Anetta's POV
Hari ini merupakan hari pertamaku bekerja. Aku tidak mau sampai terlambat dan lebih tidak ingin citraku rusak di hari pertama ini. Namun, keinginan hanyalah keinginan, seperti sebuah rencana yang tidak selalu bisa berjalan mulus dan lancar.
Bukan karena macet bukan juga mogok, tapi bus yang kutumpangi ini jalannya lambat sekali. Aku jadi geregetan sendiri. Tahu begini aku akan memilih naik taksi online saja tadi. Kulirik arlojiku, untungnya masih ada setengah jam lagi sebelum jam masuk dan kurasa tidak sampai sepuluh menit lagi aku akan tiba di kantor. Cukuplah, untuk menemui bagian personalia, lalu mulai bekerja.
Setibanya di kantor, aku langsung menemui bagian personalia untuk mengambil ID Card. Selesai dari bagian personalia, aku diminta mengikuti Mbak Vina, salah satu staf personalia yang akan mengantarkanku ke ruangan di mana aku ditempatkan.
Sembari berjalan mengikuti Mbak Vina, aku tak berhenti mengagumi kantor ini. Ruangan yang penuh dengan hiruk-pikuk manusia yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ah, tak sabar rasanya bekerja dengan suasana ini, mengerjakan proyek-proyek desain untuk berbagai macam klien, mengasah kreativitasku, dan menemukan ide-ide baru dalam mencapai target.
Merupakan impianku untuk bisa bekerja dan menjadi bagian dari Mills Design & Consulting, salah satu perusahaan jasa konsultan desain terbesar dan terkemuka di kota ini.
Kalau dipikir-pikir, aku yang seorang fresh graduate (1) ini beruntung sekali bisa diterima bekerja di sini. Berbekal ijazah S1 jurusan Interior Design, tanpa pengalaman kerja—karena memang baru saja wisuda tiga bulan yang lalu, aku memberanikan diri untuk melamar sebagai Junior Consultant. Bersyukur, setelah melalui rangkaian tes, aku diterima.
"Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, ini Junior Consultant yang akan mulai kerja hari ini." Begitu kalimat pertama Mbak Vina kepada seorang pria yang sedang duduk dengan wajah serius sembari membaca berkas di mejanya.
Dia masih belum menoleh, masih serius menekuri lembaran kertas besar berisi gambar dan angka. Kulirik papan nama di sebelah monitor komputernya, Marco Denovan, Senior Executive Consultant.
Oh, wow! Pria maskulin nan dingin ini adalah bosku ternyata, tapi kenapa saat wawancara terakhir dengan user kemarin aku tidak melihatnya, ya?
Pak Marco menutup map yang tadi dibacanya, lalu menyodorkannya padaku. Belum sempat aku bertanya meminta penjelasan, dia membuka bicara, "Kamu revisi desain ini. Sesuaikan dengan konsep yang sudah ada. Klien yang satu ini lumayan ... merepotkan."
Kuterima map yang diberikannya itu, tapi aku tak bisa berkata-kata. Detik pertama, aku terbius dengan karisma dan sifat bossy-nya, selanjutnya aku merasa panik dan kesal. I mean, ini hari pertamaku dan baru sekitar satu jam yang lalu aku menginjakkan kaki di kantor ini. Apakah tidak ada waktu untuk perkenalan diri atau job description**, atau basa-basi yang lain? Baiklah, sepertinya aku hanya harus berpikir positif bahwa beginilah rasanya bekerja di perusahaan besar dengan jam terbang tinggi.
"Baik, Pak, akan saya kerjakan." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirku setelah otakku kembali normal. Sambil kutunjukkan senyum terbaikku, sekedar senyum perkenalan.
Wish today will be a great first day (2), gumamku berulang-ulang.
"Pak Marco memang begitu, kaku, dingin. Nanti kamu juga akan terbiasa." Suara Mbak Vina yang lembut sedikit mengagetkanku, dia sepertinya tahu apa yang aku pikirkan.
"Hm, tapi kenapa beliau tidak ada saat wawancara dengan user kemarin, Mbak?"
"Beliau memang tidak pernah ikut wawancara terakhir. Katanya, adalah tugas kami untuk mencari karyawan yang terbaik. Jadi, beliau tidak terbebani kalau karyawan baru pilihan kami tidak kompeten dan dia harus memecatnya."
Aku terdiam sejenak mendengar penjelasan Mbak Vina. Apakah tugas pertama ini merupakan tes yang dilakukan Pak Marco untuk menguji kompetensiku?
"Anetta, ini meja kerja kamu." Lagi-lagi aku terkejut mendengar suara Mbak Vina. Entah sudah berapa kali aku melamun sepanjang pagi ini.
"Terima kasih, Mbak, sudah mengantar saya," jawabku ramah pada Mbak Vina.
"Enggak usah kaku, gitu. Panggil aku Vina dan enggak usah pakai 'saya' segala. Aku rasa kita bisa jadi teman baik."
Senyum sumringah tersungging di wajahku. Teman pertama di hari pertama. Sounds good (3). "Baik, Mbak ... Eh, Vin ... Terima kasih."
"Seperti yang tadi aku bilang, kamu akan sering berdekatan dengan seorang Marco Denovan. So, biasakan dirimu," katanya lagi sambil tersenyum lalu dia mendekatkan wajahnya ke telinga kananku, "FYI, he's single," (4) ucapnya untuk terakhir kali, sebelum berbalik dan melangkah menuju ruang personalia.
Aku hanya tersenyum bingung mendengar apa yang diucapkan Vina barusan. Apa juga masalahnya denganku kalau dia single?
Sepeninggal Vina, aku mulai menata meja kerjaku secara kilat karena aku sudah mendapatkan tugas pertama dan berdasarkan pengamatanku terhadap bosku yang tadi pagi kutemui itu, aku harus menyelesaikan tugas ini sesegera mungkin agar dia tidak meragukan kompetensiku.
Konsep, elegant Skandinavian style. Aku tidak tahu di mana letak kekurangan desain ini sehingga perlu kurevisi, tapi aku tidak boleh menyerah. Pak Marco tidak boleh menganggap aku remeh hanya karena aku seorang fresh graduate.
Kuputar otakku untuk mencari jalan bagaimana aku bisa menyelesaikan tugas pertamaku ini. Langkah pertama, aku harus membaca profil klien. Wajib hukumnya untuk memahami karakter si klien melalui pekerjaannya ataupun melalui hobinya. Setidaknya begitulah prinsip yang kubuat untuk diriku sendiri. Setelahnya, barulah aku bisa tahu apa desain seperti apa yang cocok untuknya.
Aku larut dalam kesibukanku sampai tak menyadari ada seseorang yang sedang memandangiku di sisi sebelah kananku.
"Lo Junior Consultant yang baru itu, ya?" tanyanya sambil memandangiku. Belum sempat aku menjawabnya, hanya menoleh sambil mengangguk. "Perkenalkan, Frans Adrian Stefanus Lumowa. You can call me Frans (5)," sambungnya sambil menyodorkan tangannya kepadaku.
Kusambut uluran tangan Frans sambil memperkenalkan diriku, "Anetta." Tak lupa senyuman manis sebagai senyum perkenalan.
"Ah, Anetta. Karyawan baru yang mendapat tugas pertama di hari pertama bekerja," katanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku tak bisa menghindari tatapan bingungku ketika aku menatapnya.
"Kamu tahu?" tanyaku penasaran. Frans hanya tersenyum. "Kamu juga pernah mengalaminya?" lanjutku.
Belum sempat Frans menjawab pertanyaanku, percakapan kami mendapat interupsi dari seorang gadis berwajah oriental dengan perawakan langsing yang baru saja datang dari arah pantri. Di tangannya, dia membawa secangkir mochaccino hangat yang menguarkan harum khas.
"Dasar raja gombal, langsung, deh, tebar pesona!" kata gadis itu setengah menyindir Frans. Lelaki itu mencibir mendengar sindiran gadis yang kini mampir di depan mejaku dan memperkenalkan dirinya, "Lana. Anetta, kan?"
Aku menyambut uluran tangan Lana, sambil mengangguk, kemudian kembali mengulang pertanyaanku pada Frans yang belum dijawabnya tadi. "Jadi, apa kalian dulu juga langsung dapat tugas di hari pertama kerja?"
Frans menggeleng. "Enggak semua karyawan baru mengalaminya. The best and the worst (6). Jaman gue dulu, ada empat konsultan baru yang diterima di Mills. Gue lulus tes dengan predikat yang biasa-biasa aja, sedangkan teman seangkatan gue yang dapat nilai tertinggi, dapat tekanan sejak hari pertama. Persis lo gini."
Aku berusaha mencerna perkataan Frans, sambil mengingat bahwa aku satu-satunya konsultan yang diterima pada periode ini. Karena pada lowongan kerja tempo hari disebutkan bahwa Mills hanya membutuhkan satu orang untuk mengisi posisi tersebut dan akulah yang lulus tes penerimaannya.
"Ya, kita tahu, kok. Kamu satu-satunya konsultan yang diterima, kan? Karena kamu menggantikan posisi karyawan yang mendapat nilai tertinggi itu. Dia baru aja mengundurkan diri karena enggak kuat dengan tekanan dari Bos Marco. Kamu tahu, si bos benar-benar mengecam dia, karena dia nggak bisa membuktikan bahwa predikat terbaik itu pantas untuknya," jelas Lana, seakan bisa membaca pikiranku.
"Well, I got it (7). Berarti, sepertinya aku akan mendapat tekanan yang sama."
"Atau bahkan lebih berat," sambung Lana cepat, "Baiklah, cukup sekian dulu perkenalan kita. Selesaikan tugasmu sebelum teleponmu berdering. Karena kalau teleponmu sudah berdering, kamu harus menyiapkan mental untuk menghadapi Bos Marco."
Setelah mengatakan itu, Lana kembali ke meja kerjanya. Begitu juga dengan Frans yang menggeser bangkunya kembali ke meja kerjanya.
Aku kembali menekuri desain yang ada di meja, lalu beralih ke monitor komputerku. You can do it, Netta! (8) Begitu mantra yang kuucapkan sebelum aku kembali berkonsentrasi menyelesaikan desain berkonsep Skandinavian whatsoever ini.
Kulirik jam dinding besar di depan sana menunjukkan pukul 11.15. Desain ini masih empat puluh persen jadi. Aku mencoba me-review dari awal, apakah sejauh ini desainnya sudah sesuai dengan konsep yang diberikan.
Aku sedang bermain dengan mouse komputerku, ketika tiba-tiba telepon di mejaku berdering. Aku terkejut, tapi sedetik kemudian bergidik, lebih takut mengingat apa yang dikatakan Lana tadi.
Dengan segera kuangkat telepon itu dan setelahnya kudengar suara datar Bos Marco di seberang sana.
"Ke ruangan saya, sekarang!" Klik, telepon ditutup.
Dengan tergesa aku mencari menu print dan dengan tidak sabar menyambar lembar terakhir yang keluar dari printer. Setengah berlari, aku berusaha secepat mungkin sampai di ruangan Bos Marco.
••••••••••
(1) Lulusan baru (seseorang yang baru saja lulus sekolah/kuliah)
(2) Semoga hari ini menjadi hari yang luar biasa.
(3) Terdengar bagus.
(4) Sebagai informasi, dia lajang.
(5) Kamu bisa memanggilku Frans.
(6) Yang terbaik dan yang terburuk.
(7) Baiklah, aku mulai mengerti.
(8) Kamu bisa melakukannya, Netta!
Marco's POV
Aku sedang menekuri desain interior yang dibuat oleh salah seorang anak buahku yang minggu lalu mengundurkan diri secara tiba-tiba. Desain ini bagus, tetapi tidak hidup. Aku terus memaksa mataku mencari sesuatu yang dapat menarik perhatianku. Kurasa dia sudah terlalu tertekan sehingga gambar yang dibuatnya sangat kacau.
Sampai tiba-tiba ....
"Tok, tok, tok!"
Terdengar suara ketukan di pintu. Tak berapa lama, terdengar lagi suara pintu terbuka. Setelahnya kutangkap derap langkah kaki masuk ke ruang kerjaku, sementara aku masih fokus pada gambar di depanku.
Dari ekor mata, aku melihat Vina, seorang staf personalia datang bersama seorang perempuan lainnya yang kutahu pasti adalah karyawan baru yang profilnya baru saja kubaca tadi pagi. Kalau tidak, untuk apa staf personalia mampir ke departemen lain pagi-pagi begini. Apalagi, memang salah satu posisi Junior Consultant sedang kosong karena Deon, karyawan terbaik yang ternyata tidak tahan bekerja di bawah tekananku mengundurkan diri secara mendadak pada minggu lalu.
"Perkenalkan, ini Junior Consultant yang akan mulai bekerja hari ini, Pak." Kudengar suara Vina yang memperkenalkan sosok di sebelahnya.
Aku masih berusaha menyelesaikan membaca lembar terakhir rancangan gambar yang kacau ini. Berharap akan menemukan sesuatu yang pas di mataku, tapi tidak ketemu juga.
Sedetik kemudian aku menoleh ke arah mereka berdua, selanjutnya yang aku katakan, "Kamu revisi desain ini. Sesuaikan dengan konsep yang sudah ada. Klien yang satu ini lumayan ... merepotkan."
Aku meliriknya sekilas dan dari apa yang kuamati secara kilat, dia terlihat panik dan kesal. Namun, kemudian dia menjawab, "Baik, Pak, akan saya kerjakan." Singkat.
Pasti dia merasa tidak siap di hari pertamanya ini. Tentu saja, di mana-mana yang namanya karyawan baru akan menjalani masa adaptasi pada hari pertama bekerja. Mulai dari perkenalan diri, perkenalan bidang kerja serta suasana kerja, dan lain sebagainya. Namun, tidak dengan departemen yang ada di bawah tanggung jawabku.
Di departemen ini ide-ide baru dan segar akan bermunculan dan semuanya itu harus diasah setiap waktu, tidak ada istilah menunggu inspirasi. Dengan diasah setiap waktu, aku yakin potensi setiap karyawan yang dimiliki Mills akan semakin berkembang dan bahkan maju.
Salah satu caraku untuk melihat dan mengembangkan potensi anak buahku adalah dengan menggembleng mereka sejak menit pertama mereka menginjakkan kaki di perusahaan ini. Dengan begitu, aku bisa membuktikan pada perusahaan bahwa orang-orang yang berada di departemen ini memang pantas untuk mengembangkan bisnis di perusahaan.
Setelah Vina dan perempuan yang aku lupa namanya itu menghilang dari balik pintu, aku kembali fokus pada layar laptopku. Proposal untuk proyek terbaru Mills baru saja dikirimkan Frans, salah satu desainer yang kupercaya untuk memegang proyek ini. Aku cukup puas dengan proposal yang dibuatnya.
Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah mengatur pertemuan dengan bagian pembelian untuk mendiskusikan pilihan material dan harganya, lalu pengajuan desain pada klien. Ah, there is still a long process to go through. (1)
Kulirik jam kecil di meja kerjaku, sudah menunjukkan pukul 11.00. Aku memeriksa email, tidak ada pesan baru yang masuk dari tim Creative. Akhirnya, kuraih telepon dan menekan tombolnya dengan nomor extention yang sudah kuhafal di luar kepala. Aku yakin betul desainer baru itu duduk di meja lama Deon.
"Ke ruangan saya, sekarang!" perintahku begitu panggilan di seberang diangkat.
Tak lama menunggu, kudengar ketukan pintu dan Junior Consultant yang baru itu langsung masuk ke ruanganku. Dia menyerahkan desain ruangan yang tadi pagi kuperintahkan untuk direvisi.
"Siapa yang menyuruh kamu mencetak gambar ini?"
Dia tampak bingung dengan pertanyaanku, dan malah balik bertanya padaku, "Bukannya Bapak menyuruh saya untuk merevisi desain ini?"
"Tapi saya tidak menyuruh kamu bawa printout kesini. Kamu, kan, bisa kirim via email."
"Tapi, Bapak tidak mengatakannya tadi," bantahnya. Ah, ya, setelah kuingat-ingat memang aku tidak menyebutkan dengan cara apa dia harus menyerahkan gambar itu padaku.
"Saya tidak harus menyebutkannya, kan? Di jaman yang serba canggih seperti sekarang ini, apa kamu tidak tahu ada teknologi bernama email yang bisa digunakan untuk mengirimkan data?" Ia terdiam. "Saya tahu kamu bukan anak SD lagi, karena itu saya kira kamu akan mengerti berkorespondensi melalui email. Desain yang kamu kerjakan ini belum final, itu kenapa kamu tidak perlu mencetaknya karena akan sangat boros kertas."
"Tapi, Pak, saya belum diberikan user email. Apa Bapak tidak ingin melihat printout yang saya bawa saja?"
Aku meliriknya. Anak ini tidak mudah menyerah, pikirku. Biasanya orang lain akan ciut dengan permainan kataku dan akan menerima apapun yang aku katakan serta perintahkan. Baiklah, aku mengalah.
"Duduk!" ucapku akhirnya. Dia menurut.
Aku memperhatikan desain yang dibuatnya. Tidak bisa kupungkiri, desain ini terlihat rapi, menarik, dan detail. Terasa lebih hidup.
"Well, hasil kerja yang bagus. Desain yang kamu buat ini lebih 'hidup' daripada desain sebelumnya."
"Terima kasih, Pak." Dia tersenyum.
"Jangan bangga dulu." Bisa kulihat dari ekor mataku, senyum leganya perlahan menghilang. "Desain ini belum rampung dan belum kita perlihatkan pada klien yang banyak maunya itu."
Dia terdiam. Aku memperhatikannya sekilas, lalu kualihkan pandanganku darinya.
"Dan," lanjutku, "kamu mengecewakan saya soal ketepatan waktu. Sebagai informasi, saya paling tidak bisa menoleransi keterlambatan dalam hal apapun itu. Biasakan diri kamu untuk kedepannya ..." Aku mencari ID Card-nya untuk mengetahui namanya, Anetta Briana. Namun, aku memilih memanggilnya, "... Junior."
Dia masih dengan reaksi datarnya, sampai aku memberikan perintah. "Kamu bisa kembali bekerja."
"Baik, Pak." Dia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang kerjaku.
Aku masih tidak melepaskan pandangan dari sosok si Junior itu. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang berbeda darinya. Aku tidak tahu, apakah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana. Namun, mengingat ini adalah hari pertamanya bekerja, aku buru-buru menghapus ekspektasiku yang tinggi terhadapnya. Aku tidak boleh begitu saja menaruh harapan padanya. Bagaimana kalau dia ternyata tidak jauh berbeda dengan Deon?
Teleponku berdering tepat saat pintu ruang kerjaku tertutup. Kutekan tombol handsfree, lalu kuterima panggilan tersebut.
"Pak, Mr. Arthur dan Ibu Liliana sudah menunggu di ruang meeting B."
"Thank's, Olla." Klik.
Aku meraih tab yang biasanya kubawa dalam rapat. Tentu saja ini lebih praktis daripada buku agenda, karena tersambung dengan internet yang akan memudahkan jika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuannya. Kemudian, dengan segera aku beranjak dari dudukku. Satu lagi klien besar tengah menungguku dan aku dengan sangat siap akan menemuinya.
Saat melewati ruang Creative, kulihat Anetta sedang membaca sebuah berkas, lalu kuhampiri dia.
"Junior, ikut saya!"
••••••••••
(1) Ah, masih banyak lagi proses yang harus dilalui!
Anetta's POV
Aku sedang menaiki ojek online yang kupesan untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Jarak rumahku sebenarnya tidak bisa dibilang dekat dari kantor. Hanya saja, aku merasa lelah sekali seharian ini dan ingin secepatnya sampai di rumah agar bisa beristirahat. Kalau harus naik angkot, entah akan sampai jam berapa di rumah.
What a tough day (1)! Aku sampai berpikir apakah aku harus menyesal atau tidak, telah masuk ke dalam lingkaran Mills. Tidak ada basa-basi, tidak ada istilah adaptasi di hari pertama. Semua langsung berjalan normal.
Berdasarkan apa yang aku dengar dari Lana, departemen Creative adalah departemen yang paling keras di Mills, terlebih di bawah kepemimpinan Bos Marco. Mereka digembleng habis-habisan untuk membuktikan bahwa mereka memang layak menjadi tonggak pengembangan bisnis di Mills.
Pada hari pertama ini, sepertinya aku sudah mendapat gambaran bagaimana hari-hari selanjutnya akan kulalui. Di bawah tekanan Bos Marco, tentunya. Sebenarnya aku, sih, tidak akan keberatan kalau harus terus-terusan ditekan oleh si bos tampan itu.
Uhh! Tiba-tiba perutku seperti melilit saat otakku memikirkan Bos Marco. Belum selesai aku bermain dengan pikiranku, ojek online yang kutumpangi ini sudah berhenti tepat di depan rumah. Setelah menyerahkan helm, aku langsung masuk ke dalam rumah.
Kasurku! Bersiaplah menerima aku!
~
Tiga bulan berlalu sejak aku menginjakkan kaki di Mills. Banyak hal-hal baru yang kualami, banyak juga pekerjaan yang aku tangani sehingga semakin mengasah kemampuan desain dan analisisku. Such a great experience (2), walaupun tekanan dari Bos Marco memang cukup menguras energi dan pikiran.
"Netta, ayo buruan, Pak Marco udah nunggu kita di ruang meeting B."
Aku baru sampai di kantor dan baru saja mendaratkan tasku di atas meja, bahkan belum sempat aku duduk dan menghidupkan komputer, tapi Lana sudah menarik tanganku dan menggiringku menuju ruang meeting. Aku belum mengerti ada apa atau ada masalah apa. Akhirnya aku menurut saja dengan Lana.
Sesampainya di ruang meeting, kulihat beberapa desainer senior sudah berkumpul. Bos Marco duduk di tengah dengan wajah datarnya.
Fiuh! Kukira aku dan Lana sudah paling terlambat, tapi ternyata masih banyak lagi yang belum hadir. Aku belum mendapatkan ide, untuk apa kami dikumpulkan di sini. Setahuku internal meeting untuk tim Creative adalah hari Selasa, tapi ini masih hari Senin.
"Selamat pagi! Seperti yang kalian semua pasti sudah tahu, Graha Cipta, salah satu mega developer di kota ini mengadakan tender untuk proyek apartemen terbarunya." Begitu kalimat pembuka dari Bos Marco.
Tampak wajah-wajah yang tadinya tegang, berubah cerah seketika.
"Jadi, kita akan ikut tendernya, Pak?" tanya Digo, salah seorang arsitek senior.
"Tentunya. Kita sudah terima undangannya dan besok adalah jadwal untuk technical meeting-nya."
"Tapi yang kita tahu, kan, tender Graha Cipta sangat sulit untuk kita menangkan, karena ..." ucapan Digo menggantung.
Kulirik Bos Marco. Dia memandang Digo sekilas, lalu tersenyum sinis. "Tidak berhasil memenangkan tender beberapa kali berarti kita mendapatkan waktu untuk mengasah kemampuan dan kreativitas. Harusnya kamu lebih siap sekarang." Suara Bos Marco sangat datar, tapi semua orang terpaku tak dapat bersuara. "Saya tidak peduli siapa yang menjadi lawan kita, apakah mereka punya jaringan orang dalam atau tidak. SAYA TIDAK PEDULI!"
Aku menyenggol Lana, berusaha mencari jawaban. "Mereka ngomongin siapa sih, Lan?"
"Lamasco," jawab Lana. Lalu dia memberi isyarat kepadaku agar diam saja.
Aku mengangguk mengerti. Dari yang kudengar, Lamasco merupakan rival terkuat bagi Mills untuk proyek-proyek pengembang properti. Cerita punya cerita, mereka mempunyai jaringan orang dalam di beberapa pengembang properti.
"Anetta ...."
Terkejut mendengar namaku dipanggil oleh Bos Marco, aku menolehnya. Dia memandangiku dengan tatapan yang seakan mengisyaratkan sesuatu dan aku sepertinya mengerti apa yang selanjutnya akan dikatakannya.
"Kamu ikut dengan saya besok!" tegasnya sebelum akhirnya menutup meeting hari ini.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku persiapkan mengikuti tender tersebut? Aku belum pernah tahu seperti apa keadaan saat tender. Terlebih, harus berhadapan dengan Lamasco yang katanya lawan tangguh dari Mills. Duh, kenapa Bos Marco harus menunjuk aku.
"Netta! Ini kesempatan baik, kamu bisa ikut tender bareng Bos Marco." Begitu kata Lana dengan penuh semangat sambil menyenggol-nyenggolku dan tak lupa mengedip-ngedipkan matanya padaku.
"Tapi ... aku belum punya pengalaman soal tender, gimana kalau aku malah mengacaukan Mills nanti di sana?"
"Kamu sudah bekerja keras selama tiga bulan pertamamu ini, hasilnya juga klien kita banyak yang puas dengan advise dan desain yang kamu berikan. Aku rasa itu yang membuat Bos Marco percaya sama kamu."
Aku menimbang-nimbang apa yang diucapkan Lana barusan. Mungkin benar, tiga bulan ini aku bekerja dengan kemampuan paripurnaku dan memang aku mendapatkan testimoni baik dari para klien yang kutangani. Hanya saja, untuk bertarung mendapatkan tender, apakah aku sudah cukup mampu?
Sampai di meja kerjaku, aku mulai mengumpulkan amunisi. Aku harus mengumpulkan lebih banyak data mengenai Graha Cipta, seperti apa tender yang biasanya mereka adakan. Kemudian aku mencari tahu lebih dalam mengenai Lamasco, karakter desain yang mereka buat, dan proyek apa saja yang sudah mereka kerjakan.
Hampir satu jam berkutat dengan komputer, sedikit banyaknya aku sudah mengetahui seperti apa 'ladangku' dan siapa lawanku.
Teleponku berdering dan sudah bisa kutebak siapa yang menelepon.
Lana juga memberikan isyarat tanpa suara kepadaku. "Pasti Bos Marco," katanya.
"Anetta's speaking. What can I do for you?" (3) Aku menunggu suara siapa yang berada di seberang sana.
"Ke ruangan saya sekarang!"
Aku mengedipkan mata pada Lana. "Gotcha (4)!"
"What is 'gotcha' mean (5)?"
"Eh ... maaf, Pak. Hanya prediksi saja, kalau telepon saya berdering pasti Bapak yang menelepon saya." Aku merutuk pada diri sendiri, entah kenapa aku bisa se-PD itu bicara pada Bos Marco. Dari balik meja di depanku, Lana tertawa tanpa suara.
"Jadi kamu berharap saya yang menelepon?" tanyanya, terdengar penasaran.
"Hm, bukan begitu, Pak!" kilahku.
Klik. Sambungan telepon dimatikan. Sial! Aku belum sempat menjelaskan, teleponnya sudah dimatikan. Bisa-bisa dia salah paham dan besar kepala nantinya.
Aku buru-buru ke ruangan Bos Marco.
"Masuk!" Terdengar teriakan dari dalam ketika aku mengetuk pintu ruang kerjanya.
Aku masuk dan menebarkan senyum terbaik yang aku miliki. Aku bermaksud untuk menyejukkan keadaan hati Bos Marco yang pada akhir meeting tadi sepertinya agak panas.
"Boleh saya duduk, Pak?"
"Silahkan! Kecuali kalau kamu mau berdiri terus sepanjang diskusi." Ekspresinya ... tetap saja datar. Aku hanya tersenyum sopan sebelum duduk.
"Junior, saya ingin kita mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi tender besok. Soal Lamasco, saya pikir tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Graha Cipta mengadakan tender, itu berarti kontrak dengan Lamasco sudah berakhir dan mungkin saja mereka ingin mencari provider baru dan inilah kesempatan kita untuk merebut perhatian mereka dengan desain yang kita buat."
"Saya setuju dengan Bapak. Kalaupun Lamasco memang memiliki jaringan orang dalam dan tender ini hanya sebagai formalitas untuk publik, saya rasa tidak ada ruginya kita menunjukkan kemampuan kita. Barangkali dari sana ada yang melihat dan tertarik bekerja sama dengan Mills."
Bos Marco diam, kemudian mengangguk. "That's what I thought about (6). Lalu, apa kamu sudah pernah tahu seperti apa tender yang dihelat oleh Graha Cipta?"
"Saya belum pernah tahu, Pak, tapi tadi setelah meeting, saya mengumpulkan data mengenai Graha Cipta dan Lamasco sebagai referensi saya."
"And how was that (7)?"
"Untuk proyek terakhir Lamasco dengan Graha Cipta, desain yang mereka buat memang sangat bagus, tapi saya merasa ada yang kurang tepat antara desain dan konsep yang diusung oleh Graha Cipta yang ingin menonjolkan kesan minimalis modern pada unit apartemennya. Desain yang dibuat Lamasco terlalu 'mewah' untuk konsep minimalis. Saya pikir, mereka keliru dalam menerjemahkan konsep 'modern', padahal modern tidak selalu harus mewah," terangku panjang lebar.
Aku melirik Bos Marco, mencari tahu apakah dia mendengar analisisku.
"Teruskan!" perintahnya.
"Sebenarnya kita sudah dapat gambaran untuk bertempur besok. Berdasarkan tag line yang selalu digadang-gadang oleh Graha Cipta yaitu minimalis modern, kita harus mengingatkan kembali bahwa seharusnya memang kesan minimalis modern itu yang diaplikasikan pada setiap desain unit apartemen Graha Cipta. Tentunya kita tidak akan bermain aman, melainkan harus intensify the minimalism to elegance (8), tapi tetap jangan sampai over. Selain itu, kita bisa mencuri perhatian melalui budgeting, dengan menyesuaikan konsep dan material serta pilihan perabotan yang akan kita gunakan. Kalau kita bisa mengganti 'kemewahan' yang sebelumnya dipakai Lamasco ke konsep modern minimalis yang kita aplikasikan di desain kita, bukan tidak mungkin kita akan unggul dengan penawaran low budget. Menurut Bapak bagaimana?"
Bos Marco memandangiku dengan ekspresi wajah yang tidak dapat kudefinisikan. Dia tidak memotong pembicaraanku. Namun, kali ini dia seperti sedang mempertimbangkan analisisku.
"Quite interesting (9). Kita akan bermain di budgeting, tapi jangan sampai lalai untuk tetap mengedepankan kualitas, baik desain maupun material." Aku mengangguk-angguk tanda sependapat.
"Kalau begitu, tolong kamu siapkan dokumen legalitas kita untuk kita bawa besok."
••••••••••
(1) Betapa ini hari yang berat!
(2) Merupakan pengalaman yang luar biasa.
(3) Anetta sedang berbicara. Apa yang bisa saya bantu?
(4) Kena, kau!
(5) Dan, apa maksudnya 'kena, kau' itu?
(6) Begitu juga yang saya pikirkan.
(7) Lalu bagaimana hasilnya?
(8) Mengintensifkan minimalis ke elegan.
(9) Cukup menarik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!