NovelToon NovelToon

Bahagia Tak Harus Kaya

Keluarga sederhana

Pagi hari, suara burung berkicau saling bersahutan. Angin sepoi - sepoi menyapa di seluruh sudut desa di pinggiran kota Yogyakarta.

Di desa itu, tepatnya di sebuah rumah sederhana tampak sepasang suami istri yang sudah beraktifitas usai shubuh.

" Mas... hari ini tak ada stok sayuran untuk makan siang."

" Buat sarapan masih ada, Dek?"

" Alhamdulillah masih ada, Mas."

" Ya sudah, nanti Mas ambil dari kebun saja."

Ya... rumah itu adalah milik sepasang suami istri bersama satu buah hati mereka yang baru berusia dua tahun.

Muhammad Azzam, yang lebih akrab di sapa Mas Azzam itu adalah seorang pria muda berusia 28 tahun. Dia bukanlah asli penduduk desa ini, karena ia menetap disini setelah menikah. Tak ada yang tahu asal muasalnya dari mana, karena setiap ditanya para tetangga, dia hanya menjawab dari luar kota.

Adinda Azzahra, istri dari Azzam adalah wanita yang lahir dan dibesarkan di desa itu. Usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Azzam.. Dia yatim piatu sejak kedua orangtuanya meninggal. Ibunya meninggal saat usia Zahra baru menginjak sepuluh tahun. Ayahnya meninggal saat dirinya hampir lulus SMA.

Azzam dan Zahra dikaruniai seorang anak laki - laki yang bernama Hafizh Ramadhan. Bocah tampan itu sangat pintar di usianya yang terbilang masih balita. Di usianya yang baru dua tahun, ia sudah mampu berbicara dengan fasih. Anak itu juga sudah diajarkan untuk menghafal benda - benda di sekitarnya.

Azzam dan Zahra bertemu pertama kali di kota saat Zahra akan berangkat wisuda. Wanita yang kuliah dengan jalur beasiswa itu meninggalkan kampung halamannya selama hampir lima tahun. Saat pulang ke rumah, semua orang terkejut karena Zahra membawa calon suami.

Flashback!

Zahra berdiri di pinggir jalan menunggu ojek ataupun angkutan umum yang lewat. Namun sudah hampir setengah jam menunggu, tak ada satupun dari mereka yang lewat.

Karena waktu yang sudah hampir telat untuk ke kampus, ia berjalan kaki. Sampai lima belas menit kemudian, ada sebuah motor yang berhenti di sampingnya.

" Butuh tumpangan, mbak?" seorang pria muda membuka helmnya lalu tersenyum pada Zahra.

" Mas ini tukang ojek?"

" Bukan, kebetulan saja lewat. Mau wisuda ya? Ayo saya antar, sebentar lagi acaranya dimulai."

" Saya harus bayar berapa sampai kampus?"

" Tidak perlu bayar pakai uang, tapi ada syaratnya."

" Apa syaratnya, Mas?"

" Nanti kalau sudah sampai kampus baru aku beritahu. Ayo naik, sepuluh menit lagi acaranya mulai."

Karena tak ingin terlambat, Zahra langsung naik ke motor pria yang tidak dikenalnya itu tanpa berpikir panjang.

Sampai di kampus, Zahra langsung turun dari motor dan hendak berlari. Namun baru saja satu langkah, tangannya ditarik oleh pria yang masih duduk diatas motornya itu.

" Jangan kabur, kau harus kabulkan syarat dariku."

" Ya udah, katakan syarat apa yang Anda minta?"

" Jadilah istriku, ayo saya temani masuk ke dalam."

" Apaaa...?"

" Sebentar lagi acara dimulai, ayo masuk!"

Flashback off!

" Bunda... Ayah mana?" tanya Rama yang baru bangun tidur.

" Sudah bangun, le... Ayah ada di depan, ikut sana! Bunda sedang membuat sarapan."

" Ada telur dadar, Bun?"

" Ada, sayang... kamu suka banget sama telur."

" Itu makanan favorit Rama, Bun."

Azzam yang baru selesai mengasah parangnya, segera meletakkannya di tempat yang aman lalu masuk menghampiri putranya.

" Ada apa ini? Kelihatannya ramai sekali?" tanya Azzam.

" Ayah... Rama mau mainan mobil - mobilan." rengek Rama.

" Iya, nanti kalau kebun sudah panen kita beli mainan buat Rama."

" Jangan terlalu dimanja, Yah. Ndak baik untuk masa depannya." tegur Zahra.

" Tidak apa - apa, Bunda. Tidak sering juga kok, Bunda juga pengen sesuatu?"

" Tidak, asal kita bisa makan saja sudah cukup."

Azzam memeluk istrinya dari belakang lalu mengecup pipinya dengan lembut. Walaupun hidup sederhana, namun keharmonisan rumah tangga mereka tak bisa dibandingkan dengan apapun.

" Apa mau buat adik buat Rama sekarang?" bisik Azzam.

" Apa sih, Mas! Rama itu masih kecil, jangan aneh - aneh." sahut Zahra datar.

" Terimakasih, sudah mau menjadi istriku. Ibu dari anakku, walaupun aku tidak bisa memberikan kemewahan padamu namun kau selalu sabar mendampingiku."

" Tidak perlu berterimakasih, aku bahagia menjadi istrimu, ibu dari anakmu. Sampai maut memisahkan, aku akan selalu ada di sisimu baik suka maupun duka."

" Ayah... Rama juga mau dipeluk!" rengek Rama hampir menangis.

Azzam dan Zahra tersenyum melihat tingkah anaknya. Azzam langsung menggendong tubuh mungil itu dan menciumnya berkali - kali.

" Anak ayah tidak usah cemburu, Ayah sayang Rama dan Bunda."

Usai sarapan, Azzam langsung pergi ke sawah untuk mengurus tanaman sayur dan cabai yang siap panen. Untung saja Zahra memiliki sawah warisan dari orangtuanya walaupun tidak luas, namun cukup untuk membiayai kehidupan mereka sehari - hari.

¤ ¤ ¤

" Mas Azzam... ibu boleh minta sayurannya sedikit saja ya? Ibu tidak punya uang buat beli lauk di warung." ucap seorang wanita paruh baya.

" Silahkan, Bu. Ambil saja sendiri sesuai kebutuhan ibu, yang penting jangan berlebihan. Masih banyak orang lain yang membutuhkannya juga." kata Azzam.

" Terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang baik, semoga Allah selalu melancarkan rezeki untukmu dan keluarga."

" Aamiin, Bu... terima kasih do'anya. Semoga di ijabah oleh Allah SWT."

Setelah memetik sayur dan cabai, ibu paruh baya itu langsung berpamitan untuk pulang. Ada rasa bahagia tersendiri di hati Azzam saat bisa membantu orang - orang di sekitarnya.

Beberapa hari lagi cabai siap di panen. Azzam biasanya akan dibantu dua tetangganya yang memang dekat dengannya. Mereka pemuda lajang yang tidak punya pekerjaan tetap.

Agus dan Cahyo sudah ikut bekerja di sawah sejak Azzam menikah dengan Zahra dan mengelola sawah warisan orangtua istrinya itu.

" Mas Azzam... kenapa setiap hari memberikan sayuran gratis kepada warga? Harusnya mereka itu membeli, bukan meminta." ucap Agus.

" Tidak apa - apa, kita tidak punya uang untuk bersedekah. Jadi sayuran yang kita tanam ini yang akan menjadi ladang pahala di akhirat kelak."

" Ahh... Mas Azzam udah mikirin akhirat saja, lha wong kita itu masih pengen urip suwe." sahut Cahyo.

" Hmm... kita itu tidak tahu takdir Allah itu seperti apa, tidak ada yang tahu apakah lima menit lagi malaikat Izro'il tiba - tiba datang menjemput."

" Mas Azzam jangan menakut - nakuti kita. Nikah juga belum kita ini." ucap Cahyo.

" Iya, kalau mas Azzam enak, punya istri cantik kayak mbak Zahra. Dia itu kembang desa yang jadi rebutan para pemuda dan duda di desa ini walaupun waktu itu masih sekolah." kata Agus.

" Kamu kenal dekat dengan istriku, Gus?"

" Iya, Mas. Mbak Zahra itu yang selalu membantu saya belajar. Waktu itu saya masih kelas satu SMP dan mbak Zahra itu kelas satu SMA. Karena rumah kami berdekatan, jadi setiap hari kami belajar bersama."

" Apa dia punya pacar saat SMA?"

" Sepertinya tidak, Mas... lha wong setiap hari bantu bapaknya di sawah, tidak ada waktu buat pacaran."

Azzam semakin bangga dengan istrinya. Dia ingat waktu pertama kali melihat ada gadis sederhana di kampus ternama. Setelah mengikuti gadis itu selama satu minggu secara diam - diam, akhirnya Azzam melakukan aksinya tepat saat Zahra wisuda.

.

.

TBC

.

.

Panen

Azzam pagi - pagi sekali sudah berada di sawahnya bersama Agus dan Cahyo. Mereka memanen cabai yang sudah berwarna merah. Beruntung sekali harga cabai saat ini sedang naik dan hasil panennya juga lebih banyak.

" Mas Azzam... kayaknya hari ini tidak akan selesai panen untuk satu petak saja, soalnya banyak cabainya." ucap Cahyo.

" Syukur Alhamdulillah, Yo... hasil panen kali ini melimpah. Semoga jadi berkah untuk kita semua." sahut Azzam.

" Aamiin... nanti diantar ke kota apa diambil tengkulaknya, Mas?" tanya Agus.

" Kebetulan tengkulaknya tidak bisa datang, nanti kita angkut dengan motor saja."

" Nanti biar saya sama Agus saja, Mas yang ke kota."

" Tidak usah, saya sekalian mau beli mainan buat Rama. Lagian yang ini cuma tiga puluh kilo saja."

" Siap, Boss! Kita harus cepat petiknya biar bisa dapat tiga puluh kilo. Semangaattt...!" teriak Agus.

Jam tujuh pagi, Zahra datang ke sawah untuk mengirim sarapan untuk suami dan teman - temannya. Sambil menenteng rantang, Zahra menggendong Rama di belakang seraya membawa termos di tangan satunya.

" Assalamu'alaikum," sapa Zahra.

" Wa'alaikumsalam... sudah selesai masaknya, Dek?" sahut Azzam.

" Iya, Mas. Soalnya sebentar lagi aku juga harus mengajar."

" Makasih ya, Dek. Kamu masih sempat kirim makanan kesini."

" Ajak Agus sama Cahyo sarapan dulu, Mas."

" Iya, Dek. Sebentar Mas panggil mereka dulu."

Mereka sarapan bersama di saung kecil yang dibuat Azzam. Zahra menyuapi Rama dengan telaten sebelum dirinya makan untuk dirinya sendiri.

" Dek, kamu juga harus makan. Biar Mas yang menyuapi Rama." kata Azzam.

" Tidak usah, Mas. Ini juga sudah mau habis kok."

" Nanti kamu terlambat ke sekolah, Dek. Kenapa nggak bawa motor saja tadi?"

" Zahra bisa jalan kaki, Mas. Sekalian Rama nanti aku ajak, ya? Mas lagi panen, jadi biar tidak ngrepotin."

" Biar saja disini, Dek. Justru kalau di sekolah nanti ganggu kamu mengajar."

" Iya, Mbak. Nanti kami bisa gantian jaga Rama sekalian istirahat." usul Agus.

" Ya sudah, kalau kalian bersedia jaga Rama. Terimakasih, ya?"

" Sama - sama, Mbak."

Setelah sarapan, Zahra pamit untuk berangkat mengajar. Zahra mengajar sebagai guru honorer di desanya. Dia ingin memanfaatkan ilmu yang ia dapat saat kuliah dan juga keinginan orangtuanya yang ingin anaknya bisa menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.

.

.

Jam sebelas siang, Zahra sudah sampai di rumah dan terlihat suaminya sedang menyuapi Rama di teras. Agus dan Cahyo juga berada disana sedang menimbang cabai yang akan disetor ke kota nanti sore.

" Assalamu'alaikum..." ucap Zahra.

" Wa'alaikumsalam." jawab mereka serempak.

" Tuh... Bunda udah pulang." ujar Azzam pada anaknya.

" Hei kesayangan bunda... baru makan ya?" Zahra duduk di depan putranya yang sedang tersenyum.

" Memangnya ayah bukan kesayangan," sungut Azzam.

" Cieee... Cieee... ada yang cemburu nih, untung yang dipanggil kesayangan bukan kita." sindir Agus sambil melirik Cahyo.

" Aku emoh disayang mbak Zahra, nanti rejeki jadi seret." sahut Cahyo sambil nyengir.

" Memangnya kenapa?" tanya Agus heran.

" Lihat saja tatapan mas Azzam, kalau kita dipecat mau dapat rejeki dari mana?" sungut Cahyo.

" Anak ayah... yuk masuk saja, biarin bunda sayang - sayangan diluar." ketus Azzam seraya menggendong Rama masuk ke dalam rumah.

" Ish... juragan cabai bisa ngambek juga." seloroh Agus.

" Ojo ngomong meneh! Tak pecat kowe mengko. ( jangan bicara lagi! Saya pecat kau nanti.)" ancam Zahra.

Zahra segera menyusul Azzam ke dalam kamar. Sang suami tampak sedang menidurkan Rama yang sudah menguap berkali - kali.

" Mas_..."

" Ssttt... bersih - bersih dulu sana!"

" Iya..."

Selesai membersihkan diri, Zahra ikut berbaring di samping suaminya. Terlihat Azzam sudah ikut terlelap memeluk Rama. Zahra memeluk suaminya dari belakang dengan erat.

" Apa sih, Dek? Kalau mau minta jatah nanti malam saja." gumam Azzam.

" Jangan ngawur kamu, Mas! Siapa juga yang mau minta jatah." sungut Zahra seraya melepas pelukannya.

Azzam membalikkan tubuhnya lalu memeluk istrinya dengan gemas. Diciumnya kening sang istri dengan mesra lalu mengusap pipinya dengan lembut.

" Adek lelah ya? Mau Mas pijit...?" bisik Azzam.

" Tidak usah, Mas yang lebih lelah kerja dari pagi di sawah." ucap Zahra lirih.

" Maaf ya? Mas belum bisa memberikan nafkah yang cukup untuk kalian. Jangan pernah menyerah mendampingi Mas yang sedang mencari ketenangan dalam hati ini." lirih Azzam seraya menenggelamkan wajah Zahra ke dalam dadanya.

" Ketenangan hati? Maksud ucapan Mas itu apa?" Zahra mendongakkan wajahnya menatap sang suami.

" Eh... tidak, sayang. Mas cuma asal bicara saja. Mungkin efek lelah habis dari sawah." lirih Azzam.

" Kita sudah tiga tahun menikah, jangan sembunyikan apapun dariku."

" Iya, sayang... ambil wudlu dulu gih! Kita jamaa'ah mumpung Rama tidur." titah Azzam.

Walaupun masih ada yang mengganjal di hati Zahra, namun ia tak ingin menambah beban pikiran suaminya.

" Iya, Mas..."

.

.

Usai sholat berjama'ah, Azzam mengajak Zahra untuk beristirahat. Sementara Agus dan Cahyo kembali ke sawah untuk memetik cabai karena hasil panen tadi pagi belum mencapai target.

" Mas... kenapa antar cabai sendirian sih?" rajuk Zahra.

" Kenapa...? Mau ikut... hmm?" sahut Azzam.

" Mau ngapain ikut? Nanti disuruh duduk diatas cabai," sungut Zahra.

" Ish... istriku yang cantik ini bisa merajuk juga." Azzam mencubit hidung Zahra gemas.

" Aahhh... sakit, Mas!"

" Lanjut yang semalam yuk?"

" Apaan sih, Mas! Siang bolong begini mbok ya jangan aneh - aneh."

" Dosa loh, nolak ajakan suami!"

" Huh... terserah kamu saja Mas. Dari dulu kamu sukanya maksa." gerutu Zahra.

" Jadi kamu terpaksa menikah dengan Mas? Kamu nggak ikhlas menjalani pernikahan ini?"

Azzam menatap sendu istrinya lalu beranjak dari tempat tidur. Azzam duduk di teras sambil menghisap rokok yang sudah lama ia tinggalkan semenjak menikah dengan Zahra. Mungkin rokok itu milik Agus atau Cahyo yang tertinggal.

" Mas...! Sejak kapan Mas ngerokok?" Zahra langsung merebut rokok di tangan suaminya.

Azzam yang kaget langsung berdiri. Dia menatap wajah istrinya yang terkesan horor. Sudah bisa dipastikan sang istri akan marah tujuh hari tujuh malam. Azzam semakin terkejut saat tangan sang istri meremas rokok yang masih menyala itu dalam genggamannya.

" Zahra...! Apa yang kau lakukan? Jangan melukai dirimu sendiri!"

Azzam langsung meraih tangan istrinya dan membuang puntung rokok yang sudah hancur itu. Dia tidak habis pikir dengan tingkah konyol istrinya.

" Lihat...! Tanganmu terluka seperti ini, ayo masuk!"

Zahra hanya diam saja tanpa berani menatap suaminya. Mungkin ia merasa bersalah karena sudah membentak suaminya. Azzam mengambil salep untuk mengobati lukanya.

" Maaf..." hanya satu kata yang terucap dari mulut wanita berhijab itu.

" Untuk apa? Kamu tidak salah, lupakan ucapanku tadi di kamar."

" Apa Mas tidak percaya padaku?"

" Sudah, Dek. Tidak perlu bahas itu, Mas cinta sama kamu. Maafkan Mas yang sudah memaksakan kehendak padamu."

" Mas... Adek tidak pernah merasa terpaksa menikah denganmu. Walaupun awal kita menikah tanpa cinta, namun aku yakin Mas adalah seseorang yang telah tercatat dalam takdirku sebagai jodoh, insya Allah dunia akhirat."

" Terimakasih, Dek. Kamu memang bidadari surga yang dikirim Allah untukku. Semoga aku bisa membuatmu terus bahagia walaupun hidup dengan kesederhanaan."

" Bahagia tak harus kaya, Mas."

Azzam menciumi seluruh wajah istrinya dengan gemas. Rasanya tidak rela harus berjauhan dengan istri tercintanya.

" Satu ronde yuk? Sebelum Rama bangun dan mengacaukan kesenangan kita." bisik Azzam.

" Hmm... gendong," rengek Zahra.

Azzam melebarkan senyumnya lalu membopong tubuh istrinya masuk ke kamar di sebelah kamar anaknya.

.

.

TBC

.

.

Pergi ke kota

Usai sholat Ashar, Azzam bersiap - siap untuk berangkat ke kota. Zahra duduk di teras sambil mengawasi Rama yang sedang bermain.

" Dek, Mas pulangnya agak malam. Tidak usah ditungguin, kamu tidur saja dulu." ujar Azzam.

" Kok lama, Mas? Biasanya juga isya' udah sampai rumah."

" Mas mau ketemu sama teman lama di kota, ada sedikit urusan."

" Bukan mantan pacar, kan?"

" Ya Allah... sejak kapan bidadariku ini posesif begini?" goda Azzam.

" Mas... ihh...! Pergi sana...!" sungut Zahra.

" Mas tidak akan pergi meninggalkan istri yang sedang marah, tidak ada berkahnya walau sejauh apapun langkahku."

Zahra menggendong Rama yang tadinya sedang bermain di teras. Dibawanya sang anak masuk ke dalam rumah.

" Dek... kamu kenapa, sih?" tegur Azzam yang ikut masuk ke dalam rumah.

" Pergilah! Semoga urusanmu cepat selesai dan cepat kembali ke rumah ini, Mas."

" Sayang... Mas pergi cuma antar cabai, tidak akan lama."

" Berjanjilah tidak akan meninggalkan kami?"

" Iya, Mas janji akan selalu bersama kalian seumur hidupku, karena kalian adalah nyawaku..."

Azzam memeluk istrinya dengan erat. Tidak biasanya sang istri merengek seperti itu. Rama ikut memeluk sang ibu walaupun tidak paham apa yang terjadi.

" Dek, kamu kenapa? Cerita sama Mas, jangan membuat Mas khawatir."

" Adek juga tidak tahu, Mas. Pengen rasanya aku ikut Mas pergi."

" Lain kali kita jalan - jalan ke kota ya? Sekarang jangan bersedih, nanti Mas bawakan oleh - oleh."

.

.

Jam setengah lima sore, Azzam sudah sampai di rumah tengkulak itu. Setelah transaksi selesai, ia segera pamit undur diri dan melanjutkan perjalanan ke sebuah resto ternama tak jauh dari kampus tempat Zahra kuliah dulu.

" Assalamu'alaikum," sapa Azzam.

" Wa'alaikumsalam... sudah datang kau, aku sudah menunggu setengah jam disini." sahut pria muda di depan Azzam.

" Ada apa lagi?" tanya Azzam to the point.

" Azzam... pikirkanlah lagi, kamu egois!"

" Egois...? Sejak kapan kau membela mereka...hah!"

" Bukan begitu, Zam... hanya saja_..."

" Cukup! Aku harus pulang, anak istriku sudah menunggu."

" Sampai kapan, Zam? Apa kau pikir dengan hidup di pelosok seperti itu bisa membuat anak istrimu bahagia? Mereka pasti menginginkan materi yang berlimpah."

" Diam kau! Itu bukan urusanmu, jangan mengusik kehidupanku lagi...!"

Azzam beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi dari hadapan pria muda yang ditafsir seumuran dengannya. Dari percakapan keduanya, mereka terlihat sudah saling kenal sejak lama.

" Suatu saat kau pasti kembali, Zam." gumam pria itu.

Azzam memarkirkan motornya di depan toko mainan. Kemarin Rama meminta mobil - mobilan karena bosan dengan mainan yang lama. Selesai membeli mainan, Azzam ke toko perhiasan dan membeli sebuah kalung untuk sang istri.

" Azzam...!" teriak seseorang dari belakang.

" Kau lagi? Apa yang kau lakukan disini? Mengikutiku?" sahut Azzam ketus.

" Zam... aku tidak akan berhenti mengejarmu."

" Deni... aku sudah berulang kali katakan padamu. Aku sudah tidak punya urusan apapun dengan mereka."

" Baiklah, tapi setidaknya kau berikan alamatmu padaku jika suatu saat nanti ada sesuatu aku bisa memberitahumu."

" Kau simpan saja nomorku, aku tidak ingin keluargaku terusik dengan kedatanganmu."

" Fine... aku tidak akan mengganggumu, jika boleh jujur... aku ingin melindungimu."

" Melindungiku?"

" Ya, saat ini suasana sedang buruk. Ada yang mengincar nyawamu, jaga keluarga barumu. Aku pergi dulu, jangan sampai ada yang curiga kita bertemu."

" Kau juga hati - hati... jaga keselamatan dia..."

Deni tersenyum simpul lalu memeluk erat tubuh Azzam. Sudah lama sekali mereka tak berjumpa. Ego dan emosi serta masalah membuat mereka harus terpisah. Keadaan yang membuat Azzam harus meninggalkan masa lalunya.

" Aku tahu kau mengkhawatirkannya, aku akan menjaganya untukmu. Salam buat istri dan anakmu, aku akan berkunjung suatu saat nanti." lirih Deni.

" Jangan sekalipun datang tanpa kuminta!"

" Siap, Boss..."

.

.

Azzam segera kembali ke desa karena sudah hampir maghrib. Dia mampir dulu ke masjid terdekat untuk sholat maghrib. Tidak lupa ia membeli makanan untuk anak dan istrinya. Dari dulu istrinya sangat suka nasi padang, sedangkan anaknya dibelikan jajanan sangat banyak.

Usai sholat maghrib, Azzam melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya. Hari sudah mulai gelap dan jalanan menuju kampung sudah mulai sepi. Tak banyak kendaraan yang lewat karena memang desanya berada di batas kota.

Kumandang sholat Isya', Azzam baru setengah perjalanan menuju arah tempat tinggalnya. Mencari masjid terdekat supaya tidak ketinggalan banyak waktu nantinya.

Selesai sholat Isya', bergegas Azzam meninggalkan masjid tersebut. Namun baru beberapa menit keluar dari area masjid, ada beberapa motor yang mengikutinya.

" Tidak mungkin Deni mengikutiku, kan?" gumam Azzam.

Azzam mempercepat laju motornya karena jalan yang sepi karena melewati jalan yang di kanan dan kirinya ditanami tebu.

" Berhenti...!" teriak orang yang wajahnya masih tertutup helm dengan parang di tangannya.

" Astaghfirullah...! Jadi mereka rampok," batin Azzam.

Jika diladeni, Azzam ragu apakah bisa menang. Pasalnya mereka ada lima orang, ia ragu dengan kemampuannya melawan mereka. Sudah lama Azzam tak pernah mengasah ilmu bela dirinya, sejak menikahi Zahra hanya olahraga di kamar hampir tiap malam.

Salah satu penjahat menghadang motor Azzam di depan sehingga dengan cepat ia menarik remnya. Mau tidak mau Azzam harus menghadapi mereka karena sudah tak bisa menghindar lagi.

Azzam turun dari motor dan melepas helmnya. Dengan mengucap do'a keselamatan dalam hati, ia menatap tenang para penjahat itu.

" Maaf... saya sedang terburu - buru, bolehkah saya pergi?" kata Azzam sopan.

" Cihh... serahkan semua barang - barangmu baru boleh pergi...!" sahut salah satu dari mereka beringas.

" Kalian tidak berhak atas barang yang saya miliki, kecuali saya dengan ikhlas sedekah untuk kalian."

" Haisssh...! Sedekah kau bilang? Kami perampok, bukan pengemis!"

" Saya tidak mengatakan kalian pengemis... Astaghfirullah,"

" Hajar dia...!"

Perkelahian tak dapat terhindarkan. Azzam dengan sigap menangkis serangan lawan dengan tenang. Tak ada emosi dalam setiap serangannya karena itu adalah kunci utama dalam menghadapi musuh 'tenang, sigap dan waspada.'

Hanya butuh waktu sepuluh menit saja, Azzam bisa melumpuhkan lima perampok itu. Tak ada luka serius di tubuh Azzam, hanya sedikit memar mungkin di punggung akibat pukulan benda tumpul.

" Sudahlah... kalian hanya buang waktu dan tenaga saja. Lebih baik cari pekerjaan yang halal untuk menghidupi keluarga. Jangan sampai kalian menyesal telah memberikan nafkah haram untuk anak dan istri." ujar Azzam lalu mengambil helm dan memakainya.

Azzam meninggalkan mereka yang masih terkapar di tengah jalan. Walaupun ia tak membuat mereka cidera serius, namun butuh waktu beberapa hari untuk pulih dari memar dan juga nyeri.

Jam setengah sembilan, Azzam sampai di rumah. Terlihat sang istri di teras duduk menunggunya. Begitu motor terparkir, Zahra langsung menyambut kedatangan sang suami.

" Assalamu'alaikum, Bunda..." sapa Azzam dengan tersenyum.

" Wa'alaikumsalam, Mas... kok lama pulangnya?" sahut Zahra cemas.

" Hmm... ayo masuk dulu! Tolong bantu Mas bawa barang belanjaan ini."

Azzam menyerahkan beberapa kantong kresek ke tangan istrinya dan sisanya ia bawa sendiri. Azzam tahu istrinya sedang cemas namun dirinya malah tersenyum lebar. Sampai di ruang tamu, Azzam langsung duduk diikuti Zahra yang sedari tadi mengekor di belakangnya.

" Kamu kenapa sih, Dek? Kok mukanya nggak ada senyum - senyumnya gitu?" tanya Azzam heran.

" Mas baik - baik saja, kan?"

" Hmm... sepertinya tidak. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."

" Apa...?"

" Sebenarnya Mas itu_..."

.

.

TBC

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!