Nadira menatap ke arah pintu cafe kesekian kalinya. Jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat 10. Biasanya sekitar jam segini pelanggan setianya datang dan benar saja tak lama kemudian, pintu cafe itu terbuka. Sepasang sepatu kulit melangkah ke dalam dan tubuh yang tinggi berbalut jas mewah muncul dari balik pintu. Senyum di wajah Nadira pun merekah.
Sudah lama Nadira bekerja sebagai pelayan di cafe ini dan banyak pula pelanggan yang memberikannya tips, tapi tidak pernah dirinya menantikan kedatangan seorang tamu seperti ini.
“Siang pak Daffa, apakah pesan yang biasa?” Tanya Nadira dengan senyum manisnya.
Daffa yang duduk di balik meja terlihat sangat profesional meskipun posisinya bukan di kantor perusahaannya. Memang identitasnya sebagai CEO perusahaan besar sudah mendarah daging sehingga perilakunya pun menyeimbangi identitasnya.
“Kamu tahu aja, Nadira. Iya yang biasa ya,” jawab Daffa dengan mata menggoda.
Nadira merasakan panas di pipinya. Dia segera mencatat pesanannya dan pergi ke dapur. Nadira mengerti perasaan ini sebenarnya tidak boleh ada karena dia tahu betul kalau Pak Daffa adalah orang yang cukup terpandang. Sebisa mungkin ia mengemas hatinya untuk menutupi rasa itu.
Nadira mengenakan sepatu high dan berjalan ke meja Daffa, "Aduh, kaki ku sakit!" rintihnya mendadak sambil berdesis. Baki yang ia bawa hampir tumpah kalau saja Daffa tak segera menangkapnya.
Pandangan Daffa tertuju pada Nadira yang sedang membungkuk dan mengenakan rok mini membuat aura nya semakin terpancar.
Daffa meletakkan baki di meja sampingnya dan bertanya dengan panik, "Kamu nggak apa-apa kan, Nadira?"
Nadira mengaduh lagi, "Aduh, kakiku rasanya sakit banget!"
Daffa membantu Nadira yang membungkuk dan memapahnya untuk duduk di kursi sebelah.
"Kamu pasti terkilir." terka Daffa yang diikuti dengan anggukan kepala Nadira.
"Sepertinya begitu," Nadira mencoba berdiri dan kemudian terduduk kembali. "Sakit!" pekiknya yang membuat Daffa refleks berjongkok. Melipat lengan kemejanya dan mulai mengambil kaki Nadira.
"Coba aku lihat!" Daffa memperhatikan kaki Nadira yang mulus dan putih.
"Jangan disentuh, sakit!" larang Nadira yang masih meringis.
"Kaki terkilir akan cepat sembuh dengan cara dipijat. Tenang, aku handal dalam masalah ini!" hibur Daffa memastikan.
Suasana cafe memang tak sepadat seperti hari biasanya, Daffa sengaja mengambil waktu siang ke cafe agar lebih leluasa bersama Nadira. Dan benar saja, kesempatan yang langka ini membuat peluang besar bagi Daffa untuk mendapatkan hati sang primadona cafe.
Nadira pasrah dan mengangguk malu, "Baiklah, tolong hati-hati ya!"
Daffa mulai memijat bagian tumit dan merasakan kulit Nadira yang begitu kenyal sampai terasa di ulu hati. Daffa melakukan dengan lembut sampai Nadira merasakan sungguh enak sekali pijatan itu. Bagai mimpi di siang bolong.
Seperempat jam tak terasa membuat Nadira tersadar, "Sepertinya kakiku sudah agak mendingan. Aku akan melanjutkan pekerjaan ku sebelum atasanku memarahiku. Dikiranya nanti aku malas bekerja." ujar Nadira terhenyak mengetahui siapa dirinya yang tak pantas diperlakukan seperti ini.
Daffa melarangnya, "Kaki mu baru saja terkilir. Aku akan bilang pada atasanmu agar kamu cuti saja."
"Tidak, ku mohon jangan lakukan itu!" Nadira berdiri dan membungkuk kan badan. "Aku merasa lebih baik sekarang. Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya lagi."
Belum sampai Nadira meluruskan punggungnya, Daffa menarik tangan Nadira dengan cepat ke arah kursi. "Duduklah!"
"Tapi, Pak Daffa!" pekik Nadira yang sudah terduduk disamping Daffa.
"Siang ini kamu pasti belum makan kan, nah, ambil makananku dan makanlah!" Daffa mendekatkan piring ke arah Nadira.
"Eii, tidak bisa begitu Pak, ini kan makanan Anda!" Nadira melambaikan tangan cepat.
"Aku sangat tidak suka jika perintahku ditolak."
"Tapi ...."
"Sudah, tidak ada tapi-tapi!" sangkal Daffa penuh pemaksaan.
Nadira sedikit canggung dan mulai mengambil sendok. Saat akan menyuapkan ke mulut nya, Nadira melirik Daffa yang masih setia menontonnya.
Daffa melengkung kan senyum yang membuat Nadira menggerakkan bola matanya cepat dan mulai melahap makanan.
"Pak Daffa, sepertinya tidak adil jika aku makan sendiri, bagaimana kalau kita kongsi?" tawar Nadira dengan tersenyum.
"Kongsi?" Daffa mengerutkan alisnya.
Dengan cepat Nadira mengambil sendok dan mendekatkan ke mulut Daffa.
Mata Daffa menatap lama sendok di tangan Nadira.
"Cepat Pak Daffa, apa Anda mau menyiksa tanganku yang mulai pegal?"
Daffa mengerjap dan mulai melahapnya.
"Eii, tidak adil juga jika kamu yang menyuapi ku. Sini sendoknya!" Daffa merebut sendok di tangan Nadira dan menyuapkan ke mulut Nadira.
Nadira menyelipkan rambutnya agar tak mengganggunya saat mengunyah.
"Pak Daffa, terima kasih sudah berbagi denganku." ucap Nadira setelah makan.
Daffa merasa jengah dengan sebutan yang Nadira sematkan.
"Bisa tidak kamu memanggilku dengan panggilan selain pak? Terdengar lebih tua tahu." keluh Daffa tak suka.
"Lalu, aku harus memanggil Anda seperti apa? Tuan atau ...."
Dengan cepat Daffa memotong kalimat Nadira, "Panggil mas saja!"
Nadira membelalak tak percaya, lalu ia menunduk malu, dua menit kemudian dia bergumam, "Aku malu,"
Sebenarnya keinginan seperti ini sudah lama Nadira nanti kan, tapi ia tak percaya jika memiliki hubungan yang spesial dengan pria kaya seperti Daffa.
Tangan Nadira meraba dada yang terasa degupan jantungnya tak teratur.
"Hei, untuk apa kamu malu padaku? Bukankah kita sudah akrab satu sama lain?"
Daffa mengatakan itu membuat Nadira salah tingkah, bola matanya yang hitam bergerak kanan kiri, seolah meminta pertolongan untuk lari dari mimpi ini.
Nadira berkhayal, "Dia bilang sudah akrab satu sama lain, apakah ini artinya aku dan dia ...." dengan cepat Nadira menggelengkan kepala menghilangkan mimpi konyol nya.
Daffa menepuk bahu Nadira, "Kok malah bengong!"
Nadira melihat jemari yang begitu hangat itu mendarat di tubuhnya, seolah darahnya berhenti mengalir.
Melihat Nadira tak merespon dan hanya menatapnya, Daffa memanggil namanya, "Nadira,"
"Baiklah, aku akan mencobanya!" karena kaget Nadira berkata demikian.
"Mencoba apa?" tanya Daffa dengan mata menggoda lagi. Bola mata yang indah itu membuat para wanita yang melihatnya akan terkesima hanya sekali lirik saja, termasuk Nadira.
"Eum, memanggil Anda dengan sebutan Mas." sahut Nadira, ia benar -benar malu dibuatnya.
"Coba, aku ingin mendengar nya sekarang!" Daffa mengangkat tangannya dari bahu Nadira. Mendekatkan telinga ke arah wanita yang duduk di sampingnya.
"Sekarang?" gadis itu mulai mengambil nafas untuk ancang-ancang, "Eum, Mas ...."
Daffa mengangguk dan tak sabar lagi, dia benar -benar tak memberi Nadira kesempatan. "Ayo katakan!"
"Mas ...."
"Mas siapa, yang lengkap dong Nadira!"
Nadira semakin panas luar dalam, belum pernah sebelumnya ia menggunakan kata itu untuk memanggil seseorang. Lalu Nadira membuka bibirnya dan mengatakan dengan lirih sambil menatap Daffa, "Mas Daffa,"
"Apa, aku nggak dengar!"
Nadira mengulangi kalimatnya dengan jelas, "Mas Daffa, sekarang Anda sudah puas?"
"Nah, gitu dong!"
Daffa meraih tangan Nadira, "Aku seneng kita kayak gini, jadi mulai sekarang panggil aku seperti tadi."
Nadira mengangguk ragu. Apakah hubungannya akan lebih serius lagi? Wanita mana yang bisa menolak jika ada pria yang setampan Daffa mendekatinya.
Pipi Nadira terlihat mulus dan kinclong, Daffa mendekat dan mengelus pipi yang mengemas kan itu. "Halus," tanpa ragu dia mengucapkan itu.
Nadira memerah kedua pipinya.
"Boleh aku membelai rambut mu?" izin Daffa yang mencium aroma sampo ketika rambut Nadira bergerak terkena kipas.
Nadira tak menyahut hanya mengangguk malu yang menandakan kalau hal semacam itu tak masalah baginya.
Siang ini matahari cukup terik, mungkin itu yang membuat pengunjung cafe hanya segelintir saja.
Seperti biasa Nadira sedang menunggu seseorang di luar sana. Ya, siapa lagi kalau bukan Daffa Pratama. Pria tampan berusia 25 tahun ini selalu memberikan kejutan setiap kali datang menghampiri Nadira.
Semenit setelah itu, pria yang ia harapkan kedatangannya datang dengan sejuta pesona.
"Mas Daffa, akhirnya kamu datang!"
"Hai, Nadira, senang aku mendengar kamu menyambutku dengan begitu ceria, padahal cuaca begitu panas!" Daffa segera duduk.
"Apakah mas Daffa ingin memesan yang seperti biasa ?"
"Tidak, Nadira. Kali ini berbeda, aku ingin kamu bungkus dua puluh nasi bowl chicken." ujar Daffa setelah memilih menu.
"Dua puluh ?" Nadira heran tak biasanya Daffa memesan begitu banyak.
"Iya, itu semua untuk karyawan di kantor."
Nadira segera mencatat dan pergi ke dapur. Namun, sebelum ia melangkah pergi, Daffa mencegahnya. "Nadira, ini untukmu!" amplop cokelat berada di tangan Daffa.
"Apa ini?" Nadira menatap amplop itu.
"Aku tahu kamu lagi butuh ini. Terimalah dan segera kirim ke ibumu!"
Nadira menerima dan melihat isi nya.
"Itu ada dua puluh juta." imbuh Daffa.
Nadira tahu itu adalah uang dengan jumlah besar. Dengan uang itu ia dapat menggunakan untuk membeli apa pun. Tapi ia bukan wanita materialis. Meski hidup dalam kemiskinan, prinsip yang ibunya tanamkan sejak kecil adalah bekerja lebih baik dari pada meminta -minta. Nadira hampir saja tergoda, tapi ia segera sadar dan mengembalikan amplop itu.
Seminggu yang lalu, Daffa mendengar percakapan antara Nadira dengan ibunya di telepon. Ibunya meminta kiriman uang untuk biaya hidup di desa. Selain itu untuk biaya sekolah kedua adiknya.
"Mas Daffa, aku ... aku tak bisa menerimanya," tolak Nadira dengan sopan.
"Kenapa?" Daffa sedikit tersinggung dengan penolakan yang Nadira berikan.
"Aku tahu, aku sangat memerlukan uang. Tapi tidak dengan semudah ini aku mendapatkan nya. Aku harus bekerja. Meski sejak kecil kami hidup susah, ibu melarangku untuk menerima pemberian orang lain." jelas Nadira membuat Daffa termangu.
"Tapi, aku kan bukan orang lain. Kita ...."
"Tetap saja tak bisa. Tolong, hargai prinsip hidup saya!"
Daffa memahami perasaan gadis di depannya, kemudian dia menarik kembali amplop itu dan berkata. "Baiklah, kalau begitu tambah lagi pesanan ku menjadi seratus."
"Apa?" Nadira kaget dibuatnya.
Daffa tidak segan -segan melakuan itu pada Nadira, karena menolak uangnya. Dengan cara membayar makanan lah, Nadira akan mau menerima uangnya.
Atasan Nadira tahu kalau Daffa sedang mencoba untuk mendekatinya, dengan begitu cafenya tidak pernah sepi pengunjung. Jadi, dia sangat senang mempekerjakan seorang Nadira di cafe.
Daffa menyunggingkan senyum puas setelah memborong makanan.
"Mas Daffa, seratus kotak makan ini ditaruh di mana?" Nadira beserta pelayan cafe yang lain menjinjing tas keresek besar.
Daffa menuntun mereka menuju mobil dan membuka bagasi. "Masukkan ke sini!"
"Terima kasih atas kunjungan Anda! Jangan bosan untuk datang lagi!" ujar Nadira setelah memasukan semua kotak makan.
"Eum, Nadira!" panggil Daffa sebelum masuk ke dalam mobil.
Nadira yang mematung segera menyahut, "Iya,"
"Aku belum punya nomor ponselmu."
Bagai mendapat bunga sekebun rasanya, Nadira menunduk malu.
"Boleh aku mencatat nomormu?" Daffa mengeluarkan ponsel dan menyodorkan ke Nadira.
Nadira sedikit canggung menerimanya, "Iya," kemudian ia mengetikkan nomor kontak. Setelah selesai menyerahkan kembali. "Ini,"
"Terima kasih, Nadira, nanti aku akan menghubungi!"
***
Tiga hari kemudian saat Nadira membereskan meja, ia dikejutkan dengan suara pria yang selama ini sangat ia rindukan.
Nadira menoleh dan berteriak, "Mas Daffa!"
Daffa tersenyum dan berkata, "Selamat pagi, Nadira, apakah cafenya sudah buka? Aku ingin memesan makanan untuk karyawan ku di kantor." padahal dia tahu kalau cafe ini sudah buka. Sekedar basa-basi saja.
"Sudah Mas Daffa, silahkan mau pesan apa?"
"Seperti yang terakhir aku pesan."
"Nasi bowl chicken, kan!"
Daffa mengangguk, "Kamu pintar!"
Nadira tersenyum malu dengan kalimat pujian itu. "Bukannya pintar, tapi emang aku ingat kok." jawaban Nadira membuat Daffa tertawa dan baginya Nadira sangatlah lucu dan menggemaskan.
"Mas Daffa baik ya, masih mau beli makanan buat karyawan,"
"Alah, biasa aja kok!"
"Mas Daffa tunggu sebentar ya, aku bungkus dulu!"
Daffa mengangguk lalu menarik kursi dan duduk.
Melihat wajah Nadira yang berseri, Erni menegurnya, "Cieh, yang punya gebetan!"
Nadira merasa tersipu dan mengelak, "Apaan sih, Mbak Erni jangan mulai deh!"
"Eh, kesempatan bagus jangan disiakan! Pepet terus dia!"
"Ssttt, Mbak Erni bisa diam nggak sih! Dia itu spesial, dan biarkan aku menjalani kedekatan dulu."
"Kelamaan, udah langsung gas pol aja!"
"Emang sepeda motor, udah ah, aku antar pesanan dulu!" Nadira meninggalkan Erni yang mencibir.
Erni, adalah sahabat yang membantu Nadira mendapatkan pekerjaan di cafe.
"Ini Mas Daffa pesanan nya!"
Daffa menoleh dan berdiri. Mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ambillah sisanya!"
"Ta-tapi Mas Daffa, aku ...." Nadira tertahan kalimatnya, menatap uang itu.
Daffa tersenyum, "Sudahlah, anggap saja dapat rejeki nomplok!" Daffa meletakkan uang pada genggaman Nadira kemudian melangkah pergi.
Nadira merasa berdebar jantungnya dengan kebaikan dan perhatian yang Daffa berikan.
Erni mendekat dan berkata dengan sinis, "Halah, nggak usah pura-pura nolak gitu, senang kan sekarang!"
"Bahkan aku belum seratus persen merayu, dia sudah selangkah maju lebih cepat dari yang aku duga." gumam Nadira.
"Nadira, percaya nggak sih, kamu itu cantik dan berhak mendapat pria seperti Daffa, jadi jangan terlalu lama membiarkan nya. Goda dia agar mau menikahi kamu!"
"Tapi, apa dia mau?"
"Aku lihat, dia suka sama kamu,"
Nadira melamun, jika pria tampan dan kaya seperti Daffa menyukainya apakah terlihat pantas Nadira yang miskin bersanding dengan seorang pangeran?
Erni menepuk bahu Nadira, "Berjuanglah, apa pun keputusan kamu, aku akan mendukungmu." kemudian dia meninggal Nadira.
Nadira melanjutkan pekerjaan nya tanpa mengenal lelah, peluhnya bercucuran tak ia hiraukan. Asalkan mendapatkan uang saja baginya sudah cukup. Ia mengelap meja dan membawa tumpukan piring kotor ke belakang. Setelah semua pekerjaan selesai ia segera mengganti seragam nya dengan pakaian biasa. Tepat pukul 7 malam, ia meninggalkan cafe.
Nadira teringat dengan berbagai kebutuhan di rumah kosnya habis. Ia berhenti di sebuah alfamart dan membeli seperlunya.
Ada pembalut wanita yang letaknya begitu tinggi hingga dia tak bisa mencapainya.
Seseorang yang tepat berada di belakangnya mengulurkan tangan mengambil kan barang itu.
"Mas Daffa!"
"Kamu lagi datang bulan ya," terka Daffa yang membuat hati gadis berusia 20 tahun itu malu.
Nadira hanya diam. Saru rasanya menjawab.
"Mas Daffa lagi cari apa?"
"Oh, ini, beli parfum. Kebetulan aku teringat dengan parfum di rumah yang sudah habis."
"Oh, kalau begitu saya duluan!" pamit Nadira yang segera melewati dada bidang Daffa.
Daffa tak membiarkan kesempatan emas ini terlewatkan. "Nadira, tunggu!"
Nadira menoleh, "Iya,"
"Kamu tinggal di mana, ini sudah malam, bagaimana kalau aku antar kamu?"
"Hah, mas Daffa mau antar aku pulang!" batin Nadira bersorak.
"Tidak, aku sudah terbiasa jalan kaki pulang sendirian!"
Daffa tak menyerah dan terus mendesak agar mengantarkan pulang. Nadira akhirnya mau. Setelah membayar di kasir. Nadira masuk ke dalam mobil yang mewah. Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang serius.
Sesampainya di kamar kos, ia segera mandi lalu tidur. Seharian membuat badannya lelah, namun mengingat momen peristiwa bersama Daffa membuat ia tak merasakan lelah di tubuh nya.
Hampir pukul 11 malam, Nadira baru terpejam sambil memeluk guling.
Daffa tak bisa tidur dan gelisah malam ini. Kepalanya penuh dengan bayangan Nadira. Ia sudah tak bisa membendung rindu untuk segera bertemu. Meski ia sudah beristri, tapi entah mengapa ia merasakan rasa lain di hatinya ketika berada dekat dengan Nadira. Selain rasa nyaman, tumbuh juga di hati benih -benih cinta dan kerinduan. Daffa memutuskan untuk memilih Nadira sebagai sandaran hatinya.
Pagi pun tiba. Dita istri Daffa masih enggan untuk bangun. Wanita berusia 23 tahun itu lebih memilih waktu libur untuk memperpanjang masa tidur. Selain hari itu, ia akan sibuk bekerja sebagai model sampul di majalah wanita.
Selesai mandi, Daffa mengenakan kaos berkerah biru dongker dengan perpaduan celana jeans yang berwarna senada juga. Tak lupa ia mengenakan jam tangan dan juga topi. Istrinya tak tahu kalau Daffa pergi.
Daffa pergi ke cafe, di sana ia masih belum menemukan Nadira. Mengetahui gelagat Daffa, Erni menghampiri nya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tegurnya membuat Daffa mengerjap.
Daffa kebingungan dan berpura-pura memilih menu. "Saya pesan white coffee saja."
"Oke, ada yang lain?"
Sebenarnya Daffa ingin bertanya tentang keberadaan Nadira, tapi ia gengsi mengatakan itu. "Tidak ada."
Erni melenggang pergi setelah mendengar itu.
Erni melihat Nadira datang dari pintu samping. "Tuh, doi kamu datang."
Nadira mengerutkan kening, "Doi? Doi yang mana, perasaan aku nggak punya pacar."
Erni menangkup kedua pipi Nadira dan mengarahkan ke meja Daffa.
Mata Nadira tertuju pada pria berkaos biru, membelalak dan berseru, "Mas Daffa!"
"Aku ke sana dulu!" segera Nadira meletakkan tas dan berjalan ke arahnya.
"Benarkan, tadinya aja ogah ngakuin sekarang udah lihat orangnya disamperin."
"Mas Daffa!" seru Nadira setelah mendekat.
"Hai, Nadira," Daffa terlihat sangat tampan meski hanya memakai kaos tanpa jas mewahnya.
"Mas Daffa sudah lama di sini?"
"Enggak kok, baru saja tiba."
"Mas Daffa mau pesan apa?"
"Tidak ada, aku udah memesan minuman kok,"
Nadira menoleh ke arah Erni yang membelakangi nya dan kembali menghadap Daffa, "Oh, apa mas Daffa pesan makanan lagi buat karyawan Mas?" tanya Nadira basa-basi.
Daffa yang tak mau lagi berbohong berkata dengan jujur, "Tidak, aku kesini hanya ingin bertemu kamu saja. Lagian ini kan hari Minggu."
Mendengar itu Nadira kegirangan dan menarik kursi dan duduk di depannya.
"Benarkah begitu, aku merasa juga ingin selalu melihat kamu setiap hari."
"Nadira, apa kita memiliki perasaan yang sama?"
"Entahlah Mas, aku tidak tahu ini. Tapi setiap kali melihat kamu, hatiku merasa nyaman."
Erni datang membawa minuman. "Ini pesanan Anda."
Daffa menoleh dan berkata sedikit sinis, merasa obrolannya terganggu. "Terima kasih."
Erni pergi sebelumnya mengedipkan mata sebelah memberi kode pada Nadira. Nadira mengabaikan nya.
"Diminum Mas, mumpung masih panas, entar keburu dingin jadi nggak nikmat lagi."
"Kamu benar Nadira," Daffa mengulurkan tangan meraih cangkir lalu mendekatkan bibir cangkir ke mulut dan menyeruput kopinya.
Belum sempat mengobrol banyak, tiba-tiba ponsel Daffa berdering. Ternyata dari orang tuanya. Daffa diminta untuk datang bersama Dita. Istrinya.
Tanpa sepengetahuan Nadira, ternyata Daffa sudah beristri dan sudah 3 tahun berumah tangga.
"Nadira, maaf banget ya, aku harus pergi. Ada urusan keluarga."
"Iya Mas," sedikit kekecewaan melanda.
Daffa pergi setelah itu semuanya terasa sepi. Nadira menatap punggung sosok pria yang telah mengisi hatinya. Belum pernah ia sekecewa ini ditinggalkan.
Erni datang dan menghibur. "Bagaimana kalau kita mendengarkan musik, apa kamu suka lagu dari sungai Gangga ?"
"Suka banget, apa lagi yang judulnya Kuch Kuch Hotahe!"
***
Malam harinya ketika Nadira mau memejamkan mata, ia teringat dengan ponselnya dan mencari kontak Daffa. Setelah ketemu ia mulai mengetik dan hanya iseng mengucapkan selamat tidur.
Dia tahu Daffa orang yang sangat sibuk, jadi beranggapan kalau pesannya tak kan terbaca. Walau demikian, ia tetap mengirim pesan.
Lima menit kemudian ponsel Nadira berbunyi, segera Nadira membuka ponselnya dan membaca balasan Daffa.
[Met malam juga,]
[Mas Daffa belum tidur?]
[Belum,] balas Daffa singkat.
[Loh, kok sama! Lagi sibuk apa?]
[Lagi menyelesaikan urusan kantor, kamu sendiri belum tidur?]
[Belum Mas, lagi sibuk.]
[Sibuk apa?]
[Sibuk mikirin kamu.] balas Nadira dengan kepercayaan diri level atas.
Kemudian hampir sepuluh menit Daffa tak membalas chat nya. Nadira mendesah dan hampir putus asa menunggu.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Setelah melihat layar ponsel betapa bahagianya ia. Dia bangkit, mengatur nafasnya dan segera mengangkat ponselnya.
"Hallo, Mas Daffa!"
"Hallo, Nadira, maaf aku malam-malam gini ganggu kamu." ujar Daffa sedikit berbisik.
"Enggak kok, enggak ganggu sama sekali."
"Kamu bilang tadi lagi sibuk mikirin aku ya?"
Nadira tertegun dan menjadi malu.
"Kok diem?"
"Aku jadi malu nih,"
Daffa terkekeh dan tak tahan lagi membayangkan wajah Nadira yang begitu menggemaskan.
"Sudah malam, segera lah tidur."
"Aku tak bisa tidur."
"Jangan bilang karena kamu mikirin aku!"
"Enggak. Aku beneran nggak bisa tidur, perutku lagi nyeri."
"Oh, karena lagi datang bulan ya. Segera kamu oles minyak kayu putih ke punggung, dengan begitu dapat mengurangi rasa nyeri."
Nadira melongo mendapati pemikiran pria ini, bagaimana dia bisa tahu secara detail masalah menstruasi ?
"Bukan itu, sepertinya mag ku kambuh, Mas Daffa!" Nadira menjadi malu karena ulahnya sendiri.
"Bukannya kamu lagi dapet?"
"Enggak, aku beli itu untuk persedian saja."
Daffa berbisik, "Eh Nadira , udah dulu ya, besok kita ketemu lagi. Ntar aku kirim pesan ke kamu."
Kemudian sambungan telepon terputus.
"Yah, mati," Nadira mendengus kesal dan tidur.
Keesokan paginya, Nadira melihat satu notif yang ternyata dari Daffa.
Daffa mengirim pesan untuk bertemu di taman pada pukul tiga sore. Nadira sangat senang.
***
"Mas Daffa?" panggil Nadira manja. Tangan nya terulur menggapai tangan Daffa.
"Iya Nadira," Daffa membalas dengan mengusap lembut jemarinya.
"Aku mau kita setiap hari bertemu."
"Aku berharap juga begitu. Tapi, aku tidak bisa janji karena pekerjaan ku yang sangat padat."
Nadira melepas genggaman Daffa dan cemberut. "Mas Daffa jahat."
"Jahat bagaimana?"
"Lah itu, karyawan kamu saja bisa setiap hari ketemu, nah sama aku bisa dihitung pakai jari."
"Terus, kamu maunya apa?"
"Aku ingin selalu bersamamu Mas, ajak aku agar kita bisa bersama setiap hari."
"Aku tidak yakin. Aku usahakan setiap hari mengunjungimu."
Sangking senangnya Nadira memajukan bibirnya dan sontak memberikan kecupan manis di pipi kiri Daffa.
Daffa bagai tersengat aliran listrik saja. Energi cinta mengisi seratus persen di hatinya. Keduanya saling berpelukan.
Daffa menawarkan Nadira pergi jalan -jalan. Membeli pakaian dan ponsel baru. Setelah itu mengajak Nadira pergi ke hotel.
"Tempat apa ini Mas?"
"Ini hotel Sayang,"
"Lah kita ngapain kesini?"
"Main yuk!"
"Main? Main kok ke hotel?"
"Udah, entar kamu juga paham!" Daffa menggandeng Nadira menaiki lif dan sampailah mereka di kamar yang sudah Daffa pesan.
Daffa menuntun Nadira duduk dipinggir kasur.
"Nadira, kamu sungguh cantik!"
"Kamu juga tampan, Mas!"
Perlahan Daffa mulai meraba bahu dan melepas kancing bajunya.
"Mas Daffa mau ngapain?" Ira kagetnya bukan main. Ini adalah pertama kalinya ia ke sini.
"Kamu jangan polos begitu, kita bercinta yuk!"
"Hah, bercinta!"
Tanpa menunggu babibubebo, Daffa langsung melahap bibir lawan jenis nya itu. Sementara tangannya bergerilya melepas kemeja.
Setelah keduanya polos, terjadilah hubungan yang terlarang.
Ini adalah kali pertama Nadira melakukan itu. Ia menyerahkan tubuhnya pada pria yang sangat ia cintai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!