Hari itu di rumah Nyonya Besar sangat ramai karena seluruh keluarga berkumpul untuk merayakan ulang tahun Nyonya Besar yang ke enampuluh lima tahun. Tidak ada teman atau relasi, hanya keluarga dekat yang datang. Mereka bernyanyi, menari, atau sekedar duduk dan bergosip.
Joya sibuk melayani meja makan dan mengambil piring kotor. Maklum saja, ia salah satu pelayan di rumah itu. Joya bekerja di rumah itu sebagai asisten pembantu rumah tangga. Keren untuk kategori asisten, tapi tidak untuk pembantu rumah tangganya. Tapi ia tidak pernah peduli dengan statusnya.
Tugas Joya cukup ringan, hanya membantu membereskan dapur, meja makan, serta mencuci pakaian. Bahkan pekerjaan itu ia lakukan setelah kuliahnya beres.
Nyonya Besar di rumah ini membawa Joya dari kampung halamannya untuk menyekolahkan Joya karena prestasinya di sekolah cukup bagus. Orang tua Joya bekerja di peternakan Nyonya Besar selama hidup mereka dan saat mereka tiada karena kecelakaan, Nyonya Besar merawat Joya sampai sekarang. Itulah yang membuat Joya ingin mengabdikan hidupnya untuk keluarga Nyonya Besar.
Keluarga Nyonya Besar sangat ramah pada semua orang, padahal mereka yang hanya pelayan tapi mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri. Tak heran kalau banyak pembantu di rumah itu bekerja sampai puluhan tahun, bahkan ada yang bekerja sebelum Nyonya Besar menikah dengan Tuan Besar.
******
Joya masih berkutat dengan piring kotor yang ia bawa dari halaman belakang ke dapur, ketika salah satu cucu Nyonya Besar mengajaknya~~~~ bermain.
“Oya, ain (Joya, main)...?” tanya Naira sambil menarik apron Joya. Joya menoleh menatap anak umur tiga tahun yang menarik apronnya dengan wajah penuh coklat.
“Astaga, Naira apa yang terjadi dengan wajahmu?!” pekik Joya kaget.
Joya meletakkan piring kotor di meja dan menggendong anak itu. Naira tergelak saat Joya mengusap pipinya dengan tisu basah yang selalu ia bawa di apronnya.
Beberapa cucu Nyonya Besar berlarian di sekitar Joya membuatnya sedikit susah berjalan. Bahkan beberapa kali mereka mendorong Joya mengajak bermain.
“Ayo, anak-anak siapa mau jus?!” seru Joya bersemangat.
Anak-anak disekitar Joya bersorak kegirangan, Joya memahami kesukaan mereka karena setiap kali mereka datang, Joya yang mengurus keperluan mereka.
Kejadian itu disaksikan Nyonya Besar bersama anak perempuannya.
...Nyonya Besar pov...
“Lihat bu, anak-anak sangat suka bermain dengan Joya,” ucap Nyonya Lastri. Anak Nyonya Besar yang pertama, Nyonya Lastri berbicara pada ibunya. Nyonya Besar tertawa,
“Ibu juga tahu, Joya terbiasa mengurus anak kecil. Dia bisa jadi ibu yang baik suatu saat nanti,” ucap Nyonya Besar
“Oh ya, bu. Berapa umur Joya sekarang? Aku rasa 20 tahun dan dia masih kuliah kan?” tanya Nyonya Lastri. Nyonya Besar mengangguk. “Bagaimana kalau kita kenalkan Joya dengan Boy?” tanya Nyonya Lastri lagi.
Anak perempuan Nyonya Besar tersenyum jahil. “Ibu tahu, bulan kemarin aku membawa putri dari salah satu client mas Danu untuk bertemu Boy di kantornya. Dan hasilnya gagal total. Boy tidak menanggapi wanita cantik, Bu. Aku takut...” ucap Nyonya Lastri menggantung kalimatnya.
“Hush...!” hardik Nyonya Besar.
Nyonya Besar kembali melihat ke arah Joya yang datang membawa jus untuk anak-anak dan memberikan mereka jus sesuai dengan kesukaan mereka.
Ia berpikir mungkin Joya bisa merubah sedikit sifat Boy yang terlalu acuh tak acuh. Nyonya Besar mengambil HP di atas meja dan menelpon seseorang.
...Nyonya Besar pov end...
*****
“Joya...! Joya... ! Dimana anak itu,” gumam Nyonya Besar.
Joya mendengar seseorang memanggilnya ketika ia sedang mencuci piring di dapur. Anak-anak yang tadi ia jaga sudah kembali ke ibunya masing-masing. Itu suara Nyonya Besar.
“Iya, Nyonya. Saya datang,” saut Joya
Nyonya Besar memintanya ke depan untuk membantu membawakan koper milik seseorang yang akan datang sebentar lagi.
*****
Joya berjalan ke pintu depan, biasanya kalau ada yang datang, pintu gerbang akan terbuka lebar. Tapi kali ini pintunya belum terbuka. Bi Ijah mendekati Joya yang terus melongok ke pintu depan.
“Joya, lagi nunggu siapa?” tanya Bi Ijah.
“Bibi, kata Nyonya Besar ada yang akan datang. Joya gak tahu siapa? Tapi kok lama ya," ucap Joya.
“Apa mungkin itu Tuan Boy? Kan hanya Tuan Boy yang belum datang,” saut Bi Ijah.
*****
Siapa Boy? Nyonya Besar sering cerita kalau Boy anak bungsu di keluarga itu. Usianya tahun ini kalau tidak salah 27 tahun. Berbeda 7 tahun dengan Joya.
Dia pandai bisnis, tampan dan masih single, tapi sifatnya angkuh dan perfeksionis. Nyonya Besar mengatakan mungkin Boy terpengaruh dunia bisnis makanya jadi seperti itu.
Joya belum pernah bertemu Boy karena pria itu tinggal di apartmentnya di pusat kota tapi fotonya ada di ruang tamu rumah itu.
******
Setelah menunggu setengah jam, mobil mewah milik keluarga itu berhenti di depan rumah. Joya bergegas menuju bagasi mobil dan menurunkan koper bersama sopir.
Seorang pria keluar dari pintu belakang mobil, merapikan jas yang dipakainya dan sekilas melirik ke arah Joya yang sudah berdiri tegak di depannya.
Pandangan mereka bertemu dan Joya terpana melihat pria itu yang bahkan lebih tampan dari fotonya.
Setelah Boy masuk, Joya menyadarkan dirinya dan segera membawa koper Boy ke kamarnya.
Kamar Boy lain dari kamar lainnya dengan interior dominan gelap dan korden berwarna merah. Kamar Boy lebih mirip kamar vampir seperti di film-film barat.
Joya menghidupkan AC kamar, sambil menutup jendela yang terbuka. Mengambil handuk di lemari penyimpanan dan meletakkannya di kamar mandi.
Ketika ia keluar dari kamar Boy, Joya hampir menabraknya.
“Maaf, Tuan. Silakan," ucap Joya sopan.
Boy memandangnya sekilas dan masuk ke kamarnya tanpa bilang apa-apa.
*****
..Boy pov..
Beberapa jam sebelumnya...
Boy memandang HP-nya yang berdering saat ia sedang sibuk memeriksa berkas yang diberikan asistennya. Ibu calling.
Boy : “Halo, Ibu.”
Boy mendengarkan Nyonya Besar yang berbicara dengan pelan.
Ny. Besar : “Boy, apa kau lupa pada ibu? Hari ini hari apa?”
Boy menatap kado yang diletakkan asistennya diatas meja kerjanya.
Boy : “Selamat ulang tahun, ibu. Ibu sehat kan?”
Nyonya Besar bersikap seolah sedang ngambek, dan Boy tidak akan tahan melihat Nyonya Besar mulai merajuk.
Boy : “Ibu, aku masih bekerja saat ini. Aku janji akan datang saat makan malam nanti.”
Ny. Besar : “Ibu tidak mau makan kalau kau tidak segera kesini, nak. Menginaplah beberapa hari, ibu merindukanmu nak. Uhuk!”
Boy mendengar suara ibunya yang terbatuk, segera memanggil asistennya,
Boy : “Batalkan semua jadwal hari ini, pergi ke apartemenku ambilkan beberapa pakaian. Aku akan menginap di rumah ibu beberapa hari. Cepat.”
Asisten Boy setengah berlari keluar dari ruangan sambil menelpon seseorang.
Boy : “Ibu, aku akan segera kesana dan aku minta ibu makan sekarang ya. Jangan menungguku, aku akan segera datang.”
Boy menutup telponnya, ia memeriksa dokumen di hadapannya dengan cepat, memberi memo pada dokumen yang masih salah dan bersiap-siap untuk keluar kantor. Tak lupa ia membawa hadiah untuk Nyonya Besar.
--------
Jarak rumah Nyonya Besar dengan perusahaan cukup jauh sekitar 1,5 jam. Belum lagi jalanan macet, karena itu Boy memilih tinggal di apartment pribadinya yang dekat dengan perusahaan. Jadi dia bisa menghemat waktu dan tenaganya untuk bekerja.
Boy terus memberikan instruksi kepada asistennya untuk memastikan perusahaan tetap berjalan seperti biasa selama ia menginap di rumah Nyonya Besar.
Sampai mereka tiba di rumah Nyonya Besar. Boy bersiap turun dari mobil, ia tidak memperhatikan saat Joya menurunkan kopernya bersama sopir.
Sosok Joya baru sepenuhnya disadari Boy saat mereka bertatapan. Kesan pertama yang Boy rasakan, kenapa mirip ibu dari cara berpakaian dan sikapnya. Siapa dia?
Boy berjalan memasuki rumah untuk menemui Nyonya Besar.
Boy : “Ibu, selamat ulang tahun.”
Boy menemui Nyonya Besar yang sudah menunggu di ruang tamu, menunduk mencium tangan ibunya dan memeluknya.
Boy : “Boy tidak menyiapkan apa-apa untuk ibu, tapi semoga ibu suka hadiah kecil ini.”
Nyonya Besar menerima hadiah Boy dan meminta Boy duduk disampingnya, saat itu Joya melewati mereka dengan sedikit membungkuk. Boy masih memandang Joya yang berjalan menaiki tangga sambil membawa kopernya.
Ny. Besar : “Boy, pergilah istirahat. Atau kau mau makan dulu, nak?”
Nyonya Besar berbicara sambil tersenyum penuh arti, bahkan ucapannya tidak didengar Boy karena terlalu fokus melihat Joya.
Ny. Besar : “Nak? Apa kau baik-baik saja?”
Boy : “Eh, iya. Boy ke kamar dulu ya bu. Nanti Boy akan turun untuk makan.”
Nyonya Besar menatap putra bungsunya yang bergegas menaiki tangga,
Ny. Besar : “Kalau memang kalian berjodoh, lalu ibu bisa berbuat apa? Hanya bisa membantu Tuhan saja…”
--------
Boy sudah sampai di depan kamarnya, ia melihat Joya dari pintu kamar yang terbuka, sedang mengambil handuk dari lemari penyimpanan dan membawanya ke kamar mandi.
Ups, Joya hampir saja menabrak Boy yang berdiri di depan pintu. Apa dia tidak bisa melihatku berdiri disini? Kenapa juga aku jadi penasaran dengan gadis ini? Aku harus mencari tahu siapa dia.
Gumam Boy dalam hati sambil masuk ke kamarnya.
..Boy pov end..
-------
Terima kasih sudah membaca novel author dan dukungan untuk author.
Jangan lupa like, fav, komen, kritik dan saran para reader sangat ditunggu author.
Baca juga novel author yang lain dengan judul “Perempuan IDOL”, “Jebakan Cinta” dan “Duren Manis” dengan cerita yang gak kalah seru.
Please vote poin buat karya author ya...
Makasi banyak...
-------
Aku kembali ke ruang makan dari kamar Boy, melanjutkan membereskan piring kotor yang tersisa di meja makan dan mulai mencuci piring.
Bibi pembantu : “Joya, makanlah dulu. Biar bibi yang mencuci piringnya.”
Aku tersenyum pada bibi pembantu.
Joya : “Sebentar bibi. Biar saya selesaikan dulu.”
---------
Usai mencuci piring, aku makan siang dengan cepat. Sore itu aku ada kuliah sebentar dan harus segera berangkat.
Setelah bersiap-siap, membawa tas dan memesan ojek online, aku berpamitan pada bibi pembantu karena Nyonya Besar sedang beristirahat di kamarnya.
Ojek online yang kupesan masih dalam perjalanan, sambil menunggu di depan gerbang, aku melihat ke arah rumah Nyonya Besar dan tanpa sengaja melihat ke arah kamar Boy. Tirainya sudah tertutup. Tapi kenapa aku merasa ada yang sedang mengawasiku ya?
Tin, tin. Ojek online yang kupesan sudah datang dan aku segera naik ke boncengan motor menuju kampus.
--------
Sekembalinya dari kampus, aku melihat bibi pembantu sedang dimarahi Boy.
Boy : “Bibi ini ngerti gak, saya maunya makan spageti, bukannya mie rebus!”
Joya melihat spageti diatas meja, sepertinya sedikit overcook.
Joya : “Maaf Tuan, biar saya yang buatkan spageti lagi. Tunggu sebentar.”
Boy melirikku dengan angkuh.
Boy : “Siapa kamu berani menyelaku. Selera makanku sudah hilang.”
Aku membungkuk sejenak,
Joya : “Saya Joya, Tuan. Tolong maafkan saya. Saya hanya ingin membuatkan makanan untuk Tuan.”
Boy berbalik dan pergi,
Boy : “Bawakan ke kamarku. Awas kalau salah lagi.”
Bibi pembantu tampak sedih melihat spagetinya teronggok diatas meja.
Joya : “Bibi jangan sedih, Joya masak dulu ya.”
---------
Aku meletakkan tas, segera membuatkan spageti dan membawanya ke kamar Boy.
Tok, tok, tok!
Joya : “Permisi Tuan. Ini spagetinya sudah jadi.”
Boy : “Masuk.”
Aku meletakkan piring spageti diatas meja kerja di dalam kamar itu, hampir berbalik untuk keluar tapi Boy menahanku.
Boy : “Tunggu disini, akan kucoba dulu, kalau tidak enak, bawa pergi dari sini dan jangan coba-coba menunjukkan wajahmu lagi di depanku.”
Aku cuma bisa menunduk. Beberapa detik kemudian,
Boy : “Ini, sudah habis, rasanya lumayan. Nanti malam buatkan lagi makanan ini.”
Aku sedikit bengong mendapati piring spageti sudah bersih kembali.
Joya : “Tuan, nanti malam Nyonya Besar meminta barberque di halaman belakang. Apa Tuan tidak ingin bergabung?”
Boy memandang tajam padaku.
Boy : “Jadi kamu menolak perintahku?”
Aku kembali menunduk.
Joya : “Maaf, Tuan. Bukan begitu maksud saya. Lebih baik Tuan bergabung bersama keluarga yang lain saat makan malam. Tapi saya tetap akan membuatkan spageti untuk Tuan. Permisi.“
Mata Boy mengikuti sosok Joya yang menjauh. Seulas senyuman menghiasi bibirnya.
Boy : “Pembantu itu bahkan bisa membuat spagetinya lebih enak dari buatan Ibu. Dia juga kuliah. Menarik sekali.”
--------
Boy mengingat saat ia memperhatikan Joya yang sedang menunggu sesuatu di gerbang dari balik jendela kamarnya.
Penampilannya sederhana, tapi kenapa bisa memberi kesan tersendiri setiap Boy memandangnya.
Selama ini wanita yang berusaha mendekatinya selalu bermake-up tebal dan berpakaian mahal. Tak jarang ada yang sangat agresif, menggunakan berbagai cara untuk mengejarnya. Tapi Joya seolah tidak tertarik padanya. Boy mulai penasaran.
---------
Malam hari saat makan malam, Boy hadir di halaman belakang. Hal itu membuat heran semua orang. Jarang sekali Boy mau bergabung makan dengan yang lain. Tapi tetap saja menunya lain sendiri.
Aku datang membawa sepiring spageti. Nyonya Besar melirik sejenak dan tersenyum.
Ny. Besar : “Joya, kemari. Tolong ambilkan minum ya.”
Joya : “Baik, Nyonya Besar.”
Aku berjalan mendekati meja minuman dan mengambil air putih untuk Nyonya Besar. Saat itu Boy memandangku yang berdiri di sebelah ibunya, dan sekali lagi piring spageti sudah licin dalam hitungan detik.
Nyonya Besar memintaku duduk di sampingnya. Ia menanyakan kuliahku hari ini. Aku bercerita dengan semangat, seperti biasanya.
Nyonya Besar memang selalu perhatian dengan kuliahku, hampir setiap malam Nyonya Besar memintaku menceritakan tentang hidupku. Aku gak sadar selama bercerita, Boy terus memandangku yang selalu tersenyum.
Ny. Besar : “Bagus kalau semua baik-baik saja. Bagaimana dengan uang kuliah dan bekalmu? Apa masih cukup?”
Setiap bulan Nyonya Besar mengirimkan uang ke rekening tabunganku untuk kupakai kuliah dan keperluanku, jumlahnya cukup besar sehingga aku bisa menabung dan kadang tidak perlu meminta uang tambahan kalau ada keperluan kuliah yang mendadak.
Joya : “Masih cukup, Nyonya Besar. Terima kasih.”
Ny. Besar : “Apa kau lupa kalau bulan ini ada kegiatan sosial di kampus? Berapa yang kau perlukan, Joya?”
Aku sudah memberikan uang sumbangan pada kampus sejak awal bulan, dan tidak mengatakannya pada Nyonya Besar. Aku tidak enak selalu meminta uang.
Joya : “Joya sudah membayarnya, Nyonya Besar. Tidak perlu di transfer lagi. Ngg… Joya ke meja makan dulu ya Nyonya Besar. Permisi.”
Aku harus menghindar dari Nyonya Besar atau aku akan dipaksa menyebutkan angkanya, aku segera kembali membantu bibi yang sibuk menyiapkan makan malam.
---------
Boy menyelesaikan makan malamnya dan hendak beranjak ke kamarnya lagi ketika dilihatnya Joya mencuci piring di dapur sambil menyanyi.
Boy : “Suaranya juga merdu, seperti ibu.”
Ia berdiri di samping lemari kaca dan tetap memperhatikan Joya. Tanpa disadari Boy, Nyonya Besar sudah berdiri di belakangnya. Nyonya Besar tersenyum memergoki Boy sedang mengintip Joya.
Ny. Besar : “Boy, sedang apa disini?”
Boy yang merasa kepergok, terlihat gugup. Nyonya Besar tahu kebiasaan anaknya kalau tertangkap sedang melakukan sesuatu yang nakal.
Ny. Besar : “Ayo, ikut ibu.”
Nyonya Besar mengajak Boy ke kamarnya. Sementara Joya sempat memperhatikan sekitarnya karena merasa ada seseorang dibelakangnya tapi tidak ada siapa-siapa.
---------
Boy duduk di kursi di dalam kamar ibunya.
Ny. Besar : “Nah, Boy. Bagaimana kabarmu? Lama sekali gak pulang-pulang. Pasti ada seorang gadis disana ya.”
Boy tersenyum.
Boy : “Ibu, aku sibuk mengurus bisnis kita disana. Mana sempat ngurusin cewek. Ibu cuma mau membahas ini?”
Nyonya Besar tertawa.
Ny. Besar : “Aduch, sampai lupa. Ibu mau tanya, sudah ketemu Joya kan? Gimana pendapatmu tentang dia?”
Boy menatap ibunya.
Boy : “Maksud ibu, pembantu itu? Gak penting lah, bu.”
Ny. Besar : “Tapi yang ibu lihat, sepertinya kalian sudah akrab. Bahkan kau sudah mencoba spageti buatannya. Enak kan?”
Boy bangkit dari kursinya.
Boy : “Gak penting, bu. Aku mau balik ke kamar. Mau tidur. Malam bu.”
Nyonya Besar menatap putra bungsunya dan tersenyum. Ia tau kalau ada sesuatu yang Boy sembunyikan.
----------
Boy masuk ke kamarnya, ia memutuskan tidur lebih cepat karena merasa tidak nyaman dan lelah. Lelah karena selalu mendapati pertanyaan yang sama setiap kumpul keluarga, kapan nikah? mana pacar?
Boy merasa mungkin sudah waktunya membuka hati, tapi apa dia punya waktu untuk pacaran? Apalagi sebuah pernikahan, wanita yang akan jadi istrinya harus bisa memahami ibunya.
Boy memejamkan matanya, bayangan Joya melintas di pikirannya.
-------
Terima kasih sudah membaca novel author dan dukungan untuk author.
Jangan lupa like, fav, komen, kritik dan saran para reader sangat ditunggu author.
Baca juga novel author yang lain dengan judul “Perempuan IDOL”, “Jebakan Cinta” dan “Duren Manis” dengan cerita yang gak kalah seru.
Please vote poin buat karya author ya...
Makasi banyak...
-------
Pagi harinya, aku sedang membersihkan dapur setelah membuat sarapan untuk semua orang. Hari ini mereka akan kembali ke aktifitas masing-masing.
Nyonya Besar punya 3 putra, 3 putri, serta 6 cucu. Semua anaknya sudah menikah kecuali Boy yang masih single. Kebanyakan dari mereka sudah dibuatkan rumah oleh Nyonya Besar, tapi kekeluargaan di rumah itu sangat erat, sehingga anak-anak Nyonya Besar lebih sering tinggal di rumah besar itu bersama menantu Nyonya Besar.
Nyonya Besar melambaikan tangan kepada anak dan cucunya. Satu persatu mobil-mobil yang berderet di garasi mulai berangkat, kecuali mobilnya Boy.
Ny. Besar : “Hmm, ini aneh. Biasanya dia yang paling pertama pergi ke kantor. Apa terjadi sesuatu? Joya, coba kau lihat Boy. Sudah bangun atau belum. Tumben sekali seperti ini.”
Joya : “Baik, Nyonya.”
Aku naik ke lantai 2 dan mengetuk kamarnya.
Joya : “Tuan Boy. Tuan...?”
Tidak ada jawaban dari dalam, perlahan aku membuka handle pintu, pintu kamarnya tidak dikunci.
Joya : “Permisi, Tuan. Saya masuk ya.”
Aku mendorong pintu lebih lebar dan melihat kamar dalam keadaan berantakan sekali. Ya ampun. Tampak Boy tergeletak di samping tempat tidurnya.
Joya : “Tuan Boy! Nyonya! Nyonya! Bibi! Bibi!.”
Aku berteriak memanggil semua orang, sebelum mendekati Boy. Aku membalik tubuh Boy, memegang dahinya dan merasakan tubuhnya panas sekali. Badannya sudah menggigil, dia tidak sadarkan diri.
Nyonya Besar, bibi pembantu dan sopir segera datang. Kami mengangkat Boy ke tempat tidurnya dan menyelimutinya.
Ny. Besar : “Joya, panggil dokter. Mbok, ambil kompres.”
Nyonya Besar memeriksa kondisi anaknya, sementara aku mengambil telpon dan menelpon dokter Risman, yang akan segera datang. Usai menelpon dokter Risman, aku segera menyiapkan baskom berisi air untuk mengompres kepala Boy.
20 menit kemudian, mobil dokter Risman memasuki halaman rumah Nyonya Besar. Ia segera masuk dan diantar ke kamar Boy. Dokter Risman segera melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Boy.
Usai memeriksa Boy, dokter Risman mengatakan kalau Boy mungkin hanya kelelahan. Tapi untuk menjaga kemungkinan, Boy harus tes darah.
Ny. Besar : “Kalau memang diperlukan, lakukan saja dokter. Apa tidak sebaiknya kita bawa Boy ke rumah sakit?”
Nyonya Besar menatap Boy yang pucat,
dr. Risman : “Untuk saat ini saya akan menyuntik Boy dulu. Kalau panasnya sudah turun, beritahu saya, sambil kita tunggu hasil lab-nya. Secepatnya akan saya kabari. Kalau perlu ke rumah sakit, saya akan langsung kirim ambulance kesini.”
Boy : “Baik, dokter.”
Dokter Risman menelpon ke rumah sakit dan meminta petugas lab datang ke rumah Boy untuk mengambil sampel darah.
Petugas lab segera datang dan mengambil darah Boy. Suhu tubuhnya masi tinggi, belum juga turun meskipun dokter Risman sudah menyuntiknya tadi.
Setelah semua urusan dengan dokter selesai, aku mengantar dokter Risman ke mobilnya. Ketika akan kembali ke dapur untuk membantu memasak makan siang, Nyonya Besar memanggilku lagi.
Ny. Besar : “Joya, temani Boy sebentar ya dan tolong bersihkan kamarnya. Kenapa bisa berantakan begini.”
Aku hanya mengangguk. Segera aku membersihkan kamar Boy, mengaturnya seperti semula, sambil sesekali mengecek suhu tubuh Boy yang masi 40’C. Beberapa kali aku mengganti kompres di dahinya.
Setelah kamar Boy bersih kembali, aku melongok keluar kamar. Kok sepi sekali ya, celingak-celinguk sendiri. Tit, tit. Suara pesan singkat di HP-ku membuatku kaget. Ada pesan dari Nyonya Besar.
Ny. Besar : “Joya, ibu keluar sebentar sama mbok dan sopir. Tadi dokter Risman bilang kalau Boy cuma kelelahan saja. Tolong jaga Boy ya. Makan siangmu dan bubur untuk Boy sudah ada di meja makan.”
Aku membalas pesannya.
Joya : “Baik, Nyonya Besar. Untuk obatnya Tuan Boy bagaimana, Nyonya Besar?”
Ny. Besar : "Ibu sekalian nebus obat di apotek."
Joya : "Baik, Nyonya Besar."
Aku menatap Boy yang masih belum sadar.
Joya : “Kalau kutinggal ke dapur sebentar, sepertinya tidak apa-apa, kan.”
Sekali lagi aku memastikan suhu tubuh Boy sebelum pergi ke dapur. Aku berjalan dengan cepat menuruni tangga dan masuk ke dapur. Usai memanaskan bubur, aku kembali ke atas.
Boy sudah bangun, ia memegangi kepalanya, melepaskan kompres di dahinya.
Joya : “Tuan, bagaimana kondisinya? Ini saya bawakan bubur.”
Aku meletakkan nampan berisi bubur dan air putih di meja, mengambil kompres yang diletakkan Boy disamping bantalnya. Boy meminta air. Aku membantunya bangun dan minum.
Joya : “Tuan, makan bubur dulu ya.”
Boy diam saja ketika aku menyuapinya bubur. Ia terus saja memandangku. Membuat aku tersenyum dan menunduk beberapa kali. Baru setengah mangkok, Boy menolak makan lagi.
Boy : “Lidahku pahit. Mana ibu?”
Aku meletakkan mangkok dan mengambil air minum untuknya.
Joya : “Nyonya Besar keluar sebentar. Sepertinya mau ke apotek, Tuan. Tuan, sudah berkeringat. Boleh saya bantu lap?”
Aku melihat Boy mengangguk lemah. Segera kuambil handuk kecil, washlap dan baju ganti untuk Boy.
Sebenarnya aku agak canggung ketika mengatakan akan membantunya, tapi dipikiranku saat itu hanya ingin menjaga Boy seperti pesan dari Nyonya Besar. Aku membantunya membuka kaosnya, kemudian mengelap tubuhnya dengan washlap berisi air hangat.
Hatiku sedikit berdesir saat tanganku tanpa sengaja menyentuh langsung perutnya yang sixpack. Boy itu tampan, muda, dan hot banget. Kulitnya putih, tubuhnya tinggi tegap, dengan beberapa otot yang tampak menonjol di beberapa bagian tubuhnya.
Belum lagi kalau pakai kaos putih ketat, ugh tambah sexy. *****! Kenapa aku jadi mengkhayal yang tidak-tidak. Setelah mengeringkan tubuh Boy dengan handuk, aku membantunya lagi memakai kaos.
Joya : “Tuan, saya ukur suhunya dulu ya.”
Boy menurut saja ketika aku meletakkan termometer di ketiaknya.
Joya : “Masi 40’C. Kok belum turun juga ya. Sebentar ya, Tuan.”
Aku menelpon Nyonya Besar dan bilang kalau panasnya Boy belum turun juga. Nyonya Besar memberitahu kalau ada obat penurun panas di atas meja yang bisa diminum sementara.
Ny. Besar : “Berikan masing-masing satu dulu. Ibu sudah tanyakan ke dokter Risman tadi.”
Tanpa sadar aku mengangguk, padahal Nyonya Besar tidak bisa melihatku.
Joya : “Maaf, Nyonya. Tapi Nyonya masih lama keluarnya?”
Ny. Besar : “Sepertinya begitu. Kenapa Joya? Kamu ada kuliah?”
Joya : “Oh, tidak... saya cuma...”
Aku melirik Boy sebentar.
Ny. Besar : “Kalau gitu tolong jaga Boy sebentar ya. Ini penting sekali.”
Tut, tut, tut... Nyonya Besar sudah menutup telponnya. Aku mendekati meja dan mengambil obat Boy.
Joya : “Tuan, minum obat dulu ya. Nyonya Besar masi keluar agak lama.”
Setelah Boy minum obat, Boy mulai tertidur, aku bergegas mandi dan makan sedikit. Aku menghidupkan lampu di dalam dan luar rumah sambil melihat ke pos satpam. Tampak satpamnya sudah ganti ke shift malam. Aku mengantarkan kopi dan air panas.
Joya : “Pak, ini kopinya. Saya ke dalam dulu.”
Aku memasuki kamar Boy lagi. Tampak ia masih tidur. Akhirnya aku mengambil laptop dan mengerjakan tugasku di kamar Boy.
Seperti biasa, tugasku selesai jam 11 tepat. Aku menggeliat sebentar merenggangkan punggungku dan bangkit. Perlahan aku mendekati Boy dan menyelipkan termometer di ketiaknya. Suhu tubuhnya sudah
turun.
Aku mengambil handuk kecil dan mengelap dahinya yang berkeringat. Tiba-tiba tangan Boy mencengkeram lenganku. Belum sempat aku menahan, Boy menarikku dan langsung membalik tubuh kami. Kini aku ada dibawahnya, terjepit kaki dan tangannya.
Aku menatap matanya yang masih terpejam. Ketika Boy membuka mata, kami bertatapan.
Boy : “Ngapain kamu?!”
Joya : “Maaf, Tuan, Saya cuma mengelap keringat Tuan.”
Boy melihat handuk di tanganku. Brak! Pintu terbuka tiba-tiba..
Ny. Besar : “Boy?!”
Kami menatap Nyonya Besar yang berdiri di pintu bersama bibi pembantu. Boy segera melepas tanganku, dan aku cepat-cepat bangun, sambil menunduk.
Boy : “Ibu, Boy bisa jelaskan.”
Bibi pembantu masuk setelah melihat isyarat Nyonya Besar. Ia meletakkan mie goreng ayam di meja dan segera keluar kamar.
Joya : “Saya permisi, Nyonya.”
Aku yang ingin keluar, ditahan Nyonya.
Ny. Besar : “Joya, duduk dulu. Sudah makan?”
Joya : “Sudah, Nyonya Besar.”
Aku masih menunduk. Nyonya Besar mendorongku agar duduk di sofa kamar Boy sementara ia mendekati Boy.
Ny. Besar : “Sudah turun panasmu, Boy. Sudah makan? Mau makan mie itu?”
Boy : “Ibu, kejadiannya gak seperti yang ibu bayangkan. Tadi itu gak sengaja...”
Joya : “Iya, Nyonya. Gak sengaja.”
Aku keceplosan ngomong dan terdiam melihat mereka memandangku.
Ny. Besar : “Ibu gak masalah. Mau sengaja atau gak sengaja. Ibu cuma nanya, Boy mau makan?”
Boy menggeleng.
Ny. Besar : “Joya, tolong bawa ke dapur ya dan kamu bisa istirahat. Atau Boy mau ditemani Joya?”
Nyonya Besar melirik Boy yang malah menatapku. Aku terbelalak dan cepat-cepat berpamitan.
Joya : “Permisi, Nyonya. Tuan.”
Boy : “Tunggu!”
Boy menahan langkahku. Aku memandangnya dan Nyonya Besar.
Boy : “Laptopmu ketinggalan.”
Aku mengambilnya dan bergegas keluar kamar Boy.
..Boy pov..
Boy : “Ibu, aku benar-benar tidak sengaja tadi. Kenapa ibu lama sekali perginya?”
Nyonya Besar duduk di samping Boy,
Ny. Besar : “Memang kenapa? Kalau sengaja juga gak apa-apa. Apa Joya merawatmu dengan baik?”
Nyonya Besar menyentuh kaos Boy yang sudah bersih.
Boy : “Dia memang merawatku dengan baik. Tadi dia membantuku ganti baju.”
Ny. Besar : “Ibu harap kau bisa mempertimbangkan Joya untuk jadi pasanganmu. Jangan terburu-buru, kamu bisa mulai pelan-pelan untuk mengenalnya dulu. Sekarang istirahatlah dulu. Selamat malam, nak.”
Nyonya Besar keluar dari kamar, meninggalkan Boy yang mulai memikirkan Joya. Hatinya masih ragu karena status mereka, sekarang saja Joya tampak baik, tapi kalau berkaitan dengan status dan kedudukan, seseorang bisa berubah jadi tidak baik.
..Boy pov end..
-------
Terima kasih sudah membaca novel author dan dukungan untuk author.
Jangan lupa like, fav, komen, kritik dan saran para reader sangat ditunggu author.
Baca juga novel author yang lain dengan judul “Perempuan IDOL”, “Jebakan Cinta” dan “Duren Manis” dengan cerita yang gak kalah seru.
Please vote poin buat karya author ya...
Makasi banyak...
-------
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!