aku sedang memasak air."
"Sebentar aku sedang tanggung, bermain game nanti kalah."
Dinda, membelalakan matanya tidak habis pikir pada suaminya yang lebih mementingkan gamenya di banding dengan putrinya. Dinda, menjadi kesal dan melangkah mendekati Rey, lalu
Brakk,
Mata Rey, melotot melihat gawainya yang terjatuh di bawah lantai karena Dinda melemparnya. Rey, menjadi kesal dan marah pada Dinda.
"Sayang kamu!"
"Apa? Mau marah! Bisa-bisanya kamu main game saat aku sedang sibuk seperti ini. Aku hanya memintamu untuk menggendong Syena, tapi kamu malah mementingkan game yang tak berguna begitu."
Dinda sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, rasa kesal, pusing, stres semua jadi satu punya suami bukannya membantu malah menambah masalah dan sama sekali tidak bisa membantunya. Baik dalam pekerjaan rumah, atau pun yang lainnya.
"Aku sudah capek Rey, kalau begini terus. Lebih baik kamu yang urus Syena, aku akan bekerja." Mata Rey, langsung membulat saat mendengar Dinda, ingin kembali bekerja.
Dinda, sangat pintar dulunya dia adalah seorang sekretaris CEO, yang pasti gajinya tiap bulan sangatlah besar. Namun, demi Syena dan Rey, setelah menikah Dinda, meninggalkan pekerjaanya itu dan memilih untuk mengabdi pada suaminya dan merawat putri kecilnya. Namun, bukannya mendapat kebahagiaan malah mendapat kesusahan.
"Jangan sayang, kalau kamu kerja siapa yang jaga Syena. Biar aku saja yang kerja." Dinda, menatap tajam mata Rey.
"Baiklah, aku setuju tapi aku minta uang bulananku di naikan."
"Kok gitu sayang, uang lima juta setiap bulan ku kasih sudah besar loh." Sanggah Rey, yang keberatan jika harus menambah uang bulanan. Dinda, membuang nafas kasar.
"Gajihmu 20 sampai 30 juta, aku tahu gaji seorang manajer. Setiap bulan kamu kasih aku lima juta sisanya kamu kemanakan? Saat aku meminta uang buat beli susu Syena saja kamu selalu tidak punya."
"Sayang, kamu kan tahu aku harus bayar cicilan mobil, belum rumah, jadi sisanya itu untuk bayar cicilan. Lagian keadaan perusahaan sekarang sedang kacau, jadi kadang uang gaji di tunda atau di potong."
"Bukan kah bayar mobil hanya tiga juta, dan rumah, rumah ini bukannya ibumu yang membelikan lalu rumah yang mana yang kamu bayar?"
Rey, jadi gelagapan saat mendapatkan pertanyaan dari Dinda. Setelah menikah Rey, sudah memiliki rumah pemberian dari orangtuanya. Karena keadaan Rey, tidak terlalu miskin. Maka pada saat Rey, bilang jika dia bayar cicil rumah Dinda, merasa heran dan aneh.
"Begini sayang. Sebenarnya mama sedang membutuhkan uang dan saat itu terpaksa aku menggadaikan surat rumah kita ke BANK jadi, sekarang aku harus mencicilnya tiap bulan. Maaf ya aku tidak memberitahu."
"Bisa-bisanya kamu menggadaikan surat rumah. Seharusnya kamu bilang dulu padaku karena ini sudah menjadi rumah kita bukan rumah mama. Sekarang kita yang harus menanggungnya, kan."
"Iya, maaf. Sudah jangan marah-marah. Sekarang aku bantu jagain Syena, ya." Rey, pun mengambil alih Syena, yang berada dalam gendongan Dinda.
****
Dinda, berlarin kecil seraya menggendong Syena. Rasa panik seorang ibu kembali muncul saat menyentuh kening Syena, yang sangat panas. Pantas saja Syena, tidak berhenti menangis mungkin karena sedang merasakan sakit pada tubuhnya.
Dinda berlari menuju resepsionis rumah sakit untuk membawa Syena berobat. Namun, pihak rumah sakit tidak bisa menerimanya sebelum Dinda, membayar uang muka sebesar satu juta.
"Suster nanti saya bayar sisanya. Anak saya sedang sakit suster tolong biarkan kami masuk ya! Ini saya DP 200 ribu saja dulu."
"Maat Bu, ini sudah peraturan rumah sakit kami. Ibu bisa bayar uang muka sebesar satu juta baru bisa masuk."
Dinda, benar-benar tidak berdaya. Langkahnya terasa lemas, Dinda, berjalan menuju kursi tunggu seraya menggendong Syena, yang terus menangis. Tatapan matanya begitu kosong Dinda sudah lelah menghadapi hidupnya yang sengsara seperti ini.
Dulu, saat masih bekerja dan berkarir uang satu juta sangat mudah baginya tapi sekarang sulit ia dapatkan. Dinda, mencoba menahan tangisnya lalu menghubungi Rey, yang kini sedang bekerja.
"Halo, sayang ada apa?"
"Rey, Syena, sakit panasnya tinggi. Aku sudah membawanya ke rumah sakit tapi … aku hanya punya uang 200 ribu sedangkan pihak rumah sakit meminta satu juta. Aku mohon Rey, datanglah kesini Syena, butuh pengobatan."
"Maaf sayang aku sedang meeting nanti ku telepon lagi."
Rey, mematikan teleponnya begitu saja. Membuat Dinda, diam termangu. Seketika Dinda terisak, mata yamg sudah berembun kini tidak bisa ia tahan lagi. Di saat bayinya sedang sakit Dinda, tidak bisa mengobatinya. Membuat hati Dinda, terluka karena tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk putrinya bahkan membayar uang rumah sakit saja tidak mampu.
"Dinda!" Panggilan seorang wanita mengejutkannya.
****
Dinda, merasa tenang karena Syena, sudah di obati dokter saat ini. Beruntung Dinda, bertemu dengan Karin, saat di rumah sakit. Yang dengan mudahnya memberikan uang satu juta untuk biaya pendaftaran bahkan Karin, memberikannya uang satu juta lagi untuk biaya pengobatan Syena.
Dinda, menidurkan Syena, di tempat tidurnya. Lalu Dinda, berjalan ke arah cermin dan menatap tubuhnya dari bawah hingga atas. Dinda, teringat ucapan Karin, tadi siang. Yang mengatakan keadaan dirinya yang menyedihkan.
"Dinda, apa Rey, tidak pernah memberimu uang lebih? Membelikanmu pakaian?" Kamu benar-benar bukan Dinda, yang dulu," ucap Karin, yang melihat keadaan Dinda yang lusuh.
Dinda, hanya menatap dirinya yang sekarang. Memakai kaos oblong yang kucel, dengan celana jens yang dekil, dan wajah yang pucat tanpa makeup. Berbeda, dengan kehidupannya yang dulu yang modis dan cantik. Bahkan rambutnya pun terlihat berantakan yang tak pernah ia rawat.
"Menyedihkan sekali hidupku ini," gumam Dinda, lirih.
Jangankan untuk membeli baju dan skincare, untuk kehidupan sehari-hari saja Dinda, masih kekurangan uang. Sedangkan Rey, tidak pernah memperhatikan dirinya.
BRAKK,
Suara pintu mengejutkannya. Rey, baru saja pulang bekerja, dengan santainya Rey, merebahkan tubuhnya di atas sofa seraya memainkan gawai barunya.
"Kamu beli handphone?" tanya Dinda, yang mengalihkan pandangan Rey.
"Ya, karena gawaiku rusak tadi kamu lempar," ketus Rey, tanpa melirik ke arah Dinda.
"Sekarang mana uang dua juta." pinta Dinda, membuat Rey, terhenyak.
"Dua juta untuk apa?" tanya Rey tanpa rasa berdosa.
Tanpa berkata Dinda, langsung memberikan selembar bil, yang tertulis jelas jumlah nominal yang di bayar yaitu dua juta rupiah. Uang pemberian Karin, yang menanggung pengobatan Syena.
"Uang pengobatan Syena. Aku sudah menghubungimu dan memohon agar kamu datang ke rumah sakit atau mengirimkanku uang. Tapi kamu malah menutup teleponnya. Kamu tahu saat itu aku hanya bisa, menangis melihat keadaan Syena, yang tak berdaya. Tapi kamu sebagai ayahnya sama sekali tidak pernah khawatir."
"Maaf sayang, tadi aku benar-benar lupa. Lalu dari mana kamu dapatkan uang ini?"
"Dari mana lagi kalau bukan Mba Karin."
"Ya sudah, sekarang kamu bayar ya. Ini uang dua juta sama uang belanja tiga juta buat kamu."
"Tumben, bukannya belum gajihan? Apa kamu lagi banyak uang?" Dinda, merasa aneh dari kemarin Rey, selalu banyak alasan saat di mintai uang tapi sekarang Rey, dengan mudahnya memberikan uang padanya.
"Hari ini aku dapat rezeki lebih," jawab Rey, singkat. Namun tanpa Dinda tahu, Rey, mendapat proyek besar sehingga bonus yang di dapat sangatlah besar dan menguntungkan.
Bahkan Rey, membelikan kalung mewah untuk wanita lain yang menjadi kekasihnya.
"Terima kasih sayang."
"Sama-sama sayang. Oh ya, malam ini kita makan di luar ya, aku ingin mengajakmu jalan-jalan." Goda, Rey, yang mendadak romantis membuat hati Dinda, luluh kembali dalam seketika masalah yang tengah terjadi bisa Dinda lupakan.
Dinda, merasa bahagia hari ini. Rasa stresnya seketika hilang karena semalam Rey, mengajaknya makan malam di luar. Walau pun bukan di tempat mewah namun Dinda, sangat senang karena untuk pertamakalinya Rey, mengajaknya jalan-jalan setelah menikah.
Dinda, terus menatap uang pemberian dari Rey, semalam. Dinda, berpikir uang itu akan dia belikan untuk hadiah 2 th unniversary pernikahannya dengan Rey. Yang bertepatan dengan hari ini. Karena semalam Dinda, menemukan sebuah kalung berlian di dalam saku jas Rey, yang berpikir jika Rey, sudah mempersiapkan kalung itu untuk hadiah unniversary untuknya.
"Aku gak nyangka, diam-diam Mas Rey, sudah mempersiapkan hadiah untukku." Dinda, yang terus tersenyum. Membayangkan betapa indahnya kalung berlian itu.
"Aku beli apa ya buat Mas Rey!" Dinda, berpikir sejenak lalu tersenyum setelah tahu apa yang akan di belinya untuk Rey. Dinda, pun memutuskan untuk membelikan sebuah arloji walau pun bukan arloji mewah namun masih bermerek.
Setelahnya Dinda, kembali ke rumah untuk menghias arloji yang di belinya menjadi sebuah kado. Dinda, memasak aneka macam hidangan untuk makan malamnya nanti. Saat tengah memasak bel rumah berbunyi menandakan ada seorang tamu yang datang.
Dinda, mematikan kompor lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya.
"Mama?" ternyata Dinda, kedatangan mertuanya ibu dari Rey.
"Dinda apa kabar sayang?"
"Baik Ma, Mama sendiri apa kabar?"
"Baik." Setelah saling sapa Dinda, mengajak mertuanya itu duduk di sofa. Arumi, mertuanya terus memperhatikan penampilan Dinda, dari atas ke bawah yang sangat kucel dan dekil.
"Dinda, kamu tidak pernah dandan? Apa kamu tidak pernah membeli baju? Dekil dan lusuh. Jangan mentang sudah punya suami tidak merawat diri." Arumi sedikit mencibir. Dinda yang kesal pun menimpali.
"Setelah menikah aku lebih mementingkan untuk Syena, dan keperluan lainnya. Apa lagi sekarang Mas Rey, harus bayar cicilan mobil dan juga bayar cicilan rumah." Arumi, mengernyitkan keningnya.
"Kalian beli rumah lagi?" tanya Arumi, heran karena Rey, harus membayar cicilan rumah.
"Bukannya sertifikat rumah Mama gadaikan? Jadi sekarang Mas Rey, harus membayar cicilannya. Dinda, harap Mama, bantuin Mas Rey, untuk tebus kembali sertifikat itu." Arumi, terhenyak matanya membulat sempurna ketika mendengar ucapan Dinda, tadi.
"Ngapain Mama, gadaikan sertifikat rumah kalian, untuk apa?"
"Tapi Rey, yang bilang Ma."
"Sekarang kamu cari sertifikat rumah itu. Kalau ternyata ada berarti Rey, berbohong. Mama pulang dulu, datang kesini hanya untuk lihat Syena, saja." Arumi, berlalu pergi meninggalkan Dinda, yang termangu.
****
Dinda, duduk termenung memikirkan perkataan Arumi, tadi. Keadaan rumah berantakan, Syena yang menangis di biarkan. Tatapan matanya begitu kosong satu tangannya menggenggam erat sebuah surat sertifikat, satu tangannya lagi mengepal dengan kuat apa lagi bola matanya yang mulai berembun saat ini.
Malam sudah menunjukan pukul 23.00 Rey, belum juga kembali. Bahkan ucapan unniversary saja tidak dia ucapkan. Dinda, sudah sangat kesal dan menahan amarah nya yang akan meledak.
Suara pintu terbuka, Rey, yang baru pulang di kejutkan dengan keberadaan Dinda, yang duduk di ruang tamu.
"Sayang kamu belum tidur?" tanya Rey, yang berjalan mendekati Dinda. Bukannya jawaban yang di dapat Rey, malah mendapat tatapan tajam dari Dinda, seraya melempar sebuah surat padanya.
"Katakan! Cicilan rumah siapa yang kamu bayar?" Rey, mengambil surat sertifikat itu, wajahnya terlihat gugup, tubuhnya mulai gemetar.
"Katakan Rey! Apa untuk wanita itu kau membelikan rumah untuknya?"
"Apa maksudmu sayang aku tidak mengerti."
"Seharusnya aku bertanya apa maksudnya ini." Dinda, menunjukan gawai miliknya yang memperlihatkan sebuah foto Rey, yang tengah bersama wanita lain. Yang membuat dadanya sesak adalah Rey, memberikan kalung yang ia temukan pada wanita itu.
Dinda, mencoba melupakan masalahnya dan tidak ingin memikirkan ucapan mertuanya tentang sertifikat itu. Yang Dinda, inginkan hanyalah malam unniversarinya berjalan lancar. Dinda, sudah menyiapkan makan malam dan hadiah untuk Rey, tiba-tiba satu pesan whatsapp dari Karin, mengejutkannya.
Rey, sedang bersama wanita lain dengan memberikan sebuah kalung pada wanita itu. Di sebuah resto ternama. Yang membuatnya sesak adalah beraninya Rey, berduaan dengan wanita lain saat di hari
unniversarinya.
"Dari mana kamu dapat foto itu?" Bodohnya Rey, malah bertanya seperti itu. Membuat amarah Dinda, semakin memuncak.
Prang,
Mata Rey, membulat sempurna kala perabotan rumah melayang di udara. Rey, mencoba menghindar saat Dinda, melempar barang-barang itu ke arahnya. Tidak peduli rusak atau pun pecah yang Dinda pedulikan saat ini adalah hatinya yang sudah hancur karena pengkhianatan suaminya.
"Dinda, stop. Aku bisa jelaskan Dinda."
"Jadi selama ini kamu selingkuh! Kamu tidak pernah memikirkanku sama sekali. Kamu berikan ku uang 5 juta, kamu bilang untuk mencicil sertifikat rumah yang di gadaikan tapi nyatanya kamu berikan uangmu itu pada wanita itu."
"Dinda sabar Dinda."
"Sabar! Kamu bilang sabar! Apa belum cukup selama ini aku bersabar Rey. Aku meninggalkan karirku, duniaku, demi dirimu juga Syena, tidak peduli bajuku yang kucel, wajahku yang lusuh aku tak pernah peduli, yang ku pedulikan hanyalah kamu tapi apa yang kamu lakukan!" Dinda, meluapkan semua amarah dan emosinya.
"Aku meminjam uang pada tetangga demi membeli susu Syena, tapi kamu malah memberikan uang itu untuk wanita lain. Dan hari ini tepat dua tahun pernikahan kita kamu malah berduaan dengan wanita itu, dan memberikanya sebuah kalung. Kamu rela memberikan barang mewah pada wanita itu sedangkan aku … meminta uang 200 ribu saja kamu tidak berikan."
"Sayang sudah jangan marah-marah kalau kamu mau kalung nanti aku belikan." Mata Dinda, membulat sempurna. Bisa-bisanya Rey, mengatakan hal itu. Berpikir jika Dinda, marah hanya karena sebuah kalung, benar-benar Rey, bukan suami peka sama sekali tidak menyadari kesalahannya.
"Dasar suami tak berguna tidak peka!" Bentak Dinda, yang berlalu pergi meninggalkan Rey.
Brukk,
Rey, terhenyak saat Dinda, membanting pintu kamarnya dengan keras. Rey, seperti orang linglung yang hanya bisa diam sambil melirik kesana kemari. Pelan-pelan Rey, memungut barang-barang yang berserakan di bawah lantai.
****
Tangisan Syena, membangunkan tidur Rey. Rey, mengedarkan pandangan keadaan rumah masih tetap sama kacau dan berantakan. Rey, terbangun merubah posisi tubuhnya menjadi duduk.
Brukk,
Suara pintu kembali mengejutkannya. Rey, terbelalak saat melihat Dinda, keluar dari kamar. Menyeret sebuah koper, dan menggendong Syena.
"Dinda! Dinda, sayang kamu mau kemana?" Rey, berlari menghampiri Dinda, dan mencoba menahan kepergian Dinda, yang membawa kopernya.
"Dinda, kamu mau kemana bawa koper segala?"
Dinda hanya melirik Rey, tajam.
"Aku akan pergi."
"Pergi, pergi kemana? Dinda, masalah semalam bisa kita bicarakan kamu tidak perlu pergi seperti ini." Rey, terus menahan Dinda, agar tidak pergi. Dinda, pun merasa muak dan marah.
"Cukup Rey!" Bentak Dinda, yang masih tersulut emosi.
"Aku minta cerai."
Deg, ucapan Dinda, mampu menyesakan hati Rey. Rey, diam termangu matanya membulat sempurna. Tidak terpikirkan oleh Rey, jika Dinda, akan meminta cerai darinya.
"Dinda, kamu bilang cerai! Apa kamu tidak memikirkan Syena."
"Apa selama ini kamu memikirkan Syena? Tidak, kan." Dinda menimpali. "Saat Syena, kehabisan susu saja kamu tidak peduli, saat Syena sakit apa kamu peduli? Jadi jangan pernah membawa-bawa Syena."
"Oke, Dinda, aku salah aku minta maaf. Kita masih bisa membicarakan ini baik-baik tanpa harus bercerai."
"Aku tidak mau punya suami yang tak berguna sepertimu."
"Apa! Suami tak berguna kamu bilang. Selama ini kamu menganggap aku tak berguna."
"Ya! Karena semua waktu, uang, kamu gunakan untuk wanita itu bukan untuku juga Syena." skak Dinda.
Kalung berlian itu masih terlintas di benaknya. Bisa di bayangkan betapa bahagianya Dinda, saat itu yang sudah penuh harap jika Rey, akan memberikan kalung itu untuknya. Namun, pemandangan yang menyayat hati, membuatnya terluka, membuat nafasnya begitu sesak. Saat melihat Rey, memberikan kalung itu untuk wanita lain.
...****...
Jangan lupa tinggalkan like, dan komentarnya ya. Berikan votenya juga hadiah dan bintangnya. Mohon dukungannya.
Salam author
Dini_Ra❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!