NovelToon NovelToon

MY DOCTOR

PROLOG

Selamat membaca

Jangan lupa vote, komen dan jempolnya (👍)

***

“Aku nggak mau.”

Viana dengan tegas dihadapan kedua orang tuanya dan kata itu membuat Ayah dan Bundanya menatap heran. Pandangan mereka saling bergantian melihat gadis di depan jelas-jelas tegas menolak permintaan keduanya.

“Kamu belum bertemu dia. Bagaimana bisa kamu langsung menolak begitu saja.”

Viana menyandarkan tubuhnya di sofa, makin kesal karena di paksa kedua orang tuanya untuk menikah dengan pilihan mereka.

Siapa juga yang mau menikah muda? Umurnya saja masih sembilan belas tahun.

Masih banyak hal yang ingin Viana lakukan seperti bermain sepuasnya dengan teman sebayanya dan mempunyai pacar.

Bagaimana bisa Viana lakukan bila sudah menikah? Ayolah ini bukan zamannya Siti Nurbaya, tapi zaman global.

“Viana tetap menolak.”

“Kamu coba dahulu berkenalan. Dia pria yang baik. Dia seorang Dokter muda dan tampan.” Bundanya keukeuh dengan ucapannya.

Viana mulai geram. Mengabaikan semua ucapan dari Bundanya. Ada apa dengan profesi dokter? Apa yang istimewa? Itu hanya profesi saja. Cinta atau hati tidak bisa di paksakan. Meskipun pria itu kaya dan tampan. Keputusan Viana tetap sama menolak.

“Dengarkan Via. Ayah menjodohkan kamu untuk masa depan kamu. Ayah ingin kamu mendapatkan pria yang terbaik dan bisa menjadi pendamping kamu seumur hidup.”

Viana menelan salivanya dengan kasar. Seumur hidup? Apa Ayahnya yakin kalau pria itu akan setia pada Viana seumur hidupnya? Tidak ada pria yang sempurna di muka bumi ini. Termasuk Ayah Viana. Sebaiknya pria pasti ada keburukannya.

Saat mendengarkan ucapan Ayahnya begitu ingin dirinya cepat menikah dan berumah tangga dengan pria baik menurut pilihannya.

“Maafkan Via. Jawaban tetap M E N O L A K perjodohan ini. Harusnya Ayah dan Bunda itu bisa mendukung keputusan Viana. Aku ingin menggapai cita-cita Viana menjadi seorang Lawyer. Jadi tolong jangan paksa aku lagi.”

Viana lebih tegas dengan ucapan dan kata-katanya dengan menatap penuh harapan kepada Ayah dan Bundanya. Sebelum ia bergegas pergi ke kamarnya untuk menenangkan pikirannya.

Karena mendapat serangan secara tiba-tiba. Tanpa persiapan.

“Viana. Ayah sudah berjanji menjodohkan anak-anak kami nanti. Ayah tidak ingin melanggar janji pada sahabat Ayah. Jadi, Please, kamu mau kan pertimbangkan kembali.” Ardan menatapnya sendu. Dia mungkin berharap banyak dengan Viana.

“Tapi―”

“Benar kata Ayah. Kamu pertimbangkan lagi. Ini untuk kebaikan kamu.” Kata Nina memotong ucapan Viana.

Viana menggeleng. Tidak ingin bersuara ataupun menjawab pertanyaan Nina dan Ardan yang terus mendesaknya. Melihat ekspresi wajah keduanya membuat Viana muak.

“Viana, Ayah mohon.”

Ardan memelas kepada putri satu-satunya. Tatapan yang membuat hati Viana tidak bisa menolak. Namun tetap pada pendiriannya. Mendadak Viana merasa jantungnya terus berdetak kencang. Wajahn terasa panas. 

“Aku tetap menolak.” Viana keras kepala.

Viana tersenyum kecut. Ia tahu yang terbaik untuknya. Sadar dengan ucapannya akan menyakiti orang tuanya. Tapi ini pilihan dan jawabannya.

“Kamu―”

Ardan memegang belakang kepalanya merasa pusing. Bukan karena sakit. Tapi mendengar ucapan putrinya yang terus saja menolak dan membuatnya menjadi tidak karuan. Dan melihat kilatan mata coklat di wajah yang benar teguh dengan pendirian putrinya. Yang Keras kepala seperti dirinya. 

“Viana.”

“Aku nggak peduli akan janji Ayah. Aku hanya peduli akan nasibku di masa depan nanti.”

Viana pergi meninggalkan kedua orang tuanya, dan membiarkan Nina dan Ardan terus teriak memanggil namanya. Viana keras kepala. Ia tidak suka dikekang ataupun diatur.

Rasanya ingin ia pergi jauh dari rumah ini, dan mengejar mimpinya.

Maafkan Viana. Ayah dan Bunda ini adalah  pilihan dan keputusanku. Kali ini biarkan Viana yang melakukan semua keinginanku. tanpa ikut campur tangan kalian.

***

Gimana lanjut nggak?

PERTEMUAN

Selamat membaca

Jangan lupa vote, komen dan jempolnya (👍)

***

VIANA berjalan masuk menuju gedung besar dengan langkah tergesa-gesa. Bibir kecilnya terus berkomat kamit tanpa mengeluarkan suara dirinya merasakan gelisah dan ketakutan mendalam mendengar kabar Ayahnya masuk ke rumah sakit. Karena terjatuh di lantai kamar mandi dan belum sadarkan diri.

Wajahnya terus menekuk. Berdoa dalam hati agar Ayahnya kembali sadar. Bisa melihat senyum pria setengah baya itu yang sedang berbaring di kasur.

Melihat Bundanya setia menemani. Membuat Viana terbayang kembali pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.

Sejak kejadian satu bulan yang lalu. Viana terus menghindari Ayah dan Bundanya kalau mereka berada satu ruangan atau tempat. 

Di saat Viana menghindari kedua orang tuanya. Ia malah mendengar kabar buruk yang terjadi dengan Ayahnya.

Ini semua salahku. Viana merasa gelisah saat akan hendak memasuki ke ruang inap. Yang sembari tadi hanya berdiri berada di ambang pintu dan melihat Ayahnya dari kaca pintu.

Kamu harus tenang, Viana. Anggap saja masalah satu bulan lalu tidak terjadi. Dan sekarang Viana mengetuk pintu. Ia menelan salivanya.

“Bunda.” Sapa Viana memandang ke arah Nina yang sembari tadi hanya duduk di tepi ranjang memegang erat tangan Ayahnya. 

Viana merasa malu. Karena sikapnya pada kedua orang tuanya kelewatan. Mereka tetap menyayangi dirinya. Meskipun sudah berdosa melawan mereka.

“Via. Kamu sudah datang. Cepatlah kemari.” Suara Nina begitu rendah. Ia melambaikan tangan ke arah putrinya agar mendekat. 

“Maafkan Via. Ini pasti gara-gara aku kan, Ayah bisa begini.” Sesal Viana meruntuhkan hatinya. Menyesali kesalahannya.

Viana berjongkok di bawah kaki Nina yang sedang duduk.

Air mata keluar begitu saja. Viana menangis. Takut. Yang akan terjadi bila Ayahnya tidak sadar kembali. Ia tidak mau ditinggal saat dirinya banyak dosa yang telah dibuat pada Ayahnya. Nina hanya mengelus rambut Viana lembut dan terus memberi nasehat dan kepercayaan kepadanya bila semuanya sudah jalan-Nya. Ayahnya akan cepat sadar kembali.

Viana berdiri berhadapan dengan Bundanya saling memeluk erat. Menolehkan wajahnya terlihat begitu sembab sejak tadi terus saja menangis. Melihat pada pria setengah baya yang masih belum sadarkan, ia memegang erat tangannya yang lemah. 

“Maafkan Via, Ayah. Aku berjanji kalau Ayah sadar. Aku akan terima perjodohan itu . Jadi aku mohon cepat sadarlah. Agar aku bisa melihat senyum, tawa dan teriakan Ayah lagi.” Lirihnya terus mencium tangan Ardan yang berbaring lemah.

Sementara Nina hanya bisa menyaksikan putri yang sudah menyadari kesalahannya. Sejak pembicaraan perjodohan Viana dan Ardan terus bersikap dingin tidak saling bertegur sapa meski satu rumah. Mereka sama-sama memiliki sifat keras kepala.

Tidak ada yang bisa Nina lakukan selain berdiam diri. Membiarkan putrinya sadar akan kesalahan. 

Viana melepaskan eratan tangan Ayahnya berjalan ke arah Bundanya yang duduk menopang kepala di sisi pegangan sofa.

“Apa Bunda mau makan sesuatu? Aku akan beli di Kafetaria Rumah Sakit.” tanya Viana cemas akan kesehatan Bundanya setiap jam terus menemani Ayahnya. 

“Bunda tidak lapar. Bunda mau kopi saja.” Balas Bundanya.

“Baiklah. Via belikan. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, Bun.”

“Iya. Sayang.”

Viana mengambil dompet dari tas dengan cepat dan bergegas keluar menuju tempat Kafetaria Rumah Sakit yang disediakan.

Saat Viana masuk Kafetaria yang lumayan ramai dengan para Dokter yang sedang menikmati istirahat. Ada juga para keluarga pasien yang sekedar makan untuk mengisi perut mereka. Langkah kaki Viana tepat di kedai kopi dan memesan kopi cappuccino dua cup ukuran tall.

Sambil menunggu pesanan. Mata Viana memandang ke kanan dan ke kiri melihat keadaan di sekitar Kafetaria yang lumayan luas. Kafetaria diperuntukkan untuk umum, Dokter, pasien dan pengunjung, berbaur di tempat ini tanpa melihat status dan profesi.

Lima menit menunggu akhirnya kopinya yang di pesan selesai di buatkan. Viana kembali menuju kamar inap Ayah Viana yang cukup jauh dari Kafetaria.

Saat Viana memasuki lorong rumah sakit yang cukup sepi Viana mendapatkan telpon dari Bundanya yang mengabarkan bahwa Ayahnya telah sadar. Dengan hati senang Viana berlari kecil di lorong rumah sakit yang cukup panjang. Tidak sengaja saat berbelok di tikungan Viana tidak sengaja menabrak seorang pria berjas snelli putih.

BRUK

Viana terkejut. Kopi yang di belinya untung tidak tumpah dan mengenainya. Pria itu dengan sigap menahan pinggangnya yang hampir terjatuh.

Pria itu juga terkejut dan menatap tajam ke arahnya masih belum bicara dan merespon. Pandangan mata mereka bertemu seakan ini adalah adegan seperti di drama korea yang sering dia ditonton.

Mata Viana masih mengerjap berkali-kali. Melihat pria tampan itu. 

Viana kembali tersadarkan dan mengubah posisi badannya dan pria itu melepaskan tangannya yang berada di pinggang Viana dan membantu berdiri.

Pria itu menyadari perubahan raut wajah pada mata gadis yang dihadapannya itu. Menunggu respon gadis itu dan bersuara.

“Om Dokter. Kalau jalan itu hati-hati dong.” Sentak Vania sembari melihat kondisi kopi yang dia beli.

Mendengarkan bentakan Viana. Pria itu tersenyum masam. Tidak percaya dengan apa yang didengar. Terlebih gadis itu malah memanggilnya dengan sebutan ‘Om’ yang benar saja. Dia masih muda dan belum setua itu.

“Kamu yang salah. Sudah tahu rumah sakit. Dilarang berlari ataupun bersuara kencang. Kamu tahu nggak.”

Pria itu balik membentaknya dan berkacak pinggang seperti memarahi seorang bocah yang terkena salah. 

“Loh, Om Dokter sendiri bersuara kencang. Kenapa Om Dokter marah? Saya juga nggak akan lari. Kalau memang nggak urgent.” Kata Viana terus membela diri. 

“Jangan panggil saya Om. Memangnya saya itu Om kamu.” Pria itu tampak kesal.

“Bodo amat!”

Viana meninggalkan pria itu yang tampak kesal. Ia berjalan terus tanpa ingin menoleh sedikitpun pada Dokter tersebut dan berlalu begitu saja.

***

“Putra.” Panggil pria di lorong tersebut melambaikan tangannya ke arah Putra. 

Ia menoleh ke arah suara dan ternyata sahabatnya serekan profesi memanggil. Dastan namanya. Putra berlari kecil menghampiri. Putra masih kesal dengan kejadian yang baru saja terjadi. Apalagi gadis yang entah siapa namanya pergi begitu saja tanpa ingin meminta maaf ataupun berterima kasih kepadanya. 

“Kenapa Bro? Wajah kamu kelihatan kusut banget, why?” tanya Dastan melihat raut wajah Putra terlihat berbeda sejak berada dilorong tadi.

“Aku tadi di tabrak sama gadis aneh. Malah dia yang balik marah-marah. Bukannya dia minta maaf atau terima kasih sudah aku tolongin. Pergi begitu saja. Terus dia malah panggil aku Om. Bagaimana aku tidak kusut muka. Saking kesalnya.” Cerca Putra begitu kesal. Tanpa sadar Dastan menertawakan dirinya di saat Putra sedang bercerita.

Putra menyipitkan matanya heran “Kenapa ketawa? Memang ada sesuatu yang lucu?”

“Santai dong. Kamu nggak sadar. Pertama kali dalam hidup Dastan mendengarkan seorang Putra Bagus Rahardian berbicara panjang lebar. Biasanya juga cuma lima sampai sepuluh kata. Kalau bukan urusan pasien. Aku harus berterima kasih sama gadis aneh yang sudah menabrakmu. Ini sesuatu yang amat langka.” Ucap Dastan.

“Serahlah.”

“Baru saja tadi di sanjung. Bagaimana sama calon mertua kamu. Katanya sudah sadar?”

“Sudah. Tapi hari ini aku ada jadwal operasi dan besok ada seminar, belum sempat aku mengunjungi.”

“Terus bagaimana dengan calon istrimu. Apa kamu sudah bertemu dengannya?”

“Belum.” Singkatnya. 

“Masa belum ketemu? Memang kamu nggak penasaran sama calon istrimu. Dia itu yang akan mendampingi kamu nanti.” Sahutnya merasa gemas dengan sikap Putra kurang greget dengan wanita sejak kejadian dulu.

“Itu urusanku.”

“Kamu tahu. Aku berharap gadis aneh tadi menabrak kamu itu jodohmu. Biar gadis itu bisa buat temanku ini sadar.” Cetus Dastan ngasal. Putra menatap Dastan tajam akan ucapan gila, temanya.

“Sembarangan kalau bicara. Aku berharap tidak akan pernah bertemu kembali dengan gadis aneh itu lagi. Melihatnya saja sudah kesal. Apalagi berumah tangga dengannya yang ada buat aku stres dengan sikapnya yang kekanakan dan abnormalnya.” Elak Putra menolak keras.

“Kamu sadar nggak, setiap membicarakan gadis itu. Kamu berbicara panjang lebar. Aku berdoa kalian berjodoh.”

"Dalam mimpimu."

Mereka melanjutkan kembali tugasnya dan Putra bersiap untuk melakukan operasi kecil pada pasiennya. 

Semenjak tahu dirinya akan dijodohkan oleh orang tuanya. Putra sempat menolak. Tapi, dia berpikir kembali tidak ingin menyakiti  kedua orang tuanya terutama Mamanya. Cukup dengan masa lalunya yang begitu menyakitkan. Di mana dia harus menelan kecewa saat wanita yang di sayanginya malah meninggalkan pernikahan dan lebih mementingkan keegoisannya dan menjadi seorang model internasional di Paris.

Pilihannya yang membuat orang tua Putra malu harus membatalkan acara pernikahan secara satu pihak. Berkali-kali juga keluarga dari pihak wanita terus meminta maaf pada keluarganya.

Keluarga R A H A R D I A N yang memang masuk dalam keluarga terpandang karena merupakan keluarga Dokter terbaik di sini. Siapa yang tidak mengenal? Banyak Rumah Sakit yang sudah di bangun dan Perguruan Tinggi Kedokteran terbaik dengan yayasan keluarga Rahardian. 

Dan sekarang ia menerima perjodohan ini, meski wanita yang akan di jodohkannya itu masih belum menjawab. Putra tetap akan menunggu.

Mungkin cinta akan datang karena terbiasa. Masa depan tidak ada yang tahu. 

***

Viana memasuki ruangan dan melihat pria setengah baya itu sudah sadar. Viana cepat menghampirinya dan meletakkan kopinya di atas nakas.

Dokter dan suster yang memeriksa Ardan keluar setelah selesai mengecek Ayahnya.

Viana bernafas lega tidak ada hal-hal yang serius tentang kesehatan Ayahnya.

Viana memandang Ayahnya dengan raut muka yang gusar. Ardan memandang lemah putrinya terlihat di wajahnya ada suatu penyesalan.

“Ayah!” Viana pilu sambil memeluk Ardan yang masih lemah. Air matanya menghiasi kedua pipi.

Merasa senang doa Viana telah dikabulkan.

Terima kasih, Ya Allah... 

Ardan mengelus lembut punggung putrinya. Masih diam tidak bicara. Gadis yang amat dirindukan. Mereka pertama kalinya saling sapa setelah perang dingin keduanya.

Egois. Saat terus memaksa putrinya yang masih belum sepenuhnya dewasa untuk menerima perjodohan yang awalnya janji masa mudanya dulu dengan sahabatnya.

“Maafkan Via. Selalu buat Ayah marah dan melawan semua keinginan Ayah. Sudah di putuskan, aku mau menerima perjodohan ini.”

Viana mengurai pelukan dari Ayahnya dan duduk di pinggir ranjang menatap Ayahnya masih lemas.

Ardan menghapus sisa air mata putrinya yang masih basah. Ardan menatap haru Viana mulai membuka hati kecilnya untuk menerima perjodohan ini.

“Viana sayang. Ayah sekarang nggak akan memaksa kamu menuruti keinginan kami. Ayah sekarang mengerti, seharusnya orang tua harus bisa mendukung impian putrinya. Apalagi kamu anak tunggal. Ayah tidak mau merusak impianmu.”

Viana menggeleng.

“Aku nggak merasa terpaksa kok. Via sadar kok. Kalau semua ini kalian lakukan untuk kebaikan aku. Sudah Via pikirkan semua dengan matang-matang.”

“Via, Ayah―” ucapan Ardan terpotong Nina menengahi. Dia tidak mau membicarakan perjodohan di saat Ayah-anak itu baru saja berbaikan. Ardan pun baru sadar beberapa jam lalu.

“Sudah-sudah. Kamu istirahat dulu. Badan kamu itu masih lemah loh. Soal perjodohan kalian bicarakan nanti.” Sahut Nina melerai keduanya yang sedang saling menyalahkan diri mereka sendiri.

“Tapi一 aku lapar sayang. Suapin.” Ardan mengeluh manja pada Nina. “Kamu lapar. Oke aku suapin.” Balasnya mengambil makanan yang tadi di antarkan petugas.

Viana tersenyum saat melihat orangtuanya begitu harmonis. Ia mengambil kopi di atas nakas yang sudah dingin.

Ia melangkahkan kaki dan duduk disofa dan meninggal kedua pasangan itu. Bundanya begitu cekatan menyuapi makanan pada Ayahnya.

Viana berharap kalau berkeluarga kelak akan bahagia seperti orangtuanya. Yang rukun dan harmonis. 

Meskipun berat hati dengan keputusannya. Viana harus bisa menerima semua. Benar kata Ayahnya kalau Viana harus mengenal terlebih dahulu pria itu.

Apa pria itu akan mendukung impiannya? Viana jadi bingung. 

Nina sembari tadi melihat Viana melamun dan yakin bahwa Viana sedang dirundung pilu akan keputusan yang dia cetuskan.

Nina menghampiri Viana. Mengelus lembut rambutnya. Memecahkan lamunan Viana.

“Bunda, ada apa?” tanya Viana melihat wanita yang masih terlihat cantik meskipunsudah berumur empat puluh tahun.

“Kamu pulang saja. Biarkan Bunda yang jaga Ayah. Besok kamu kuliah pagi kan?” tanya Nina pada anaknya. 

“Ya, sudah Via pulang dulu. Kalau terjadi apa-apa langsung hubungi. Bunda juga jangan terlalu capek.”

“Oke sayang. Jangan khawatir.”

Viana bersiap-siap pulang mengambil sling bag yang di gantung di kursi dekat ranjang. Berpamitan pada Bundanya dan mendekati Ayahnya yang sudah tertidur kemudian ia mencium sekilas kening pria paruh baya itu.

“Cepat sembuh, Yah. Via pulang dulu.” Bisik Viana.

Ia pun keluar dari kamar inap menuju pintu utama dengan langkah cepat dan merasa sedikit seram setiap melewati lorong rumah sakit yang sepi meski cahaya lampu cukup terang entah kenapa langkahnya menjadi begitu berat.

Viana merasa amat bersyukur karena ada seorang Dokter sekitar enam meter berada di depannya. Tiba-tiba Dokter tersebut tidak sengaja menjatuhkan lembaran dokumen di tangannya.

Dokter tersebut berhenti, menjongkokkan tubuhnya mengambil lembaran dokumen yang jatuh.

Berniat akan membantu. Viana urungkan ternyata Dokter itu adalah Dokter yang sudah menabraknya tadi.

Om Dokter?

Sekarang Viana berdiri tepat di depan pria itu tidak ada niatan untuk membantunya dan melipat kedua tangannya di bawah dada dan memberikan senyum ejekan. 

“Hati-hati dong, Om Dokter. Jatuhkan.” Ucap Viana dengan nada penuh ejekan.

Putra menoleh sedikit menegak ke atas mendapati seorang gadis yang di kenal tidak lama, sedang berdiri mengejeknya.

Apalagi gayanya sok premanise. Putra menggeleng pelan.

Gadis aneh. 

“Sepertinya, saya selalu tertimpa hal buruk. Setiap bertemu dengan kamu.” Ketus Putra kembali dengan posisi berdiri setelah Putra mengambil berkas itu.

“Apa? Wah, Om Dokter ternyata mulutnya pedas banget. Jangan bicara ngasal Om. Makanya kalau jalan itu hati-hati. Dokter yang sial kenapa aku yang jadi penyebab semuanya. Ngawur!” Jelas Viana saja tidak terima dengan ucapan Dokter itu.

“Mulut pedas saya hanya bekerja pada kamu saja. Jadi jangan sok menasehati orang dewasa kalau kamu belum cukup dewasa.”

“Begitu banget Om. Jangan benci saya loh nanti bisa jatuh cinta. Saya itu orang mudah dicintai. Jangan sampai karena Om Dokter bukan tipe saya."

“Tingkat kepercayaan diri kamu tinggi sekali. Jangan harap! Saya juga nggak suka gadis aneh seperti kamu!”

Viana geram apalagi menyebutnya gadis aneh.

Dia tidak tahu kalau Viana anak siapa? Bisa Viana tuntut habis Rumah Sakit ini kalau ia mau.

“Dasar Om-om nyebelin.”

Kalau melayani pria di hadapannya tidak akan berakhir. Bisa panjang urusannya. Viana melihat jam tangan menunjukkan pukul tujuh malam.

Viana kemudian berbalik meninggalkan lagi Dokter itu yang tidak tahu siapa namanya. Seperti yang dilakukannya tadi pergi begitu saja.

Putra menatap tajam gadis itu yang sudah hilang di hadapannya. Dia berdecih pelan tidak percaya. Dia diabaikan lagi. Padahal Putra begitu ingin memberi pelajaran pada gadis itu.

Semoga saja aku tidak bertemu kembali dengan gadis aneh itu.

***

Kira-kira mereka bakalan ketemu lagi nggak, ya?

KETEMU LAGI

Selamat membaca

Jangan lupa vote, komen dan jempolnya (👍)

***

“Ayah.”

Panggil Viana saat memasuki kamar inap Ardan dan duduk dipinggir ranjang. Lalu mencium pipi kanan dan kiri ayahnya yang terlihat sehat kembali. Sudah dua hari ini dia dirawat.

Tepat hari ini Ardan diperbolehkan untuk pulang. Namun sebelumnya Ardan harus di cek ulang oleh Dokter. Untungnya ia sudah selesai kuliah sehingga bisa menemani Nina-Bundanya dan membereskan segala sesuatunya. 

“Via. Kamu jangan manja begini. Bagaimana kalau sudah menikah. Kelakuan masih kayak bocah SMP.”

Ardan menggoda anaknya. Sambil menepuk kepala Viana pelan. Menatap penuh cinta. Dan mengambil sebuah kotak kecil dan diberikan pada Viana.

“Apa ini? Buat aku?” tanya Viana dan menerima kotak itu. 

Ardan mengangguk.

Viana menerima dan membukanya. Melihat sebuah kalung emas putih dengan bentuk bintang terlihat cantik. 

“Kalung ini beneran buat Via, Yah?” tanya Viana untuk memastikan kembali.

“Iya sayang. Dari calon kamu.”

Viana terdiam sejenak. Saat mendengar kalung itu dari calon suaminya. Belum bertemu saja sudah memberikan dirinya benda cantik dan mahal ini? 

“Apa? Calon aku. Maksud Ayah, orang yang akan di jodohkan sama aku?” ucap Viana heran. Menatap Ayahnya yang masih lemas memberikan senyum seakan berbicara akan kebenaran ucapannya tadi.

“Kamu nggak suka?”

“Suka.”

Viana menyimpannya kembali ke dalam kotak dan menyimpannya ke dalam tas.

Kemudian seorang Dokter berjalan menghampiri bersama Nina. Viana berdiri pindah ke sisi lainnya. Dokter tersebut tidak memeriksa keadaan Ayahnya seperti hanya hanya sedang berkunjung.

“Pak Ardan bagaimana keadaan anda sekarang? apa masih ada yang dirasakan?” Jelas Dokter Ferry dan sekilas menoleh ke arah Viana. Viana sedikit canggung saat melihat tatapan dari pria itu.

“Punggung masih terasa sakit.” Balasnya sambil meregangkan otot-otot badannya. 

“Wajar saja. Dokter Andre sudah memberikan resep obatnya kan?”

“Sudah nanti saya tebus.” Nina membuka suara dan membantu Ardan dengan pijatan ringan. 

“Dia calon adik ipar saya?” tanya Dokter Ferry pada Ardan. Melirik sekilas ke arah Viana yang berada di samping Ardan.

“Iya dia Viana. Calon adik ipar kamu. Jangan galak sama anak saya.” Balas Ardan sambil bercanda dan membuat pria berjas snelli itu tertawa pelan karena ucapan Ardan yang nyeletuk.

“Jangan cemas. Saya orang baik kok. Pasti Putra suka karena calonnya cantik begini.” mendengar ucapan itu membuat Viana menunduk malu. 

Viana menyodorkan tangan pada Dokter Ferry saat Ayahnya memberikan kode. Disambut pula pria itu dengan senyum ramahnya.  Memperkenalkan diri mereka masing-masing.

“Ngomong-ngomong soal Putra dia hari ini tidak bisa menjenguk. Dia ada seminar di luar kota. Saya harap Pak Ardan tidak marah. Soalnya dia itu sangat sibuk.” Kata Dokter Ferry memberitahu Ardan tentang tidak hadirnya calon menantunya itu.

“Saya mengerti. Dia sudah telepon saya tadi.”

“Baik. Kalau begitu saya permisi dulu. Semoga lekas sembuh Pak Ardan.” Seru Dokter Ferry berpamitan dan senyum hangatnya.

Pria berjas snelli itu keluar dari ruangan. Setelah kepergian Dokter tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakan pada Ayahnya tentang calon suaminya itu.

Melihat salah satu anggota keluarga dari calonnya. Viana sudah memastikan pasti semua keluarganya itu adalah berprofesi Dokter semua. Dan dipastikan otak keluarga mereka di atas rata-rata. Berbeda hal dengan Viana yang hanya seorang mahasiswa baru semester awal jurusan hukum menikah dengan seorang Dokter menjadi beban untuknya. Kenapa harus Dokter sih? Viana kembali mengingat kejadian kemarin tentang Dokter yang memarahinya. Kalau harus memilih lebih baik mempunyai seorang suami tukang ojek online daripada seorang Dokter pasti banyak peraturannya.

“Kenapa kamu jadi melamun sih?” Ardan melihat ke arah Viana malah terlihat sedang ada pikiran. 

“Aku lagi berpikir. Kalau nanti aku menikah sama calon pilihan Ayah dia bakal dukung impianku gak?” Ucap Viana blak-blakkan pada kedua orang tuanya.

Nina dan Ardan saling tukar pandang saat putrinya memberikan pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh Putra. Tapi mereka mengerti Viana masih sangat muda. Banyak hal yang ingin dikejar.

“Sayang. Hal ini nanti kamu bicarakan sama Putra. Ayah, Bunda tidak bisa menjawab. Tapi kalau menurut Bunda, Putra pasti memahami keinginan kamu.” Jawab Nina memberikan sedikit penjelasan.

"Tapi―"

“Viana. Kita bicarakan ini nanti. Sekarang Bunda mau merapikan barang yang akan dibawa. Kita bentar lagi pulang.”

“I know.”

Viana mengambil tas berisikan pakaian dan membawanya dan diberikan pada Pak Joni sopir yang sedang duduk di depan kamar. agar Pak Joni menyimpannya ke bagasi mobil.

Setelah selesai dan barang bawaan sudah diangkat dan masuk ke dalam bagasi.

Viana hanya menunggu Ayahnya turun dari ranjang tidurnya dan duduk di kursi roda sudah di siapkan untuk mengantarkan Ayahnya menuju pintu utama rumah sakit dan mobil sudah siap di depan.

Pak Joni keluar dari mobil dan membantu perawat laki-laki mengangkat Ardan masuk kedalam mobil dan mendudukannya dibangku penumpang. Viana bernafas lega dan masuk duduk didepan disamping kemudi. Sekilas menoleh ke arah belakang melihat kondisi ayah dan bunda yang terlihat senang.

“Ayah kangen suasana rumah. Akhirnya bisa menghirup udara segar juga.” Ardan senang seraya melihat keluar jendela. Mobil berlalu lalang disisi mobil yang mereka tumpangi.

“Ayah mah lebay. Cuma beberapa hari di rumah sakit. Masa kangennya kayak satu bulan nggak pulang.” Sahut Viana masih memandang ke depan mendengarkan keluh kesah ayahnya dibelakang. 

“Kamu nggak ngerasain sakit. Coba kalau ngerasain apa yang Ayah rasain. Baru nyaho.” Ardan dan sedikit melontarkan candaan. 

“Amit-amit aku nggak mau.” Kata Viana masih dengan posisinya dan mengelus perutnya seakan tidak mau merasakan apa yang dialami Ayahnya.

Nina hanya menggelengkan. Dengan kelakuan Ayah dan anak. Kemarin mereka perang dingin setelah berbaikan kembali saling menyahut dengan lelucon yang di lontarkan. 

Hanya butuh 15 menit mereka sampai tujuan yaitu rumah kediamannya. Ardan dan Nina menuju kamar dilantai atas. Pak Joni ikut pula menghantarkan tas milik orang tuanya menyusul. Viana memutuskan untuk ke dapur meminum air karena haus akibat perjalanan mereka tadi.

Langkah kaki seseorang membuat Viana menoleh dengan sosok wanita separuh baya mendekatinya yaitu Bi Inah asisten rumah tangga dan sekaligus suami dari Pak Joni sopir pribadi Ayahnya. Keluarga dari mereka sudah mengabdi sekitar 10 tahun.

“Non. Mau Bibi dibuatkan teh hijau, nggak? Sekalian Bibi mau buatkan buat bapak sama ibu.”

Wanita itu berada disamping Viana sedang menyiapkan cangkir dan teh hijau. Bi Inah mengambil sendok kecil menuangkan serbuk teh kedalam cangkir porselen.

“Nggak usah. Aku mau langsung kekamar saja mau istirahat. Aku capek.”

Bi Inah mengangguk tersenyum dan melanjutkan tugasnya membuat teh hijau milik orang tuanya.

Viana berjalan menaiki tangga perlahan dan melangkah ke kamar yang terletak di ujung. Karena di atas hanya ada tiga kamar. Kamar satunya lagi kosong karena tidak ada yang menempati kalau bukan Arfan, adik paling bungsu, Ayahnya yang sedang sekolah di negeri kangguru, Australia menimba ilmu S2 di jurusan hukum.

Viana menjatuhkan tubuhnya di spring bed queen size-nya. Memandang langit-langit atapnya memikirkan kembali perjodohan yang di setujuinya.

“Aku menyesal menerimanya.” Gunamnya seakan apa yang dikatakan terus menjadi beban pikiran. 

Teringat kembali akan kotak kecil yang diberikan ayahnya sebuah kalung cantik yang diberikan oleh calon suaminya. Dan mengambil tas mengeluarkan kotak itu. 

“Kalungnya bagus.”

Viana terus melihat kalung dan mengangkat benda itu. Mengaguminya seakan benda itu dibuat khusus untuknya.

“Putra itu seperti apa? Jadi penasaran.” Runtuknya terus melihat kalung seperti bicara.

Viana mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu dan mengirimnya langsung.

Laudy : Tunggu gue di cafe biasa. Nggak pake lama ada yang mau gue ceritain sama lo.

***

“Apa? DIJODOHIN.”

Teriak Laudy mendengar cerita Viana. Dengan tatapan tidak percaya, matanya melebar seperti akan keluar dan mulutnya yang tidak sedikit menganga. 

Viana menutup mulut Laudy, membuat mereka menjadi pusat perhatian dari para pengunjung cafe yang lumayan ramai. 

“Laudy! nggak usah pake toak juga kali. Malu diliatin orang, noh!” keluh Viana menatap Laudy sedikit mengancam.

Laudy tertawa renyah. “Sorry, Via. gue kan kaget. Orang tua lo tuh jadul amat sih main jodoh-jodohin, di zaman sekarang. Mereka pikir lo kaga laku kali ya.” Ucapnya spontan, kata negatif untuk perjodohan kalau bukan tidak laku apalagi coba. 

“Mulut lo, racun tikus. Gini-gini termasuk sepuluh besar cewek tercantik di kampus. Bye the way.” Desisnya sedikit menaikkan dagu dan membanggakan diri sendiri.

Ngomong soal sepuluh besar cewek cantik itu, memang benar adanya. Ini pilihan yang di buat mahasiswa kampus yang sengaja membuat pemilihan mulai dari tingkat kepopuleran dan sudah menjadi tradisi setiap tahunnya.

“Tau dan nggak usah di ingetin. Tapi lo di jodohin sama siapa? Ganteng kah? Tajir kah?” tanya Laudy bawel, Viana sudah terbiasa.

Viana menyedotkan coffee ice, sebelum akhirnya membuka suara dan menjawab pertanyaan Laudy. “Anak teman Ayah gue. Dia profesinya seorang Dokter. Gue juga belum pernah ketemu sama calon gue.”

“What, Dokter? Gila kece abis dong. Tapi kok lo belum ketemu sih. Foto juga nggak ada?” Suara Audy auto keras, kemudian sadar akan tatapan tajam Viana. Laudy mengangkat tangan dan dua jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V sebagai kata damai.

“Nggak ada. Tapi besok malam mereka datang ke rumah bicarain perjodohan gue.”

“Jangan lupa fotoin gue pengen lihat calon laki lo.”

“Ogah!”

***

Putra turun dari mobilnya berjalan masuk ke dalam sebuah cafe milik teman sekolah SMA dulu. Melihat sosok temannya, Putra melambaiankan tangannya. Menghampiri pria itu yang memakai setelan kaos putih dan celana blue jeans. 

“Sorry lama menunggu. Aku baru balik dari seminar di Bandung.” Putra menyambutkan tangan pria itu.

“No problem.” Pria itu sembari meletakan coffee untuk Putra dan disusul sebuah surat undangan diletakkan di meja “Ini undangan buat kamu dari Elgar dia married minggu depan. Kamu harus datang jangan lupa bawa partner juga.” Tambahnya lagi.

“Cepat benar ini anak married baru juga kenal. Tapi aku nggak janji kalau bawa partner.” Sahut Putra melihat undangan yang diberikan sahabatnya ini. 

“Sudah ada jodoh, makanya gercep. Cari dong. Tampang cakep kayak kamu mana ada yang menolak ajakan kamu.”

“Belum ketemu yang cocok, Aryan.” Putra sembari menyesap coffee dan meletakkan kembali ke meja.

“Jangan terpaut masalalu. Masa depan kamu masih panjang.” Seakan tahu alasan Putra masih sendiri, Aryan mencoba untuk memberikan saran hikmah pada Putra.

“Aku sudah move on jauh setelah apa yang dia lakukan saat itu.”

“Itu bagus. Cobalah menjalani hubungan lagi.”

Putra tidak menjawab hanya menggeleng.

“Tidak semudah itu.”

“Setidaknya kamu membuka hati buat wanita yang mencoba mendekati kamu. Jangan di abaikan dan di anggurin sayang kan. Mubazir.”

Putra senyum menyungging. “Nanti aku coba.”

Aryan hanya menggeleng pelan akan sikap Putra yang terlalu banyak diam tidak banyak bicara. Mungkin mulut bicara sudah move on tapi hatinya siapa yang tahu.  

Asyik sedang mengobrol. Keduanya sedikit terganggu oleh suara gelak tawa dua orang wanita dari arah belakang meja mereka.

Mencoba tenang. Putra malas kalau harus menegur apalagi mahluk yang namanya wanita amat sensitif. 

Mendengar celotehan kedua wanita itu membuat Putra menautkan keningnya. 

Merasa mengenali suara salah satu wanita di belakang punggungnya.

Putra menggelengkan kepalanya. Kenapa aku jadi ingat gadis aneh itu. Batinnya lagi.

“Kenapa kamu, bro? Terganggu sama mereka.” Sahut Aryan mendelik ke arah belakangnya. 

Putra cepat-cepat menggeleng. “Bukan kok. Aku harus balik deh. Kayaknya aku sudah kelelahan.” Bohong Putra merasa firasat buruk akan terjadi.

“Sorry bro, aku sudah buat kamu datang kemari padahal baru balik dari Bandung.”

“Santai aja. Lagian kita sudah lama nggak ketemu juga kan.”

Putra berdiri dari kursinya karena tidak hati-hati dia sedikit menabrak badan belakang perempuan yang akan siap minum coffeenya.

“Maa―” kata Putra terhenti saat seseorang sudah berteriak protes. 

“Kyaaa, baju gue!” Eluh seorang wanita berdiri karena kaos putih yang dipakai terkena tumpahan coffee.

Gara-gara ada seseorang menubruknya dari arah belakangnya dan berbalik cepat. Tanpa melihat sosok pria itu. “Lo一punya mata nggak! Lihat kaos gue kotor jadinya! Arghhh!”

Viana mengamuk.

“Kamu...!” Putra terkejut dengan apa yang dilihatnya, ternyata wanita yang ada sejak tadi di belakang punggungnya adalah gadis aneh yang sempat membuat Putra kesal.

Shit! Firasat buruk apalagi ini? bisa bertemu dengannya lagi.

“Lo一Om Dokter.”Viana seraya menunjuk jarinya ke Putra, tapi langsung di tangkis pria itu namun posisi tangan Viana tidak berubah.

“Nggak sopan nunjuk-nunjuk orang yang lebih tua.” Nasehat Putra.

“Ngaku tua juga Om.” Ledeknya dengan senyum meremehkan.

Aryan sedikit menahan tawanya mendengar wanita itu memanggil sahabatnya dengan sebutan ‘Om’ tentu saja lucu.

“Berhenti memanggil saya dengan sebutan Om. Memangnya saya menikah dengan tante kamu, hah?” Putra mulai terbawa emosi. Gadis dihadapanya sukses saja membuat seorang Putra naik pitam. Jadi merasa dejavu. Dulu pernah seperti ini, Putra selalu bertengkar dengan Kakak perempuannya yang sekarang tinggal di Singapore. Merasa rindu pertengkaran merekam

“Lagian siapa juga yang mau punya Om kayak Om. Galak begini.” Acuhnya lalu kembali mengelap kaosnya dengan tisu.

“Gadis jaman sekarang nggak tahu sopan santun. Kayak nggak pernah sekolah aja.”

“Wah, saya nggak yakin kalau Om adalah Dokter. Jangan-jangan gadungan.” Kata Viana tidak mau kalah. Pria itu lebih dulu menghinanya. Viana berkacak pinggang menatap Putra di hadapannya. Tanpa memberi kesepampatan Putra membalas ucapan Viana. “Om edan!” Umpat Viana pelan. Sedangkan Laudy speechles saat melihat perdebatan keduanya lebih seru dari debat pemilu.

Semua pengunjung memperhatikan hal tersebut. Tapi untung Cafe sedang tidak begitu ramai.

“Siapa dia, lo kenal sama ini cowok cakep?” tanya Laudy tanpa memalingkan tatapannya dari Putra.

“Cakep dari hongkong. Gue nggak kenal. Ada accident gue sama dia dirumah sakit.” Bisiknya. Laudy mengangguk paham.

“Baju kesayang gue nih!” Viana merasa sedih. Bibirnya mengerucut.

Putra melihat Viana kelakuan gadis itu, yang terlalu berlebihan. “Hanya kaos saja. Saya bisa belikan kalau kamu mau sekaligus tokonya.”

“Sombong sekali.” Viana melipat kedua tangannya di depan dada seperti siap menantang. 

Putra tersenyum sinis. Aryan memerhatikan Putra penuh ekspresi. Padahal Putra sangat dikenal minim ekspresi. Apalagi pada orang asing.

Aryan mencoba melerai pertengkaran mereka. “Sudah. Ini saya ganti rugi atas kaosnya.” Cetusnya memberikan uang lembaran merah ke meja tempat Viana.

Viana merasa geram. “Saya nggak butuh uang kamu Om. Saya cuma butuh kata maaf dari Om Dokter itu.” Tolak Viana, dengan suara sedikit keras.

Harga kaos miliknya bukan harga distro kebanyakan. Kaosnya seharga dengan harga ponsel keluaran terbaru.

Seketika tubuh Aryan berubah kaku saat gadis itu juga memanggilnya Om. Putra masih belum merespon karena pusing mendengar suara gadiss itu.

Putra menghembus nafas panjang. “OK! Sorry. Puas kamu!”

Viana senyum simpul. “Yang ikhlas dong, Om.”

“Jadi mau kamu apa? Saya sudah minta maaf tadi. Lama-lama kamu ngelunjak. Lihat kamu nggak malu, pengunjung di sekeliling melihat ini semua!”

Viana melihat ke sekeliling ruangan melihat aneh ke arahnya. Pura-pura tidak peduli dan menatap tajam pria dihadapannya.

Om Dokter kamvret. Viana merasa malu.

“Ayo Laudy kita pulang saja. Lama-lama dekat orang ini, bisa mati muda gue.”

Viana menarik tangan Laudy, mengambil tas, pergi dari cafe tanpa melihat ekspresi Putra saat ini. 

Putra berdiri diam dan tangannya terkepal menahan kekesalannya. Kebiasaan gadis itu. Lagi-lagi yang meninggalkan sepihak tanpa menyelesaikan masalah.

“Aryan, aku minta maaf atas kejadian tadi. Jadi nggak enak sama pengunjung kamu disini.”

Aryan menepuk bahu Putra. “ Slow, nggak apa-apa. Dia siapa? Kayaknya kalian saling nggak suka begitu?”

“Aku saja nggak kenal. Cuma papasan saja kemarin di rumah sakit. Sedikit accident!” jelas Putra memberi alasan yang sama seperti Viana tanpa sadar.

“Oh begitu.”

“Aku balik. Sekali lagi aku minta maaf.”

“Santuy bro.”

Putra meninggalkan Cafe dengan perasaan campur aduk, kemudian menuju mobil yang diparkir di depan Cafe tersebut.

Kenapa harus ketemu lagi sih.

***

Jodoh kali Om Dokter, setuju nggak guys?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!