Kring .... kring ... kring ...
Bunyi alarm kamarku berdering begitu nyaringnya, hingga setiap orang yang mendengar bunyi alarm tersebut, pasti akan terbangun dengan cepat karena suaranya itu dapat memekakan telinga setiap orang yang mendengarnya.
Aku yang sedang tidur dengan pulas pun sempat terbangun dari tidurku karena bunyi alarm tersebut begitu dekat dengan telingaku.
"Nad, matiin alarmnya!!" teriak Niko kesal dengan mata yang masih terpejam seraya mengubah posisi tidurnya, sambil mengambil sebuah guling yang berada di sampingku untuk ia jadikan ganjalan kakinya.
"Iya sebentar," jawabku dengan suara yang cukup terdengar serak.
Aku langsung mengambil jam weker berbentuk Doraemon dari atas meja riasku. Setelah berhasil mengambilnya, aku langsung melanjutkan tidurku kembali.
Beberapa menit kemudian
"Good morning, Sayangku."
Aku menatap wajah Niko yang baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap dengan senyuman termanisku.
"Morning, Sayangku," jawab Niko yang terdengar parau.
"Kita sarapan sama-sama, yuk. Aku sudah menyiapkan sarapan enak untuk kamu."
Niko menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul. Aku membalas senyumannya, kemudian segera bergegas menuju dapur. Namun, tiba-tiba saja Niko menggenggam tanganku dan menarik tanganku hingga aku terjatuh ke dalam pelukannya.
"Kenapa, Nik?" tanyaku gugup dengan kedua bola mata kami yang saling bertemu hingga membuatku menjadi salah tingkah.
"Kita kan sudah menjadi pasangan suami istri yang sah. Jadi, nggak salah kan kalau aku perlakukan kamu seperti ini?"
Aku mulai menarik ujung pakaian milikku dengan gugup. Perlahan, Niko mulai mendekati wajahku hingga wajah kami berdua terlihat begitu dekat. Aku mulai terlihat gugup hingga membuatku langsung memejamkan kedua mataku karena saking terlalu gugupnya.
Namun, tiba-tiba saja
"Nad . . . Nad . . . Nadia!! Bangun, Nad!!" seru seseorang seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.
Aku mencoba membuka mataku yang rasanya masih sangatlah mengantuk dan sangat sulit untuk di buka. Saat membuka mata, aku begitu terkejut karena wajah Niko begitu dekat sekali dengan wajahku. Karena saking begitu dekatnya, kami beradu kepala dengan cukup keras hingga membuat kepala kami saling berbenturan.
"Nad, kebiasaan banget deh bikin rusuh pagi-pagi!!" teriaknya kesal sambil mengusap-ngusap kepalanya.
"Maaf, habisnya wajah kamu tuh deket banget, sih!!"
Niko mendelik tajam.
"Cepat, sana mandi! Kita ada kuliah pagi dan jangan lupa makan sarapanmu. Aku sudah membuatkan roti panggang dan susu vanila kesukaanmu. Semuanya ada di atas meja makan," katanya pelan kemudian pergi.
"iya," jawabku sambil menggaruk-garuk rambutku yang tidak gatal dan sesekali menguap.
"Nad?" katanya kembali dan berbalik arah menatap ke arahku.
"Iya?" tanyaku bingung dengan keadaan rambut yang terlihat berantakan sekali bagaikan seekor singa.
"Kapan terakhir kali kamu mencuci rambutmu?" tanyanya dengan mata menyelidik.
"Mmhhh, satu minggu yang lalu," jawabku cengengesan.
Niko menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dengan ekspresi wajah yang terlihat sinis.
"Cuci rambut sana! Masa iya, istri dari seorang mahasiswa kedokteran Niko Andalas Ahmad Setya rambutnya berminyak dan bau iler gitu, sih? Nggak malu kamu?" katanya mengejek kemudian pergi hingga membuatku langsung mencium rambutku dengan cepat.
Tepat sekali. Aroma rambutku sangatlah pekat. Aromanya benar-benar sangat luar biasa. Seperti aroma wejangan sesajen untuk para dukun. Benar-benar mau menyan.
Aku langsung mengambil handuk bermotif Doraemon milikku dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci rambutku.
Mencuci rambut adalah hal yang paling tidak aku sukai. Karena rambutku panjang, aku jadi sangatlah malas mencuci rambutku karena itu akan menyita waktu mandiku. Hanya untuk mengurus rambutku yang panjang, aku bisa menghabiskan seperempat botol shampoku untuk mencucinya dan menghabiskan waktuku yang cukup lama di dalam kamar mandi.
Begitulah kejadian pagi hari setiap kali kami ada kuliah pagi. Aku fikir, kejadian saat aku dan Niko saling berbicara dan bertatapan dengan mesra seperti tadi itu benar-benar terjadi. Ternyata, itu hanyalah mimpi belaka. Bagaimana pun, mimpiku itu tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.
Memikirkannya saja membuat bulu kudukku berdiri. Sekarang, keadaannya sudah berbeda. Aku dan juga Niko sudah menjadi sepasang suami istri yang sah. Kita bisa 24 jam saling bertemu setiap harinya mau itu di rumah atau pun di kampus.
Setiap hari bertemu di rumah mau pun di kampus dengannya saja sangatlah membosankan. Apalagi sekarang, kami sering bertemu setiap malam sebelum tidur dan setiap pagi saat kami bangun tidur. Benar-benar luar biasa menikah dengan sahabat sendiri itu.
Aku dan Niko sudah saling mengenal sejak kami masih TK. Sejak kecil, aku dan Niko sudah berteman baik. Selalu bermain bersama, selalu satu sekolah dari kami berdua masih SD hingga sekarang kami masuk ke perguruan tinggi.
Kami juga saling bergantung satu sama lainnya. Akan tetapi, semenjak kedua orang tua kami menjodohkan kami berdua, semua semakin terasa jelas berbeda.
Saat kelulusan SMA, Niko tiba-tiba saja mengatakan 'Jadilah pacarku' dan dengan bodohnya aku tidak menolaknya sama sekali dan malah mengiyakannya begitu saja.
Hingga pada akhirnya kami masuk di perguruan tinggi yang sama, muncullah ide konyol kedua orang tua kami yang ingin sekali membuat kami berdua menikah di usia dini karena tahu kalau kami sedang menjalin sebuah hubungan.
Dan, dengan bodohnya lagi, kami berdua setuju untuk menjalani pernikahan muda ini. Semua orang mungkin tidak akan menyangka kalau kami akan menikah muda seperti ini. Bahkan, aku sendiri tidak menyangka sama sekali kalau aku bisa menikah dengan sahabatku sendiri.
Semua orang mungkin beranggapan bahwa kami akan hidup bahagia dan penuh akan cinta. Akan tetapi, pada kenyataannya aku dan juga Niko tidak saling mencintai.
Niko yang tiba-tiba saja menginginkanku untuk menjadi kekasihnya pun, pada dasarnya tidak dilandasi rasa cinta. Aku juga tidak mengerti dan belum menemukan jawabannya hingga saat ini. Kenapa Niko menginginkanku untuk menjadi kekasihnya?
"Nad, Nadia!!" panggil Niko yang membuyarkan semua lamunanku.
"Hah? Iya, ada apa?" tanyaku yang tersadar kalau sejak tadi Niko memanggil namaku.
"Mau sampai kapan kamu mengolesi rotimu itu? Rotimu sudah lumer dengan selai kacang," katanya yang membuatku terkejut begitu melihat roti panggangku penuh dengan selai kacang.
"Astaga, aku tadi ngelamun. Maaf-Maaf!!"
"Pagi-pagi ngelamunin apa sih kamu?"
"Bukan apa-apa. Oh iya, semalam papahmu telepon."
"Apa katanya?"
"Nanti malam kita di minta untuk berkunjung ke rumah orang tuamu. Biasalah, makan malam bersama. Sudah lama juga kita nggak pulang ke rumah. Kamu bisa kan mengosongkan jadwal kamu nanti malam?"
"Iya," jawabnya singkat, padat dan sangatlah jelas.
Aku meminum susu vanila kesukaanku sambil menatap ke arah Niko yang tengah membaca buku penyakit dalam yang terlihat sangatlah tebal itu. Niko ini anaknya memang kutu buku banget.
Semua buku apa pun itu di bidangnya, pasti akan selalu ia baca sampai habis dalam waktu yang sangat singkat. Dan, Niko ini adalah salah satu mahasiswa kedokteran kebanggaan kampus kami.
Niko sangatlah cerdas. IPKnya selalu di atas 3.5 . Entah terbuat dari apa isi otaknya itu, sekali di jelaskan, ia langsung dapat memahaminya dan menerapkannya.
"Ayo berangkat sekarang, nanti kita telat!" katanya yang langsung menutup buku miliknya dan meneguk segelas susu coklat miliknya hanya dengan sekali tegukan.
Aku mengangguk dengan pelan. Setelah selesai sarapan, kami berdua langsung merapihkan meja makan kami dan segera bergegas menuju halaman depan rumah.
"Ambil ini," tutur Niko sambil melempar kunci mobil ke arahku, " hari ini aku malas nyetir," katanya kembali yang langsung masuk ke dalam mobil.
Aku mengangguk dengan pasrah dan segera masuk ke dalam mobil. Kami berdua pun langsung bergegas pergi dengan menggunakan mobil Pajero hadiah pernikahan dari kedua orang tuanya Niko.
"Hari ini kamu pulang jam berapa?" tanyaku sambil menyetir.
"Jam 3. Kenapa?" tanya Niko yang masih berkutat dengan buku tebalnya.
"Nggak, cuma nanya aja," jawabku kemudian sambil memutar sebuah musik.
"Kecilkan volume musiknya, aku sedang membaca."
Aku mengangguk dan segera memperkecil volume musiknya. Sesampainya di kampus aku langsung memarkirkan mobil di tempat parkiran kampus kami yang cukup luas.
Saat kami hendak berjalan menuju gedung perkuliahan, kami tidak sengaja melihat sepasang kekasih yang tengah berpelukan dengan mesra di lapangan kampus. Si pria itu langsung mencium kening perempuannya dengan penuh cinta. Aku sempat beberapa detik terdiam di tempatku dan menatap ke arah mereka berdua dengan iri.
"Nadia, mau sampai kapan kamu diam di sana? Ayo cepat!" teriak Niko yang membuatku terkejut.
Aku berlari-lari kecil menghampiri Niko yang tengah menungguku dengan kesal.
Kapan ya gue bisa bermesraan seperti pasangan itu? Apa mungkin gue bisa berpelukan mesra seperti itu dengan Niko? Apa itu bisa?
Foto Pre wedding Niko dan Nadia
"Apa yang sedang kamu fikirkan?" tanya Niko saat aku berjalan menghampirinya.
"Ah, tidak ada," jawabku pendek yang langsung mengalihkan pandanganku.
"Jangan berfikiran macam-macam kamu!"
"Nggak, ko. Aku tidak berfikiran macam-macam!" seruku langsung mengklarifikasi.
"Niko, Nadia!!" teriak seseorang dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah kami berdua.
Aku dan Niko langsung menatap ke arah sumber suara. Seorang perempuan berambut sebahu dengan seorang pria berkacamata tampak sedang berlari-lari kecil. Mereka adalah Bella dan juga Bobby. Sahabat kami berdua sejak SMA yang tahu percis bagaimana hubunganku dengan Niko yang sebenar-benarnya.
"Nad, tumben banget pergi bareng sama ini bocah?" tutur Bella sambil merangkulku dan menunjuk wajah Niko dengan dagunya.
"Ya, terus kenapa? Nggak boleh?"
"Ya nggak juga, sih. Pemandangan baru aja buat gue, biasanya kan kalian suka pergi masing-masing. Jarang banget kelihatan barengan kaya gini."
Bella dan Bobby tampak cengengesan tidak jelas hingga membuatku langsung menatap sinis ke arah mereka berdua. Sementara Niko, ku lirik dia sejenak. Wajahnya tetap datar dan tak berekspresi sama sekali.
"Gue jadi meragukan hubungan kalian berdua," celetuk Bobby tiba-tiba yang membuatku dan juga Niko langsung menatap dengan tajam ke arahnya.
"Gue meragukan kalau kalian berdua itu sudah menikah. Biasanya, orang yang sudah menikah itu, apalagi menikah muda seperti kalian ini pasti lagi so sweet-so sweetnya, kan? Tapi, kenapa kalian berdua nggak? Apa jangan-jangan, ciuman saja kalian belum pernah melakukannya?" todongnya hingga membuat kedua bola mataku kali ini langsung melotot tajam ke arahnya.
"Sepakat! Kalau nggak saling suka, kenapa juga kalian maksain buat nikah? Pernikahan itu bukan untuk main-main, kawan. Menikah itu ibadah!" tambah Bella yang langsung menodong kami dengan pernyataannya yang cukup menyebalkan, tapi ada benarnya juga.
"Terus, gue mesti gimana sekarang?" tanyaku polos.
"Ya, ciuman, dong!" seru Bella dan juga Bobby bersamaan hingga membuatku dan juga Niko cukup terkejut mendengarnya.
Rasanya, kali ini aku benar-benar dibuat kesal oleh pernyataan kedua makhluk tak berdosa itu. Mereka tidak ada habis-habisnya menggoda kami selama setahun belakangan ini. Kalau bukan karena pertemanan kami yang cukup lama, mungkin mereka sudah habis babak belur olehku. Begini-begini juga, saat SMA aku berhasil mendapatkan sabuk hitam dalam klub karate.
"Guys, kalian kan sudah 1 tahun menikah. Masa nggak ada peningkatan sama sekali, sih? Kalian nggak mau kan sampai semua orang tahu kalau sebenarnya kalian itu dijodohkan dan menikah tanpa dasar cinta? Jadi, pegangan tangan kaya gini kan bagus. Biar terlihat seperti pasangan suami istri asli," tutur Bobby sambil menarik tanganku dan juga tangan Niko hingga kami bergandengan.
"Apaan sih lo, Bob? Norak lo!" seru Niko kesal sambil menepis tanganku dengan kasar kemudian pergi.
"Masa gitu doang ngambek sih, Nik? Nik, tungguin gue! Guys, gue cabut duluan!" teriak Bobby yang kebetulan memang satu kelas dengan Niko dan langsung mengejar kepergiannya.
Aku menghela nafas pendek, kemudian melanjutkan langkahku menuju Fakultas Psikolog.
"Nad," panggil Bella pelan seraya berjalan di sampingku.
"Apaan?"
"Niko emang emosian yah dari dulu?"
"Elo kaya yang baru kenal Niko kemarin sore aja sih, Bel. Niko kan emang gitu anaknya."
"Elo kayanya sabar banget yah menghadapi suami lo yang seperti itu. Salut gue sama lo."
Aku hanya tertawa kecil dan merangkul sahabatku yang kebawelannya itu minta ampun banget. Dan, rasa-rasanya ingin sekali aku menutup mulutnya yang seperti mercon itu dengan menggunakan lakban.
"Bella sayang, gue kan udah kenal Niko dari kecil. Kalau gue nggak sabaran, gue nggak mungkin bertahan sampai sekarang."
"Oh iya, gue lupa," katanya cengengesan.
Aku tersenyum kecut dan merapihkan kembali rambutku yang mulai berantakan.
"Nad, lo pernah nggak sih ngerasain rasanya jantung berdebar-debar ketika lo menyukai seseorang? Menyukai Niko gitu contohnya. Pernah nggak?" tanyanya hingga membuatku seketika terdiam dan berfikir sejenak.
"Sudahlah, nggak usah ngomongin Niko lagi. Ke kelas aja, yuk!"
Aku langsung menarik tangan Bella bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan kami yang sudah mulai menyimpang dan mengajaknya langsung menuju kelas karena kebetulan kami satu Fakultas dan satu kelas juga.
Bella mengangguk pasrah. Sebenarnya aku tau dia pasti masih penasaran dengan jawabanku. Tapi, aku sudah malas kalau percakapan kami ini isinya hanya seputar Niko dan perasaanku padanya.
Kami berdua pun langsung menuju kelas kami yang tidak begitu jauh dari arah kami berjalan. Sesampainya di depan pintu kelas, tiba-tiba saja ada seorang perempuan yang dengan sengaja menabrakku dengan begitu kasar, hingga membuatku menabrak pintu kelas dengan cukup keras.
"Hey, elo punya mata nggak, sih?" teriak Bella emosi begitu melihat wajah perempuan yang sudah menabrakku.
"Punya mata atau tidak itu bukan urusan lo!" jawabnya sinis.
"Mau lo itu apa sih sebenarnya? Ngajak ribut terus tiap hari, nggak cape lo?" seru Bella yang terlihat semakin kesal hingga membuatku mencoba untuk menenangkannya.
"Mau gue? Mau gue lo jauh-jauh dari hidup Niko," katanya menjawab dengan sorotan mata tajam dan menunjuk wajahku dengan jari tangannya.
Kuku jari perempuan tersebut terlihat menggunakan kutex berwarna merah menyala. Dan, itu membuatku berfikir kalau perempuan itu tidak mematuhi peraturan kampus di sini yang melarang mahasiswinya untuk menggunakan kutex.
"Jangan main asal tunjuk ya lo. Itu nggak sopan! Lagi pula, Niko sama Nadia itu nggak pernah bisa pisah. Dan, sayangnya lo harus terima kenyataan kalau Nadia itu istri Niko yang sah!!" pekik Bella dengan menekan kata 'sah' dengan begitu jelas.
"Baru juga nikah, orang yang nikah aja bisa cerai. Jadi, gue doakan semoga kalian berdua cepat bercerai, deh."
"Elo!!" tunjuk Bella ke arah wajah perempuan itu dan hampir saja menampar pipinya.
"Bell, udahlah nggak usah ladenin dia lagi," kataku seraya menarik tangan Bella dan berusaha menenangkannya.
"Cewe kaya dia itu harus dikasih pelajaran, Nad. Nggak bisa di diemin gitu aja. Elo emangnya terima suami lo direbut sama cewe ganjen kaya dia? Gue sih ogah banget!"
"Terserah apa kata kalian. Bye!!" katanya kemudian pergi sambil mengibaskan rambutnya yang panjang berwarna kecoklatan itu hingga mengenai wajahku dan juga Bella .
"Sok cantik banget sih itu cewe ganjen. Heran gue, nggak di SMA nggak di kuliahan, ketemu cewe ganjen itu terus. Bosen gue!!" gerutu Bella tampak kesal.
"Udah lupain aja. Mendingan, kita ke kelas aja, yuk."
Aku langsung menarik tangan Bella untuk segera masuk ke dalam kelas kami. Sesampainya di kelas aku sejenak terdiam. Perempuan itu adalah Lisa, teman satu sekolah kami saat SMA dulu. Sejak Sma, hubungan kami memang tidak pernah akur.
Pada awalnya, Lisa memang menyukai Niko dan mengejar-ngejar cintanya meski Niko sama sekali tak memandangnya. Berkali-kali di tolak, Lisa tidak sama sekali menyerah dan selalu berusaha agar Niko menyukainya. Hingga pada akhirnya Niko dan aku resmi berpacaran, Lisa masih saja tetap mengejar cinta Niko.
Lisa memang sangat membenciku karena aku begitu dekat dengan pria yang di cintainya. Menjadi sahabatnya saja sudah membuatnya sangat membenciku. Bahkan, ketika ia tahu aku berpacaran dengan Niko, Lisa semakin menjadi-jadi dan selalu berusaha untuk memisahkan kami berdua.
Dan, entah kenapa walau kami menjalani hubungan tanpa dilandasi cinta, aku dan Niko tidak dapat dipisahkan sampai akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Lisa memang tidak ada habis-habisnya mencari masalah setiap harinya denganku. Aku saja sudah cukup lelah dengan semua perbuatan kasarnya itu.
"Udah, jangan difikirkan apa kata-kata perempuan sinting itu. Kalau dia berani macam-macam sama lo, biar gue yang hadapi," ujar Bella yang duduk di sampingku sambil menggenggam kedua tanganku.
"Gue nggak habis fikir aja sama Lisa. Apa dia nggak cape terus mengusik kehidupan orang lain?"
"Orang seperti Lisa mana mungkin lelah. Memang pada dasarnya itu cewe sakit jiwa. Lama-lama dia bisa stres karena obsesinya itu," tutur Bella yang diberi anggukkan olehku.
"Obsesi memang salah satu penyakit yang menakutkan. Gue harap Lisa segera sadar. Gue takut, lama lama dia bakalan mengidap penyakit berkepribadian ganda," kataku yang langsung merinding sendiri membayangkannya.
"Nad, berkepribadian ganda itu sangat menyeramkan. Gue fikir, lama-lama Lisa bisa mengidap penyakit itu."
"Gue tidak bisa membayangkannya. Apa jadinya, jika seorang Lisa mempunyai kepribadian ganda? Pribadi seorang Lisa saja sudah cukup menakutkan."
"Sudahlah, jangan membicarakan dia lagi. Lama-lama gue mual membicarakan perempuan tak tahu diri itu," tutur Bella yang membuatku tertawa kecil mendengarnya. "Oh iya, gelang hitam yang sering lo pakai itu ke mana, Nad? Ko, gue udah jarang banget lihat akhir-akhir ini?"
"Gelang hitam ini maksud lo?" tanyaku sambil mengeluarkan sebuah gelang berwarna hitam dari dalam tasku.
Bella mengangguk hingga membuatku langsung memandangi gelang yang dimaksud Bella tadi.
"Gelang ini gelang kesayangan gue. Walau sudah usang, dekil dan tak berbentuk seperti semula, gue sangat menyayangi gelang ini."
"Iya, dari dulu gue sering banget lihat lo pake gelang itu dan pernah nangis gara-gara gelangnya hilang."
Aku tersenyum kecil dan mengenang masa-masa di mana gelang hitam ini pernah hilang dan aku menangis sejadi-jadinya karena sudah menghilangkannya.
"Gue harus membawa gelang ini ke mana pun gue pergi, Bell. Saat pernikahan gue saja, gue masih tetap membawanya walau pun tidak memakainya. Ini merupakan jimat keberuntungan gue dan separuh nyawa gue," kataku menjawab seraya menatap wajah Bella dan memandangi gelang hitam itu dengan mata berkaca-kaca.
"Jiahhh, bahasa lo udah kaya dukun beranak aja," katanya sambil tertawa hingga membuatku langsung terkekeh begitu mendengarnya.
Akhirnya dosen sudah masuk kelas juga. Sambil membuka buka catatanku, tidak sengaja aku melihat sebuah foto yang berada di dalam tasku. Aku menatap foto tersebut begitu lama dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasanya, ingin sekali aku kembali ke masa lalu.
"Nad, sebenarnya perasaan lo buat Niko kaya gimana, sih?" tanya Bella tiba-tiba.
"Perasaan gue?" ulangku bingung sambil memasukkan kembali fotoku ke dalam tas. "Perasaan gue buat Niko biasa aja. Kenapa?"
"Coba deh tes perasaan lo itu di depan Niko biar lo tahu sebenarnya perasaan lo itu seperti apa."
"Caranya?"
"Banyaklah, Nad. Bisa dengan jalan bareng semacam ngedate gitulah. Atau nggak pegangan tangan gitu, saling tatap-tatapan dan masih banyak lagi."
"Nggak ah, kurang kerjaan banget melakukan hal bodoh seperti itu."
"Itu bukan hal bodoh Nadia. Kalau lo sudah melakukan hal-hal yang tadi gue bilang, coba deh tes jantung lo. Kalau jantung lo berdebar-debar, terus elo salah tingkah, itu artinya lo suka sama Niko. Cobain, deh."
"Tes pake apa? Pake alat?"
Bella terlihat gemas sekali begitu mendengar jawabanku. Ia langsung menyubit kedua pipiku dengan begitu kencang sampai membuatku hampir saja berteriak karena ulahnya. Bahkan, dosen di depan pun sampai melirik ke arah kami berdua dengan begitu sinis. Dan, itu membuat kami berdua terdiam beberapa saat.
"Kenapa lo mendadak bego soal ginian, sih? Biasanya lo selalu pinter. Tapi, elo emang pinter soal pelajaran aja. Elo itu sama Niko emang cocok. Sama-sama pinter soal pendidikan dan sama-sama bego soal percintaan," katanya yang membuatku tertawa lebar begitu mendengarnya.
"Tahu apa sih lo soal cinta? Kaya macem pakar cinta aja lo, Bell!"
Bella memelototiku dengan tajam hingga membuat kedua bola matanya hampir saja keluar dari kelopak matanya.
"Gue yakin elo bakalan nyesel, Nad. Sekarang aja lo bisa bilang kalo lo nggak suka sama Niko. Giliran nanti suka sama Niko, elo bakalan nyesel kalo Niko jatuh cinta sama orang lain. Cinta itu menyakitkan, kawan!"
"Mau Niko suka sama orang lain atau nggak itu bukan urusan gue."
"Jelas itu urusan lo. Elo itu sudah menjadi istri Niko yang sah."
"Sah dalam agama dan menurut negara. Tapi, tidak sah dalam hati gue juga hati Niko."
Bella mengernyitkan keningnya dan menatap wajahku begitu lekat. Ia menghela nafas panjang hingga membuatku penasaran dengan apa yang akan dikatakan olehnya selanjutnya.
"Elo yakin tidak pernah sekali pun merasakan rasanya jatuh cinta terhadap Niko walau hanya semenit saja?" tanyanya sambil menatap wajahku dan tak sabar menunggu jawabanku.
Aku menghela nafas pendek kemudian menatap ke arah dosen di depan yang sedang menjelaskan.
"Gue sudah mengubur rasa cinta itu dalam-dalam, Bell."
"Maksud lo?" tanyanya tak mengerti.
"Maksudnya, lo nggak akan pernah ngerti dengan apa yang gue rasakan selama ini terhadap Niko."
"Gimana gue mau ngerti kalau elo sendiri aja nggak pernah bilang sama gue kalau lo suka sama Niko. Elo itu emang terlalu tertutup sama temen sendiri."
Aku terdiam. Rasanya, yang dikatakan Bella tadi ada benarnya juga. Aku memang tertutup jika sudah menyangkut soal perasaan dan juga urusan cinta. Menurutku, soal cinta itu tidak perlu di umbar-umbar. Cukup di rasakan sendiri dan biarkan melebur dalam hati ini dengan sendirinya.
Setelah berpisah dengan Nadia dan juga Bella, gue dan Bobby segera memasuki ruang kelas kami. Saat dosen sudah datang, keadaan kelas tampak sangat hening. Gue terpaku sejenak, menatap ke arah dosen yang sedang menjelaskan tentang organ-organ tubuh manusia.
Sambil memandang ke arah proyektor, gue memandangi kerangka tubuh manusia itu dengan begitu seksama. Namun, sialnya teman sebelah gue alias Bobby mengganggu konsentrasi gue dengan kebisingan yang ia buat dengan kursinya.
“Nik,” panggilnya pelan setengah berbisik.
“Apaan, sih? Ganggu aja deh lo, mata kuliah belum selesai tahu!”
“Ya ela, bentar doang. Gue cuma nanya aja sebentar.”
“Tanya apaan?”
Bobby mendekatkan kursinya ke arah gue dan setengah berbisik. “Elo pernah sempet deket yah sama si Nina?”
“Nina? Kenapa emangnya?” tanya gue bingung.
“Dari tadi, gue lihat si Nina memandang lo terus dari awal masuk perkuliahan. Kayanya, dia naksir sama lo,” ucapnya pelan sambil melirik ke arah belakang.
Reflek, gue juga mengikuti arah mata Bobby dan melihat ke arah sudut belakang gue. Di sana, ada seorang perempuan yang sedang tersenyum manis ke arah gue. Ya, dia adalah Nina teman satu kelas kami berdua.
Sejak awal masa-masa perkuliahan, Nina memang cukup dekat dengan gue. Karena sejak mengikuti masa orientasi, kami selalu satu kelompok dan saling bergantung satu sama lain.
Sejak awal, gue memang mengagumi sosok gadis seperti Nina. Dia gadis yang baik dan juga pintar, Nina juga berparas cantik. Banyak pula yang menyukainya dan ingin menjadikannya sebagai kekasih. Tapi, entah kenapa Nina sama sekali tidak menyukai salah satu pria-pria yang menyukainya itu.
Namun, sejak satu kampus tahu gue dan Nadia menikah muda 1 tahun yang lalu, persahabatan yang terjalin antara gue dan Nina sedikit merenggang. Gue sendiri tidak mengerti, kenapa Nina menjauhi gue seperti itu?
“Tuh kan, si Nina senyum sama lo.”
“Gue sama Nina itu dulu sahabatan. Tapi, semenjak gue married, si Nina emang agak menjauh gitu dari gue.”
“Udah jelas itu, si Nina suka sama lo. Nina itu menjauh kayanya patah hati gara-gara lo udah married. Otomatis, pupus sudah harapannya untuk menjadi pendamping lo.”
“Apaan sih lo? Mana mungkin gadis secantik Nina suka sama gue?”
“So what gitu loh, Nik. Dari zaman Sma, cewe-cewe satu sekolah udah pada naksir berat sama lo. Dari mulai si Lisa yang obsesi pengen memiliki lo, sampe Dewi si kutu buku anak emasnya pak Gilbert.”
Gue hanya tersenyum kecil dan menatap kembali ke arah proyektor yang berada di depan kelas kami.
“Jujur, gue aja sebagai cowo mengakui kalau lo itu seorang pria yang nyaris sempurna, Nik. Lo ganteng, tajir, smart, tinggi dan baik lagi sama semua orang. Ya, hanya saja, terkadang sifat cuek lo itu sering muncul tiba-tiba kalau sama orang yang gak lo kenal.”
“Shutt up, perhatikan ke depan. Gue mau konsentrasi belajar dulu!”
“Aishhh, menyebalkan sekali lo! Eh, tapi gue masih bingung sama lo, Nik.”
“Bingung apa lagi sih, Bob? Ngobrolnya nanti aja deh saat mata kuliah selesai.”
Bobby memainkan pulpennya sambil memikirkan sesuatu. Melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu, membuat gue ingin sekali rasanya menjitak kepalanya dan meninju keras wajah konyolnya itu.
“Sebenarnya, elo cinta gak sih sama Nadia?” tanya Bobby tiba-tiba hingga membuat gue sejenak terdiam dan mencerna kata-katanya tadi.
“Nik, elo sama Nadia itu udah kenal lama, ya wajar aja sih kalau kalian tumbuh rasa cinta. Tapi, gue lihat elo dan Nadia itu sama-sama saling tidak menyukai satu sama lainnya.”
“Maksud lo?”
“Nadia itu sahabat lo sejak kecil, pacar lo saat Sma dan istri lo saat kuliah. Metamorfosis kehidupan lo dengan Nadia itu terbilang tersusun dengan sangat rapih. Tapi, bukannya lo pernah bilang yah kalau lo itu sebenernya gak ada rasa sama Nadia? Terus, kalau gak ada rasa kenapa lo sempat pacaran dengan Nadia tempo lalu?”
Sejenak gue terdiam. Yang dikatakan Bobby memang benar, istri gue saat ini adalah Nadia. Kami sudah menjadi sepasang suami istri sejak 1 tahun yang lalu.
Nadia adalah sahabat gue sejak kecil. Gue menyayangi Nadia sebagai sahabat gue. Gue juga sudah menganggapnya sebagai adik gue sendiri. Dan, memang benar gue sama sekali tidak menyimpan rasa untuknya.
Gue sendiri bingung kenapa gue menyetujui perjodohan ini? Menikah muda itu bukanlah hal yang mudah. Usia kami terbilang masih sangat belia. Gue dan Nadia masih 20 tahun, tapi kami harus menjalani kehidupan kami sebagai sepasang suami istri. Tanggung jawab gue pun sudah cukup besar karena tanggungan gue sekarang bertambah.
Masa depan gue adalah Nadia. Dia adalah istri gue yang sah dan Nadia merupakan tanggung jawab gue sepenuhnya. Apapun yang terjadi padanya, gue harus melindungi keluarga kecil gue ini. Belum lagi, jika gue dan Nadia sudah mempunyai anak, hidup gue akan semakin berat karena sebuah rumah tangga itu bukanlah hal yang mudah untuk di jalani.
Walau gue sudah tahu semua yang ada di dalam diri Nadia, tapi statusnya kini sudah berubah. Menyatukan dua kepala dalam satu prinsip itu bukanlah hal yang mudah. Gue sendiri heran, melihat orang-orang yang dengan gampangnya mengatakan untuk menikah muda.
Menikah memang suatu kewajiban, tapi membangun rumah tangga di usia dini bukanlah hal yang mudah. Menikah juga bukan hanya dilandasi oleh rasa cinta saja, kita juga harus banyak memikirkan masa depan kita kelak.
Mulai dari keharmonisan rumah tangga, tanggungan biaya kita sehari-hari, menyatukan perbedaan pendapat sepasang suami istri, belum lagi mengurus biaya pendidikan anak kelak.
Gue sendiri belum memikirkan banyak hal untuk ke depannya. Gue masih kuliah dan gue juga masih tanggungan orang tua gue. Gue belum bisa menghasilkan uang sendiri dan gue masih bergantung dengan uang orang tua gue. Bagaimana caranya gue bisa menghidupi keluarga gue, sedangkan gue belum mempunyai pekerjaan tetap?
Rezeki memang tidak ke mana, tapi apa mereka tidak pernah berfikir yang menjalani nikah muda seperti gue? Apa mereka tidak malu menanggung biaya rumah tangga yang masih meminta kepada orang tua? Walau pun sudah mempunyai pekerjaan, apa itu cukup?
Untuk membiayai diri sendiri saja susahnya bukan main, apalagi membiayai untuk dua orang? Menikah itu bukan seperti orang berpacaran.
Dalam pernikahan, untuk posisi pria seperti gue, apa mereka tidak pernah memikirkan kebahagiaan pasangan kita? Secara tidak langsung, kita sudah mengambil anak perempuan dari kedua orang tuanya.
Selama belasan tahun, kedua orang tua mereka memberikan materi, pendidikan dan kasih sayang yang berlimpah. Diberikan hal-hal yang bahkan kita belum tentu mampu bisa memberikan hal itu seperti yang kedua orang tua mereka berikan.
Untuk meyakinkan kedua orang tuanya saja, jika anak mereka akan bahagia bersama kita susahnya minta ampun. Yang sudah mempunyai pekerjaan saja itu menjadi hal terberat untuknya, apalagi yang belum mempunyai pekerjaan seperti gue ini?
Semua memang butuh proses, tapi prosesnya itu sampai kapan? Usia 20 tahun itu masih rentan dan bisa dikatakan masih labil. Syukur-syukur si pasangan bisa bersikap dewasa, tapi kalau sudah menikah urusannya bukan cinta lagi.
Urusannya sudah duniawi, satu kata yang bisa menyebabkan kehancuran rumah tangga selain ‘orang simpanan’, itu adalah ‘uang’. Kalau dia tidak diberikan iman yang kuat, kesabaran dalam berlapang dada, ikhlas menerima kenyataan, mungkin kita bisa saja di depak dan mencari yang lebih baik dari kita.
Gue saja sampai sekarang ini masih suka berfikir keras. Apa gue mampu? Apa gue siap menjalani pernikahan muda ini? Perceraian zaman sekarang sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Angka pernikahan dan perceraian nyaris seimbang, bahkan lebih besar perceraian. Awal-awal manis, bilang ‘ayo menikah’, lambat laun mereka pasti akan mengatakan ‘ayo kita bercerai'.
Pernikahan bukanlah hal yang gampang, banyak sebab dan akibat jika kita melakukan suatu tindakan. Suatu pertemuan pasti akan berujung perpisahan, tapi suatu pernikahan apakah harus berujung perceraian juga?
Jika dicerai mati itu tidak masalah, tapi kalau diceraikan dalam keadaan kita yang tidak sesuai harapan mereka bagaimana?
Pengenalan dalam berproses untuk menikah itu memang wajib diperlukan. Kesiapan mental ketika dunia berputar dan kita berada di posisi terbawah, apakah pasangan kita siap selalu ada untuk kita?
Kita tidak akan pernah tahu kan ke depannya hidup kita akan seperti apa, maka dari itu perjanjian seperti itu harus wajib ditekankan.
Sama halnya gue yang menekankan kepada Nadia, apa dia siap jika dia harus berada di posisi terbawah bersama gue?
Dan, yang gue suka Nadia menjawab seperti ini
‘***Aku pernah merasakan posisi paling terbawah, posisi terendah yang harus merangkak kembali ke atas. Di situlah, kunci sukses kebahagiaan kita kelak. Bagaimana aku dan kamu bisa bersama-sama melewati itu semua? Hanya ada dua jawabannya, Niko.
'Berserah diri kepada Tuhan akan takdir kita dan ikhlaskan hati kita dengan menerima keadaan kita sekarang. Percayalah, walau berpuluh-puluh tahun berproses, asalkan kita saling bahu-membahu, saling mensupport satu sama lainnya, tersenyum walau itu menyakitkan, aku dan kamu pasti akan bisa menghadapinya***’.
Luar biasa bukan jawaban Nadia satu tahun yang lalu sebelum kami menikah. Gue suka jawaban dia dan yang lebih gue suka lagi Nadia pernah bilang
‘Cinta tidak pernah abadi, Niko. Cinta abadi hanya ada untuk orang tua kepada anaknya. Cinta manusia terhadap Tuhannya. Lambat-laun kita pasti bosan dengan pasangan kita masing-masing. Tapi kamu harus selalu ingat, bagaimana pertama kali kita merasakan rasanya saling jatuh cinta. Dan, yang pasti ketika kamu sudah berada di puncak, jangan pernah lupakan kenangan saat kita berada di bawah. Anggap saja semua itu pembelajaran hidup kita.'
Pernikahan muda ini terkadang membuat gue frustasi. Terkadang, gue kehilangan masa-masa muda gue. Gue sudah tidak bisa bersenang-senang lagi sebagai seorang bujangan seperti dulu. Tapi, untungnya Nadia membebaskan gue untuk melakukan apapun, asalkan gue selalu ingat kalau di rumah sudah ada seseorang yang menunggu.
“Apa yang lo fikirkan, Nik?” tanya Bobby yang membuyarkan semua lamunan gue.
“Hah? Tidak, gue hanya memikirkan tentang Nadia.”
“Nadia? Kenapa? Elo kangen istri lo?”
“Bukan, gue hanya sedang memikirkan apa Nadia akan bahagia hidup dengan seorang suami yang belum bekerja seperti gue?”
“Elo jangan membicarakan soal kebahagiaan dululah, harusnya sih lo bangga mempunyai istri seperti Nadia. Istri lo itu smart, dia juga mandiri tidak manja seperti wanita-wanita lainnya. Dan satu hal lagi, elo harus bangga karena Nadia itu pernah hidup keras saat dia masih Sd.”
“Iya, elo bener.”
“Ingat kan lo cerita Nadia, saat masih Sd keluarganya pernah gulung tikar dan mereka hidup mulai dari nol lagi. Mungkin, elo sendiri tahu karena lo menyaksikan sendiri kehidupan pahit Nadia saat itu. Tapi, gadis seperti Nadia yang terbilang masih kecil saat itu, gimana gak hebat coba? Dia bisa memotivasi dirinya sendiri dan juga keluarganya untuk bangkit dari keterpurukan.”
Yang dikatakan Bobby memang benar. Gue masih ingat dengan jelas kenangan pahit Nadia kala itu. Gue menyaksikan sendiri kerasnya hidup Nadia saat masih Sd dulu. Nadia memang perempuan hebat yang gue kenal. Dan, gue bangga bisa mengenalnya dan juga memiliki istri sepertinya.
1 jam kemudian, perkuliahan akhirnya selesai juga. Saat keluar dari kelas, gue tidak sengaja berpapasan dengan Nina di pintu kelas. Nina sesaat terdiam, tetapi ia langsung tersenyum ke arah gue kemudian pergi. Gue heran, apa gue punya salah dengannya ya selama ini?
“Elo gak nanya gitu sama Nina, kenapa dia jadi cuek-bebek gitu sama lo?” tanya Bobby saat kami berada di kantin kampus.
“Bodo amat, males gue nanya yang kaya gituan. Kalau dia masih mau temenan sama gue syukur, kalau gak juga gak masalah. Gak usah dijadiin ribet.”
“So cool lo!” sewot Bobby sambil menyantap semangkok bakso yang berada di hadapannya itu dengan lahap.
Gue hanya menggeleng-gelangkan kepala gue melihat tingkah Bobby yang setiap harinya selalu seperti itu. Banyak berbicara dan sok menasehati. Tapi, gue akui, nasehatnya itu terkadang membantu. Dan, gue fikir Bobby cocok jadi seorang filsafat. Sepertinya Bobby salah masuk jurusan, karena pada dasarnya itu dia sangat senang berbicara.
"Kalau lo belum married sama Nadia, gue mau jadi suami dia"
"Emangnya Nadia mau sama lo?"
"Sama lo aja mau, apa lagi sama gue?"
"Tingkat kepede-an lo sungguh luar biasa!"
"Kalau lo udah gak mau sama Nadia, lempar dia sama gue aja, Nik."
"Emangnya Nadia barang di lempar-lempar!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!