''Nggak, Dad. Aku gak mau, aku baru aja pulang dari London, masa tau-tau nikah? lagian aku gak kenal sama wanita itu ...'' ucap Afgan membulatkan bola matanya.
''Tapi, Afgan. Adikmu hilang entah kemana? tiba-tiba saja dia kabur gitu aja. Mau di taro dimana muka Daddy ini? sementara Daddy udah ngundang lebih dari 3000 tamu undangan, semuanya relasi kantor Daddy, Daddy juga udah ngeluarin banyak uang, buat nyiapin pesta pernikahan mewah ini,'' jawab sang Ayah setengah memohon.
''Dad ... Tiga tahun aku kuliah di London, aku pulang ke sini buat menghadiri pernikahan Vincent, bukan untuk menikah ... Lagipula aku juga punya kekasih, mau aku apakan kekasih aku itu, Dad? Kami sudah pacaran jarak jauh selama tiga tahun, bagaimana perasaan dia nantinya ...?''
Sang ayah yang bernama Tuan Abraham terdiam, laki-laki paruh baya yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu pun menunduk merasa sedih. Matanya yang sudah terdapat kerutan pun mulai berkaca-kaca.
Sementara sang ibu yang juga berada di sana, kini sudah terlihat menitikkan air mata, selain karena anak bungsunya yang tiba-tiba menghilang sehari sebelum hari pernikahannya, dia juga harus siap menanggung malu karena pernikahan mewah yang sudah dia umbar ke rekan sosialitanya tiba-tiba batal di adakan.
Sementara itu, Afgan yang duduk tepat di depan kedua orang tuanya itu pun menatap kedua orangtuaku secara bergantian, merasa sedih melihat ayah dan ibunya memasang wajah yang begitu mengenaskan.
''Baiklah, kalau kamu ingin melihat Daddy sama Mommy malu, gak apa-apa, kamu boleh menolak pernikahan ini, tapi jangan harap Daddy mau mengakui kamu sebagai anak Daddy lagi, Vincent sudah pergi entah kemana, kamu juga pergi saja sekalian agar kami hidup kesepian di hari tua kami ini,'' ucap sang ayah, membuat hati Afgan terhenyak.
''Dad ...?'' rengek Afgan.
''Sekarang lebih baik kamu pergi, Daddy gak mau melihat wajah kamu lagi, Daddy anggap kedua putra Daddy udah pergi ninggalin Daddy ...''
''Nak ... Mommy mohon, terima tawaran kami, pernikahan ini hanya sementara, kamu bisa menceraikan dia setelahnya ...'' jawab sang ibu sedikit terisak.
''Oke, aku akan menikah dengan gadis itu, tapi hanya untuk waktu satu tahun, setelah itu aku akan menceraikan dia, dan menikahi gadis yang aku cintai,'' Afgan dengan tatapan mata serius, rahangnya yang tegas semakin dipertegas.
''Kamu serius, Nak ...?'' tanya sang ibu menghentikan tangisnya.
Afgan mengangguk lalu menunduk, hatinya merasa pilu sebenarnya, niatnya pulang ke negara ini untuk melamar sang kekasih pujaan hati yang bernama Milannita harus pupus seketika karena dia harus menikah secara mendadak dengan wanita yang sama sekali tidak dia kenal, bahkan tidak pernah bertemu sekalipun.
Afgan mengusap wajahnya secara kasar seraya memejamkan mata menahan rasa sesak di hatinya. Pria berusia 31 tahun itu benar-benar merasakan kekecewaan, kecewa pada kedua orangtuanya, kecewa kepada adiknya yang harus kabur begitu saja, dan kecewa pada diri sendiri karena harus meninggalkan kekasihnya yang sudah selama tiga tahun selalu setia menanti kepulangan-nya.
❤️❤️
Keesokan harinya.
Pernikahan pun benar-benar diadakan di hotel berbintang lima, setelah mengucapkan janji setia di atas altar di depan lebih dari 1000 tamu undangan, Afgan pun kini sah menjadi suami dari wanita bernama Alisya yang kini duduk bersamanya di atas pelaminan.
Keduanya benar-benar terlihat seperti orang asing, raut wajah sepasang suami-istri itu terlihat murung dan tidak ada aura kebahagiaan sama sekali dari raut wajah mereka yang biasanya ditunjukkan oleh sepasang pengantin baru.
Setelah acara pernikahan selesai, Afgan segera masuk ke dalam kamar hotel yang memang sudah di sediakan untuk pasangan pengantin baru, Alisya yang sudah berganti pakaian pun nampak duduk sendiri di tepi ranjang, menunggu laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu keluar dari dalam kamar mandi.
Ceklek ...
Tidak lama kemudian, yang di tunggu pun keluar, Afgan nampak sudah berpakaian rapi, seperti hendak keluar. Alisya yang memang sudah menunggunya lama langsung berdiri dan menghampiri suaminya itu.
''Mas ...!'' panggil wanita berusia 25 tahun itu.
''Jangan panggil aku, Mas. Dan jangan tunggu aku pulang, karena aku mau tidur di luar,'' jawab Afgan datar, tanpa menoleh sama sekali.
''Baik, aku gak peduli jika kamu gak pulang, atau bermalam dengan siapapun, aku hanya ingin bertanya, apa kamu tau Vincent ada dimana? kenapa dia mendadak hilang di hari pernikahan kami?'' tanya Alisya menahan Isak.
''Aku gak tau, aku juga kesal dan marah sama dia, gara-gara dia, aku harus menikahi kamu, wanita yang sama sekali gak aku kenal.''
Afgan sedikit menoleh, menatap wajah Alisya yang terlihat cantik dan imut, tubuhnya yang mungil membuat Afgan harus sedikit menunduk sedangkan Alisya mendongakkan kepalanya agar bisa menatap wajah suaminya itu.
Tatapan mata tajam yang dipenuhi buliran air mata, sama sekali tidak membuat hati seorang Afgan merasa terenyuh, dia tetap saja membenci wanita ini, karena gara-gara Alisya dia harus mengubur dalam-dalam niatnya untuk menikahi wanita yang sangat dicintainya.
''Aku tau kamu terpaksa menikahi aku, aku pun sama. Aku terpaksa menikah denganmu karena adikmu yang tiba-tiba hilang begitu aja, kalau kamu punya pacar silahkan lanjutkan hubungan kalian, sama seperti aku yang akan menunggu kepulangan Vincent, aku yakin dia punya alasan mengapa harus meninggalkan aku seperti ini,'' jawab Alisya penuh penekanan, air matanya pun mulai berjatuhan membasahi pipi mungilnya.
''Dasar wanita naif, bodoh, sudah jelas-jelas dia ninggalin kamu, kamu masih mau setia nungguin dia? ha ... ha ... ha ...! sungguh luar biasa? tapi sayangnya aku gak peduli, kamu mau nunggu dia sampai kamu nenek-nenek pun aku gak peduli, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau,'' jawab Afgan tersenyum menyeringai.
Alisya tidak menjawab lagi, kini dia memutar badan lalu berbaring di atas ranjang, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal, diiringi suara tangisan yang sedikit di tahan.
Afgan sama sekali tidak peduli, dia pun berbalik dan berjalan menuju pintu, membuka pintu lalu keluar dari dalam kamar hotel, dan kembali menutup pintu secara kasar.
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Sepeninggal sang suami, kini Alisya meringkuk di dalam selimut, meratapi nasib buruknya karena harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dia kenal, dan yang lebih menyakitkannya lagi adalah, kekasih yang sudah berjanji akan menikahinya, kini hilang entah kemana, tepat di hari pernikahan.
'Aku benci sama kamu, Vincent. Dasar penipu, kamu telah mempermainkan perasaan aku ...' ( Batin Alisya )
Dirinya pun semakin merekatkan selimut, dan mencoba memejamkan mata, melupakan sejenak kesedihan yang saat ini sedang dia rasakan, namun, baru saja dia hendak terlelap, tiba-tiba saja pintu kamar di buka secara tergesa-gesa, dan suaminya yang tadi telah berpamitan hendak tidur di luar pun masuk kembali ke dalam kamar dengan wajah pucat.
Sontak saja, hal itu membuat Alisya terkejut, dia membuka selimut dan menatap wajah suaminya.
''Ada apa si?'' tanya Alisya mengerutkan kening.
''Cepat bangun, orang tuamu sedang berjalan kemari,'' ucap Afgan dengan napas yang tersengal-sengal.
''Terus kenapa kalau mereka datang ke sini?'' tanya Al datar.
''Pokoknya, kita harus terlihat bahagia, aku gak mau di cap sebagai suami jahat sama orang tua kamu, oke ...?''
Alisya tersenyum menyeringai.
''Kenapa? bukannya bagus-''
Alisya tidak meneruskan ucapannya karena pintu kamar tiba-tiba di ketuk dan terdengar suara sang ibu memanggil dari luar kamar.
Tok ... Tok ... Tok ...
''Tuh, 'kan mereka datang ...''
Afgan menarik tangan istrinya untuk berdiri, setelah itu dia mengusap kasar rambut istrinya tersebut, tak lupa, dia pun sedikit menarik baju tidur yang kenakan istrinya sehingga mereka terlihat seperti sedang bercinta.
Alisya yang merasa risi sebenarnya, hanya diam pasrah dengan mata yang terpejam, dan kening yang kerut'kan, tak lupa dia pun mengerucutkan bibirnya sedemikian rupa merasa kesal sebenarnya.
''Udah cukup, kalau kayak gini, aku lebih terlihat kayak habis di KDRT sama suaminya, tau?'' ucap Alisya membuka mata, lalu terkejut seketika, karena wajah Afgan berada sangat dekat dengan wajahnya.
Pria itu membungkukkan tubuh tingginya agar bisa sejajar dengan tubuh mungil Alisya, membuat gadis itu sontak memundurkan kepalanya.
''Jangan deket-deket,'' pinta Al membuat Afgan sontak mengikuti gerakan kepala istrinya.
''Diam dulu, jangan sampai mereka tau kalau kita habis berdebat tadi. Pokoknya, kamu harus memasang senyum bahagia, dan aku pun sama, oke ...'' bisik Afgan, membuat jantung Al sedikit berdebar, deruan napas pria yang sudah menjadi suaminya itu terasa dingin menyapu telinga.
Tok ... Tok ... Tok ....
''Apa kami mengganggu kalian? ya sudah lain kali aja kami mengunjungimu, kami pamit, ya ...'' teriak sang ibu di luar sana.
''Nggak, Mom. Kami gak lagi ngapa-ngapain ko ...'' Al sontak menjawab teriakan sang ibu, karena tidak ingin kedua orangtuanya itu pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Afgan pun berjalan ke arah pintu lalu membukanya di temani sang istri yang kini berjalan bersama dirinya, Afgan nampak melingkarkan tangannya di pinggang Alisya, membuat wanita itu merasa tidak nyaman sebenarnya.
Ceklek ...
Pintu pun di buka, kedua orangtuanya Al masuk kedalam kamar dengan tatapan tajam yang mengarah tepat ke wajah suami dari putrinya tersebut.
''Silahkan masuk, ibu, bapak mertua,'' ucap Afgan, karena tidak tau harus memanggil mereka dengan sebutan apa.
''Hmm ... Kamu kakaknya si Vincent?''
''I-iya, Om ...''
''Silahkan duduk dulu, Mom ...'' Pinta Al, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan suaminya.
''Gak usah, sayang. Mommy sama Daddy cuma mau pamitan aja sama kalian, sekaligus Daddy mau ngasih pesan kepada kalian, terutama sama kamu Afgan ...'' jawab sang ayah.
Afgan meremas baju istrinya, merasa gugup, namun, hal itu sukses membuat Al meremas balik punggung suaminya membuat Afgan sedikit meringis kesakitan.
''Tanganmu kondisikan,'' bisik Al, berbisik di belakang punggung suaminya.
Sementara Afgan hanya cengengesan, menatap kedua mertuanya.
''Begini Afgan. Om tau, kamu terpaksa menikahi putri Om, tapi dia anak yang baik, gak pernah neko-neko, meskipun sedikit galak dan teguh dengan pendiriannya, namun, dia gadis yang manis dan penuh kasih sayang ... Karena sekarang kamu sudah menjadi suaminya, Om serahkan dia sama kamu, tolong jaga dia dengan baik, jangan pernah sakiti hatinya, Om percaya sama kamu ...''
'Jangan Om jangan pernah percaya sama aku, karena itu hanya akan membuat aku merasa terbebani,' ( Batin Afgan )
''O iya, Alisya ... Mommy sama Daddy berpesan satu hal sama kamu, mulai saat ini, kamu harus melupakan pria yang bernama Vincent itu, dia hanya laki-laki yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan kamu begitu saja. Mulai saat ini, kamu harus benar-benar menerima takdir kamu sebagai seorang istri dari pria yang saat ini berada di sampingmu ini,'' tegas sang ibu.
Alisya menunduk sedih, bibirnya terasa berat untuk digerakkan, bahkan untuk mengatakan kata 'iya' pun rasanya sangat sulit, karena memang hatinya tidak semudah itu melupakan pria yang bernama Vincent, alhasil, Al hanya bisa mengigit bibir bawahnya keras, sampai sang suami memanggil namanya.
''Kenapa kamu diam saja, sayang. Bukankah tadi kita sudah sepakat akan mencoba saling mencintai?'' tanya Afgan, membuat Al sontak mengangkat kepalanya, menatap bulat wajah suaminya itu, dan langsung mendapatkan kedipan mata sebagai isyarat.
'Kapan kita sepakat? bicara apa pria ini, ngaco ... Cinta ...? heuh ...' (Batin Alisya )
Afgan kembali meremas pakaian yang dikenakan oleh istrinya.
''Oh, iya. Mom ... Kami memang sudah sepakat akan seperti itu, he ... he ... he ...'' jawab Al tersenyum hambar.
''Syukurlah kalau begitu, Daddy sama Mommy senang mendengarnya, kami berdua doakan semoga pernikahan kalian langgeng, dan awet sampai kakek-nenek.''
''Makasih, Mom.''
Alisya berjalan menghampiri sang ibu, lalu memeluk tubuhnya erat.
''Kamu yang sabar ya, sayang. Mommy mengerti bagaimana perasaan kamu,'' bisik sang ibu seolah mengerti dengan isi hati putrinya.
''Iya, Mom ... Aku akan menjalankan semua yang Mom dan Daddy katakan tadi, meskipun terasa berat sebenarnya,'' jawab Al yang juga dengan setengah berbisik dan mata yang terlihat berkaca-kaca, ingin rasanya ia meluapkan semua kesedihan yang saat ini dia rasakan.
Al pun mengurai pelukan dan bergantian memeluk sang ayah, mendekapnya erat sebelum melepaskan kepergian mereka berdua.
''Kami pamit ya, sayang ... Kalian silahkan teruskan malam pertamanya,'' ucap sang ayah membuat Afgan dan Alisya gugup seketika.
'*Malam pertama ...? sama dia ...? Tidak akan ...?' ( Batin Alisya )
'Hah ... Malam pertama? Aku malah berniat untuk tidur di luar,' ( Batin Afgan* )
"Hei kenapa kalian malah bengong? kami pamit, ya ...''
''Oh iya, Dad ... hati-hati di jalan.'
''Mau saya antar ...?'' Afgan menawarkan, meski hanya basa-basi saja sebenarnya.
''Oh, gak usah. Nanti ganggu malam pertama kalian lagi, kami bawa mobil sendiri ko.''
''Ya sudah hati-hati ya, bapak sama ibu mertua ...'' Afgan dengan sedikit menaikan suaranya.
Blug ...
Pintu pun kembali di tutup, sepasang suami-istri itu sekarang berdiri mematung dengan perasaan gugup, mendengar kata malam pertama, membuat bulu kuduk kedua orang itu berdiri, merinding.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Sepeninggal kedua orang tua Alisya, kini tinggallah mereka berdua yang berdiri mematung di dalam kamar, mendengar kata malam pertama membuat bulu kuduk sepasang suami-istri itu terasa berdiri merinding.
''Aku tidur di atas kamu tidur di bawah ..." celetuk Alisya, membuat Afgan terkejut.
"Kamu serius ...?" tanya Afgan mengerutkan kening.
"Tentu saja."
"Apa kamu gak akan menyesal nantinya?"
"Apaan si?"
Al berjalan menuju ranjang dan hendak berbaring di atasnya, namun, gerakannya terhenti seketika saat melihat pria tinggi dan gagah bernama Afgan itu ikut naik ke atas ranjang.
"Kamu mau apa, hah ...?" tanya Alisya, membulatkan bola matanya.
"Tadi katanya kamu yang di atas aku yang di bawah, 'kan?'' jawab Afgan polos.
''Apanya ...?''
''Yo nggak tau, malam pertamanya kali ...''
''What ...? malam pertama? ha ... ha ... ha ...! siapa yang bilang malam pertama? jangan mimpi ... Apa kamu lupa apa yang tadi kamu katakan sebelum kamu keluar dari sini, hah ...?'' teriak Alisya.
Kini dia meraih satu buah bantal dan melemparkannya sembarang ke atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang.
''Nah, kamu tidur di sana ...'' ucap Al datar.
''Oh ... Jadi maksudnya, kamu tidur di atas ranjang? sedangkan aku di bawah sana?'' tanya Afgan sedikit malu karena dirinya salah tangkap dengan apa yang diucapkan oleh istrinya tersebut.
''Betul ... Dan ingat, jangan naik ke sini, atau curi-curi kesempatan saat aku lagi tidur, oke ...?''
''Gak bakalan, siapa lagi yang mau curi-curi kesempatan? Percaya Diri banget si jadi cewek ...''
Alisya pun naik ke atas ranjang, sementara Afgan, kini dia turun dan berbaring di kursi. Al nampak menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, meringkuk dengan membelakangi suaminya.
Afgan hanya bisa menatap tubuh mungil sang istri yang kini hampir tertutup selimut, dan hanya menyisakan ujung kepalanya saja.
'Dasar cewek aneh ...' (Batin Afgan)
Keheningan pun tercipta, sejenak Afgan mencoba untuk memejamkan mata, dan mencoba menenangkan hatinya, namun, saat dirinya baru saja hendak terpejam tiba-tiba saja sayup-sayup terdengar suara tangis kecil, yang berasal dari tubuh istrinya.
''Alisya ... Kamu nangis ...?'' tanya Afgan kembali membuka mata.
Yang di tanya hanya terdiam dengan suara tangis yang kini sedikit di tahan.
Merasa penasaran, kini Afgan pun bangkit dan berdiri lalu naik ke atas ranjang, mencoba mengintip wajah sang istri yang kini hampir seluruhnya tertutup selimut.
''Hey ... jangan nangis, berisik tau.'' Lirih Afgan pelan, perlahan menarik selimut yang menutup bagian wajah istrinya.
Diam dan pasrah, Al pun diam saat suaminya itu membuka dan menatap wajahnya yang kini telah basah dengan air mata.
''Kamu beneran nangis?''
Alisya, mengusap wajahnya, lalu kembali menutup wajah dengan selimut.
''Turun, lagi apa kamu di sini?'' teriak Al dari dalam selimut.
Bukannya menurut, kini Afgan duduk bersandar bantal di belakang punggungnya, menatap sang istri dengan tersenyum menyeringai.
''Udah cowok kayak gitu jangan di tangisi?'' ucap Afgan dengan entengnya.
''Apa maksud kamu, hah ...? kamu pikir gampang melupakan orang yang udah pacaran sama aku selama satu tahun lebih, hah ...? hiks ... hiks ... hiks ...'' teriak Al mengeluarkan kepalanya dari dalam selimut.
Afgan hanya bisa menarik napas panjang, seraya memasukan jari kelingkingnya ke dalam telinga, lalu memutarnya pelan.
''Duh ... Berisik tau, adikku itu emang brengsek ...''
''Jangan sebut dia brengsek,'' jawab Al masih dari dalam selimut.
''Kalau dia gak brengsek terus apa namanya? hah ... Ninggalin pacarnya gitu aja, kalau gak punya niatan buat nikahin kamu, ngapain juga bikin acara pernikahan mewah, megah ... Akhirnya aku juga 'kan yang susah,'' ucap Afgan merasa kesal sebenarnya.
Mendengar ucapan suaminya, membuat Al semakin menaikan suara tangisnya, membuat Afgan menutup kedua telinganya dengan bantal, hingga suara tangis itu tidak lagi terdengar.
Dia pun berbaring di samping sang istri dengan kepala yang ditutup sempurna, mengabaikan peringatan Al yang memintanya untuk tidak naik ke atas ranjang.
Satu jam kemudian, keduanya pun tertidur lelap, Alisya masih belum menyadari bahwa Afgan tidur bersamanya di atas sana, posisi tidur keduanya pun semakin berdekatan kini, dengan kaki kecil Alisya berada di atas dada bidang seorang Afgan, membuatnya terbangun seketika.
''Ish ... Apa ini?'' ucap Afgan dengan setengah terpejam, dan terkejut seketika menatap kaki mungil berada tepat di atas dada bidangnya.
Pakaian tidur yang dikenakan oleh Alisya kini sudah benar-benar tidak beraturan, sehingga bagian kakinya benar-benar terekspos sempurna tanpa di tutup apapun, membuat Afgan menelan ludah kasar.
Dia pun menatap sekeliling mencari selimut yang semula menutupi tubuh istrinya itu, dan mendengus kesal saat melihat selimut itu sudah tergeletak begitu saja di atas lantai.
Posisi Alisya sendiri kini tertelungkup di pinggir ranjang dan hampir terjatuh, membuat pria itu benar-benar kebingungan, apa yang harus dia lakukan.
''Duh, tidurnya gini banget si? lagian ngapain juga aku harus ketiduran di atas sini,'' gerutu Afgan berbicara sendiri.
Akhirnya, dia pun sedikit mengangkat kepalanya, mencoba menurunkan kaki mulus Alisya dengan sangat hati-hati, namun, baru saja dia hendak melakukan hal itu, tiba-tiba saja tubuh Alisya yang memang sudah hampir terjatuh, merosot dan terjatuh membuat Afgan reflek meraih tubuh mungil itu, namun, bukannya menyelamatkan Alisya agar tidak terjatuh, kini dia pun malah ikut melorot dan terjatuh dari atas ranjang bersama sang istri.
Bruk ...
Keduanya pun terjatuh dalam posisi saling menindih, Afgan berada tepat di atas tubuh sang istri yang kini telah membuka mata sempurna, dengan bola mata yang dibulatkan sedemikian rupa, saling menatap satu sama lain lalu sedetik kemudian ...
''Haaaaa ...'' Alisya berteriak kencang, mendorong tubuh suaminya hingga dia tersungkur di atas lantai.
''Lagi apa kamu di sini, hah ...?'' teriak Al, mencoba bangun, namun, pinggangnya terasa sakit.
''Tadi aku coba nolongin kamu, tapi malah aku juga ikut jatuh, lagian kamu tidurnya kayak anak kecil,'' jawab Afgan bangkit badan berdiri.
''Argh ... Pinggang aku sakit ...'' ringis Al, masih mencoba untuk bangkit.
''Mau aku bantuin?''
''Gak usah, aku bisa bangun sendiri, ko ...'' jawab Al ketus.
''Coba aja kalau bisa ...''
''Argh ... Aw ... sakit banget,'' Al semakin meringis kesakitan, karena pinggulnya pun terasa nyeri.
Tanpa berfikir panjang, kini Afgan berjongkok dan meraih tubuh mungil sang istri.
''Kamu mau apa?''
''Diem, kamu gak bakalan bisa bangun sendiri,'' jawab Afgan, mulai menggendong tubuh Alisya.
''Ringan banget si? ini tubuh kamu gak ada isinya apa?''
''Cepet turunin.''
''Iya ... iya ...'' Afgan menatap wajah Al yang berada begitu dekat dengan wajahnya kini.
Tatapan mata tajam, dan bentuk wajah yang mungil, membuat Afgan tidak berkedip sama sekali, apalagi bibir Alisya terlihat merah menggoda, membuat keduanya terpaku seketika.
''Kita, udah nikah 'kan?'' tanya Afgan menatap bibir merah istrinya.
''Iya, terus kamu mau apa? cepat turunkan aku, jangan nyari-nyari kesempatan, ya ...'' Ketus Al dengan perasaan berdebar sebenarnya.
Bukannya mengikuti keinginan sang istri, kini Afgan malah mendekatkan wajahnya hendak mencium bibir merah yang terlihat begitu menggoda itu, namun, gerakannya terhenti seketika saat mendengar suara ponsel yang dia letakan di atas kursi berdering.
Sontak saja, hal itu membuat Alisya menggerakkan tubuhnya seketika, dan melompat dari pangkuan suaminya itu hingga dia benar-benar terjatuh ke atas ranjang.
Gugup ... Itulah yang dirasakan keduanya, namun, Afgan mencoba mengontrol emosinya, dan mengatur hembusan napasnya yang sempat tidak beraturan sebelum dia mulai meraih ponsel yang masih belum berhenti berdering.
Afgan pun menatap layar ponsel, yang bertuliskan nama 'Milannita'
yang merupakan nama sang kekasih.
''Pacar kamu, ya ...?'' tanya Al sedikit mendongakkan kepalanya, menatap layar ponsel suaminya.
Afgan tidak menjawab pertanyaan istrinya itu, dia berjalan ke arah pintu lalu keluar dan berdiri di balkon.
''Halo, sayang ...'' jawab Afgan mengangkat telpon.
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!