"Kalian adalah aib bagi desa ini!"
"Pergi kalian! Dasar aib!"
"Pacilaka sikali!"
[Pembawa sial!]
Suara teriakan warga desa di depan rumah keluargaku begitu menggema, membuatku sedikit bergidik akan apa yang terjadi nanti, hari pagi ku lumayan terganggu.
"Mak, aku takut."
Aku merapatkan tubuhku kepada Mak, Makpun tampak panik meraih ku ke dalam pelukannya, di usia yang delapan belas ini aku masih menikmati masa-masa kelulusan sekolahku sebelum tragedi ini terjadi.
"Bah, tikkama mi ini, larro asengi warga desata."
[Bah, bagaimana ini? Warga desa sudah marah semua.]
Suara Mak tampak berbicara dengan Abah membuatku semakin kalut akan apa yang sebenarnya terjadi dengan keluargaku? Ada apa gerangan dan kenapa aku berada diposisi yang tidak tahu menahu.
"Mak! Bah!"
Itu suara reriakan Kakak perempuanku dari dalam kamarnya, mendengar itu membuat naluri ku untuk berpikir dan berkata bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Abah dan Mak langsung berlari masuk ke kamar milik kakak perempuanku. Takut? Aku memilih ikut menyusul mereka dan mendapati kakakku tengah mengalami kontraksi.
Melihat itu sontak, Mak dan Abah panik, keluar untuk memanggil bidan sekarang tidak mungkin karena warga desa tengah mengamuk di luar rumah kami.
Sedikit cerita, kakak perempuanku bernama Ratna, beliau merupakan seorang mahasiswi di kota Makassar, namun harus di DO karena hamil di luar nikah.
Dan yang lebih parah dari itu adalah pria yang menghamili kakak tidak ingin bertanggung dan malah kabur begitu saja, mengetahui hal itu sontak kakak pun pulang kembali ke desa kami dan dengan berbadan dua.
Entah berita darimana kabar kehamilan kakak mulai tersebar ke seisi desa terpencil ini, penduduk desa yang tidak seberapa langsung mengepung rumah kami hari ini setelah mereka tahu, kakak kembali dengan keadaan hamil sembilan bulan, karena berpikir bahwa kakak adalah aib yang hanya akan mendatangkan bencana.
"Mak! Bah! Ndak kuat ka kodong!" Suara Kakak dengan logat Makassarnya. tampak mengeluh merasakan kontraksi dari dalam perutnya. "Ozan, dimana?!"
Ozan? Apakah itu nama pacar kakak yang sudah menghamili kakak dan enggan bertanggung jawab, masa bodo dengan itu aku hanya kasian dengan kakakku yang sekarang sedang kesakitan bahkan urat di sekitar kepalanya tampak terlihat.
"Yang kuat yah nak. Biar Mak yang bantu kamu melahirkan," ujar Mak menguatkan Kakak. "Gea, ambil dulu air hangat di dapur nak!"
Mendengar perintah itu aku segera berjalan ke arah dapur yang mau tidak mau aku harus melewati ruang tamu rumahku.
Prang!
Suara kaca jendela yang pecah karena di lempari batu membuat ku terlonjak, entah siapa yang memprovokasi warga sehingga mereka tampak tidak memiliki rasa kasian sedikitpun kepada kami.
Aku tidak memikirkan ini semua, aku fokus pada tujuan utamaku untuk mengambil air hangat di dapur, sesampainya di dapur aku segera mengambil ember kecil dan menuangkan air hangat dari termos.
"Ah!"
Teriakan kakak kembali terdengar, perlahan ikatan batin antar saudara kami semakin terlihat, aku bisa merasakan penderitaan kakakku, perlahan aku menangis sesenggukan sembari membawa air hangat ke kamar.
"Kakak, kuat kak!" Aku menggenggam lengan kakakku.
Kakakku tampak frustrasi dengan wajah penuh penderitaan dia menatapku dan menyuruhku mendekatkan telinga kepadanya. "Dek! Minta tolong kakak sama kau, mumpung kakak masih hidup, kalau nanti kakak meninggal, tolong cari bapaknya anak kakak, foto dan namanya ada di lemari baju kakak."
Aku tidak butuh fotonya karena dulu kakak pernah membawanya datang ke sini, ah rasanya aku mengamuk pada pria sialan yang telah membuat kakakku menderita.
Ucapan dengan tersengal-sengal itu membuatku sedih, seolah itu adalah ucapan terakhir dari kakak untukku.
"Argh!"
Seiring dengan kejangan kakak suara bayi laki-laki terdengar memenuhi ruangan itu, Abah dan Mak segera membawanya untuk di bersihkan meninggalkan aku dengan kakak.
"Dek, janji yah, kamu yang harus merawat anak kakak dan cari bapaknya," Kakak menatapku dengan pandangan lemah.
Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang dan hanya menganggukkan kepala, setelah anggukkan kepalaku kakak tampak menutup matanya yang membuatku panik.
"Kak?"
Aku mengecek napas dan nadi kakak, dan yah semua hasilnya sama. "Innalilahi wa innalilahi Raji'un."
Kakakku sudah pergi menghadap yang kuasa dalam kondisi terhina, bahkan sampai akhir hidupnya dia masih sempat menyebut nama pria sialan yang membuatnya seperti ini.
Aku berjanji, aku bertemu dengan pria itu dan memberikannya pembalasan yang setimpal seperti apa yang kakakku dapatkan.
"Fauzan Adinata, aku akan membuatmu menyesal!" Aku berteriak sembari memeluk tubuh kakakku yang sudah kaku tak bernyawa.
•
•
•
TBC
Assalamualaikum
Jangan Lupa Like
Halo pembaca sapa tahu kalian menemukan bahasa asing. Itu bahasa Makassar yah tpi berjalannya cerita Author tidak akan menggunakan bahasa daerah terlalu banyak pada dialog, cuma beberapa untuk memberi kesan latar desanya saja.
"Makasih Bu Gea! Anda memang notaris yang hebat!"
Pujian tersebut membuatku tersenyum seiring aku berjalan meninggalkan ruangan sidang pengadilan negeri kota Makassar.
Sudah empat tahun semenjak kejadian dimana adalah tahun paling buruk bagi keluargaku, yah setelah kakakku pergi aku memilih melanjutkan kuliahku dan lulus dengan nilai terbaik sehingga membuat terkenal sebagai notaris sekarang.
Setelah mendapat cukup uang, aku memilih memboyong Abah dan Mak beserta anak kakak atau bisa ku sebut anakku ke kota meninggalkan desa yang menjadi saksi bisu penderitaan dan penghinaan atas keluargaku.
Aku lupa, Perkenalkan namaku Geavanni Asraf Ardan, anak kedua dari dua bersaudara yah sekarang aku anak tunggal karena kakakku ~Ratna, sudah pergi empat tahun yang lalu menyimpan dendam dihatiku kepada pria yang sudah membuat kakakku menderita begini.
"Mama!"
Aku berbalik, tampak sesosok tubuh pendek dengan langkah kecil berlari ke arahku, dia adalah anak dari kakakku, walaupun dia kerap di cap anak haram di desa yang mengetahui asal usulnya, aku selalu berpikir bahwa anak itu adalah anak yang lahir dari rahimku, jadi jangan heran jika aku kerap mendapat julukan janda tapi perawan.
"Gibran, kamu sama siapa kesini Nak?" tanyaku meraih Gibran ke dalam gendongan ku.
Gibran Adriansyah Ardan, nama yang aku berikan sendiri empat tahun lalu setelah aku mengikat janji kepada kakakku.
"Sama Tante Enjel," jawab Gibran yang tak lama kemudian Enjel datang menghampiriku.
Enjel adalah sahabatku, kami sudah berteman sejak kuliah dan dia satu-satunya orang yang tidak mengecap buruk keluargaku setelah aku menceritakan masa lalu ku.
"Njel, kok Gibran bisa sama kamu?" tanyaku yang membuat Enjel tersenyum.
"Tadi aku ke rumahmu, tapi kata Abah kamu ada ngurus kasus, eh pas mau pergi, Gibran minta ikut sekalian aja aku bawa," jawab Enjel yang mengajakku duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari tempat kami berdiri. "Gea, duduk disini bentar deh, aku ada mau ngomong sesuatu."
Aku mengangguk, dari raut wajahnya tampaknya Enjel serius karena dia tidak pernah seserius ini jika hanya untuk membicarakan sesuatu, aku menaruh Gibran di pangkuanku kemudian menatap Enjel dalam.
"Ada apa Njel?"
"Ini tentang Bapak dari Gibran," jawab Enjel yang membuat aku seketika antusias.
"Ada apa dengan pria sialan itu?" tanyaku sedikit emosi.
"Aku sudah mengetahui keberadaannya, apakah kau masih ingin melanjutkan rencanamu balas dendam atas penderitaan keluarga dan kakakmu?" jawab Enjel yang berujung pertanyaan.
"Jujur semuanya tidak akan pernah ku lupakan Njel, bagaimana penghinaan yang ku terima bahkan sewaktu kakakku meninggal tidak ada seorangpun yang mau membantu menguburkan, sehingga Abah dan Ustad setempat lah yang menggali kuburan kakakku, kau pahamkan betapa menderitanya keluargaku karena ulah pria tidak bertanggung jawab itu?"
"Aku paham posisimu, Gea, makanya sudah mencari informasi tentang bapak dari Gibran dan aku sudah menemukannya."
"Dimana dia?" tanyaku yang membuat Enjel mengeluarkan sebuah kertas dari tasnya.
"Dia sekarang adalah seorang kepala desa di desa gertomulia yang ada di kabupaten Pangkep, kalau kau ingin menemuinya bagaimana rencanamu?" jelas Enjel yang membuatku berpikir sejenak.
"Aku mempunyai ide Njel."
"Apa?"
"Aku akan datang ke desa itu sebagai mahasiswa yang sedang menjalani praktek, aku tidak ingin menghancurkannya dengan begitu mudah, aku akan membuatnya menderita secara perlahan sama seperti yang di hadapi keluargaku."
"Karirmu?"
"Tidak penting tentang itu, aku hanya pria yang membuat kakakku menderita menerima balasan setimpal!"
"Bagaimana dengan Gibran, bukankah dia tidak bisa berpisah lama denganmu?"
"Aku akan membawanya."
Sepertinya aku berucap ragu tentang ingin membawa Gibran turut membawa Gibran, tapi aku sudah yakin tentang balas dendam ku.
"Dan membuatnya bertemu dengan Bapaknya?"
"Selama pria sialan itu tidak tahu kalau Gibran anaknya, semuanya akan baik-baik saja, lagipula aku sudah memberi pemahaman kepada Gibran kalau ayahnya sudah meninggal dan ayahnya itu orang jahat."
Mendengar penjelasan ku sepertinya membuat Enjel berpikir panjang, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tahu-tahu dia hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku akan membantumu Gea, menyembunyikan semua identitasmu sebelum kau pergi ke desa itu," jawab Enjel yang membuatku tersenyum.
•
•
•
TBC
Assalamualaikum
Jangan Lupa Like
"Kamu yakin nak, tidak baik menyimpan dendam yang sudah-sudah lagipula Mak sama Abah udah ikhlas, ini sudah takdir Allah," Nasihat Mak terdengar kembali di telinga ku di saat aku menyampaikan rencana keberangkatan ku besok pagi.
Aku mendudukkan diri di sofa kemudian menurunkan Gibran dari gendongan ku. "Gibran, masuk kamar yah nanti Mama nyusul."
Gibran mengangguk kecil kemudian berlari kecil ke dalam kamar meninggalkanku di ruang tamu bersama Abah dan Mak.
"Abah setuju sama Mak kamu, Gea, tidak baik menyimpan dendam, kakak kamu pasti sudah tenang disana."
Aku memejamkan mata sejenak, bagaimana bisa aku melepaskan perasaan dendam ini ketika kakakku sendiri meninggal di pelukanku karena ulah pria itu.
"Abah dan Mak tenang saja, semuanya akan baik-baik saja, Gea janji akan kembali setelah membalaskan semuanya, lagipula ini demi kakak," jelas ku yang membuat Mak dan Abah menghela napas panjang.
Mak dan Abah tahu bagaimana keras kepala dan nekat nya diriku jika sudah membuat keputusan, mungkin hal itu yang membuat mereka tidak mengajukan argumen lagi.
"Abah dan Mak cuma bisa menasihati kamu. Kamu sudah dewasa keputusan ada ditangan kamu, Abah cuma pesan nanti disana kamu harus bisa menjaga diri apalagi kamu membawa Gibran," Abah berdiri kemudian berjalan menuju kamarnya.
Tampak raut wajah kekecewaan disana tapi keputusanku sudah bulat, empat tahun aku menyimpan dendam ini dan semuanya harus tuntas kali ini.
"Mak, Gea mohon doanya yah, ini semua demi kakak."
Mak menatap ku sejenak, raut wajahnya berbeda dengan Abah yang tampak kecewa, Mak malah seperti orang yang sulit ditebak seolah berada di dua sisi, yang satunya ingin yang satunya tidak.
"Apapun itu, Mak cuma bisa mendoakan Nak, semua ada di tangan kamu."
Mak pun berjalan masuk ke kamarnya menyusul Abah meninggalkan ku sendiri dengan berbagai pikiranku, pergi ke desa juga sangat mempertaruhkan karirku sebagai seorang notaris yang tengah naik daun.
Aku memilih berjalan masuk ke kamar ku dan mendapati Gibran tengah duduk sembari memainkan jarinya.
"Gibran?"
"Mama?" Gibran mengangkat wajahnya menatap wajahku. "Mama berantem yah sama Nenek dan Kakek? Gibran nakal yah?"
Aku tersenyum betapa polosnya anak yang tidak tahu bagaimana dia bisa lahir ke dunia ini, aku mengelus kepalanya dan mencium pipinya. "Gak kok sayang-"
"Gibran udah cuci kaki sama gosok gigi?" tanyaku kembali.
Gibran mengangguk.
"Anak pinter, kalau gitu Gibran bobok yah besok kan mau ikut Mama pagi-pagi," jelasku yang membuat Gibran segera mengambil posisi tidur.
Aku memilih berjalan ke kamar mandi setelah memastikan Gibran dalam posisi tidur dan memejamkan matanya.
Kring!
Suara ponselku membuatku meraihnya kemudian mengecek siapa peneleponnya yang ternyata adalah sahabatku ~Enjel.
"Ada apa Njel?" tanyaku saat aku mengangkat telepon.
"Ge, aku sudah melampirkan identitas palsumu dan kepala desa itu mengizinkanmu buat praktek di sana, tampaknya identitas kamu aman karena tidak ada seorang pun yang mengenalmu sebagai seorang Notaris."
Aku tersenyum walaupun tidak bisa dilihat Enjel. "Terimakasih Njel, kau memang bisa ku andalkan, aku akan berangkat besok pagi."
"Aku hanya bisa membantu sampai disini, Gea, apapun keinginan kamu, aku selalu support, kalau begitu aku matikan dulu yah. Suamiku udah pulang kerja soalnya."
"Oke, makasih."
Aku mematikan sambungan telepon tersebut kemudian menatap wajahku sendiri pada cermin wastafel. Aku cukup cantik, dan aku membenci komitmen, garis wajahku yang tegas dengan kulit putih melupakan perpaduan dari Abah yang memiliki darah arab.
Tidak kusangka bahwa dibalik senyumku aku menyimpan banyak dendam didalam hatiku.
•
•
•
TBC
Assalamualaikum
Jangan Lupa Like
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!