Aku berjalan penuh semangat menuju pintu keluar Butik tempat Aku bekerja. Jam 4 sudah, saatnya pulang. Aku pamit pada Mbak Nira Desainer di butik itu. Bersamaan dengan Mbak Titik penjahit senior di Butik Delia ini.
"Nafa pamit dulu ya Mbak, Senin jumpa lagi," ucapku pamit pada Mbak Nira, Desainer kawakan di Butik itu. "Ayo Mbak. Bareng Nafa saja, kebetulan kita searah!" ajakku pada Mbak Titik.
"Tidak Naf, Mbak dijemput suami, kebetulan dia pulang juga jam segini." Tolak Mbak Titik halus.
"Oh ya sudah, kalau begitu Nafa duluan, ya," ucapku seraya menuju parkiran motor halaman Butik.
Aku melajukan motorku perlahan membelah jalanan kota ini, menuju rumahku. Butuh waktu 15 menit, motor yang ku tumpangi sampai di depan halaman rumahku.
Aku disambut ramah oleh Wa Rasih, motor yang ku tumpangi sengaja aku tepikan ke teras rumah, supaya nanti mudah saat dimasukkan ke dalam rumah. Walau perumahan tipe 36 ini ada pos Satpam di depan, namun Aku lebih aman memasukkan motorku ke dalam rumah. Motor pemberian Mas Sakti setelah kami menikah.
Aku menghampiri Wa Rasih yang menyambutku. Wa Rasih adalah seorang ART di rumahku. Atas permintaan Mas Sakti suamiku, yang menginginkan seorang ART supaya saat Mas Sakti kerja keluar kota, Aku masih ada teman yaitu Wa Rasih.
Wa Rasih sendiri merupakan tetangga di kampungku. Rumahnya bahkan berdekatan dengan rumah Ibu di kampung. Jarak kampung dengan rumahku yang sekarang, sebetulnya tidak jauh, hanya butuh waktu 1 jam sampai.
Janda tua sebatang kara itu memaksaku untuk bekerja di rumahku, ketika mendengar Aku yang sedang mencari seorang ART.
"Uwa masih kuat bekerja kok Neng, nih lihat tenaga Uwa masih bagus. Bisa masak, nyuci, beres-beres dan semua," ucapnya membeberkan kemampuannya. Memang tidak diragukan lagi kemampuan Wa Rasih dalam hal pekerjaan rumah. Diusianya yang sudah 58 tahun, masih terlihat segar dan kuat.
Wa Rasih memang dekat dengan Ibu. Usianya 3 tahun diatas Ibu, Wa Rasih lebih senang dipanggil Uwa ketimbang Bibi.
"Neng, mau makan dulu atau nanti?"
" Mandi dulu kayanya Bi. Badan Nafa sudah gerah," sahutku seraya menuju kamar mandi.
Setelah mandi Aku merasa sangat segar dan semakin fresh, apalagi sebentar lagi Mas Sakti pulang. Mas Sakti berjanji hari ini pulang dan Aku harus menyambutnya dengan suka cita. Wajahku selalu diliputi senyum dan sumringah. Wa Rasih tahu kalau Aku akan kedatangan suamiku. Makanya hari ini Wa Rasih masak agak banyak.
"Mas tidak bisa pulang hari ini, sayang. Ada kerjaan dan meeting mendadak dari atasan. Sabtu depan ya, sabar ya sayang. Mas sangat merindukanmu," bujuk Mas Sakti di ujung telpon.
Aku menutup telpon dengan lemas, hal yang Aku impikan musnah sudah. Untuk yang kesekian kali Aku harus menelan kekecewaan yang sama dari Mas Sakti. Sudah tiga minggu Mas Sakti tidak pulang. Sedih, kecewa, bahkan rasa curiga kini menyelinap dalam dada.
"Den Saktinya tidak jadi pulang Neng, kalau begitu sebaiknya Neng Nafa makan dulu saja," bujuk Wa Rasih khawatir.
"Nanti saja Wa, Nafa sudah tidak berselera makan," lirihku sedih. Aku beranjak ke kamar menenggelamkan diri dalam kekecewaan. Wa Rasih menatapku dengan perasaan was-was.
Aku hempaskan tubuhku di kasur, Aku benar-benar kecewa dengan Mas Sakti. Sudah tiga minggu berturut-turut dia tidak pulang dengan alasan yang sama, yaitu pekerjaan. Aku tidak habis pikir padahal kita masih bisa dikatakan pengantin baru, namun kebersamaan kita sangat jarang. Bahkan sekarang yang harusnya pulang, dibatalkan karena urusan pekerjaan.
Aku mencoba mengirimkan pesan WA pad Mas Sakti, mencoba mengorek sebenarnya apa yang terjadi. Pesan terkirim, namun untuk beberapa saat belum ada jawaban.
Terkadang terselip rasa curiga pada Mas Sakti, Aku takut Mas Sakti di sana memiliki perempuan lain, dan menduakan cintaku.
Tak berapa lama notif balasan WA berbunyi nyaring.
"Ting.... !" Aku segera meraih HP. Ternyata WA dari Mas Sakti. Segera ku buka dan ku baca.
["Sayang... jangan berprasangka buruk dong. Mas disini benar-benar kerja bukan main perempuan!"] sangkalnya tegas.
["Gimana tidak curiga, Mas sudah tiga minggu tidak pulang. Dan alasannya karena kerja melulu. Tidakkah Mas menyempatkan seminggu sekali pulang, apakah di sana punya yang lain? Sehingga susah banget untuk pulang?"] rajukku sedikit meninggi.
[Minggu depan deh sayang, Mas minta maaf! Mas mohon pengertiannya. Percaya sama Mas, Mas disini kerja dan hanya kamu yang Mas cintai,"] rayunya kembali.
Aku tidak membalas lagi pesan WA dari Mas Sakti, sudah cukup jelas Mas Sakti tidak akan pulang lagi Sabtu ini. Akhirnya Aku menelan kekecewaan. Ingin Aku susul ke sana, namun Mas Sakti tidak pernah memberitahu ke luar kota mana dia bekerja.
"Huhhhh....!" Aku menarik nafas dalam mencoba menenangkan diriku dari rasa kecewa atas sikap Mas Sakti.
Untuk sementara Aku bisa melupakan kekecewaanku dengan bekerja, terlebih sekarang Aku mulai sibuk dengan banyaknya pengunjung di Butik Delia ini. Musim kawinan, Butik Delia banyak pesanan gaun pengantin dari yang tradisional hingga modern.
Saat waktu luang, Aku selalu ke ruang Desainer. Membantu Mbak Nira membereskan gaun yang sudah siap dan digantung di hanger. Saat itu juga Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan, belajar mencuri-curi dari Mbak Nira. Kadang Mbak Nira membuang kertas hasil desainnya yang katanya gagal, Aku memungutnya dan menyimpannya, lalu Aku pelajari dimana gagalnya. Mbak Nira juga tidak pelit bahkan dia mempersilahkan Aku untuk belajar mendesain.
"Naf, kamu sambil belajar saat senggang begini sama Mbak silahkan saja, tapi Mbak tidak bisa secara detail mengajari kamu. Kamu lihat pekerjaan Mbak numpuk begini, kalau kamu bisa mendesain, Mbak bisa terbantu Naf," ucap Mbak Nira seakan memberiku peluang untuk belajar menjadi seorang Desainer.
HSejak saat itu Aku lebih bersemangat lagi dalam bekerja, saat waktu senggang melayani pelanggan Aku selalu ke ruangan Mbak Nira dan belajar mendesain. Untuk sementara Aku bisa melupakan kekecewaanku pada Mas Sakti. Dan hasilnya, Aku bisa mengeluarkan hasil rancanganku. Mbak Nira sangat terkesan dengan hasil rancanganku. Dia bermaksud memperlihatkan hasil desainku pada Bu Delia pemilik butik ini.
"Oke Naf, hasil rancanganmu yang pertama ini menurut Mbak bagus dan modelnya kekinian, gaun malam yang disesuaikan dengan kemauan anak muda dan ibu-ibu muda. Ini belum ada disini. Biar Mbak konfirmasi dulu pada Bu Delia, apakah dia senang atau tidak dengan hasil rancanganmu. Mbak harap bisa diterima oleh Bu Delia. Berdoa saja supaya hasil rancanganmu diterima," ucap Mbak Nira memberiku motivasi lebih.
Aku merasa senang atas apa yang dikatakan Mbak Nira barusan, semoga saja hasil desain yang Aku rancang itu bisa berubah manis. Dan di acc oleh Bu Delia sang pemilik butik.
"Nafa...! Di depan ada yang cari kamu!" seru Mbak Titik memberi tahu. Aku merasa heran, siapa gerangan yang mencari Aku menjelang sore ini?
"Oh... makasih Mbak," seruku.
"Ya sudah, Nafa pamit dulu ya Mbak!" pamitku pada Mbak Titik dan Mbak Nira. Keduanya mengangguk dan bersiap-siap pulang juga.
Aku berjalan menuju pintu keluar butik dan berbelok menuju parkiran motor.
"Sayang....!" panggil seseorang yang sontak membuatku menoleh kaget, sebab Aku merasa kenal suara itu.
"Mas Sakti....!" teriakku sambil menyerobot ke pangkuan suamiku. Tak disangka Mas Sakti tiba-tiba ada di butik tempat Aku bekerja dan sengaja menjemputku.
Rupanya tadi Aku sempat lupa apa yang dikatakan Mbak Titik, kalau di depan ada yang mencariku. Sehingga Aku langsung ke parkiran. Rupanya Mas Sakti yang datang sengaja menjemputku.
"Nafa... dijemput suami ya?" Mbak Nira tiba-tiba sudah berada di sampingku menegur sembari tersenyum. Rasa rindu yang membuncah kepada Mas Sakti, seketika membuatku lupa akan sekitar. Padahal ini masih di lingkungan butik.
"Ehh, Mbak Nira. Iya Mbak, Nafa dijemput suami!" sahutku gelagapan seraya melepaskan pelukan pada Mas Sakti, Aku tersenyum malu-malu. Mbak Nira balas tersenyum melihat Aku tersipu malu.
"Ya sudah, Mbak duluan ya!" pamitnya seraya berlalu. Aku mengangguk.
"Sayang, ayo kita pulang!" Ajakan Mas Sakti menyadarkanku dari kegugupan.
"Eh, iya. Ayo! Tapi... Nafa kan bawa motor. Ya sudah Mas ikuti saja motor Nafa ya!" ucapku sembari menuju parkiran. Mas Sakti tersenyum setuju dengan apa yang Aku katakan. Diapun kembali ke mobil Honda Mobilionya yang terparkir di depan butik. Menghidupkan mesin mobil lalu mengikuti motor maticku kemana berjalan.
Sepanjang jalan Aku merasa bahagia banget akan kehadiran Mas Sakti yang tiba-tiba datang menjemputku. Padahal sebelumnya Aku tidak yakin Mas Sakti akan pulang, mengingat alasan minggu lalu karena kerjaan sehingga tidak jadi pulang. Aku senyum-senyum bahagia sepanjang jalan, sampai tidak terasa sudah sampai di depan halaman rumahku. Rumah pemberian Mas Sakti atas hadiah perkawinanku. Walau rumah sederhana, namun begitu nyaman.
Wa Rasih yang menyadari Aku pulang, sudah siap menyambutku di depan pintu.
"Neng Nafa... sama Den Sakti rupanya." Wa Rasih menyambut kedatangan Mas Sakti dengan hormat.
Aku masuk ke rumah yang baru Aku tempati kurang lebih enam bulan itu beriringan dengan Mas Sakti. Mas Sakti langsung masuk ke kamar seraya menuntunku. Mas Sakti tiba-tiba merangkulku begitu erat seraya berbisik, "kangen sayang....!".
Aku tahu Mas Sakti begitu kangen sama Aku terlihat dari sorot matanya, Aku juga sama.
"Mas... jangan dilanjut dulu! Nafa mau mandi dulu, badan Nafa gerah dan lengket!" cegahku menghalau niat Mas Sakti yang sudah menggerayangi tubuhku.
"Biarkan saja, mandinya nanti setelah kita bergulat satu ronde. Gimana?" tanyanya genit, tanpa menunggu persetujuanku, Mas Sakti kini melancarkan aksinya menyalurkan hasrat kerinduannya.
"Mas rindu banget sayang, Mas minta maaf tidak bisa selalu menepati janji untuk selalu pulang tiap hari, jangankan tiap hari seminggu sekali saja Mas kadang mengingkari!" ucapnya penuh sesal, seraya melepaskan pagutan bibir kami yang tadi saling mengecap. Aku menatap wajah Mas Sakti yang penuh kesungguhan.
"Nafa tidak apa-apa Mas, asal Mas Sakti di sana baik-baik saja dan benar-benar bekerja," ucapku mencoba memahami Mas Sakti.
"Terimakasih sayang....!" ujarnya seraya melancarkan kembali aksinya.
Dan sore itu sebelum kami mandi, akhirnya pergumulan panas penuh kerinduan itu terjadi begitu dahsyat. Aku merasa bahagia, Mas Saktipun demikian. Dia tiada henti menciumi seluruh wajahku dengan gemas seraya berterimakasih dan minta maaf.
"Terimakasih sayang, telah menjadi bagian hidup Mas. Apapun yang terjadi kelak, Mas harap kamu selalu ada di samping Mas. Yang jelas, cinta Mas terhadapmu begitu besar, tulus dan tak terhingga. Tapi, sekali lagi Mas minta maaf, karena Mas tidak bisa setiap hari bersamamu!" ucapnya lirih seraya merangkulku erat. Ada butiran bening yang jatuh saat Mas Sakti berbicara seperti itu.
"Nafapun mencintaimu Mas, tulus, dan semoga hanya maut yang akan memisahkan kita. Nafa mau, Mas adalah cinta pertama dan terakhir Nafa!" doaku dalam hati penuh kesungguhan.
Hari beranjak malam. Setelah makan malam, Mas Sakti segera masuk kamar. Sementara Aku masih berkutat menemani Wa Rasih di dapur. Walau Wa Rasih ARTku, namun Aku selalu turun tangan membantu Wa Rasih. Wa Rasih selalu melarangku, namun Aku tidak menghiraukan.
"Hanya bantuan kecil Wa, santai saja," ujarku seraya membersihkan meja.
"Wa..., setelah mencuci piring istirahatlah. Lagipula sudah tidak ada lagi hal yang perlu dikerjakan lagi. Saya masuk kamar dulu ya Wa!" pamitku meninggalkan Wa Rasih yang mencuci piring.
Aku segera melangkahkan kaki menuju kamar dimana suamiku sudah berada di sana. Namun Aku tidak menemukan Mas Sakti. Rupanya Mas Sakti berada di balkon. Aku membiarkan Mas Sakti berbicara di telpon, Aku mendekat tanpa menegur.
"Ok Ma, Sakti lagi di luar kota dulu. Rafa tidak rewel kan?" Aku mendengar apa yang barusan Mas Sakti ucapkan. "Ya sudah Ma, titip Rafa dulu. Senin Sakti baru bisa pulang. Memangnya Meta sama sekali tidak datang?" ucapnya lagi. Aku sedikit menjauh setelah melihat Mas Sakti perlahan memutar tubuhnya ke arahku.
"Ya sudah Ma, nanti Sakti telepon lagi!" Mas Sakti segera menutup pembicaraan di telponnya, setelah melihat keberadaanku. Mas Sakti tersenyum seraya menghampiriku, lalu merangkulku.
"Eh..., sayang! Sudah lama?" ucapnya seraya mencium keningku dan memapahku ke ranjang.
"Nafa kira... Mas sudah tidur, rupanya sedang telponan." Ujarku.
"Iya, Mas barusan telponan sama Mama!"
"Mama....?" seruku. Mas Sakti tiba-tiba terlihat gugup saat Aku menyerukan kata mama.
"Mas telponan sama Mama Mas Sakti? Gimana apakah Mama Mas Sakti sehat? Kapan dong Mas, Nafa bisa ketemu sama Mama Mas Sakti, masa sih sudah 6 bulan kita menikah, Mas tidak ada niat untuk Nafa dikenalkan sama Mama. Masa iya Mama Mas Sakti masih sibuk dengan bisnisnya. Atau kita saja yang ke sana Mas, berkunjung ke rumah Mama," rengekku.
"Bukan tidak ada niat, tapi memang Mas belum ada waktu untuk menemui Mama. Mas terlalu sibuk sayang. Barusan saja Mama menanyakan Mas kapan bisa ke rumah. Mas tidak bisa janji kapan Mas bisa ketemu Mama dan membawamu ke hadapan Mama." Bujuk Mas Sakti yang melihatku merajuk.
"Mas itu selalu alasan, terlalu sibuklah, belum ada waktulah, dan lain sebagainya. Sampai kapan Nafa bisa dianggap menantu sama Mama Mas Sakti?" rajukku yang terus merengek.
"Sabar sayang, nanti segera Mas ketemukan kamu dengan Mama Mas Sakti. Tapi sabar dulu, sekarang kamu jangan marah dan kesal dulu ya. Sekarang saatnya kita bersenang-senang. Lupakan dulu masalah lain," rayunya sembari memeluk tubuhku dan tangannya yang mulai nakal bergerilya kemana-mana.
"Ayo dong kita lakukan lagi yang tadi siang!" ajaknya menggoda. Rupanya Aku tidak tahan juga dengan godaan dan pesona yang dihadirkan Mas Sakti. Apalagi Aku memang sangat merindukan Mas Sakti yang jarang Aku temui setiap hari.
Mas Sakti mulai melancarkan serangannya. Serangan pertamanya mencium bibirku dengan lembut.
"Sayang..., sekarang tidak perlu lagi minum pilnya, Mas sudah siap punya anak dari kamu!" ucapnya menjeda sejenak pagutan bibir kami.
"Sudah sejak sebulan yang lalu Mas, Nafa tidak meminumnya," balasku.
"Kalau begitu mari kita lakukan!" ajaknya tersenyum girang. Dan akhirnya kami melakukan kembali adegan panas tadi sore dengan menggebu-gebu dan hasrat yang semakin membara.
Mohon dukungannya ya! Novel ini sedang mengikuti sebuah event. Maka dari itu Author dengan sangat....meminta dukungannya dari Readers. Kasih like, komen, vote dan jangan lupa Favoritkan ya teman-teman. Terimakasih.....
"Sayang... Mas pergi dulu ya, Mas ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan!" ucap Mas Sakti saat akan berpamitan kembali ke luar kota.
"Baik-baik ya di sini, jaga diri dan hati," ucapnya mewanti-wanti. Sedang aku hanya bisa menatapnya sedih dengan perasaan rindu yang masih menggebu. Terpaksa aku melepas kepergian Mas Sakti dengan berat hati.
"Wa Rasih, titip istri saya. Saya pamit dulu," ujarnya lagi pada Wa Rasih. Wa Rasih mengangguk seraya menyahut,
"Baik Den, hati-hati di jalan!"
Mas Sakti pergi menjalankan Mobilianya dengan kecepatan sedang, sementara waktu masih jam 5.30 pagi. Jalanan pun masih nampak lengang. Aku berlalu ke dalam, kembali lagi ke kamar dan membaringkan tubuhku.
"Ting...!"
Tiba-tiba bunyi notifikasi M-bankingku menyala. Rupanya Mas Sakti mengirimkan sejumlah uang sebagai nafkah ke rekeningku. Jumlahnya lebih besar dari bulan sebelumya. Padahal uang bulan yang lalu masih ada. Biarlah akan aku kumpulkan, setelah besar nanti uangnya akan kujadikan modal buat mendirikan butik. Itu obsesiku.
"Sayang, mas minta maaf tidak bisa lama menemanimu. Mas juga sedih berpisah dari kamu. Insya Allah minggu depan mas pulang lagi, ya. I love you... babe." pesan WA dari Mas Sakti setelah notifikasi M-bankingku menyala. Aku tidak membalasnya, yang ada aku hanya bertambah sedih.
Aku pemilik hatinya dan dia pemilik hatiku, tapi mengapa rasanya ada sesuatu hal besar yang disembunyikan Mas Sakti? Dan aku tidak tahu hal besar apa itu? Suatu saat aku harus mengetahuinya.
Kepergian Mas Sakti sebetulnya membuat hati sedih, aku masih ingin bersamanya. Namun karena pekerjaannya di luar kota yang tidak bisa ditinggalkan, terpaksa mengorbankan waktu kebersamaan kami.
Aku berkutat kembali dengan pekerjaanku sebagai pelayan di Butik Delia. Wanita matang yang masih cantik dan awet muda di usia 40 tahunnya itu, adalah pengusaha butik yang sudah terkenal di mana-mana. Aku merasa termotivasi dengan kegigihannya menjadi seorang pengusaha butik, suatu saat aku pun harus bisa mewujudkan impianku menjadi Desainer dan memiliki butik sendiri. Itu tekadku.
Masih disela waktu senggangku, aku belajar diam-diam membuat desain baru. Konsepku tetap gaun yang kekinian dan menganak muda. Mungkin dipengaruhi oleh usiaku yang masih terbilang muda, jadi semua desain yang aku buat tidak luput dari tema anak muda atau ibu muda kekinian. Aku terus belajar dan belajar supaya keahlianku dalam mendesain semakin terasah seperti Mbak Nira.
Sampai pada suatu senja di hari Sabtu saat jam pulang tiba, Mbak Nira memanggilku untuk ke ruangan Bu Delia. Aku heran, ada apa sebenarnya?Aku mengikuti Mbak Nira di belakangnya, jantungku tiba-tiba berdebar kencang seperti akan ada sesuatu kabar yang mengagetkan, entah itu baik atau buruk.
Tiba di ruangan Bu Delia, Aku terkagum-kagum sejenak menikmati suguhan yang bernuansa hijau toska, warna favoritku. Beliau mendesain ruangannya secantik mungkin dan kesan adem menjalar di setiap sudut ruangan. Woww... seleranya tinggi. Wajarlah, Bu Delia, kan, orang kalangan atas. Maklumku.
"Silahkan duduk Nira dan Nafa. Kalian tahu kenapa kalian dipanggil ke ruangan saya?" tanya Bu Delia. Aku menggeleng, sementara Mbak Nira tersenyum kecil.
"Selamat ya Nafa, rancangan kamu yang minggu lalu saya acc dan terpilih sebagai rancangan yang harus dipajang atau dikeluarkan minggu depan. Banyak yang menyukainya, dan memesan rancangan gaun malam hasil desainmu. Rupanya kamu berbakat ya jadi Desainer."
"Di butik saya ini belum ada gaun malam yang konsepnya anak muda atau ibu muda, tapi sejak desain rancanganmu keluar, animo pembeli begitu besar dan banyak yang menginginkan rancanganmu. Jadi, mulai saat ini kamu naik jabatan menjadi Asisten Desainer. Kalian berdua akan jadi partner yang klop. Maka bekerjasama lah dalam pekerjaan ini."
Pernyataan Bu Delia barusan sontak membuatku terkesima, aku tidak menyangka. Benar-benar diluar dugaanku. Aku tiba-tiba sangat terharu, lalu memeluk Mbak Nira diiringi tangis bahagia.
Benarkah hasil desainku terpilih sebagai rancangan yang diminati kaum muda dan ibu muda? Aku memeluk Mbak Nira erat, dan berterimakasih padanya. Sebab berkat Mbak Niralah tangan terampilku bisa menghasilkan sesuatu rancangan yang diminati kaum muda dan ibu-ibu muda.
"Terimakasih Mbak Nira, Mbak begitu baik sama Nafa. Nanti gajihan Nafa traktir, ya" ujarku. Mbak Nira hanya ketawa menanggapi ucapanku.
"Okelah, mulai sekarang kalian harus jadi partner yang kompak. Berbahagialah Nafa," seru Bu Delia memberi ucapan selamat dan menyalami tanganku.
...****************...
Aku menjalankan motor maticku dengan kecepatan sedang. Hatiku berbunga-bunga setelah mendapat berita dari Bu Delia tadi.
Aku berhenti sejenak di toko makanan dan membeli beberapa cemilan dan minuman pelengkap kulkasku.
Saat aku mau keluar dari toko makanan itu, tiba-tiba secara tidak sengaja aku bertabrakan dengan seseorang.
"Bruk, aduhh," ringisku menahan sakit, tapi aku segera bangkit sebab senja sebentar lagi menghilang.
"Maaf Mas, saya tidak sengaja!" ucapku meminta maaf seraya memungut barang belanjaan yang tercecer. Saat aku berdiri dan sekilas melihat pria yang tadi tabrakan denganku, spontan aku berteriak tidak percaya.
"Mas Raka," jeritku.
"Nafa," jeritnya juga.
"Setelah sekian lama akhirnya kita berjumpa," ucapnya bahagia.
Mas Raka merupakan salah satu cowok terkenal di sekolahku dulu. Dia kakak kelas dua tingkat diatas ku. Malah dengar-dengar dia pernah naksir padaku saat itu. Namun aku tidak terlalu mempedulikannya. Sebab saat itu aku belum mau pacaran.
Sejak Mas Raka keluar SMA, aku mendengar dia kuliah ke luar negeri. Dan kini setelah 7 tahun lamanya, kami dipertemukan kembali.
"Maaf Mas, tadi Nafa tidak melihat ada orang. Jadinya kita malah tabrakan," ucapku gelagapan.
"Tidak apa-apa Naf," ucapnya pendek.
"Apa kabar Nafa?" lanjutnya bertanya.
"Nafa baik Mas, eh ngomong-ngomong Nafa permisi dulu ya, Nafa buru-buru takut keburu Magrib!" ucapku pamit dan segera beranjak.
"Nafa."
Aku tidak menyahut hanya menoleh sejenak, lalu menaiki motor maticku.
"Mas Raka..., Nafa duluan ya," teriakku berpamitan. Mas Raka menatap kepergianku nanar, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.
Hari Minggu siang cuaca sangat panas, aku sengaja duduk di teras depan. Sambil memperhatikan bunga-bunga yang tertiup angin. Angin yang sepoy-sepoy seketika menerpa tubuhku, segarnya.
Tepat jam dua siang, tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku terus memperhatikan mobil itu. Satu persatu keluar, dua orang perempuan beda usia dari mobil itu. Yang satu sebaya dengan ibuku yang satunya lagi berusia sekitar 5 tahun lebih tua dariku.
Mereka berjalan dengan angkuh menuju ke arahku. Mereka dengan liar menatap nyalang ke arahku.
"Mau cari siapa Mbak dan Ibu?" tanyaku ramah meskipun yang ditanya tidak ramah sama sekali.
"Kami mau cari kamu," ucap mereka kompak dan tegas.
"Saya...? Ada apa cari saya?" Aku merasa heran.
"Untuk melabrakmu," desis wanita yang lebih muda seraya menatap mataku bengis.
"A- ada apa Mbak, men-cari saya? Tapi kenapa? Saya tidak merasa kenal Mbak?" tanyaku gugup.
"Alah, jangan pura-pura polos. Jadi, ini wanita simpanan Mas Sakti yang telah merusak rumah tangga orang?" cetus perempuan yang lebih muda dengan sorot mata tajam.
"Apa maksud Mbak, wanita simpanan perusak rumah tangga orang? Jangan asal tuduh Mbak, kalian salah orang. Saya telah menikah tapi dengan laki-laki singel," tandasku membela diri.
"Bukti apa yang bisa kamu sodorkan kalau kamu telah menikah dengan laki-laki singel?" tanya perempuan yang lebih muda dengan raut muka yang judes.
"Bukti buku nikah. Sebentar saya ambil," ucapku dan segera berlari ke dalam rumah. Di depan pintu aku melihat Wa Rasih menatapku khawatir.
"Jangan khawatir Wa, jika ada apa-apa dengan Nafa, Wa Rasih tinggal bantu Nafa nanti. Kalau cuma sekedar omongan kasar Insya Allah Nafa masih bisa menghadapinya," jelasku seraya berlari kecil menuju kamar.
Aku kembali lagi ke hadapan dua wanita berbeda usia itu dengan membawa bukti buku nikah. "Ini." Aku memperlihatkan buku nikah tersebut dengan hati berdebar.
"Jadi, saya harap Anda jangan sembarangan menuduh saya merebut suami orang, mungkin Anda salah orang," sergahku.
Kedua wanita itu ternganga tidak percaya saat aku memperlihatkan buku nikahku dan bermaksud merebutnya dariku, namun dengan cepat aku menepisnya.
"Jangan senang dulu pelakor, aku juga punya bukti buku nikah yang pengantin prianya aku yakin sama dengan buku nikah yang ada di kamu!" serangnya seraya mengambil sesuatu dari tasnya dan memperlihatkan sebuah buku nikah
"Lihat baik-baik. Ini foto suamiku. Enam tahun lalu kami menikah, dan kami telah dikaruniai seorang anak laki-laki. Kurang jelas bukti yang aku sodorkan?" Aku terhenyak tidak percaya dengan yang baru saja aku lihat. Pernikahan perempuan itu jelas sudah 6 tahun sedangkan aku cuma baru 6 bulan.
"Kenapa, kok diam? Panik ya kalau ternyata kamu baru sadar bahwa kamu adalah seorang pelakor?" tekannya.
"Tidak. Kalian pergi dari sini. Dan jangan sekali-kali kalian sebut saya sebagai pelakor, sebab yang saya tahu suami saya adalah pria singel. Pergi kalian!" usirku dengan dada yang bergemuruh.
"Hahahha. Kasihan sekali, masih muda tapi hidupnya hanya pandai merusak rumah tangga orang," ejeknya lagi sambil tertawa.
"Pergi... saya bukan pelakor. Pergi kalian!" usirku lagi diiringi isak tangis yang mulai keluar.
"Dasar pelakor, tidak bisa mendapatkan pria singel malah merebut suami orang," hardik wanita yang mengaku istri Mas Sakti dengan kasar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!