"Ria!"
"Astagfirullah, kamu nganggetin aja sih shaf,"
"Lagian diajak omong nglamun mulu, lihat tuh mi gorengmu sampai dikerubungi lalat," jengkel Shafa. Mereka sedang berada di kantin sekolahan saat jam istirahat.
"Aku mimpi dia lagi," perempuan yang melamun tadi menjawab dengan lirih.
Aleria Asmaning Nastiti merupakan gadis keturunan Jawa, namun bermata sipit dan berkulit putih bersih seperti ada darah campuran China. Selama ini dia selalu bermimpi tentang kekasih lamanya. Padahal sesosok itu sudah hilang dari hati yang paling dalam, tetapi kenapa dia selalu menemuinya di dunia mimpi?
"Katanya kalau mimpi orang yang pernah dicintai, berati dia sedang rindu kamu," jawab Shafa yang merupakan sahabat sekaligus teman curhat Aleria.
"Nggak mungkin, ya kalik cewek jelek kayak aku ini dikangenin," ucapannya terlintas begitu saja, hingga mengingat masa kelam dulu.
"Mas Hasyim, ternyata kamu di sini juga," sapa Ria kecil yang masih memakai seragam SMP. Dia sedang makan di sebuah restoran bersama teman-temannya, dan melihat sang pujaan hati juga ada di situ, lalu Ria berniat menghampiri untuk menyapanya.
"Siapa syim? keponakanmu?" tanya teman Hasyim.
Laki-laki yang ditanyai itu masih terdiam, Ria berinisiatif untuk mengenalkan dirinya. "Aku pacarnya mas Hasyim kak,"
"Bener itu syim? ternyata kamu pacaran sama bocah," ejek teman Hasyim akhirnya menimbulkan gelak tawa dari yang lain kecuali pria berambut gondrong hanya terdiam.
tangan Ria masih menggantung tanpa ada yang menyambut sebuah jabatannya, tiba-tiba Hasyim menampik dengan kasar.
"Aw tangan Ria sakit mas," gadis kecil itu mengusap-usap kulit yang sudah memerah.
"Dia bukan siapa-siapaku, masa Hasyim Putra Ramadhan pacaran sama anak ingusan. Jelek lagi,"
Deg
Hati Ria terasa teremas, ketika lelaki yang selama ini dia puja malah berkata tajam seperti tombak penusuk.
"Tapi katamu kita pacaran mas?" dengan polosnya Ria bertanya hal itu.
"Ayo ikut aku," Hasyim menarik tangan Ria dengan kasar untuk menjauhi teman-temannya.
"Dengar! mulai sekarang anggap kita tidak ada apa-apa," laki-laki itu melepaskan cekalannya.
"Maksudnya mas? Ria nggak ngerti,"
"Ah dasar bodoh! kita putus Ria, aku malu jika jalan sama kamu, sebenarnya nyesel selama ini pacaran dengan bocah ingusan sepertimu!" jari Hasyim menuding di depan wajah Ria.
"Ta-tapi kenapa mas? Ria bisa kok seumpama harus berpenampilan seperti orang besar," Ria mengartikan jika Hasyim menginginkan dia berpenampilan seperti orang dewasa. karena Hasyim dan Ria selisih usia 12 tahun, dan waktu itu gadis kecilnya masih kelas 1 SMP.
"Sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang juga, aku jijik melihat wajah dekilmu itu!"
Ria masih belum percaya dengan yang Hasyim katakan, karena pujaan hatinya itu selalu bertutur kata lembut dan tak pernah membentaknya sama sekali.
"Pergi Ria! dan jangan pernah menemuiku lagi!"
Buliran bening berjatuhan, teriakan Hasyim yang terdengar nyaring menarik perhatian orang-orang. Ria kini menjadi pusat perhatian,dia hanya menangis tertahan, dan pergi berlari menjauhi tempat itu.
Jelek, bodoh, dekil sering terlintas di pikirannya
"Apakah Ria semenjijikan itu? sampai mas Hasyim tidak mau ketemu Ria lagi," sakit itulah yang Aleria rasakan pada saat itu. Hingga nama Hasyim kian memudar di dalam hatinya.
"Kamu gak jelek kok, cuman kulitmu kurang dirawat aja," ucap Shafa membuyarkan lamunan temannya.
"Mungkin, kayaknya aku harus bisa merawat tubuh deh," Ria mengusap wajah dan tangannya yang terasa kering.
"Wajib itu, kamu harus buktikan kepadanya bahwa kamu itu cantik,"
"Tidak cukup itu saja, kamu harus berprestasi juga dalam bidang pendidikan. karena good looking tidak cuman cantik tetapi harus pintar juga, sudah hampir 5 tahun kan kamu tidak ketemu dengannya, seharusnya kamu sudah ada perubahan. Bukan gini-gini mulu," sebenarnya Ria ingin berubah namun rasa malas untuk memulai selalu menyelimutinya.
"Oke, mulai sekarang tidak akan kutunda-tunda lagi," ucap Ria dengan yakin
"Nah gitu dong, siapa tau entah nanti atau kapan kamu akan ketemu dia lagi, dan pada saat itu juga sudah ada perubahan pada dirimu,"
"Jangan sampai, aku gak mau ketemu lagi dengannya,"
"Lah gak ada gunanya dong jika kamu glow up tapi tidak ketemu dia sama sekali," bantah Shafa.
"Biarlah itu bukan wujud pembuktian, tapi wujud mencintai diri sendiri," jawab Riya.
"Makan apa mbak, kok kelihatannya enak banget?" tanya Riya, ketika melihat mbak kantin langganannya sedang memakan sebuah kue.
"Nih tadi malam mbak beli martabak manis di pinggir jalan, rasanya ternyata enak banget gaes," jawab wanita yang bertubuh gempal sambil ikut bergabung dengan Riya dan Shafa.
Riya mengambil satu potong dan menggigitnya, berapa detik ia mengunyah lalu ditelan, dia tidak berucap apapun. Rasa manis pada martabak mengingatkannya dengan seseorang.
Rasa ciri khas martabak manis ini beda dari yang lain, dulu setiap hari Riya selalu memakannya, karena Hasyim selalu memberinya dengan cuma-cuma.
"Nggak mungkin ini martabaknya mas Hasyim," gadis itu bergumam namun orang di dekatnya mendengar walaupun samar.
"Martabaknya siapa Ria?" Tanya mbak kantin.
"Eng-enggak siapa-siapa kok mbak, maksudku martabaknya enak, iya enak," Ria menjawab dengan terbata-bata.
'Mungkin cuma perasaanku saja, tidak mungkin mas Hasyim berjualan di sini. Sedangkan dia ada di Jombang' batin Ria.
Hasyim merupakan penjual martabak manis yang terkenal di kotanya, dan awal pertemuan mereka dimulai ketika Ria membeli martabak sepulang sekolah.
"Belinya di mana mbak? kok enak banget," tanya Shafa.
"Ituloh dekatnya toko Melati,"
"Ayo Ria kita beli pas pulang sekolah," ajak Shafa.
"Nggak ah tempatnya jauh,"
"Gak nyampe satu jam kok, ayolah Riya..,"
"Bulan depan sudah ujian shaf, aku harus belajar,"
"Pinter tuh Riya, kamu itu harusnya belajar shaf sebentar lagi ujian loh," mbak kantin membela tolakannya Riya.
"Halah.. tumben banget sih kamu pakai acara belajar gini. Toh masih ada waktu sebulan,"
Mbak kantin hanya bisa geleng-geleng kepala dan langsung kembali ke kedainya, karena tidak ingin mendengar dua bocah itu yang sebentar lagi akan berdebat.
"Aku nuruti katamu Shaf, katanya harus berubah,"
"Tapi masih lama ujiannya, ayolah,"
"Sekali nggak ya nggak,"
"Yaudah kalau pas hari Minggu aja gimana?"
"Oke boleh juga,"
"Eh dah bel tuh, ayo masuk ke kelas," ucap Shafa ketika mendengarkan bel berbunyi.
Hari ini merupakan hari Senin, dan disaat itulah mata pelajaran yang susah-susah ikut kumpul di waktu ini. Termasuk mapel Fisika, sebenarnya Riya sudah mengantuk karena selama ini dia sangat benci dengan pelajaran yang banyak rumusnya itu.
'Nggak-nggak, kamu harus tahan kantukmu Ria.., ini demi masa depanmu,' batin Ria menyemangati dirinya. Walaupun rasanya ingin tertidur seperti Shafa yang duduk di sebelahnya.
"Ini bocah kebiasaan suka nyeramahin orang tapi dianya gitu," Ria tidak berniat membangunkan Shafa sama sekali, toh juga percuma bakal keluar kuping kanan, lalu dia mengambil buku catatan di tas untuk menulis semua cara yang sudah dituliskan gurunya di papan.
"Ternyata susah banget ngerjainnya nggak semudah yang dibayangkan, namun aku gak boleh nyerah harus bisa berubah. Kan kalau aku pintar terus sukses nanti bisa nyari cowok yang lebih lebih segalanya dari pada mas Hasyim. Lihat aja nanti Ria bodoh, ingusan akan menjadi primadona di bumi ini, dan jangan harap kamu bisa kembali lagi kepadaku," Ria bermonolog walaupun ditambahi ucapan halunya tetapi itu bisa membangkitkan semangatnya.
........
"Face wash udah, miccelar udah, terus sunscreen dan cream siang, malam juga udah, berati tinggal kapasnya aja," saat ini Riya sedang berada di Indomei untuk membeli rangkaian skincare, tekadnya sudah bulat untuk merubah dirinya, termasuk dalam hal kecantikan.
Pas sudah menemukan kapas wajah dia mau mengambilnya, tetapi rak tempat itu sangat tinggi dan Riya tidak bisa mengambil. Tiba-tiba ada tangan yang mengambilkannya.
"Nih dek,"
Ria menerima namun dia terkejut setelah melihat pria yang telah membantunya itu.
"Mas keribo,"
"Malaria,"
Mereka sama-sama terkejut.
"Ih namaku Aleria mas, bukan Malaria," ucap perempuan itu dengan jengkel.
"Aku juga punya nama, sejak dulu kau panggil keribo mulu,"
"Kan rambutmu-"
"Nih lihat udah nggak keribo lagi kan," bantah Hisyam, dia merupakan saudara kandung Hasyim yang dulu telah mengantar Aleria pulang, saat keadaanya masih kacau ketika diputuskan secara sepihak oleh Hasyim.
"Iya yah malah semakin jelek sekarang," canda Aleria.
"Mata kamu kali yang buram, ganteng gini kok,"
"Em mas Hisyam kok ada di sini?" tanya Ria, karena laki-laki itu bukannya tinggal di Jombang.
"Aku lagi nengokin temanku yang sakit, dia juga bekerja di daerah sini," bohong Hisyam.
"Kamu beli apa aja?" laki-laki itu mengalihkan pembicaraan.
"Ini skincare," Ria menunjukkan keranjangnya.
"Aku juga cuma beli sabun cuci muka, yaudah sini keranjangmu aku numpang. Sekalian tak bayarin," Hisyam merebut keranjang milik Ria.
"Eh gak usah mas," Ria ingin merebut tetapi tidak bisa.
"Sudahlah nurut sama yang lebih tua,"
Sebenarnya Riya tidak enak kepada Hisyam. Karena barang yang dia beli lebih banyak dari pada punya laki-laki itu.
"Nih punyamu, kalau pulang hati-hati, lewat jalan tengah aja jangan pinggir," Hisyam menyerahkan kantong kresek yang sudah terisi tersebut kepada Ria.
"Makasih loh mas sudah dibelanjain,"
"Iya sama-sama, ingat ya lewat jalan tengah,"
"Kata orang-orang kalau lewat jalan raya itu lewat pinggir bukan lewat tengah," ucap Ria mengingatkan walaupun dia tahu kalau Hisyam cuman ingin bercanda.
...........
"Ria, mas rindu kamu dek," Laki-laki itu langsung memeluk pujaan hatinya.
"Lepaskan! jangan sentuh aku!"
"Maafkan mas Ria, beri aku kesempatan," Hisyam bersimpuh di depan gadis kecilnya dulu.
"Nggak ada kesempatan untukmu mas, cepat pergi!"
"Tolong Ria beri mas kesempatan, satu kali ini saja,"
"Pergi mas!"
"Pergi!"
"Jangan datang ke hidupku lagi!"
"Pergi!"
Tubuh Ria terus digoncang oleh Hayana adiknya. Kamar mereka bersebelahan jadi perempuan yang masih kelas 3 SMP itu bisa mendengar teriakan kakaknya.
"Mbak bangun! sadar!"
"Bangun mbak!"
"Mbak!"
Karena tidurnya terganggu akhirnya Riya bisa terbangun dari mimpi buruknya.
"Astaga.. mimpi dia lagi," tangan Riya mengusap wajahnya.
"Kamu gak bisa move on ya mbak?"
"Aku sudah nggak cinta lagi sama dia na,"
"Tapi kok masih mimpi dia terus?" tanya Hayana lagi.
Untung saja kedua orang tua mereka tidak ada di rumah, melainkan pulang ke Jombang untuk menemani neneknya yang lagi sakit. Jadi tidak mendengar teriakan anak pertamanya itu. Jikapun mendengar bisa menimbulkan kecurigaan, karena hubungan Ria dan Hasyim dulu terjalin secara diam-diam.
"Entahlah,"
"Mungkin dia rindu denganmu mbak,"
Bersambung..
"Riya kamu di mana sayang?" Laki-laki yang bertubuh tegap itu mengusap air matanya.
Rindu yang kini semakin mendera, namun sang semesta enggan mempertemukannya. Hasyim selama ini sudah berusaha mencari sang kekasih hati, tetapi hingga saat ini belum ada titik temunya.
"Lebih baik kamu lupakan saja Riya," Ucap Hisyam ketika melihat kakaknya masih saja memikirkan gadis belia itu.
"Aku gak bisa, dia cinta pertamaku syam,"
Aleria merupakan cinta pertamanya Hasyim. Entahlah wajah polos dan mata sipitnya dapat membius Hasyim pada awal jumpa.
"Om martabak rasa coklatnya satu ya,"
"Iya dek," saat menengok ke sumber suara, laki-laki penjual martabak tersebut langsung terbengong menatap penuh kagum kepada gadis yang masih memakai seragam SMPnya.
Baru kali ini dia merasakan jantungnya berdetak kencang hanya karena berpandangan dengan bocah belia. Padahal saat itu usia Hasyim sudah 25 tahun namun tidak pernah sama sekali merasakan jatuh cinta. Banyak usaha yang dilakukan hingga dia bisa mendapatkan pujaan hatinya. Aleria yang masih polos tentu saja mau ketika diajak pacaran, tetapi kebahagiaan itu hanyalah sementara. Karena Hasyim memutuskan secara sepihak lantaran malu jika ketahuan sama temannya, apa kata orang nanti kalau Hasyim Putra Ramadhan yang selama ini tidak pernah mengenal perempuan. Kini malah merajut asmara dengan gadis belia.
"Tapi kamu gak bisa terus-terusan begini syim, sudah dua tahun kamu di sini tetapi tetap saja kan tidak menemukan Aleria," ucapan Hisyam menyadarkan sang kakak dari lamunannya.
Dulu laki-laki itu mendengar kabar bahwa Aleria pindah ke Jogja lalu dia bertekad untuk mencarinya, sekaligus membuka cabang usaha martabak manis yang ke 8 di kota tersebut.
"Aku percaya jika sebentar lagi akan ketemu," Hasyim berkata dengan yakin. Selama ini dia sudah berusaha mencari, tetapi lagi-lagi tuhan belum mempertemukannya.
"Pulanglah tenangkan dirimu, biar aku yang nunggu cabangmu di sini," Hisyam terus memaksa kakaknya agar segera pulang, dia takut jika Hasyim bisa bertemu dengan Aleria lalu melanjutkan hubungannya kembali. Karena Hisyam juga menaruh perasaan kepada Aleria.
"Jika ingin pulang pulanglah, aku bisa menjaga diriku sendiri," jawab Hasyim dengan nada dinginnya lalu dia beranjak pergi ke dapur untuk mempersiapkan bahan martabak manis.
"Sial! susah banget dibilangin, bagaimana jika dia bisa menemukan Ria," Hisyam frustasi memikirkan hal itu, karena sejak pertemuannya kemarin dia menduga kalau Aleria tinggal dekat di daerah sini.
"Ah pusing mikirin hal seperti ini, semoga saja mereka tidak bisa bertemu," adik Hasyim tersebut menyugar rambutnya seperti frustrasi. Lalu dia menyusul kakaknya untuk membantu membuat adonan.
"Syam apakah usahaku kurang ya untuk mencari Ria?" tanya Hasyim, saat ini mereka sedang saling membantu mempersiapkan bahan.
"Usahamu itu sudah cukup, mungkin dia memang bukan jodohmu,"
"Aku nggak bakal nyerah syam selagi tuhan masih memberikanku nafas,"
"Salah sendiri kenapa dulu diputusin," jengkel Hisyam.
"Sungguh bodoh! kenapa bertindak seperti itu! aku menyesal syam," teriak Hasyim, aneka tepung dan kawan kawannya menjadi bahan pelampiasannya.
"Apakah tuhan masih tetap menghukumku seperti ini? sungguh aku merindukannya syam," lagi-lagi adonan yang hampir jadi akan ditumpahkannya.
"Sudah cukup! apa kamu gila hah? capek tahu belanja beginian," Hisyam mengamankan adonan tersebut.
"Makan tuh gengsi, gara-gara malu sama temanmu. Sekarang rugi sendiri kan,"
"Lupakan bocah itu, ingat umurmu sudah kepala tiga. Seharusnya sudah nikah bukan begini mulu,"
"Apa bedanya denganmu," bantah Hasyim, kali ini dia sudah agak tenang dan bersandar di senderan kursi.
Adiknya itu mempunyai umur yang tidak jauh beda darinya, cuma terpaut satu tahun saja. Jadi Hisyam sudah berusia 29 tahun, tetapi dia juga belum mengakhiri masa lajangnya. Padahal Hisyam sangat mudah sekali mencari pacar, bahkan sering gonta-ganti.
"Emangnya kamu mau dilangkahin adikmu ini?"
"Ya silahkan," jawab Hasyim dengan santai.
"Nanti apa kata ibu-ibu yang sering belanja di mbok dayem, pasti bilang gini 'eh bu masa ya Hasyim sudah dilangkahin adiknya, padahal usianya sudah karatan loh," ucap Hisyam sambil menirukan gaya mulut ibu-ibu ngrumpi saat belanja di pedagang sayur langganannya.
"Berati kamu juga pernah ikut gibah dong? sampai tahu gaya bicara mereka,"
"Pernahlah pas disuruh ibu buat beli tempe, tapi gara-gara asyik ngrumpi yang kuambil malah kliru tahu," mendengar cerita adiknya Hasyim kembali ketawa dan melupakan kesedihannya, adiknya itu sangat nurut sekali jika disuruh-suruh. Seperti belanja ke mbok Dayem pedagang sayur langganan di kotanya dulu. Hingga sekarang mulai dari bahan martabak yang belanja ialah Hisyam.
'Sebenarnya aku kasihan denganmu syim, aku bisa saja memberi tahumu tentang keberadaan Aleria, tetapi aku nggak rela jika kalian bersatu. Maafkan aku syim,' batin Hisyam
"Yaudah sana kamu belanja lagi, terus beresin juga yang ini," suruh Hasyim.
"Yang berulah siapa? yang repot siapa?" Hasyim tetap saja nurut walaupun dia tidak salah. Karena sudah takdirnya menjadi pria yang penurut.
.......
"Telurnya satu kilo ya bu," sekarang laki-laki itu sedang belanja lagi di pasar, sambil memikirkan bahan dapur apa yang sudah habis.
"Bu tepung berasnya ada?"
Suara dari samping menarik perhatiannya Hisyam.
"Loh Ria, bukannya kamu sekolah?" tanya Hisyam karena matahari sudah terik, pastinya bel sekolah sebentar lagi akan berbunyi.
"Jam pertama pelajaran PKWU mas jadi ini disuruh belanja buat bikin masakan gitu,"
Hisyam yang mendengarkan penjelasan gadis SMA itu hanya menganggukan kepalanya. "Apa saja bahannya? sini mas bantu carikan,"
"Bentar mas, shaf berikan kertas catatannya ke mas Hisyam," perintah Riya kepada Shafa, lalu dia memilah-milah sayuran di depannya.
"Nih mas," Shafa menyerahkan kertas itu ke Hisyam.
Tangan laki-laki itu menerima pemberian gadis di depannya, namun mencuri kesempatan untuk menggenggam tangan mulusnya.
"Tanganmu halus sekali, pakai apa saja ini?" dengan kurang ajarnya Hisyam berani memegang dan mengusap tangan Shafa.
"Jangan kurang ajar ya!" Shafa melepaskan tangannya dari Hisyam, dan sayangnya Ria tidak melihat semua itu. Dia masih repot dengan kesibukannya.
"Ria ayo kita kembali," Shafa memaksa Ria pergi dari tempat itu.
"Tapi ini belum selesai shaf,"
"Sudahlah kita belanja di tempat lain saja," Shafa terus menarik tangan Ria.
Hingga tanpa mereka sadari ada orang membawa secangkir kopi panas yang berada tepat di belakang Ria.
"Dek awas dek!" teriak bapak pembawa kopi ketika kopinya terhempas karena kesenggol tubuh Riya dan mengenai tangannya.
"Aw panas!"
............
"Astagfirullah..." pada detik yang sama Hasyim juga terkena halangan, saat membuka kemasan tepung dengan pisau tiba-tiba jarinya tergores mengeluarkan darah.
"Kenapa pikiranku gak enak gini," hati laki-laki itu menjadi risau.
"Apakah kamu baik-baik saja Riya?" entah kenapa kini dia memikirkan Aleria, takut akan terjadi apa-apa padanya.
Bersambung...
"Makanya kalau jalan kakinya dipakai," Hisyam memberikan obat yang diresepkan dokter. Karena tangan Ria melepuh dia langsung dibawa ke puskesmas terdekat dan ijin tidak masuk sekolah.
"Matanya om yang buat ngelihat, kalau kaki untuk berjalan," sahut Hayana sambil meletakan teh hangat untuk Hisyam di meja.
"Kamu nggak sekolah?"
"Bacot banget sih, tuh diminum tehnya," ketus gadis itu, sejak awal jumpa dengan Hisyam dia sudah memasang wajah tak sukanya, karena Hayana tahu jika laki-laki itu hanyalah kadal darat.
"Na jangan bicara begitu, gak sopan," tegur Riya.
"Maaf ya mas atas sikap adikku,"
"Nggak papa Riya namanya juga anak kecil,"
"Bukannya dia sekolah?" tanya Hisyam kemudian.
"Entahlah mas, dia memang suka bolos apalagi pas bapak dan ibu keluar kota, jadi bisa bebas dia, sudah capek aku ngomonginnya,"
Hayana memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan Riya, dia terlalu keras kepala dan sulit diatur. Bahkan sudah terjerat pergaulan bebas.
"Gak papa lah mbolos, yang penting otak masih pintar," setelah menjawab seperti itu, Hayana langsung pergi menghindari mereka.
"Orang tuamu lagi kerja ya di sana?"
"Bapak kerjanya di sini mas, sekarang lagi cuti karena nemani mbah putri yang lagi sakit di Jombang," sudah sebulan neneknya lagi sakit dan beruntung atasan bapaknya sangatlah baik, jadi bisa memberikan cuti lebih lama.
"Tapi apakah bapakmu tahu tentang kelakuan adikmu?"
"Nggak mas, karena pas mereka ada di rumah Hana bertingkah baik-baik saja. Tetapi karena sekarang jarang di rumah jadi malah begitu kelakuannya,"
Ria sebenarnya bisa saja melaporkan tingkah adiknya itu kepada orang tuanya, namun dia tidak tega karena sudah mendengar cerita Hayana yang sesungguhnya.
'Menarik juga, ternyata orang terdekat Ria sangatlah cantik-cantik. Tadi namanya siapa ya? shaf-shaf gitu kalau nggak salah. Masa namanya inshaf?'
"Mas,"
"Eh iya," panggilan Ria membuyarkan lamunan Hisyam.
"Diminum tehnya takut kalau dirubung lalat, jangan ngelamun aja,"
"Soalnya aku lagi mikirin bidadariku,"
"Bidadari?"
"Iya, karena tangan dia lagi sakit,"
"Hah," Ria melihat tangannya.
"Bidadarinya itu kamu Ria," Hisyam mengedipkan sebelah matanya.
"Apaan sih mas," gadis itu hanya tersipu malu.
"Tak tinggal ke kamar dulu ya mas, buat ganti baju," ucap Ria, karena dia masih memakai seragam sekolahnya.
"Oh iya gak papa," Kini tinggalah Hisyam sendirian di ruang tamu.
Namun setan terus berbisik hal-hal buruk, padahal dia sudah menggelengkan kepalanya karena tidak berani bertindak bodoh seperti itu.
Bibir Ria yang seksi dan menggoda terus terbayang dipikirannya, apalagi jika dicicipi pasti bakalan manis rasanya.
Apalagi di rumah ini hanya ada dua perempuan yang bisa menjadi sasaran empuk Hisyam. Tiba-tiba langkah kakinya menuruti perintah hawa nafsunya untuk menyusul gadis itu ke kamar.
Kebetulan pintu kamar Ria tidak tertutup sempurna. Hisyam berniat mengintip karena penasaran apa yang dibalik seragam itu.
kelihatan dari luar, Ria akan melepaskan kancing terakhirnya, dan sang pengintip sudah tidak sabaran melihat semuanya. Karena Ria menghadap samping jadi tidak kelihatan bagian depannya.
Kancing terakhir sudah terlepas lalu Ria hendak melepas seragamnya.
"Mbak kalau ganti baju tutup pintunya, biar tidak kemasukan kadal darat," ternyata gagal tidak sampai bisa melihat, tiba-tiba Hayana datang dan menutup pintu tersebut.
Sedangkan yang ada di dalam seketika kaget ketika terdengar suara kerasnya pintu. Dia baru menyadari kalau tadi tidak menutup pintu dengan rapat. Lalu Ria mengunci dari dalam dan melanjutkan aktifitasnya.
"Kadal darat maksudnya Hana apa sih? kan kadal memang hidup di darat," ucap Ria dengan polosnya ketika memikirkan perkataan sang adik barusan.
"Sini!" Hayana menarik kerah Hasyim lalu menyeretnya ke kamar. Tubuh besar itu terhempas di ranjang yang empuk.
"Kupikir kamu masih bocah polos," senyum smirk tersungging di mulut Hisyam.
Hayana tahu apa yang telah di pikirkan lelaki itu, pasti dia berpikir akan mengajak berhubungan yang lebih jika diajak di kamar begini. Padahal tidak.
Gadis itu hanya ingin mengintrogasi Hisyam. Karena telah berbuat kurang ajar kepada kakaknya. Kamar Hayana sudah dia pasang kedap suara jadi otomatis pembicaraan mereka tidak akan terdengar oleh Ria.
"Cih dasar omes,"
"Lalu kenapa langsung mengajakku ke kamar, kalau bukan melakukan hal itu,"
"Sebenarnya kenapa kamu mendekati kakakku? "
"Karena aku mencintainya,"
"Dasar pembohong! itu bukan cinta tetapi nafsu bodoh!" maki Hayana.
"Jangan dekati kakakku lagi," tambah Hayana lagi.
"Apa ada imbalan jika aku menjauhi kakakmu," Hisyam melihat tubuh gadis itu mulai dari bawah lalu ke atas.
Hayana paham dengan lirikan mata Hisyam. Sebenarnya dia takut kalau kakaknya bisa terjatuh pada pesona laki-laki brengsek ini, karena Ria hanyalah gadis lugu yang gampang ditipu.
"Aku paham dengan maksudmu, aku akan memberikannya. Tapi kamu harus berjanji setelah ini jauhi kakakku,"
"Baiklah dengan senang hati sayang.." Hisyam mendekati Hayana dan memepetkannya di tembok.
Gadis itu langsung menarik tengkuk sang pria, dan ******* bibir itu dengan rakus.
'Agresif juga, walaupun masih kaku' batin Hisyam.
Lelaki itu tidak tinggal diam, dia menyambut dan lidahnya langsung masuk berbelit dengan lidah Hayana. Tangannya terulur untuk membuka kancing baju perempuan itu.
Namun baru saja menyentuh kancing, Hayana sudah mencubit perut Hisyam sehingga pikiran liarnya buyar begitu saja.
"Aw! kenapa dicubit? kau mengganggu konsentrasiku sayang.."
Hayana mengusap bibirnya dengan kasar. "Kalau minta lebih nikahin dulu, sudah untung aku ngasih cuma-cuma. Bahkan pelangganku diluar sana masih mengantri untuk menciumku,"
"Pelanggan? bahkan ciumanmu masih sangat kaku, apakah nanti nggak kabur pelangganmu,"
"Nyatanya banyak yang menyewaku,"
"Dasar gadis mur-"
Tok - tok
"Na.. kamu tahu nggak mas Hisyam kemana?"
Dua sejoli yang lagi di dalam itu langsung terkejut bingung harus bagaimana, tidak mungkin jika Hisyam keluar dari kamar Hayana, nanti akan menimbulkan kecurigaan..
"Gimana ini caraku keluar?" tanya Hisyam panik.
"Em gimana ya.." Hayana mondar mandir memikirkan.
Tok-tok
Tiba-tiba gadis itu melihat jendelanya. "Om keluar lewat jendela aja," dia membuka pintu jendela.
"Emangnya aku kucing harus lewat jendela,"
"Hayana.." teriak Aleria.
"Bukan kucing tapi kadal darat, cepetanlah mbak Ria sudah teriak-teriak tuh, nanti om lewat belakang rumah tembusnya dapur,"
Akhirnya dengan terpaksa Hisyam melewati jendela tersebut, dan Hayana segera membuka pintu kamar.
"Aku nggak tahu mbak dia ada di mana," jawab adiknya Aleria.
"Tuh orangnya," tunjuk Hayana ketika melihat Hisyam keluar dari arah dapur.
'Cepet banget jalannya' batin Hayana saat melihat sesosok itu sudah ada.
"Kamu kemana aja mas?" Aleria menghampiri Hisyam.
"Tadi lagi ke kamar mandi, kamu mencariku ternyata," tangan Hisyam memegang pipi Aleria.
"Jangan pegang-pegang anak orang! digebukin bapakku tau rasa kamu!" Hayana menghempaskan tangan Hisyam dengan kasar.
'Dasar kadal buntung, padahal tadi sudah janji tidak akan mengganggu kakakku lagi,' gadis itu membatin.
"Maaf, kalau gitu aku pulang dulu ya," pamit Hisyam dengan tersenyum.
"Iya mas, makasih sudah nganterin Riya,"
"Sama-sama, apasih yang nggak buat kamu,"
"Dah pulang sono, nyepet-nyepeti mata aja!" usir Hayana.
"Hayana.. gak boleh kayak gitu," sang adik hanya menampilkan mata jengahnya.
"Oh iya Ria, aku minta nomermu boleh?"
"Boleh kak," Lalu Ria mengetikan nomer w'anya di benda kotak milik Hisyam.
Setelah mendapatkan kontak sang incaran, laki-laki itu bisa berpulang dengan tenang.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!