NovelToon NovelToon

Retak Mimpi

RM1. Kota Jepara

"Mas... Betulkah mau buat usaha di Kota Jepara ini?" Canda senantiasa menggandeng tangan suaminya. Pegangan tangan itu terlepas, jika ada aktivitas yang tidak bisa ditinggalkan saja.

Seromantis itu pemandangan kemesraan mereka setiap hari. Banyak anak, tidak membuat mereka kerepotan. Karena setiap satu orang anak, diberi satu pengasuh yang membantu anak-anak tersebut beraktivitas setiap hari.

Bukan tanpa alasan, Givan memilih untuk memperkerjakan pengasuh lantaran ia paham jika istrinya tidak bisa menghandle enam orang anak dan menjadi ibu rumah tangga sekaligus.

Tugas Canda apa?

Tugasnya, hanya diminta untuk mengurusnya dan mendoakannya saja. Canda pun selalu ia bawa bekerja ke luar kota, untuk mengembangkan beberapa usaha-usaha milik mereka. Sedangkan anak-anak mereka, tinggal di sebuah kampung di Aceh Tengah dan diawasi juga oleh orang tua dari Ananda Givan.

Givan berharap, saat usianya sudah menginjak empat puluh tahun. Ia sudah tentram di kampung tersebut, tanpa memikirkan biaya hidup keluarga kecilnya. Ia pun memiliki mimpi yang sama, ingin menua bersama istrinya dan menikmati setiap waktu bersama sampai nyawanya sudah kembali ke Sang Pencipta.

"Jangan tanya yakin tak yakin, karena memang aku pun tak yakin. Manusia itu tak akan memiliki keyakinan lain, kalah udah berada di titik nyamannya. Misal kita nih, sukses di konveksi daster kau itu. Kita udah kaya, kita kecukupan dari situ, kan jadi kita tak punya pikiran untuk hal-hal yang harus berjuang dari awal lagi, kek buka usaha baru gitu. Pasti pikiran kita hanya, mempertahankan pusat dan memperbanyak cabang aja. Tapi kan aku mikirnya tak enaknya gitu, Canda. Khawatir konveksi kau tak kuat dengan perkembangan zaman, kalah nama dengan produksi lawan, otomatis kan usaha kita pasti goyah dan ekonomi kita pasti down lagi. Nah, aku buka banyak usaha baru, untuk meminimalisir resiko kalau konveksi kau bangkrut. Jadi kita masih punya usaha yang lain, untuk menyambung perekonomian kita." Givan merangkul istrinya.

"Kita belajar dari kesalahan kita kemarin," lanjutnya dengan mengusap kepala istrinya yang terlapisi hijab, kemudian mencium pucuk kepala istrinya.

Canda mendongak dan memamerkan senyum dari wajah teduhnya. "Semangat orang hebat," ucapnya dengan mengusap rambut dagu suaminya.

"Semangat juga, untuk istri patuhku," sahutnya dengan menahan leher istrinya dengan siku dalam tangan kanannya, kemudian ia menjejakkan ciuman sayangnya pada pelipis istrinya.

"Kita istirahat di hotel dulu ya? Aku belum dapat hunian buat kita." Langkah kakinya berbelok ke arah hotel yang terdekat dengan posisi mereka.

Bellsha Hotel Jepara, menjadi tempat tinggal sementara mereka sampai Givan mendapatkan hunian yang lebih pantas untuk memulai usaha. Katakanlah ini baru untuk cek lokasi saja, tapi Givan sudah berencana untuk merintis juga di kota ini. Jadi bisa dipastikan, bahwa mereka akan cukup lama tinggal di kota tersebut.

Ada dua restoran, salah satunya restoran terbuka. Fasilitas lainnya meliputi bar, tempat karaoke, kolam renang outdoor dengan teras dan kursi berjemur, serta taman.

Namun, tetap saja. Ranjang adalah tempat ternyaman bagi Canda, dengan Givan yang menjadikan sofa panjang itu sebagai bukti perputaran pikirannya di sana. Ia benar-benar fokus untuk memulai usaha baru, kemudian cepat kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama anak-anak mereka lagi.

"Mas, makan yuk?" rengek Canda, dengan mengesampingkan ponsel yang ia mainkan sejak tadi tersebut.

"Pesan aja ya? Aku udah hubungi bu Susanti, mantan istrinya operator alat berat yang wafat beberapa tahun silam itu. Anak sulungnya kan di Jepara nih, jadi mana tau dia punya informasi untuk tempat kita buka usaha di sini." Givan meninggalkan sejenak laptopnya dengan email dan laporan pekerjaan yang menumpuk tersebut.

"Tuh perempuan." Canda memanyunkan bibirnya.

"Iya, makanya ke sana ke mari membawa dirimu itu. Karena di mana-mana pun ada perempuan. Biar tak kejadian Zio-Zio yang lain, lebih baik kan kau yang hamil lagi begitu." Givan tersenyum jahil, kemudian menarik satu kaki istrinya.

Tawa Canda lepas. "Aduh, Mas. Panjang sebelah kaki aku nanti!" serunya kemudian.

Zio adalah anak dari istri siri Givan, yang membuat dirinya dan Canda harus berpisah dulu. Canda pun pernah menikah kembali dan memiliki satu orang dari laki-laki lain, yang kini telah wafat karena penyakit komplikasi usus buntu.

Mantan suami Canda, meregang nyawa di malam pernikahan keduanya dengan Canda.

Setelah Canda bercerai dengan Givan, ia menikah kembali dengan Nalendra, lelaki asal Sulawesi. Kemudian, Canda dan Nalendra bercerai kembali dan hampir rujuk kembali. Namun, Canda diminta untuk mengikhlaskan sebelum memiliki Nalendra kembali. Nalendra meninggalkan wasiat, agar Canda tetap melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang ia tunjuk, meski ia tiada di malam sebelum pernikahan mereka.

Hingga berakhir bahagia, karena Canda dan Givan sudah saling mengerti satu sama lain. Juga sudah saling memahami, tentang sifat dan karakter masing-masing.

"Jadi gimana dong, kalau kakinya panjang sebelah?" Givan memasang wajah panik, yang tentu saja hanya dibuat-buat.

"Tarik lagi kaki satunya, biar tak panjang sebelah." Canda menunjuk kaki kirinya.

"Jadi, biar panjang semua gitu?" imbuh Givan dengan tawa mereka menggema di dalam kamar hotel bintang tiga tersebut.

"Gemes, jadi pengen...." Givan mengungkung tubuh istrinya.

Meski telah melahirkan empat anak, dengan tiga anak dari benihnya itu. Givan masih begitu menggebu-gebu, pada istrinya yang berpostur hanya seratus lima puluh lima sentimeter itu. Sangat berbanding jauh, dengan dirinya yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh tiga sentimeter.

Enam orang anak mereka, memiliki cerita tersendiri. Anak sulung mereka, Mikheyla. Anak dari mantan pacar Givan, yang Givan tinggalkan, ketika mengandung anaknya. Anak ketiga mereka, adalah Zio. Anak dari kelakuan khilaf Givan, yang membuatnya berpisah dengan Canda. Lalu Ceysa, anak urutan nomor empat yang memiliki darah Sulawesi.

"Iya, iya. Itu sih gampang! Kasih aku makan dulu! Aku udah kelaparan ini, Mas." Canda menahan bibir suaminya yang sudah berkehendak itu.

"Lapar betul kah?" Givan menyangga tubuhnya dengan siku tangannya.

"Iyalah!" Canda membingkai wajah suaminya, lalu menarik berlainan arah pipi suaminya tersebut.

"Ya udah deh, makan dulu. Tak tega terus aku sama kau." Givan meraup wajah istrinya, kemudian bangkit dari posisinya.

"Ke resto aja lah, Mas. Aku capek rebahan, tadi di perjalanan juga duduk manis aja. Pengen jalan-jalan gitu, biar pamer sekalian bahwa kita itu pasangan romantis." Canda bangkit dari tempat tidur, kemudian ia langsung memutar tubuhnya ala India.

Sampai tubrukan itu terjadi.

Givan menatap sangar istrinya, yang menabrak dada bidangnya itu.

"Romantis kau, kalau aku ada uang aja. Tak ada uang, aku tak dilayani pun."

Sontak saja, Canda langsung tergelak begitu lepas. Lalu ia menarik tengkuk suaminya, kemudian mengecup sekilas seluruh wajah suaminya begitu gemas.

"Udah, udah! Bau eces!" Givan melepaskan tangan istrinya dari lehernya.

"Aku siap-siap dulu ya? Terus cari makan." Canda melarikan diri, untuk membasuh wajahnya.

Sesampainya mereka di restoran terbuka hotel tersebut, mereka dihadiahkan pemandangan tidak menyenangkan. Terutama Canda, ia langsung mendidih melihat rupa yang pernah ia ajak ngobrol tersebut.

"Kita balik aja ke Aceh!" Canda bangun dari duduknya, kemudian menghentakkan kakinya meninggalkan meja bulat tersebut.

...****************...

Akhirnya, aku Canda dan Givan kembali lagi. Sebelumnya, kisah mereka terealisasikan dalam tulisan yang berjudul Canda Pagi Dinanti. Ini adalah season duanya ya, Kak 😁🙏

Mohon doa dan dukungannya, Kak. Bantu sundul ya 😘 jangan lupa, Rate ⭐⭐⭐⭐⭐, tap ❤️ favorit, like, vote, hadiah, iklan, masuk GC, follow author juga 😉

ig: anissah_31

fb: Anissah

Dengan foto profil yang sama 🥰

RM2. Lift

"Tuh kan?! Telat nyusulin akunya. Pasti habis ngajak ngobrol Ai dulu?!" Wajah teduh Canda sudah basah karena air mata.

Givan menunjukkan tentengan yang ia bawa. "Katanya laper, pesanan tadi aku bungkus," jelas Givan, dengan menurunkan kantong plastik yang ia bawa.

Ia mengeluarkan satu persatu makanan yang ia bawa tersebut.

"Udah nangisnya! Sini makan, Sayang." Givan mencoba membujuk Canda.

"Tak mau! Aku tau Mas tak pernah bisa lupain Ai, aku tau aku tak sebanding sama dia. Aku tetap kalah di mata Mas, meski banyak keturunan yang aku kasih buat Mas." Canda melepaskan perasaan mirisnya, dengan tangis yang begitu hebat.

Ia begitu sensitif, ketika membayangkan akan suaminya yang lebih memilih wanita lain. Apalagi, wanita itu adalah perempuan yang pernah suaminya temui pada awal pernikahan mereka dulu.

Givan yang buka suara sendiri pada Canda, mengenai kebenaran itu. Membuat Canda selalu teringat, bahwa suaminya memang sulit untuk meninggalkan perempuan itu untuk dirinya.

Memang di awal, pernikahan mereka tanpa cinta. Mau tidak mau, mereka harus menikah. Lantaran, Givan mengambil kesucian Canda yang notabene adalah pacar adiknya sendiri. Hal itu ia lakukan, karena ia iri hati pada adiknya.

Saat hubungannya mulai hancur dengan Ai, adiknya malah begitu bahagia dengan Canda. Hingga tindakan asusila itu terjadi, di pagi minggu yang menjadi sejarah.

Givan sempat dipolisikan, karena kasus tersebut. Namun, kasus tersebut akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan syarat, pernikahan sah atas keduanya.

"Nyatanya kau yang aku hidupi, Canda. Benih-benihku tumbuh di rahim kau, Canda. Jangan lupakan juga, semua usahaku yang aku maksudkan untuk kelangsungan hidup kau dan anak-anak kita. Jangan pancing emosi aku, Canda. Tak penting dia untuk aku, aku udah bahagia sama kau." Givan membawa Canda dalam pelukannya.

Canda memberontak. "Tapi, tapi.... Tadi dia liat ke arah kita kan? Dia ada ngajak ngobrol Mas kan?" Canda menangis dengan berbicara, bagaikan anak kecil yang tengah mengekspresikan emosinya.

"Tak, Canda. Kau tenang aja." Givan kembali membelenggu tubuh Canda lebih kuat.

"Kau tetap tempatku pulang, Canda. Kau rumahku. Kau tenang lah. Suamimu yang ganteng ini, tetap milikmu." Givan mencoba menghibur istrinya.

"Mas kan suka bohong." Canda membenamkan wajahnya pada dada suaminya yang terlapisi kemeja abu-abu tersebut.

"Tak, sekarang udah jarang bohong."

Canda mencubit perut suaminya, hingga tawa kecil keluar dari mulut mereka.

Givan membingkai wajah istrinya yang terkenal cengeng itu. Ia mengusap air mata, bukti betapa Canda mencintainya itu.

"Kalau di sini ada Ai, kita pindah kota aja. Kita tak usah buka usaha di sini, Mas." Hembusan nafas Canda menerpa wajah Givan.

"Peluangnya besar, Canda. Aku udah nimbang-nimbang semuanya. Nanti malam pun, mas Fahad mau ajak ngobrol tentang usaha aku. Aku minta doanya ya, Canda? Doain semoga usahanya cepat berjalan, terus stabil. Biar kita bisa kumpul sama anak-anak lagi di Kenawat Redelong," ungkap Givan, dengan tersenyum menenangkan.

Sampai saat ini, menurut Canda, hanya suaminya laki-laki tertampan sejagat raya. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah rasanya cinta. Kadang dibutakan dan seolah tak melihat kejelekan pasangan kita.

"Pasti Ra ngambek lagi sekarang." Canda mundur satu langkah, membuatnya terlepas dari belenggu pelukan suaminya.

"Cani pasti lagi baper lagi, pasti dia berpikir kalau aku lebih sayang kau dari dia." Givan teringat akan anak bungsu mereka.

Anak perempuan yang persis seperti Canda, dari wajah hingga ke sifatnya. Benar-benar seperti ibunya, yang mudah menangis dan drama.

"Memang kan? Makanya aku diajak-ajak terus." Canda berjalan ke arah makanan terhidang.

Givan terkekeh kecil, ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat mood Canda yang mudah berubah.

"Lepas KB aja ya, Canda? Cani pun udah tiga tahunan, pantas kali punya adik lagi sih."

Bertepatan dengan ucapan tersebut, Canda begitu terlihat bodoh dengan sepotong makanan yang baru digigitnya.

"Nanti caesar lagi. Hmmm, aku mau hamil dan punya anak lagi tapi tak mau ngerasain operasi lagi." Canda langsung mengerucutkan bibirnya.

Givan duduk di samping istrinya. "Tak apa kali, kan aku selalu urus kau dengan baik. Abis lahiran nanti, terus aku vasektomi," pungkasnya dengan mengambil sebuah makanan yang sudah memiliki tempat sendiri.

Givan tidak tahu, bagaimana ekspresi wajah istrinya sekarang. Canda bagaikan boneka Susan, yang hanya mampu mengedipkan matanya saja.

"Makan nih, Canda. Tadi kau pesan ini." Givan membawa sendok berisi makanan itu berbelok ke arah istrinya.

Namun, Givan langsung menyatukan alisnya melihat wajah istrinya.

"Kau.... Kenapa?" tanyanya bingung.

"Vasektomi? Yang benar aja? Janganlah, Mas!" Canda menggelengkan kepalanya berulang kali.

Menurutnya, itulah adalah hal yang tak pernah dilakukannya. Karena saat dirinya meminta untuk steril pun, suaminya tak mengizinkan.

"Udah tua juga, udah tiga puluh sembilan tahun. Tahun depan kita udah di rumah aja, menikmati masa-masa indah kita." Givan menerawang jauh, membayangkan bagaimana bahagianya dia berkumpul bersama keluarga kecilnya dengan perekonomian yang sejahtera.

"Kan aku masih tiga empat, Mas." Canda menikmati makanan mereka dengan begitu lahap.

"Ya makanya hamil sekali lagi. Mumpung masih di umur produktif kan? Nanti tiga enam udah tak boleh tuh buat punya anak lagi," lontar Givan, dengan kembali menyantap makanannya.

"Iya deh. Nanti abis masa suntik ini, aku tak suntik lagi."

Givan menoleh pada istrinya. Lalu ia berkata, "Kapan suntik KB terakhir?" tanyanya kemudian.

"Awal bulan tadi."

Givan hanya manggut-manggut. Pikirannya berkelana kembali, pada perempuan yang berpenampilan cukup seksi tadi.

Ai Diah, perempuan matang berusia tiga puluh enam tahun. Ia sempat menyapa Givan di kasir, tetapi hanya dibalas dengan senyum samar saja oleh Givan.

Givan masih terlalu bingung, kenapa Ai bisa ada di daerah ini. Ai berasal dari Jawa Barat, tapi kini ia melihat Ai ada di Jawa Tengah.

Penampilannya tidak ada yang berubah menurut Givan, terlihat pas di usia matang. Namun, rasa kebas di hatinya terasa kembali. Kala teringat bagaimana penolakan dan penghinaan yang ia dapat, dari Ai dan keluarganya.

"Canda.... Kau tidurlah dulu. Aku mungkin pulang malam, sampai resto tutup mungkin. Nih, mas Fahad udah nunggu di restoran dalam." Givan menunjukkan ponselnya pada Canda.

Canda mengambil alih ponsel suaminya, kemudian memeriksa chatting tentang pekerjaan tersebut.

"Mas pegang kartunya aja. Biar tak usah bunyikan bel." Canda mengembalikan ponsel suaminya.

"Tak usah, Canda. Khawatir ada kejadian buruk, kebakaran atau apa. Amit-amit, tapi takutnya. Nanti kau tak bisa keluar kamar lagi, bisa amsyong dong Yayah." Givan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.

Panggilan untuk anak-anak mereka adalah ayah dan biyung. Canda yang asli dari Jawa, menginginkan panggilan zaman dulu tersebut. Sedangkan Givan, ia tetap ingin dipanggil ayah. Hingga terciptalah panggilan unik tersebut. Tetapi, anak mereka yang bernama Ra itu tetap memanggil Givan dengan sebutan yayah. Padahal, itu adalah panggilannya saat kecil karena tidak bisa menyebutkan kata ayah.

"Aku punya kartunya juga, tadi pas check in aku minta dua." Givan mengantongi kembali kartu yang barusan ia tunjukkan pada istrinya tersebut.

"Ya, Mas. Jangan malam-malam ya? Cium dulu, Mas." Sudah menjadi kebiasaan, saat mereka berpisah sejenak pasti meninggalkan ciuman kecil.

Cup, cup, cup, cup.

Pipi kanan dan kiri. Dahi dan terakhir bibir, tidak luput dari tanda kasih yang Givan berikan untuk istrinya.

"Doain aku ya, Canda? Ingat mimpi kita. Tahun depan kita udah anteng di kampung, tanpa harus keluar kota dan jauh dari anak lagi." Givan memiliki harapan besar, karena sejujurnya ia sudah tidak ingin berjauhan dengan anak-anaknya lagi.

"Pasti, Mas. Semangat ya? Jaga diri, jaga pandangan." Canda mencium tangan suaminya.

"Siap, Canda. Assalamualaikum...." Givan melangkah meninggalkan istrinya di kamar hotel.

Langkahnya seolah penuh keragu-raguan. Ia hendak memilih untuk menyusuri tangga, tapi nyatanya kakinya membawanya masuk ke dalam lift. Jika ragu seperti ini, ia berpikir akan terjadi hal buruk. Ia memanjat doa, semoga ia sampai dengan selamat di lantai tujuan.

Namun, pintu terbuka kembali dengan masuknya seorang wanita.

Matanya melebar, kemudian Givan beringsut ke sisi paling kanan dari lift tersebut.

...****************...

Awal mula cerita Canda dan Givan ini, ada di novel Belenggu Delapan Saudara. Terus, lanjut di Canda Pagi Dinanti. Lalu novel ini ya, Retak Mimpi.

RM3. Ajakan Farhad

"A Givan, gimana kabarnya?" Senyum manisnya membuat Givan teringat kembali pertemuan pertama mereka.

Flashback on

"Nuhun, A," ucap perempuan yang kesusahan mengangkat barang bawaanya ke atas kabin pesawat tersebut. Namun, malah ia langsung mendapat bantuan dari Givan.

"Mau ke mana, Dek?" sahut Givan, yang ternyata duduk bersebelahan dengan bangku perempuan tersebut.

"Ke Perawang, A. Aa rek kamana?" balas perempuan tersebut ramah.

"Sama, Perawang juga. Punya saudara kah di sana?" tanya Givan, dengan mulai mempersiapkan dirinya. Karena pesawat akan segera lepas landas.

"Teu, A. Hmm… mau kerja di sana. Lanceuk na emak, nawarin kerjaan di tambang. Jadi asisten kedua katanya, soalnya asisten yang pertama kewalahan ngurus kerjaannya. Bosnya jarang di tempat soalnya, A. Kitu katana mah," jelas perempuan tersebut, yang dimengerti Givan.

"Namanya siapa? Sundanya daerah mana? Ibu sambung Saya orang sunda juga," ujar Givan, dengan mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

Perempuan tersebut mengulurkan tangannya. "Ai Diah, A. Dari Majalengka. Oh, nyaa. Pantes nyambung," tutur Ai dengan terkekeh kecil.

Givan menyunggingkan senyumnya. "Saya Givan. Apa nama PT pertambangannya?" tukas Givan, setelah tautan tangan mereka terlepas.

"Adi Wijaya Abadi, kalau teu salah mah," ucap Ai dengan raut wajah seperti tengah berpikir.

"Ohh, Saya juga kerja di sana," sahut Givan, dengan memperhatikan wajah Ai dengan lesung pipi yang terlihat tatkala ia berbicara.

"Kebetulan pisan atuh. Tolong ya A, arahin aku nanti. Soalnya, baru pertama juga nih nyebaring samudera begini," balas Ai yang membuat Givan langsung mengangguk mantap.

"Pasti-pasti. Nih salin nomor kontak Saya, barangkali nanti di bandara sana kita nyebar," ujar Givan, dengan menyodorkan ponselnya.

Ai mengangguk, dengan langsung menyalin nomor telepon Givan.

"Lanceuk na emak tinggalnya di mana? Adek nanti ke lanceuk na emak, atau punya tempat kost sendiri?" tanya Givan kembali.

"Ai aja atuh, A. Saya mah, gak biasa dipanggil adek," pinta Ai yang langsung diangguki oleh Givan.

"Ini nanti ikut uwa dulu, soalnya baru juga kan saya di sini," lanjut Ai kemudian.

"Siap-siap, Ai. Mau lepas landas," ujar Givan dengan membantu membenarkan sabuk pengaman yang Ai kenakan.

Flashback off

Givan menggelengkan kepalanya berulang, kemudian ia menggosok wajahnya sendiri. Ia menepis kenangan itu jauh-jauh. Ia tidak ingin mengingat sedikitpun, kisah manis mereka. Rasa itu padam, karena penghinaan yang Ai lakukan.

"A.... A Givan kenapa?" Ai menyentuh lengan Givan.

Givan buru-buru menepis tangan yang bukan muhrimnya tersebut. "Tak apa. Memang kenapa?" sinis Givan dengan melirik tajam.

Kentara sekali, bahwa Givan terlihat tidak suka dengan kehadiran Ai. Bukannya Ai menyadari hal itu, tapi ia malah berpikir bahwa urat wajah Givan memang seperti itu.

"Istrinya masih Canda ya, A?"

Sorot mata tak biasa, Givan hadiahkan pada Ai. Cukup lancang pertanyaan Ai, seolah-olah dirinya tak pantas menjalani bahtera rumah tangga dengan bahagia.

"Masih, kenapa? Anak kita bahkan enam." Givan terlihat nyolot ketika menjawab hal tersebut.

Ai terkekeh, kemudian menepuk kembali lengan Givan bagaikan teman akrab.

"Subur ya? Aku satu aja belum." Ai mereda tawanya dan menggantinya dengan senyum manis untuk Givan.

Rasanya Givan ingin meludah ke samping kirinya.

Givan memilih diam, karena ia memang tak ingin memperpanjang dialognya dengan Ai.

Hingga lift terbuka, Givan bergegas untuk keluar lebih dulu. Ia tidak menoleh, untuk melihat tujuan Ai berada di gedung ini. Itu bukan hal penting dan tidak ada gunanya menurutnya.

"Waduh, pasti nunggu lama nih. Maaf ya? Istri lagi rewel soalnya." Basa-basi Givan, saat berjabat tangan dengan seorang laki-laki matang yang seumuran dengannya tersebut.

"Gak apa, Bang. Kita juga ngerti, agak lain memang kalau hawa ibunya anak-anak lagi gak sama anak-anak," balas Farhad, dengan mempersilahkan Givan untuk duduk.

Givan membalasnya dengan tawa ringan. Kemudian ia fokus untuk membahas letak tempat, untuk membuka usaha mebelnya itu.

Bukan jenis usaha kecil, karena Givan sudah melihat pasar dagangnya sendiri dan peluang yang cukup besar di daerah ini. Dengan perhitungan matang, Givan menyepakati esok hari untuk melihat lokasi terlebih dahulu.

"Singgah bentar, Bang. Kita cari hiburan sedikit. Kebetulan, temen-temen Saya ada beberapa yang lagi di tempat hiburan sini," ajak Farhad, setelah mereka membayar kopi yang mereka nikmati.

~

"Yayah, entut...." Givan teringat suara anak hasil rujuknya dengan Canda tersebut.

~

"Kasian istri nunggu, Mas." Canda kembali ditarik sebagai alasan, karena putrinya yang bagaikan bodyguard itu tidak ikut serta.

"Sebentar aja. Biar aku kenalkan juga nih sama beberapa teman Saya, yang kebetulan semuanya pengusaha semua." Farhad terlihat memaksa.

Givan tidak enak hati, karena setelah ini ia pasti akan banyak merepotkan relasi bisnisnya tersebut. Sangat terlihat tidak sopan, jika Givan menolaknya.

"Boleh deh, tapi aku tak bisa lama, Mas. Lagi punya program launching anak ketujuh juga nih, jadi sambil usaha keras juga." Alasan Givan terdengar menggelikan, tapi laki-laki seumurannya pasti memahami alasan yang terdengar masuk akal tersebut.

Tawa Farhad cukup puas. "Iya, iya. Saya ngerti, Bang. Cuma sharing-sharing aja, biar ada teman lain di kota ini."

Pikir Givan, itu ada benarnya juga. Ia tidak boleh angkuh, di kota orang yang ia tidak ketahui seluk beluknya ini. Hitung-hitung, agar dirinya mudah mengenalkan produksinya nanti.

"Ayo, Mas. Paling malam Saya jam sepuluh ya, Mas? Udah janji dia suruh nunggu soalnya, takut ada drama kumenangis." Padahal dalam hatinya sendiri, Givan yakin istrinya sudah mengarungi samudera mimpi.

"Ah, iya. Ayo ikut Saya, Bang." Farhad berjalan mendahului Givan.

Givan paham, ini adalah termasuk tempat hiburan untuk kalangan orang dewasa. Ini adalah sebuah tempat karaoke, untuk kalangan ekonomi menengah ke atas.

Givan bertekad, untuk tidak menyentuh minuman keras. Karena ia cukup trauma, saat kejadian khilafnya dengan Nadya dulu.

Saat masuk ke dalam ruangan, lampu remang-remang malah membuat pandangan Givan terbatas. Ia bersalaman dengan beberapa laki-laki, yang Farhad kenalkan sebagai pembisnis semua itu.

Sampai, sosok yang ia temui menjadi kebingungan pada diri Givan. Pertanyaan dalam benaknya langsung bermunculan.

Apa ia dalam naungan prostitusi?

Apa ia menjadi pasangan salah satu pembisnis di sini?

Ataukah, ia seorang LC di tempat karaoke ini?

Hingga saat dirinya dipersilahkan duduk, ia menyadari tidak seorang pun di sini yang memperkenalkan wanita tersebut padanya. Berarti kemungkinan bahwa wanita tersebut adalah pasangan salah satu pembisnis di sini, adalah bukan.

Givan masih memperhatikan, dengan menolak beberapa minuman yang disodorkan padanya.

Givan tidak mau ceroboh lagi, karena ia ingat anak-anaknya kebanyakan adalah perempuan. Ia khawatir, kelakuan buruknya malah menjadi karma untuk anak perempuannya.

"Sambil nyanyi gitu, Cantik. Goyang tipis-tipis, kan kita enak juga nih ngobrolnya gak ngantuk," ucap salah satu pembisnis, dengan mengusap paha mulus perempuan tersebut.

Givan paham. Ternyata.....

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!