Nama: Yudanta Hugo
Usia: 19 Th
Nama: Yurie
Usia: 17 Th
Nama: Ayra Dave
Usia: 17 Th
Nama: Yunis Samudera
Usia: 19 Th
Nama: Yukio
Usia: 19 Th
Nama: Yoga
Usia: 19 Th
Nama: Yadevandra
Usia: 19 Th
Nama: Yahya
Usia: 19 Th
Nama: Yupiter
Usia: 19 Th
Nama: Shailene
Usia: 17 Th
Sahabat Yurie
Nama: Meymey
Usia: 17 Th
Sahabat Yurie
"Rie bangun, bangun sayang....." Panggilan dari dapur memekakkan telinga. Bagaimana tidak? dari awal panggilan itu sangat lembut tetapi lama-kelamaan tak ada ubahnya seperti petir yang menyambar.
Wanita paruh baya yang sedang membereskan perabotan yang kotor sejak tadi mengoceh, mengoceh membangunkan putri tunggalnya tanpa berniat ingin masuk kedalam kamarnya.
Tangan capat itu tak kunjung berhenti, begitu juga mulutnya tak berhenti memanggilkan nama singkat tersebut.
"Ada apa Ma? pagi-pagi sudah bersungut-sungut? malu didengar oleh tetangga." Tiba-tiba pria paruh baya menghampiri dengan di tangannya membawa kantong plastik, lalu meletakkannya di atas meja.
"Itu loh Pa anak gadismu itu. Sejak tadi dibangunkan tapi tak kunjung juga bangun," sahutnya, menjelaskan alasan dia bersungut-sungut tak jelas pagi ini.
Pria yang memiliki hidung mancung tersebut menggelengkan kepala. "Hmm cara Mama membangunkannya bagaimana? apa hanya sekedar memanggil tanpa masuk kedalam kamar?" suaminya sudah menduga jika apa yang dikatakan itu benar.
"Iya Pa karena Mama lagi sibuk. Tetapi suara Mama sudah mengalahkan petir di pagi hari. Bagaimana nanti dia hidup di kota? Mama jadi takut membiarkan putri kita-----"
Usapan di pundak itu membuat ucapannya terhenti. "Ma, putri kita sudah beranjak dewasa. Ini kesempatan dia untuk meraih cita-citanya. Universitas ternama tersebut tidak semua orang bisa masuk, seperti kita orang-orang dikalangan bawah. Mungkin putri kita salah satu yang beruntung. Untuk itu jangan pernah Papa patahkan semangat putri kita." Pungkas suaminya panjang lebar, memberi pengertian agar alasan sang istri tidak mematahkan semangat putri mereka.
Hoamp....
"Ada apa nih?"
Pertanyaan yang tiba-tiba muncul tersebut membuat obrolan dua paruh baya terhenti. Lalu mereka serentak membalikan badan. Menatap gadis dengan penampilan khas bangun tidur. Walaupun berantakan tetapi tak mengubah garis kecantikan di wajahnya, bahkan wajah itu kelihatan imut.
"Cinderella Mama sama Papa sudah bangun?" sindiran halus dilemparkan dari Mama dengan bibir mengerucut.
"Mudahan suatu saat putri Mama sama Papa benar-benar menjadi Cinderella. Amin!" Sahutnya dan mengaminkan sindiran halus tersebut. "Mama masak apa?" sedikit rasa penasaran karena aroma masakan itu menggugah selera.
Mama mendekat, lalu meraih tangan itu dan mengusapnya. "Sayang Mama masak makanan kesukaanmu hari ini. Hari ini adalah terakhir Mama masak untukmu seperti biasanya," ucap Mama dengan mata berkaca-kaca.
"Ya ampun sudah jam berapa ini? Rie benar-benar lupa. Kenapa Mama sama Papa tidak membangunkan Rie?" cicitnya dengan perasaan panik dan sedikit menyalahkan kedua orang tuanya.
Mama menggeleng, ingin sekali membungkam mulut itu. "Kamu saja tidur seperti kerbau. Telinga tetangga saja sudah kesakitan mendengar teriakkan Mama," ucapnya.
"Masih ada waktu sayang. Sebaiknya kamu lekas mandi dan segera makan. Nanti Papa sama Mama ikut mengantar ke stasiun," tutur Papa.
"Baiklah Rie mau bersiap-siap," ucapnya.
*
*
*
Di stasiun kereta api
Sudah 1 jam lamanya keluarga kecil tersebut menunggu keberangkatan kereta api menuju Bandara Gunsan.
Peringatan para penumpang agar segera naik ke gerbong kereta api sesuai tiket masing-masing.
"Sayang jaga dirimu baik-baik. Tempatmu sangatlah jauh. Mama sama Papa hanya dapat mendoakan yang terbaik untukmu. Ingat semua nasehat yang telah kamu dengar," lirih Mama dengan berlinang air mata, sangat sulit bagi hatinya melapangkan dada melepaskan kepergian putri tunggal mereka. Bahkan ini pertama kalinya mereka berpisah selama hidup belasan tahun.
Gadis cantik itupun tak dapat membendung air matanya, kini dua wanita cantik tersebut berpelukan saling terisak. "Mama....." Hanya itu yang dapat dilontarkan, lidahnya seakan keluh.
"Sudah, sudah. Sayang segeralah masuk." Papa mengusap pundak kedua orang yang sangat disayanginya. Bohong jika dia tidak ikut sedih untuk melepaskan putri mereka tetapi demi menjaga hati putri mereka, dia berusaha kuat. "Jaga dirimu baik-baik sayang, jika sudah sampai ketempat tujuan, hubungi kami," imbuhnya berusaha tersenyum.
"Iya Pa, jaga Mama selama Rie pergi. Rie sayang Papa, Mama." Ciuman bertubi-tubi di wajahnya oleh sang Mama membuat bibirnya mengerucut. Mereka mengakhiri karena tidak ingin ketingalan kereta api.
Sebelum masuk gerbong. Gadis cantik ini membalikkan tubuh, melambaikan tangan, pertanda perpisahan.
Lambaian tangan dari kedua orang tuanya tak kuasa air mata itu kembali meluncur di kedua pipinya.
...Bersambung...
Seoul
Apartemen sederhana
Drrrtt
Getaran ponsel di atas nakas mengusik tidur gadis cantik tersebut. "Siapa sih?" gumamnya dengan mata masih terpejam. Tangan kecil itu meraba-raba atas nakas, menjangkau benda yang membuat tidurnya terusik. Dengan pandangan samar-samar dia menempelkan ponsel tersebut karena itu adalah panggilan biasa.
"Sayang kamu sudah sampai ditempat tujuan?" belum sempat menyapa tetapi pertanyaan langsung dilontarkan diseberang sana.
"Iya Ma 2 jam yang lalu. Maaf Rie lupa mengabari Mama maupun Papa, soalnya Rie mabuk dalam perjalanan." Benar saja ketika dalam pesawat gadis cantik bernama Yurie tersebut mabuk, bahkan sempat muntah. Maklum ini pertama kalinya naik pesawat.
"Ya ampun sayang, apa kamu sudah minum obat?" tiba-tiba suara panik diseberang sana membuat Yurie spontan bangun, mendudukkan tubuhnya dengan kepala berat. Rasa mual masih meliputi dirinya.
"Sudah Ma, jadi jangan panik begitu. Rie baik-baik saja." Yurie berusaha menyakinkan kedua orang tuanya.
"Baiklah sayang. Segera makan. Hmm bagaimana kondisi apartemen tempatmu?" pertanyaan itu membuat Yurie memperhatikan kembali apartemen kecil dan sederhana tersebut. Memiliki satu kamar tidur, kamar mandi, ruang televisi dan dapur.
"Ganti via Videocall saja Ma, biar Mama sama Papa lihat sendiri," ucap Yurie.
"Lain kali saja sayang karena Kouta internet Mama sudah habis," ucap Mama diseberang sana dengan nada kecewa.
"Oke Ma. Baiklah Rie ingin beres-beres dulu karena tadi belum sempat." Akhirnya Sabungan via telepon mereka akhiri.
+++
Usai beres-beres Yurie membersikan diri. Sore ini dia akan ke minimarket disekitar apartemen. Membelikan keperluan dapur. Sudah jauh hari dia memutuskan akan membawa bekal ke kampus karena dia ingin menghemat uang jajan.
Gadis cantik tersebut tidak ingin membuat kedua orang tuanya kerepotan untuk bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhannya di sini. Bahkan dia bertekad ingin mencari kerja sampingan untuk menambah penghasilan kedua orang tuanya.
Sekarang dia menetap di kota besar dan memerlukan banyak uang karena di sini semuanya serba uang. Buang air besarr atau kecill saja harus ada uang, itulah susah senangnya hidup di kota besar. Beda jauh dari tempatnya di pelosok sana.
Hanya butuh waktu beberapa menit, ritual mandinya dia sudahi. Mengenakan pakaian santai dan tidak lupa mengkucir rambutnya hingga menampakan leher jenjang mulus tersebut.
Yurie keluar dari kamar apartemen. Apartemen sederhana yang ditempati oleh para pendatang. Memiliki tiga lantai, dan dia menempati lantai tiga. Itu juga ditanggung oleh pihak kampus yang memberinya beasiswa.
Benar saja hanya berjalan beberapa meter dia menemukan sebuah minimarket. Di sana menjual kebutuhan lengkap, mungkin karena peminatnya banyak, secara di sekitar itu terdapat apartemen.
Yurie menenteng keranjang, mulai memilih apa saja yang menjadi kebutuhannya untuk satu minggu ke depan. Untungnya apartemen yang dia tempati lengkap dengan perabotan. Seperti kasur, AC, lemari es, televisi dan lain sebagainya.
Usai memasukan buah kesukaannya, dia berjalan menuju kasir. Sepertinya sudah cukup, lain kali jika ada yang kurang bisa kembali ke sana lagi.
Kasir mulai menghitung jumlah pembelanjaan. "15 won Nona," ucap kasir dan juga sudah tertera.
Yurie membayar. Setelah itu dia kembali ke apartemen. Ingin segera memasak untuk makan malam. Makan malam pertamanya di Ibu kota, seorang diri. Untuk permulaan memang sulit tetapi dia harus terbiasa karena perjalanan masih panjang. Di sinilah gadis dari pelosok desa membuktikan dirinya kepada sekolah, salah satu murid yang beruntung mendapatkan beasiswa. Bahwa dia akan menjadi orang yang sukses, sesuai cita-citanya sejak kecil yaitu menjadi pembisnis. Ingin merubah nasib kedua orang tuanya. Ingin membalas Budi atas kerja keras kedua orang tuanya dengan kesuksesan yang akan dia capai nantinya.
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!