Calista tersenyum ketika melihat perpaduan senja dan ikon Kota Jakarta tampak begitu indah. Bangku yang di duduki adalah tempat kesukaan nya ketika hatinya sedang tak baik-baik saja.
Calista Abraham adalah anak sulung dari pasangan Edzard Zeon Abraham dan Pricilla Ivy Alexander. Namun dirinya bukanlah anak kandung dari mereka. Ia hanyalah anak angkat yang dilimpahkan curah kasih sayang yang tak akan ada habisnya.
Orang tua kandung?
Calista tersenyum getir mengingat siapa orang tuanya. Ibunya telah meninggal karena bunuh diri. Bukan hanya sebagai pasien Rumah Sakit Jiwa, namun ibunya juga seorang narapidana.
Sungguh, Calista tak ingin membicarakan ibu kandungnya apalagi ayah kandung yang entah siapa karena kedua orang tua angkatnya juga tidak tahu siapa ayah kandungnya.
Ia hanya berharap, ayah kandung nya adalah pria baik-baik walau tak diberi kesempatan untuk bertemu.
Calista menghela nafas, bangkit dan harus kembali pulang karena akan menghadiri acara Perpisahan Sekolah di salah satu Hotel berbintang di Jakarta.
"Iya, Pi. Ini aku sudah dijalan pulang!" sahut Calista setelah mendapat telepon dari Papi angkatnya, Edzard Zeon Abraham.
Sesampainya dirumah, Calista langsung masuk ke kamar dan bersiap. Ia tampak cantik dengan seusianya yang sedang mekar-mekarnya.
"Mi. Papi kemana?" tanya Calista seraya menuruni anak tangga melihat Mami Ivy tengah membawa beberapa potong brownies dan segelas kopi di atas nampan.
Mami Ivy menoleh mengangkat wajah karena Calista masih di tengah tangga. "Ada di teras belakang. Pamit dulu pada Papi mu yang posesif itu," canda Mami Ivy membuat Calista tergelak.
Calista mengambil alih nampan dari tangan Mami Ivy. "Dimana kedua adikku, Mi?" tanya Calista seraya berjalan menuju teras belakang bersama Mami Ivy.
"Biasa, mereka nonton!"
Sesampainya di teras belakang, Calista menaruh segelas kopi dan sepiring potongan brownies ke atas meja di depan Papi Edzard.
"Pi. Calista pergi, ya."
Papi Edzard melepas kacamatanya, diletakkan ke atas meja bersamaan koran yang tadi dibacanya.
"Hati-hati. Atau kamu di antar Leon saja"
Calista menggeleng. "Gak perlu, Pi. Kak Leon pasti sibuk."
Papi Edzard menghela nafas. "Cepatlah kalian menikah agar aku merasa lebih tenang. Leon juga sudah mapan!"
"Pi. Anak sulungmu ini baru saja lulus SMA. Jangan langsung disuruh nikah. Kamu kira nikah muda itu gampang? kita saja masih sering berantem apalagi mereka?" cerca Mami Ivy sewot.
"Tapi mereka berdua beda, Mi. Leon dan Calista berhubungan dari dulu tanpa kita jodohkan," elak Papi Edzard membuat Calista memutar bola malas.
Begitulah Papi Edzard. Selalu menyuruh Leon untuk melamar dan menikahi Calista agar tak berhubungan oleh pria manapun. Karena Papi Edzard lebih percaya pada Leon.
"Calista masih delapan belas tahun, Pi."
"Sudah bisa menikah, kan?" tanya Papi Edzard membuat Calista segera pamit. Jika tidak maka akan panjang urusan dan ia bisa tak jadi pergi.
Calista pergi naik taksi online menuju ke salah satu Hotel berbintang di Jakarta. Sesampainya di Lobby Hotel, ia menghampiri Anita, sahabatnya sejak Sekolah Menengah Pertama.
"Anita," seru Calista membuat gadis itu menoleh dan terbelalak.
"Calista," Anita langsung girang dan memeluk Calista seperti tak bertemu sekian tahun. Padahal baru dua hari mereka tidak bertemu. Terakhir bertemu dua hari lalu saat menerima kelulusan.
Anita celingukan mencari seseorang di belakang Calista. "Papi kamu gak ikut?"
Calista menggeleng.
"Kak Leon?"
"Enggak, Anita. Malam ini aku bebas," ucap Calista girang.
Anita mengajak Calista menuju Rooftop Hotel. Di sana, ada sebuah Kafe yang sudah di booking oleh seangkatan Calista dan Anita.
Calista menahan nafas ketika terhirup bau menyengat dari minuman beralkohol. Sebenarnya ini perlsta perayaan di luar tanggung jawab Sekolah sehingga minuman terlarang berada di pesta ini.
Calista benar-benar menikmati pesta malam ini. Apalagi ini adalah pertama kali untuknya pergi tanpa ada yang menjaga nya. Tapi ia tetap ingat tak akan mau mencoba minuman terlarang.
...****...
Di Bali.
Carlos dan Nadia sedang bersiap untuk kembali ke Jakarta karena Carlos ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Maaf, sudah membuat kekacauan untuk liburan kita kali ini!" ucap Carlos tulus.
Nadia tersenyum. "Kita bisa liburan kapan saja. Pekerjaan mu harus segera di selesaikan, bukan?"
Carlos memeluk Nadia. "Aku bahagia bisa memilikimu. Terimakasih begitu mencintaiku," ucap Carlos.
Selama ini. Carlos benar-benar telah menjatuhkan hatinya untuk Nadia. Ia sadar, kehidupan rumah tangga bukan melulu masalah anak. Yang terpenting kedua pasangan kita bisa menerima dan bahagia hidup bersama kita.
"Nanti setelah sampai Rumah, istirahat. Jangan tunggu aku pulang. Mungkin akan terlambat," ucap Carlos langsung menggandeng Nadia dan menarik koper, keluar dari kamar hotel.
Pria matang yang begitu mencintai istrinya itu adalah Carlos Martinez. Di usia pernikahan nya dengan Nadia menginjak 14 tahun itu belum juga memiliki keturunan.
Bukan tak ingin, tetapi Carlos lebih menerima apa adanya. Sudah mencoba berbagai cara namun tak juga membuahi hasil. Nadia memaksa untuk mencari rahim pengganti. Namun, Carlos tak ingin berbagia tubuh dengan wanita lain selain Nadia.
Malam hari. Nadia langsung pulang di antar sopir sedang Carlos menaiki taksi menuju salah satu hotel berbintang dimana klien nya tengah menunggu.
"Maaf aku terlambat!" ucap Carlos setiba di Restoran tempat janji bertemu.
"Tidak apa, Carl. Kami juga baru saja tiba karena asyik duduk di Lobby melihat gadis belia berkeliaran," sahut William yang terkenal casanova dan tak ingin menjalani pernikahan.
Carlos terkekeh. "Ingat umur. Segeralah menikah," tegur Carlos.
William berdecak. "Ayolah, Carl. Punya istri itu kita gak bebas. Masalah kekayaanku? aku bisa menyewa rahim untuk mengandung anakku dan di rawat pengasuh. Aku gak mau sepertimu. Dulu kamu sama denganku, tapi kenapa berakhir dengan istri mu yang gak bisa kasih anak?"
Carlos hanya diam seraya mengepalkan tangan di bawah meja. Jika disinggung masalah istri dan anak tentu saja sangat sensitif baginya.
Pembicaraan mereka berhenti ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Usai makan malam dilanjut membahas pekerjaan.
Hingga William permisi ke toilet, tak berapa lama datang. Pelayan datang membawa dua gelas jus buah untuk Carlos dan William.
Carlos tak curiga sama sekali. Ia menerima dan meminumnya. Saat merasakan ada yang aneh pada tubuhnya, ia curiga pada William.
"Butuh wanita?" tanya William menyeringai.
"Kurang ajar kau, Will."
Carlos mulai berkeringat bahkan sudah melepas tiga kancing kemeja yang dikenakan nya.
William menyodorkan kartu akses salah satu kamar President suite pada Carlos.
"Jangan panggil wanita, Will!" pintanya bangkit sebelum melangkah menuju kamar.
"Baiklah. Sepertinya kamu benar-benar bertobat."
Carlos berjalan cepat sambil menahan gejolak. Bahkan ia menghindar untuk bersentuhan pada orang yang berjalan di sekitarnya.
Kalau aku pulang, ini gak mungkin.
Di dalam lift Carlos tak sadar jika ada gadis yang di kenalnya. Ya, dia adalah Calista dan menyadari Carlos sedang tak baik-baik saja.
"Om Carlos kenapa?" tanya Calista menyentuh lengan Carlos yang tampak memerah.
Carlos tersentak lalu menoleh kesamping. "Jangan sentuh Om, Calista."
Calista mengerutkan keningnya apalagi Carlos menjauhi tubuhnya. Ia maju mendekati Carlos lagi. Di sentuh kening Carlos yang berkeringat bertepatan lift terbuka.
"Om... Turunkan aku," pekik Calista.
Di sudut kamar. Calista menangis dengan memeluk kaki dan menenggelamkan kepala diantaranya. Ia begitu takut atas kejadian malam tadi. Bayangan saat Carlos memaksa untuk menjadi pemuas naf su bejat pria matang itu.
Bayangan itu seolah nyata membuat kedua tangan nya bergerak seperti menyingkirkan tangan Carlos. Bahkan dirinya sudah mengguyur seluruh tubuh berharap jejak perlakuan bejat Carlos dapat menghilang. Namun kenyataannya justru membuat semakin mengingat dan semakin membuat Calista jijik pada dirinya sendiri.
Malam tadi. Saat keluar dari lift, Carlos membopong Calista seperti karung. Gadis itu terus meronta namun Carlos tak menggubris. Dibawanya masuk ke dalam kamar Hotel yang sudah di pesan William sebelumnya.
Dihempas dengan kasar tubuh Calista ke atas ranjang. Gadis itu tampak ketakutan, beringsut mundur saat Carlos naik ke ranjang setelah melepas kemejanya.
"Sudah Om katakan jangan dekati Om, Calista!" ucap Carlos membelai pipi Calista.
Calista menggeleng takut, air matanya sudah menetes saking ketakutannya. "Maafin Calista, Om. Calista gak akan dekati Om lagi. Tolong jangan lakukan ini," isak tangis mulai terdengar apalagi Carlos mulai mencium, menjilat, menghisap daerah leher Calista.
"Sudah terlambat. Aku membutuhkanmu, sekarang!"
Calista menggeleng lagi. Tampak sangat jelas ketakutan dari wajahnya. Masa depan, Leon, dan Papi Mami nya terbayang dalam benak. Mencoba berontak berulangkali namun tenaga nya tak sebanding dengan tenaga Carlos.
Sejak malam itu, hidup Calista hancur sehancur-hancur nya. Wajah tanpa ekspresi namun air mata terus mengalir. Sedang Carlos sedang asyik menjaja tubuh Calista.
...****...
Carlos terbangun akibat suara tangis Calista. Matanya terbelalak melihat keadaan gadis itu. Ah, bukan gadis namun wanita muda sedang menangis di sudut kamar.
Masih dengan rasa terkejutnya. Carlos melihat keadaan kamar yang berantakan akibat Calista berontak tadi malam juga pakaian Calista sudah robek tak layak pakai.
Carlos membuka selimut bagian dimana Calista tidur. Rasa terkejutnya semakin jadi ketika matanya melihat bercak darah di seprei putih tersebut.
Ia mengacak rambutnya sangat frustasi. Di pakainya boxer lalu berjongkok di depan Calista. Ketika tangannya menyentuh lengan atas Calista membuat gadis itu terjingkat.
Calista menepis tangan Carlos lalu menjauhkan diri dari Carlos. "Pergi," sentak Calista.
"Maafin Om, Calt. Om akan bertanggung jawab!"
Calista menatap Carlos dengan tajam. Siapapun tahu jika Carlos begitu mencintai istrinya. Media sosial dan Media elektronik sering memberitakan pasangan ini karena kesetiaan Carlos terhadap Nadia walau tidak di karuniai anak.
Calista juga pernah pernah melihat di akun gosip jika pasangan ini sedang mencari rahim pengganti tetapi dibatalkan Carlos karena tidak ingin menyakiti hati Nadia.
"Aku membencimu, Carlos Martinez!" ucap Calista lantang. Dipikiran nya saat ini, Carlos adalah pria berengsek dan munafik. Di luar sana menghumbar rasa cinta kepada istrinya tetapi berlaku bejat di belakang seperti yang sudah dilakukan Carlos padanya.
"Om gak sengaja melakukan itu. Om gak sadar saat melakukan itu padamu," ucap Carlos benar adanya
Calista semakin tersulut emosi mendengar pembelaan Carlos. Sekuat tenaga ia menampar Carlos. "Apa katamu? gak sadar? bahkan kau melakukan itu sepanjang malam tanpa memikirkan keadaanku. Aku menyesal telah mengagumi mu, Pria berengsek!" umpat Calista lalu bangkit mengambil ponselnya.
Tanpa perduli kan tampilannya. Calista memaksakan diri berlari keluar dari kamar yang menjadi saksi duka nya. Ia menepis rasa malunya karena sekarang ini ia hanya memakai bathrobe tanpa dalaman.
Calista masuk ke dalam taksi kebetulan baru saja berhenti, penumpang di dalam baru saja keluar.
"Ke Rumah Susun Cempaka Putih, Pak. Cepat ya!' ucapnya memperbaiki bathrobe lalu menghubungi Anita.
"Nit. Kamu dimana?" tanya nya setelah sambungan telepon terhubung.
"Ya ampun, Calista. Kemana saja kamu? Papi dan Kak Leon nelponin aku."
Calista menghapus air matanya. "Nanti aku cerita. Kamu jawab apa ke mereka?"
"Aku bilang kamu nginap disini. Apa kamu baik-baik saja? apa terjadi sesuatu tadi malam?"
"Aku akan cerita," ucap Calista terisak.
...***...
Masih di dalam kamar Hotel. Carlos menghancurkan setiap barang yang ada di sana. Sungguh ia tak ingin kejadian ini terjadi. Sekelebat ingatan di masa lalu. Dimana saat dirinya gila karena Calista yang masih balita.
Ia menggeleng lalu menarik rambutnya begitu frustasi. Pikiran nya menolak untuk tidak sangkut paut dengan kisah masa lalu namun hatinya menyetujui akan hal itu.
Tapi, ada rasa bangga karena dirinya adalah pria pertama untuk Calista. Carlos menggeleng lagi menepis rasa bangga itu.
"Gimana kalau Calista hamil?" tanya nya pada diri sendiri.
Ponsel nya berdering. Ia yakin itu adalah Nadia, istrinya. Benar bukan?
"Ya, sayang?" setelah berdehem untuk menormalkan rasa gugup tiba-tiba mendera saat mendengar suara lembut Nadia.
"Kamu gak apa-apa kan?"
Carlos semakin merasa bersalah mendengar Nadia begitu mengkhawatirkan dirinya. "Aku gak apa-apa. Maaf aku gak pulang, sayang. Aku sangat kelelahan jadi memutuskan menginap," tentu saja ini adalah jawaban bohong untuk Nadia agar tak mengkhawatirkan dirinya.
"Oh syukurlah. Apa makan siang ini kamu pulang? aku sudah memasak."
Hati Carlos semakin nyeri mendengar suara lembut Nadia. Ia semakin merasa bersalah telah menodai pernikahan mereka padahal selama ini ia bisa menahan hasrat ketika di goda wanita lain. Bahkan ketika para musuh dalam selimut bisnis nyaenaruh obat perangsang seperti yang dilakukan William padanya.
"Aku akan segera pulang," ucapnya lalu memutuskan sambungan telepon.
...****...
"Sekarang kamu bersihkan diri dulu. Pakai bajuku, Calt."
Calista masih terisak selepas menceritakan apa yang terjadi pada Anita. Ia takut dengan masa depan nya. Orang tua angkat dan Kak Leon pasti marah dan kecewa padanya.
Di dalam kamar mandi, Calista kembali menangis ketika melihat jejak percintaannya dengan Carlos. Ia begitu jijik pada tubuhnya sendiri.
...****...
Diluar kamar mandi, Anita menunggu Calista mandi sudah terlalu lama. Puncaknya saat ia memanggil bahkan menggedor pintu kamar mandi tak ada sahutan.
Dalam keadaan semakin panik, Anita memanggil beberapa tetangga untuk membantu mendobrak pintu kamar mandi.
"Calista. Oh Tuhan, apa yang kamu lakukan?" teriak Anita langsung menutupi tubuh Calista yang memerah bahkan lecet dengan handuk.
Warga membantu membopong Calista untuk ke kamar lebih dahulu. Calista memakaikan pakaian sedang salah satu ibu membantu menutupi luka sayatan di pergelangan tangan Calista agar menyumbat darah yang mengalir.
"Tolong panggilkan pinjamkan mobil pak RT untuk membawa sahabat saha ke Rumah Sakit," Isak Anita.
Beberapa saat kemudian setelah sampai di Rumah Sakit. Calista langsung ditangani saat Anita memberi kartu penduduk Calista karena Pihak Rumah Sakit mengenal keluarga Abraham.
"Aku harus menelepon siapa? Ob Edzard atau Kak Leon?" tanyanya kemudian menggeleng.
"Om Ed saja. Kak Leon gak boleh tahu dulu masalah ini," putus Anita.
Anita menghubungi Papi Edzard bila Calista masuk Rumah Sakit karena kecelakaan bukan menceritakan sebenarnya. Ia ingin menjelaskan ketika sudah berada disini.
Makan siang kali ini terasa begitu hambar. Padahal istrinya, Nadia masih sama melayani dan menemani dirinya ketika makan.
"Apa masakanku gak enak kali ini?" tanya Nadia membuat Carlos tersentak dari lamunan setelah mendengar pertanyaan Nadia.
"Ah, bukan. Aku hanya sedang memikirkan pekerjaan. Aku harus kembali ke Kantor," ucapnya langsung bangkit mendekati Nadia lalu mengecup kening Nadia dan berjalan keluar rumah tanpa ingin mendengar perkataan Nadia lagi.
Nadia menghela nafas panjang menatap kepergian Carlos. Tentu saja ia merasa keanehan pada Carlos setelah kembali dari Hotel. Tetapi tak ingin berpikir aneh-aneh karena yakin Carlos tak akan pernah menyembunyikan sesuatu padanya.
Carlos baru saja tiba di Kantor. Bimo langsung masuk ke dalam ruangannya setiba dirinya.
"Maafkan saya, Tuan."
Carlos tak menggubris permintaan maaf Bimo karena tak dapat hadir ketika pertemuan nya dengan William. Tapi bukan itu permasalahan nya.
"Aku memperkosa dia, Bim!" ucapnya lirih menarik rambut dengan kedua sikut tangan bertumpu di atas meja. Sangat terlihat bila Carlos begitu tertekan dengan kejadian malam tadi.
Bimo mengerutkan dahi, mencerna kalimat terlontar dari Carlos.
Perkosa?
Dia?
"Maksud Tuan, dia siapa?" tanya Bimo tak mengerti dengan apa yang dikatakan Carlos.
Carlos mendongak menatap Bimo lalu menegakkan tubuh tetapi kembali bersandar. "Kau ingat Calista? anak asuh Edzard?" berondong Carlos membuat Bimo memicing curiga.
Carlos kembali melirik Bimo melihat reaksi Asisten Pribadi nya itu. "Aku yang salah, Bim. Aku perkosa Calista tadi malam tanpa sadar karena aku dalam pengaruh obat sialan itu!" cicit Carlos kembali mengacak rambutnya.
Sedang wajah Bimo berubah datar mendengar penjelasan Carlos. Bahkan kedua tangan nya terkepal, tentu saja ia menjadi emosi. Bukan hanya tentang masalalu Carlos yang terobsesi oleh Calista.
Namun, ini menyangkut masa dengan seorang gadis. Apalagi yang diketahui Bimo, Calista tak ada lagi orang tua kandung. Entahlah, tapi yang di ketahuinya Calista tak memiliki ibu kandung lagi.
"Anda harus bertanggung jawab, Tuan!" tekan Bimo membuat tatapan mereka bertemu.
Carlos menggeleng. "Itu gak mungkin, Bim."
Bimo semakin emosi mendengar jawaban Carlos. "Saya sebagai seorang ayah rasanya ingin membunuh anda, Tuan!"
Ucapan Bimo justru menyulut emosi Carlos. Dirinya bangkit menatap Bimo nyalang begitu juga Bimo.
"Apa maksud mu Bimo? aku sudah punya istri dan kami saling mencintai. Masalah kejadian itu juga karena kecelakaan, aku tak sengaja melakukan itu!" elak Carlos. Sekarang dipikirannya hanya tak ingin mengulang kegilaan nya di masalalu yang menyukai anak kecil.
BUGH
Bimo memberikan bogeman tepat di ujung bibir Carlos hingga mengeluarkan darah segar. "Apa anda tak memikirkan bagaimana orang tua nya? apa anda tidak memikirkan masa depan gadis malang itu? apa anda tidak merasa bersalah telah mengambil harta yang paling berharga untuk seorang perempuan? apa anda tidak berpikir jika Calista akan hamil akibat perbuatan bejat anda? betapa kejam nya anda tak ingin bertanggung jawab hanya karena anda mencintai istri anda."
"Ah, ya. Mungkin karena anda tidak merasakan bagaimana rasanya anak gadis anda diperkosa pria bejat seperti anda," cerca Bimo lalu menunduk hormat kemudia pergi dari ruangan itu tanpa ingin mendengar jawaban dari Carlos lagi.
Carlos membeku mendengar semua cercaan Bimo untuknya. Apalagi dengan pertanyaan terakhir apabila Calista hamil? benarkah perbuatan nya akan menghasilkan anak?
Dari satu sisi hatinya merasa senang karena harapan memiliki anak akan terwujud. Tetapi satu sisi hatinya yang lain menjadi gundah gulana telah mengkhianati janji suci pernikahan nya bersama Nadia.
Aku harus gimana?
...****...
Tubuh yang lemah sedang berbaring di brankar. Tatapan mata yang kosong mengarah ke langit-langit kamar identik dengan warna putih dan bau obat-obatan. Pergelangan tangan berbalut perban akibat aksi nekatnya menyayat di pergelangan tangan. Satu tangan lagi terpasang jarum infus.
Perih di seluruh badan mulai mereda akibat ulahnya yang menggosok seluruh badan hingga lecet, berharap bekas sentuhan Carlos dapat hilang.
Lidahnya keluh. Ia hanya dapat menangis dalam diam memikirkan masa depan nya. Apalagi melihat kemarahan Papi Edzard marah besar setelah mengetahui dirinya di perkosa.
Bukan karena kejadian itu. Justru Papi Edzard begitu tampak sedih atas apa yang melimpahnya. Namun setelah Papi Edzard bertanya siapa pelakunya dan ia tak memberi tahu siapa pria itu, disitulah Papi Edzard marah besar.
Calista kembali terisak memikirkan bagaimana masa depan nya?
Bagaimana dengan Leon yang akan sabar menunggunya hingga wisuda?
Apakah Leon akan menerima dirinya yang sekarang?
Calista menggeleng seakan mengetahui jawaban Leon. Siapapun pria akan mencari wanita suci, bukan seperti dirinya yang telah dinodai.
"Calista. Kenapa kamu gak kasih tahu Papi kalau yang lakuin itu Om Carlos?" bisik Anita setelah melihat semua keluarga Calista tidak ada di ruangan.
Calista menggeleng. "Bagaimana bisa aku mengakui itu, Nit? aku di perkosa oleh pria seumuran Papi dan sudah punya istri? aku bukan rahim pengganti mereka," sahut Calista lirih.
Anita menatap sahabatnya iba. Di usap kepala Calista. "Tapi gimana kalau kamu hamil, Calt?" tanya Anita membuat Calista membeku.
Nafas Calista tercekat, detak jantung seperti berhenti setelah mendengar pertanyaan Anita yang tak terpikirkan sebelumnya.
Calista menatap Anita. "Aku gak akan hamil, kan?" tanya Calista dengan suara bergetar. Ia kembali takut menghadapi dunia jika itu terjadi.
Nama baik orang tua angkatnya akan tercoreng jika ia hamil diluar nikah. Tetapi jika meminta pertanggung jawaban Carlos juga ia tak ingin. Bukan hanya karena akan menjadi istri kedua atau menjadi simpanan pria itu. Ia tak ingin bertemu dengan pria itu lagi.
...****...
Hari-hari berlalu, Calista sudah diperbolehkan pulang. Mami Ivy begitu telaten merawatnya, tetapi tidak dengan Papi Edzard. Calista tahu jika Papi Edzard masih marah dan kecewa padanya.
Kebetulan pagi itu Mami Ivy pergi ke Supermarket bersama kedua adik kembarnya. Calista memberanikan diri mendatangi Papi Edzard tengah duduk di kursi teras belakang.
Sebelum mendatangi Papi Edzard, Calista memandangi Papi angkatnya itu. Di usia empat puluh tiga tahun masih terlihat begitu tampan, pantas saja almarhum ibu nya begitu menggilai Papi Edzard.
Perlahan ia mendekati kursi Papi Edzard. "Boleh Calista duduk di sebelah, Papi?" tanya Calista lirih.
Papi Edzard tak menjawab namun posisinya menggeser memberi ruang untuk Calista duduk.
"Maafin Calista sudah buat Papi marah dan kecewa," ucap Calista tanpa ditanggapi Papi Edzard.
Papi Edzard masih membisu namun terdengar helaan nafas.
"Calista gak mau mengingat kejadian itu apalagi pria yang sudah menodai Calista, Pi!" Calista menyeka air matanya.
"Calista mau Papi batalin perjodohan kami," tangis Calista pecah dan Papi Edzard memeluk putrinya itu.
Benar. Calista dan Leon memang dijodohkan tetapi kedua anak muda itu menjalin hubungan tanpa paksaan. Dan berniat akan menikah ketika Calista berusia dua puluh dua tahun, lebih tepatnya ketika menyelesaikan kuliah.
"Maafin Papi telah gagal menjagamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!