Alhanan Farabi mengamati beberapa koleksi cincin pertunangan yang bertengger di etalase toko emas yang berada di sebuah mall. Pria tampan rupawan yang berpostur tinggi 170cm itu memakai kaos berkerah berwarna biru tua, wajahnya berseri ketika matanya tertuju pada sebuah cincin permata biru.
Jarinya mengetuk kaca etalase manakala seorang karyawan menanyakan cincin yang akan dibeli.
"Yang itu mbak!" katanya mantap.
" Emmmh sebentar mbak...." Lanjutnya, matanya mencari seseorang yang bisa dijadikan model. Ya saat itu Alhan hanya sendiri tanpa ditemani oleh kekasihnya. Alhan hanya ingin memberi surprise untuk wanita pujaan hatinya. Di usianya yang 28 tahun dirasa cukup untuk menikah. Alhan ingin mengakhiri masa lajangnya dengan melamar dan menikahi Nurmala Dewi, seorang guru SMA.
"Permisi mbak, bisa minta tolong?" Tanyanya sopan pada seorang wanita yang sedang menenteng barang belanjaan. Wanita cantik berhijab navy itu terlihat sangat anggun dengan paduan pakaian yang ia kenakan. Tubuhnya langsing dengan tinggi badan 165cm.
"Sebentar saja. Saya mohon mau ya!" Desaknya dengan penuh harapan.
"Minta tolong apa ya mas? Tapi saya ga bisa lama karena masih ada urusan " Jelas wanita yang bernama Wafa Zahira dengan ramah.
"Mau pinjam Jari manis mbak untuk mencoba cincin tunangan" Ujar Alhan to the poin sambil tersenyum.
Wafa bergeming heran bisa-bisanya mau tunangan calon istri tidak diajak untuk memilih cincin tunangan, malah meminta orang lain yang tidak dikenal untuk mencobanya. Kalau cincinnya dibawa kabur gimana? Wafa membatin.
"Mari Mbak, ini tolong masukan cincin ini ke jari Mbak ya!"
"Cincinnya bagus, Mas. Semoga calon istri Mas suka. Tapi ngomong-ngomong kenapa calon istri Mas ga dibawa?" Wafa sedikit penasaran sambil terus menatap cincin yang melingkar di jari manisnya.
" Saya mau bikin surprise Mbak. Sebentar ya, jangan dulu dilepas! Saya mau foto cincinnya dulu mumpung masih melingkar di jari manis Mbak" Ujar Alhan dengan wajah berbinar.
Ckrek
Ckrek
Tanpa sepengetahuan Wafa, Alhan mengambil gambarnya yang sedang tersenyum manis sambil menunjukan cincin permata biru yang terselip indah di jari manis sebelah kiri.
Namun tiba-tiba deringan ponsel Wafa berhasil mencuri atensi keduanya.
"Maaf saya tinggal dulu mau terima telepon" Tanpa menunggu jawaban dari Alhan, Wafa menjauh dari keramaian toko itu. Tanpa curiga sedikitpun Alhan membiarkan Wafa menerima teleponnya.
Sambil melihat-lihat model lainnya salah satu karyawan yang bernama Weni menegur Alhan,
" Mas cincin yang tadi mana ya? Mas belum mengembalikannya!"
"Sebentar ya Mbak. Yang nyobain cincin tadi sedang nerima telepon" Alhan sesekali melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. Gerak-gerik Alhan tidak luput dari pantauan Weni yang menaruh curiga pada pria itu. Sudah sekitar 30 menit Wafa tidak kembali di toko itu. Alhan mulai resah. Mukanya berubah menjadi tegang. Pikirannya kalut.
"Mas wanita tadi belum kembali?" Tanya Weni
karena menurutnya uji coba cincin hanya berlaku paling lama 5 menit, lah ini sudah 40 menit cincinnya belum kembali.
"Sebentar ya Mbak. Mungkin nelepon nya belum beres" Kata Alhan dengan tenang padahal hatinya sudah ketar-ketir.
"Mas telepon saja ke hapenya!" Solusi Weni. Alhan bingung. Kalau tau nomor hape wanita itu sejak tadi ia sudah menghubunginya.
Namun pertemuan singkat tadi membuat Alhan lupa berkenalan, ironis.
"Aku ngga punya Mbak....." Katanya polos.
"Apa! Mas gimana sih nomor hape pacar aja ga tau. Heran deh sudah mau tunangan juga!" Weni tersulut emosi, ngomel sambil geleng-geleng kepala.
"Maaf Mbak tapi masalahnya yang tadi itu bukan pacar. Dia itu orang yang tidak saya kenal, yang dimintai tolong untuk mencoba cincin itu" Alhan mencoba menjelaskan dengan raut muka yang kusut. Pasalnya cincin yang akan dibelinya masih melingkar di jari wanita itu. Hadeuh😔
"Aih kok bisa? Mas....Mas ... gampang banget percaya ke orang lain, ga dikenal lagi. Kalau dia penipu gimana? Walaupun penampilan syar'i tapi zaman sekarang ga jamin, Mas!" Suara Weni agak meninggi untungnya suasananya mulai sepi. Beberapa orang banyak yang kepo dengan keributan yang ada.
"Makanya Mas kalo mau beli cincin tuh pacarnya dibawa jadi ga nyamber orang asing, jadi kena tipu kan? Pokoknya aku ga mau tau cincin itu harus dibayar sekarang juga kalau ga, Mas aku laporkan ke bagian keamanan!" Gertak Weni penuh emosi.
" Loh Mbak cincin itu kan ga ada di tangan saya!" Bisa-bisanya Alhan protes yang membuat Weni naik pitam.
"Oooh jadi Mas ga mau bayar, sekuri...!"
Alhan membungkam mulut Weni, namun Weni menepisnya dengan kasar.
Seorang satpam menghampiri mereka, mencoba untuk menengahi kisruh yang terjadi pada mereka.
"Ada apa ini?"
"Bawa orang ini ke posko keamanan! Dia sindikat pencurian emas yang kami jual pak! Cincin yang tadi dicoba dibawa kabur sama pacarnya pak"
"Mbak saya sudah katakan tadi, dia itu bukan pacar saya. Pak saya mohon bantu saya untuk mengejar wanita itu, dia pergi sambil menelpon!" Alhan memohon bantuan satpam untuk mengejar wanita yang sudah membawa cincin pilihannya.
"Sebaiknya Anda jelaskan di posko saja, ayo!" Mereka bertiga berjalan menuju posko keamanan yang tidak jauh dari tempat itu.
Sesampainya di posko ia menceritakan kajadian naas tadi.
"Anda tahu ciri-ciri wanita itu atau barangkali fotonya?"
"Dia berhijab navy. Tapi wajahnya saya lupa karena pertemuan tadi sangatlah singkat" Alhan mengusap wajahnya kasar. Padahal tadi Alhan sempat mengambil gambar wajah wanita itu. Saat situasi seperti itu Alhan sama sekali tidak mengingatnya.
"Hadeuh Mas, Gimana saya mau nangkap wanita itu? "
"Eh Mas saya ga mau tahu ya, cincin itu harus segera dibayar!"
" Loh mbak cincin itukan tidak ada pada saya, gimana saya bisa bayar? Mbak ini ada-ada saja"
"Saya ga mau tahu ya. kalau tidak mau bayar maka saya bawa kejadian ini ke kantor polisi "
" Iya-iya aku bayar, berapa?" Alhan tidak ingin memperpanjang masalah. Bisa runyam urusannya. Semua gara-gara wanita itu. Huh!!
"Lima puluh juta" Ujarnya ketus.
"What! Mahal amat? Sepuluh juta saja ya?"
"Hey Mas jangan main-main ya! Kalau Mas ga sanggup beli ga usah sok-sokan memilih barang mewah"
"Iya....iya saya sanggup bayar kok, ini!" Alhan memberikan kartu kredit. Wanita itu menerimanya dengan antusias. Ia berpamitan pada satpam yang ada di pos itu, dia anggap peristiwa tersebut sudah selesai di atasi.
Selanjutnya karyawan tersebut mengurus pencatatan transaksi jual beli perhiasan.
"Gitu dong, ini namanya bertanggung jawab. Semoga rizki Mas lancar terimakasih sudah membeli di toko ini" Ujarnya ramah. Sambil meyerahkan kartu kredit dan nota pembayaran dan tidak lupa sebuah kotak perhiasan berwarna merah berbentuk love.
"Hemmm. Saya nitip ini. Berikan pada wanita tadi. Mudah-mudahan wanita itu balik lagi ke sini" Alhan menitipkan kartu namanya.
Dengan langkah gontai Alhan menuju parkiran motor. Dia membuang nafasnya kasar. Dalam hatinya berharap semoga wanita itu memiliki itikad baik untuk mengembalikan cincin yang tertinggal di jari manisnya.
...****************...
Alhan menghampiri motornya yang masih terparkir. Matanya menyapu parkiran tersebut berharap bertemu dengan wanita itu. Hasilnya nihil. Alhan berdecak kesal, giginya bergemeluk.
Dengan sekejap dia kehilangan cincin yang bernilai 50juta. Dia menarik nafas untuk menetralkan hati yang tak menentu, saat ini pikirannya kacau.
Menyalahkan wanita itu tentu tidak bijak juga karena ini murni kesalahannya kalau tidak bertindak ceroboh tentu endingnya tidak akan seperti ini. Harusnya tadi diajak saja Nurmala, ga perlu ada keinginan untuk memberi kejutan segala.
Alhan mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang. Dia ingin menyegarkan otaknya yang semrawut.
Motornya ia parkir di depan masjid raya. Ia tunaikan sholat Dzuhur berharap ada ketenangan setelahnya. Disetiap sujudnya terselip sebuah doa agar dirinya dipertemukan kembali dengan wanita itu. Karena harapan dan kebahagiaannya ada pada cincin itu.
Susah payah Alhan mengumpulkan uang di setiap honor yang ia terima sebagai pendidik. Alhan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya mampu untuk membeli cincin pertunangan dari hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan dari keluarganya
Sebenarnya keluarga Alhan termasuk keluarga yang berada. Ayahnya Ibrahim Saleh seorang dokter yang memiliki Klinik Sehat Medika, sedangkan ibunya Rianti Sury hanya seorang ibu rumah tangga. Alhan tidak berminat mengikuti jejak ayahnya sebagai dokter, dia lebih tertarik pada dunia pendidikan.
"Alhan kamu di sini?" Tegur seorang laki-laki yang baru saja datang. Alhan sedang memakai sepatu di serambi masjid. Alhan memicingkan matanya. Mengingat sesuatu
"Rasya? Ya ampun benar ini kamu? Lama tidak jumpa, kamu sekarang di mana?"
" Ya di sini." Jawabnya dengan tersenyum, dia Rasya sahabatnya saat kuliah di Bandung yang sempat kehilangan kontak beberapa tahun belakangan ini.
"Ya iya kamu sekarang di sini maksudku kamu kerja di sini atau bagaimana?"
Rasya tersenyum, seraya duduk di samping Alhan dan membuka sepatunya.
"Aku ga akan jawab sekarang. Pokoknya kamu tunggu aku selesai sholat" Rasya langsung beranjak pergi.
"Hey santai saja jangan terburu-buru sholatnya!" Rasya membalikkan badan mengangkat kedua jempol tangannya.
Pertemuannya dengan Rasya yang tidak disengaja seolah ada sebuah harapan untuk bisa menumpahkan segala isi hatinya yang sedang kacau. Ya Rasya sejak dulu selalu memberikan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada dirinya sehingga ia sering dijuluki sebagai seorang psikolog.
Dia seorang dokter kandungan di rumah sakit ternama di Bandung. Walaupun selama kuliah berbeda fakultas namun persahabatan yang terjalin begitu kental.
"Sudah makan siang?" Rasya duduk di sebelahnya memakai kaos kaki dan segera memasukkannya dalam sepatu.
"Belum. Oiya kita sambil makan yuk! Ada tempat lesehan yang tak jauh dari sini. Kita jalan saja" Mereka beranjak dari masjid menuju sebuah rumah makan lesehan yang terkenal enak di kota ini.
"Saya ke sini lagi main. Mau bertemu seseorang yang masih diperjuangkan"
"Oh ya? Jauh amat dari Bandung ke sini....memang di sana ga ada stok?"
"Stok banyak tapi yang ini berbeda, Ori banget, banyak yang mau sama dia jadi saya ga mau keduluan sama orang lain. Eh terus kamu gimana kamu masih sama si Tania?"
Alhan menghentikan makannya sejenak lalu menghabiskan makanannya agar ia lebih leluasa untuk berbicara.
"Sudah engga. Sekarang beda orang lebih dari segalanya"
"Kalau sudah ada jangan kebanyakan mikir, Han. Cepat halalkan. Ga baik pacaran terus"
"Itu dia masalahnya Sya, aku tuh barusan beli cincin tunangan tapi pasanganku ga diajak"
"Wah parah nih orang, terus?" Rasya masih belum selesai makan. Ia dengan serius mendengarkan cerita Alhan yang membuat ia tertawa sekaligus kasihan.
"Jangan-jangan perempuan itu calon isteri kamu sesungguhnya, Han. Cantik ga orangnya? Lagian kamu tuh ya masih aja ceroboh makanya sebelum bertindak berpikir dulu. Kamu sih cerdasnya di atas rata-rata jadi oleng begitu, hadeeeuh."
"Terus aja meledek. Aku butuh solusi nih. Aku ga bisa melamar kalau ga ada cincin itu. Menurut kamu apa yang harus aku lakukan?"
"Ya carilah orang itu. Lalu kalau sudah bertemu langsung nikahi. Kan cincinnya sudah disematkan di toko perhiasan ha...ha...ha...." Mata Alhan melotot tajam.
Pertemuannya dengan Rasya membuat dirinya harus bersabar menunggu keajaiban dari si pemberi rezeki untuk dapat mengembalikan cincin itu ke tangannya. Setidaknya pikirannya agak sedikit tenang setelah mendapat wejangan dari sahabatnya itu.
Malam ini Alhan mengajak Nurmala pergi, karena sebelumnya ia sudah merencanakan akan melamar Nurmala, namun semuanya kandas. Rencana lamaran harus dijadwal ulang setelah cincin itu kembali dan Alhan bisa menemukan wanita itu. Alhan harus lebih bersabar menanti momen kebahagian yang ia impikan bersama Nurmala.
Ada rasa geram pada wanita itu seandainya..... seandainya..... seandainya dan waktu tidak dapat berputar kembali hanya rasa penyesalan yang terdalam terpatri dalam hati
Alhan menghentikan motornya tepat di depan gang mawar. Di sana terlihat seorang wanita cantik dengan rambut hitam sebahu yang tergerai indah, berpakaian t-shirt berwarna putih dipadukan sweater rajut hitam dan celana panjang terkesan santai.
Nurmala tersenyum manis menyambut kedatangan pujaan hatinya. Alhan memberikan helm pada Nurmala.
" Han, kita mau kemana?"
" Rumah makan Almira ya, temani aku makan!" Cetus Alhan yang mendapat anggukan dari Nurmala. Motor itu melaju dengan santai.
Malam begini seharusnya Alhan membawa mobil agar Nurmala tidak kedinginan. Namun sejak menjalin hubungan dengan Nurmala ia tidak ingin memperlihatkan kemewahannya yang memiliki mobil walaupun itu sebuah hadiah ulang tahun dari ayahnya, menurutnya dia hanya memiliki motor butut hasil jerih payahnya selama ini.
Bahkan selama ini Nurmala tidak mengetahui Alhan pun sebagai dosen. Yang Nurmala tahu Alhan hanyalah seorang guru honor yang penghasilannya pas-pasan. Jadi wajar saja kalau Alhan hanya mengajak makan malam di rumah makan biasa bukan di restoran.
Alhan berbuat seperti ini bukan tanpa alasan. Dia hanya ingin mengetahui ketulusan cinta dari calon istrinya. Dia sempat kecewa dengan hubungan sebelumnya wanita yang sangat ia cintai hanya mengeruk hartanya saja setelah ketahuan Alhan hanya guru honor, hubungan mereka kandas.
Alhan hanya diam sambil memainkan ponselnya. Pikirannya bercabang. Dia membuka galeri foto untuk melihat-lihat momen terindah bersama Nurmala dan tanpa sengaja menemukan foto wanita cantik berhijab yang sedang tersenyum manis sambil memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Sudut bibirnya tertarik, hatinya bergemuruh.
Mengingat kejadian tadi siang, namun hatinya mulai terasa adem setelah melihat foto itu setidaknya dengan adanya foto tersebut Alhan bisa mencari wanita itu, ada titik terang menuju kebahagiaan. Nurmala yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Alhan merasa ada yang aneh dalam diri laki-laki itu.
"Han....kamu kenapa?"
Alhan gelagapan.
" Ah tidak....tidak ada apa-apa. Gimana- gimana pesanan kita kok belum datang ya? Gimana tadi di sekolah, ada yang menarik untuk diceritakan?" Alhan mencoba menetralkan hati, mengalihkan pembicaraan.
Dia tidak mungkin menceritakan kejadian tadi siang pada Nurmala, khawatir terjadi salah paham kalau Alhan memperlihatkan foto wanita itu.
"Kamu tadi lihat apa sih di ponselmu itu? " Nurmala masih penasaran. Tadi Alhan terlihat kesal.
" Ga apa-apa sayang sudah ga usah dibahas. Itu ga penting. Kamu doakan saja ya, agar kita secepatnya bersatu. Tanpa ada kendala apa pun" Alhan mencoba tersenyum. Nurmala mengangguk ragu. Mukanya berubah pias.
Dalam hatinya masih terukir sebuah nama lain tetapi bukan Alhan.
Setelah menerima telepon dari seorang suster, Wafa terburu-buru meninggalkan mall tempatnya berbelanja. Ada pasien yang butuh penanganan secepatnya. Dengan langkah cepat ia menuju basement, tempat mobilnya diparkir.
Bidan Wafa begitulah ia dipanggil. Nama lengkapnya Wafa Zahira bekerja di sebuah Klinik Sehat Medika selain itu, ia pun bertugas di puskesmas yang terletak sekitar 2 km dari klinik tersebut. Sejak kedua orang tuanya meninggal ia tinggal bersama kakek Malik dan nenek Maryam, karena rumah kakek lumayan jauh dari tempatnya bertugas ia mengambil kontrakan yang terdekat dengan tempatnya bekerja, tepatnya di belakang klinik tersebut.
Wafa memarkirkan mobilnya tepat di area parkir Klinik Sehat Medika. Langkahnya tergesa memasuki ruang bersalin. Sebelum menangani pasien yang akan melahirkan, ia mencuci tangannya di wastafel ruangan tersebut.
" Bagaimana Suster, pasien sudah pembukaan berapa?" Netranya tertuju pada seorang ibu yang sedang meringis menahan nyeri pada perutnya. Dia sudah mengalami kontraksi secara intensif. Tangannya dilap menggunakan lap yang digantung.
" Tadi pembukaan 8 Bu." Wafa langsung mengenakan sarung tangannya dan menghampiri pasien tersebut.
"Terlentang ya Bu, kedua kaki ditekuk!" Titahnya. Wafa memasukan tangannya ke area sensitif pasien untuk mengetahui jumlah pembukaan yang akan menentukan proses kelahiran sang bayi.
"Baik. Ini sudah pembukaan 9 tidak lama lagi Dede bayi akan lahir. Berbaring lagi Bu, jika kontraksi tarik nafas kemudian buang perlahan, namun jika ada dorongan dari dalam perut bisa mengejan sesuai intruksi dari saya. Posisi terlentang lagi kemudian kaki ditekuk.Ingat jangan mengangkat panggul saat mengejan." Intruksi Wafa.
Terlihat suster mempersiapkan perlengkapan persalinan. Wafa melepaskan sarung tangannya. Ternyata pasien tadi memperhatikan gerak-gerik Wafa, pasien yang tadinya meringis karena sakit jadi tertawa melihat jari tangan Wafa. Suara tawanya membuat Wafa heran. Namun selang beberapa menit pasien itu teriak. Spontan Wafa bergerak cepat mengambil tindakan membimbing pasiennya mengejan. Ini sudah pembukaan 10. Berarti bayi sudah siap untuk dilahirkan.
Wafa mengintruksikan pasien untuk terlentang dan kakinya ditekuk untuk memudahkan proses kelahiran. Dan mengingatkan padanya agar tidak mengangkat panggul saat mengejan.
" Terus Bu....tuh sudah terlihat kepalanya. Ayo pinter! Iya lanjut.....terus....nambah lagi ayo pinter terus lanjut...." Wafa terus memberi semangat pasiennya walaupun pasien itu kadang-kadang tertawa kemudian teriak yang membuat Wafa keheranan.
"Arggghh.....huhhuh...emmmh.....huhuhuuuuh aaaaarghhhhhh." Usaha pasien itu luar biasa
dan,
"Ooooek....oooek....ooekkk" Tangisan bayi itu pecah. Wafa segera menyerahkan bayi tersebut pada suster Mila untuk dibersihkan. Wafa mengeluarkan darah yang belum keluar. Kemudian ari-arinya sudah dipisahkan.
Suster menyerahkan bayi tersebut pada pasien yang bernama Laila untuk diberi asi dengan cara merayap di atas dada sang ibu.
"Selamat ya Bu, anak ibu laki-laki. Suster panggil ayah bayi ini agar diazani!" Suster Mila menuju pintu keluar.
"Terima kasih Bu bidan." Ujar Bu Laila menahan tawa.
"Kenapa sih, Bu Laila kenapa tertawa? Bahkan saat melahirkan pun ibu sempat-sempatnya tertawa, apa ada yang lucu" Tawa Bu Laila meledak.
"Maaf....maaf Bu bidan, bukan maksud saya mentertawakan Bu bidan. Tapi beneran Bu bidan membuat saya terhibur dan sakit saya sedikit berkurang" sambil tertawa lagi.
"Memang saya badut" Wafa sambil senyum.
Wafa geleng-geleng kepala, seraya keluar ruangan bersalin menuju ruangan khusus Bidan Wafa. Seraya menghampiri meja kerjanya untuk membuat laporan hasil persalinan hari ini.
Tok.....tok.....tok
pintu diketuk dan suster Mila masuk menyerahkan catatan kelahiran yang tadi sudah diisi.
"Mila duduk!"
" Iya Bu bidan ada apa?"
"Kamu tahu mengapa Bu Laila tadi menertawakan saya?"Mila hanya tersenyum
'Memang Bu Wafa ga sadar?"
"Maksudnya? sudah jangan bertele-tele, katakan kalau kamu tahu!" Tawa Suster Mila tambah kencang.
Suster Mila adalah sahabat Wafa saat dia melanjutkan sekolah di AKPER sedangkan Wafa melanjutkan di AKBID, kalau sedang berdua memang sering bercanda.
"Sampe sekarang belum nyadar juga?"
"Sadar....sadar emang saya koma.'
" Ya ampun Wafa....eh Bidan Wafa. Kamu lihat deh di jari manis kamu itu" Dagu Mila menunjuk jari tangan Wafa.
"Masya Allah Mil....inikan?"
"Cie...cie....yang abis tunangan sampe segelnya belum dibuang. Me-ma-lu-kan. ha...ha..ha ...!
"Milaaaaa. Gimana dong ini tuh tidak sesuai dengan yang ada di dalam pikiran kamu. Ini bukan cincin saya. Ini cincin orang lain."
"What?"
"Jadi saya tuh belanja ke mall terus bertemu dengan laki-laki yang meminta saya mencoba model cincin yang ia beli. Ini tuh cincin untuk tunangannya. Duh gimana dong Mil? Saya ga tahu laki-laki itu."
"What? Jadi kalian belum saling kenal?"
"Ya belum sempat kenalan, kamu nelpon jadi saya tuh terburu-buru langsung meninggalkan lokasi. Saya lupa kalo cincin ini masih ada di jari saya. Aduh terus gimana dong?"
" Ya gimana ya? Tahu ah, saya mau mandiin bayi dulu. Eeemmh kayaknya laki-laki itu jodoh kamu deh Fa."
"Milaaaa!!"
-
-
Dr. Rasya menghentikan mobilnya tepat di depan Klinik Sehat Medika. Ia ingin menemui seseorang yang sudah mengusik hatinya sejak lama namun keinginannya selalu ditolak secara halus oleh gadis tersebut. Hari ini berharap cintanya berbalas dan rencananya langsung mengajaknya menikah saja. Rasya siap menikah dengan gadis yang namanya sudah terukir indah di hatinya.
Ia berjalan menghampiri resepsionis
"Ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanya Resepsionis ramah.
"Saya mau bertemu dengan bidan Zahira"
"Bidan Zahira?" Kedua resepsionis saling pandang ia tidak mengenal bidan yang bernama Zahira.
"Emmmh maksud saya Wafa Zahira. Ia bidan di klinik ini bukan?" Seakan Rasya tahu kebingungan mereka.
"Ia benar.Maaf dengan bapak siapa?"
"Katakan saya dr. Rasya dari Bandung" Resepsionis tersebut mencoba menghubungi Wafa melalui telepon, beberapa menit kemudian meminta Rasya untuk menemui Wafa di ruangannya di lantai 2.
Dengan wajah berseri ia menuju lantai 2. Suasana di klinik tersebut cukup ramai pengunjung, ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Wajahnya yang tampan selalu menampilkan keceriaan. Ia mengetuk pintu yang bertuliskan "BIDAN WAFA ZAHIRA"
Ia disambut baik oleh Wafa.
Wafa memicingkan matanya. Mengingat sesuatu laki-laki yang yang ada di depannya.
Laki-laki yang dulu sering mengejarnya. Laki-laki yang selalu berjuang untuk mendapatkan cintanya walaupun sebenarnya banyak wanita yang berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian seorang Rasya namun hatinya hanya terpaut pada sebuah nama Wafa Zahira . Wafa tersenyum. Ia berusaha menampilkan keceriaan di wajahnya.
"Dr. Rasya? Mimpi apa aku semalam sampai kedatangan dr muda berbakat seperti dirimu?" Ia menangkupkan kedua tangannya untuk menyalami laki-laki tampan itu. Rasya tersenyum ada rasa adem ketika seseorang yang sangat dicintainya berbicara seperti itu.
"Kamu bisa saja Fa. Entah kenapa aku sampe teringat sosok yang selalu menggangguku setiap waktu dan di sinilah aku berdiri di depan seorang bidan muda berbakat sepertimu yang menjadi inspirator bagi bidan lainnya. Ceritanya sampai ke Bandung kalau di sini ada seorang bidan yang mempermudah akses pengobatan gratis di hari Jumat khusus kaum dhuafa dan yatim piatu, sungguh menginspirasi. Aku makin bangga denganmu" Wafa mencibir.
"Ga usah memuji Dok, bisa terbang nanti. Oiya silakan duduk sampai lupa ih. Mau minum apa? Tapi maaf kalau di sini hanya ada air zamzam dari galon he....he...tapi kalau mau yang lain nanti tinggal pesan"
"Ga usah lebih baik air zamzam saja lebih menyehatkan badan"
"Kamu tuh masih saja seperti yang dulu selalu periang, membuat adem orang dan membuat orang betah ngobrol berlama-lama."
"Jangan muji terus dok. Oh ya sore begini dokter sudah makan?" Wafa menuang air ke dalam gelas lalu menyimpannya di atas nampan.
"Sudah" jawab Rasya singkat. Ia mengamati cincin yang dipakai Wafa saat meletakkan gelas tersebut di atas meja tepat di hadapan Rasya.
"Fa baru beli cincin ya? Segelnya kok ga dilepas, biar ketahuan ya, kalau habis beli cincin ha...ha ..." Rasya meledek sedangkan Wafa terhenyak wajahnya merona malu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!